Hukum shalat bagi wanita yang sedang haid adalah brainly

Haid atau menstruasi didefinisikan sebagai keluarnya darah dari rahim wanita dewasa setiap bulan sebagai bagian dari siklus hidup biologisnya, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).

Selama haid, wanita berada dalam kondisi kotor. Hal tersebut tercantum dalam surah Al-Baqarah ayat 222.

وَيَسْـَٔلُوْنَكَ عَنِ الْمَحِيْضِ ۗ قُلْ هُوَ اَذًىۙ فَاعْتَزِلُوا النِّسَاۤءَ فِى الْمَحِيْضِۙ وَلَا تَقْرَبُوْهُنَّ حَتّٰى يَطْهُرْنَ ۚ فَاِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوْهُنَّ مِنْ حَيْثُ اَمَرَكُمُ اللّٰهُ ۗ اِنَّ 

اللّٰهَ يُحِبُّ التَّوَّابِيْنَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِيْنَ 

Artinya: “Dan mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang haid. Katakanlah, “Itu adalah sesuatu yang kotor.” Karena itu jauhilah istri pada waktu haid; dan jangan kamu dekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, campurilah mereka sesuai dengan (ketentuan) yang diperintahkan Allah kepadamu. Sungguh, Allah menyukai orang yang tobat dan menyukai orang yang menyucikan diri.”

Dalam ayat tersebut dijelaskan, haid termasuk keadaan kotor (hadas). Menurut Hasbiyallah dalam buku “Fiqih”, orang yang sedang berhadas besar disebut dengan junub. Adapun mandi untuk menghilangkan hadas besar disebut dengan mandi junub atau mandi wajib.

Advertising

Advertising

Baca Juga

Mandi wajib adalah proses membersihkan diri setelah haid, nifas, dan bersyahwat. Hal tersebut sesuai dengan firman Allah dalam surah Al-Maidah ayat enam.

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا قُمْتُمْ اِلَى الصَّلٰوةِ فَاغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ وَاَيْدِيَكُمْ اِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوْا بِرُءُوْسِكُمْ وَاَرْجُلَكُمْ اِلَى الْكَعْبَيْنِۗ وَاِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوْاۗ وَاِنْ كُنْتُمْ مَّرْضٰٓى اَوْ عَلٰى سَفَرٍ اَوْ جَاۤءَ اَحَدٌ مِّنْكُمْ مِّنَ الْغَاۤىِٕطِ اَوْ لٰمَسْتُمُ النِّسَاۤءَ فَلَمْ تَجِدُوْا مَاۤءً فَتَيَمَّمُوْا صَعِيْدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوْا بِوُجُوْهِكُمْ وَاَيْدِيْكُمْ مِّنْهُ ۗمَا يُرِيْدُ اللّٰهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِّنْ حَرَجٍ وَّلٰكِنْ يُّرِيْدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهٗ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu hendak melaksanakan salat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kedua kakimu sampai ke kedua mata kaki. Jika kamu junub, maka mandilah. Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, maka jika kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan debu yang baik (suci); usaplah wajahmu dan tanganmu dengan (debu) itu. Allah tidak ingin menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, agar kamu bersyukur.”

Niat Mandi Wajib Setelah Haid

Niat mandi wajib setelah haid adalah sebagai berikut.

نَوَيْتُ الْغُسْلَ لِرَفْعِ الْحَدَثِ اْلاَكْبَرِ مِنَ الحَيْضِ فَرْضًا ِللهِ تَعَالَى

Nawaitul ghusla liraf'il hadatsil akbari minal haidhi fardhan lillahi ta’aala

Artinya: “Aku niat mandi wajib untuk menghilangkan hadas besar disebabkan haid karena Allah ta'ala.”

Baca Juga

Tata cara mandi wajib setelah haid adalah sebagai berikut:

  1. Membaca basmalah.
  2. Membaca niat mandi wajib.
  3. Mencuci kedua tangan sebanyak dua atau tiga kali.
  4. Mengguyur seluruh tangan kiri dengan tangan kanan.
  5. Mencuci kemaluan dan bagian lain dengan tangan kiri.
  6. Mencuci tangan setelah membersihkan kemaluan dengan sabun.
  7. Berwudhu yang sempurna seperti ketika hendak salat.
  8. Menyiramkan air ke atas kepala sebanyak tiga kali.
  9. Mengguyurkan air ke kepala sebanyak tiga kali sampai ke pangkal rambut dan atau kulit kepala dengan menggosok.
  10. Mengguyurkan air ke seluruh badan dimulai dari isi kanan lalu ke sisi kiri.

Tata cara tersebut tercantum dalam buku ''Kitab Lengkap dan Praktis Fiqh Wanita'' oleh Abdul Syukur Al-Azizi. Tata cara mandi wajib tersebut sesuai dengan riwayat dari Aisyah Ra. dalam sebuah hadis sebagai berikut.

"Kami (istri-istri nabi) apabila salah seorang di antara kami junub, maka ia mengambil (air) dengan kedua telapak tangannya tiga kali, lalu menyiramkannya di atas kepalanya, kemudian ia mengambil air dengan satu tangannya, lalu menyiramkannya ke bagian tubuh kanan dan dengan tangannya yang lain ke bagian tubuh yang kiri." (HR. Bukhari dan Abu Dawud).

Hal-hal yang Dilarang Selama Haid

Berdasarkan buku “La Tahzan untuk Wanita Haid” oleh Ummu Azzam, hal-hal yang dilarang selama haid, yaitu:

1. Salat

Wanita haid dilarang mengerjakan salat, baik salat fardu maupun salat sunah. Hal ini dikarenakan kondisi wanita haid yang sedang berhadas besar. Ibadah salat mensyaratkan pelakunya agar bersih dari hadas besar dan kecil. Seorang wanita haid bis kembali mengerjakan salat apabila telah membersihkan diri dengan mandi wajib setelah haid.

Baca Juga

Ibadah puasa wajib atau sunah tidak boleh dikerjakan oleh wanita yang sedang haid. Apabila wanita mengalami haid saat berpuasa wajib di bulan Ramadan, maka ia wajib mengganti. Hal tersebut sesuai hadis berikut ini.

"‘Mengapa wanita haid itu mengqadha puasa tetapi tidak mengqadha salat?’ Aisyah bertanya, ‘Apakah engkau wanita Haruriyyah?’ Aku menjawab, ‘Aku bukan wanita Haruriyyah. Aku cuma bertanya.’ Aisyah berkata, ‘Dahulu (pada zaman Rasulullah) saat kami mengalami haid, kami diperintahkan untuk meng-qadha puasa dan kami tidak diperintahkan untuk meng-qadha salat.’" (HR. Muslim).

3. Bersenggama

Menurut Muhammad Mutawwali Sya'rawi, dampak bersenggama dengan wanita haid dapat menimbulkan infeksi pada daerah intim. Pada saat haid, vagina dan rahim dalam kondisi yang rentan terhadap mikroba. Selain itu, rahim sedang membuang jaringan yang mati lewat darah yang dikeluarkan.

Baca Juga

Perceraian adalah sesuatu yang diperbolehkan dalam Islam. Tetapi, perceraian sebisa mungkin dihindari, terutama ketika seorang istri sedang haid. Seorang istri yang haid dan nifas tidak dapat menghadapi masa iddah yang wajar.

Iddah adalah masa di mana seorang wanita yang diceraikan suaminya menunggu. Pada masa itu, ia tidak diperbolehkan menikah atau menawarkan diri kepada laki-laki lain untuk menikahinya.

Masa iddah yang berlaku adalah tiga kali haid (bagi istri yang masih haid/belum menopause), tiga bulan (bagi istri yang sudah menopause), empat bulan sepuluh hari (bagi istri yang ditinggal mati suami), dan sampai melahirkan (bagi istri yang sedang hamil).

Baca Juga

Wanita yang sedang haid tidak boleh menyentuh dan membawa Al-Quran sebagaimana diterangkan dalam surah Al-Waqiah ayat 77-80. Tafsir Kementerian Agama menjelaskah, Allah Swt.  melarang orang-orang yang berhadas, baik hadas kecil maupun hadas besar, menyentuh atau memegang mushaf Al-Qur'an.

Berdasarkan hadis Mu'adh bin Jabal, Rasulullah saw. bersabda, "Tidak boleh menyentuh mushaf kecuali orang suci." Pendapat inilah yang dianut oleh sebagian besar umat Islam Indonesia.

Hukum shalat bagi wanita yang sedang haid adalah brainly

Bagaimana Hukum Salat setelah Haid namun Darah Keluar Lagi? Ustaz Abdul Somad: Di Bawah 15 Hari, Ia Masih Haid. /Tangkap layar YouTube.com/Ustadz Abdul Somad Official

KABAR LUMAJANG - Artikel ini akan membahas hukum shalat setelah haid namun darah keluar lagi menurut Ustadz Abdul Somad.

Menetesnya darah haid setelah sebelumnya tidak muncul adalah fenomena yang sering dialami oleh wanita.

Para wanita biasanya melaksanakan mandi junub apabila dirasa darah haid sudah tidak menetes lagi.

Baca Juga: Bacaan Tahiyat Akhir yang Benar Lengkap dengan Arab, Latin, dan Artinya Bahasa Indonesia

Baca Juga: Melunasi Hutang Orang yang Meninggal Kewajiban Siapa? Ustadz Abdul Somad Jelaskan Aturannya

>

Akan tetapi, pada kenyataannya darah haid bisa menetes lagi setelah wanita melaksanakan mandi junub bahkan menunaikan ibadah shalat wajib.

Dilansir KabarLumajang.com dari unggahan kanal YouTube Hubun yang berjudul "Hitungan haid sudah selesai namun waktu sholat ternyata masih keluar || ustadz abdul somad lc. ma" pada 21 Januari 2018, berikut ini penjelasan Ustadz Abdul Somad terkait hukum shalat setelah haid namun darah keluar lagi.

"Selama di bawah 15 hari, maka dia masih haid. 7 hari berhenti, mandi, shalat, menetes dia balik, itu masih darah haid. Lewat 15 hari namanya istihadah," ujar Ustadz Abdul Somad.

Baca Juga: Gus Baha: Cara Berbakti kepada Orang Tua yang Sudah Meninggal jika Semasa Hidupnya Meninggalkan Sholat

Syaikh Abu al-Hasan Mustafa bin Ismail as-Sulaimani

Halaman satu dari dua tulisan

KATA PENGANTAR

Tulisan dibawah ini merupakan terjemahan dari fatwa Syaikh Abu al-Hasan Mustafa bin Ismail as-Sulaimani berkaitan dengan hukum Shalat 'Ied dan Takbir pada hari 'Ied. Kami angkat dari Silsilah al-Fatawa Asy-Syar'iyah No. 8 bulan Muharram dan Shafar 1419H, soal jawab No. 131 dan 137. Dan dimuat di majalah As-Sunnah edisi 07/Th III/1419-1998M.

Syaikh Abu al-Hasan as-Sulaimani adalah seorang 'alim dari Mesir yang kini tinggal di Ma'rib Yaman, murid senior dari Syaikh Muqbil bin Hadi al-Wadi'i yang ahli dalam bidang hadits. Semoga tulisan ini bermanfaat.

HUKUM SHALAT 'IED, WAJIB ATAU SUNNAH

Beliau ditanya tentang dua orang yang berselisih pendapat mengenai shalat 'Ied, apakah hukumnya wajib, atau sunnah yang bila dilaksanakan akan berpahala tetapi bila ditinggalkan tidak berdosa.

Beliau menjawab :

"Berkaitan dengan persoalan ini, ada tiga pendapat yang masyhur di kalangan Ulama :"

  1. Shalat 'Ied hukumnya sunnah. Ini adalah pendapat jumhur (mayoritas) Ulama.
  2. Fardhu Kifayah, artinya (yang penting) dilihat dari segi adanya shalat itu sendiri, bukan dilihat dari segi pelakunya. Atau (dengan bahasa lain, yang penting) dilihat dari segi adanya sekelompok pelaku, bukan seluruh pelaku. Maka jika ada sekelompok orang yang melaksanakannya, berarti kewajiban melaksanakan shalat 'Ied itu telah gugur bagi orang lain. Pendapat ini adalah pendapat yang terkenal di kalangan madzhab Hambali.
  3. Fardhu 'Ain (kewajiban bagi tiap-tiap kepala), artinya; berdosa bagi siapa yang meninggalkannya. Ini adalah pendapat madzhab Hanafiyah serta pendapat salah satu riwayat dari Imam Ahmad.

DALIL-DALIL

Para pendukung pendapat pertama berdalil dengan hadits yang muttafaq 'alaih, dari hadits Thalhah bin Ubaidillah, ia berkata :

"Artinya : Telah datang seorang laki-laki penduduk Nejed kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, kepalanya telah beruban, gaung suaranya terdengar tetapi tidak bisa difahami apa yang dikatakannya kecuali setelah dekat. Ternyata ia bertanya tentang Islam. Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab : "Shalat lima waktu dalam sehari dan semalam". Ia bertanya lagi : Adakah saya punya kewajiban shalat lainnya ? Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab : "Tidak, melainkan hanya amalan sunnah saja". Beliau melanjutkan sabdanya : "Kemudian kewajiban berpuasa Ramadhan". Ia bertanya : Adakah saya punya kewajiban puasa yang lainnya ?. Beliau menjawab : "Tidak, melainkan hanya amalan sunnah saja". Perawi (Thalhah bin Ubaidillah) mengatakan bahwa kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menyebutkan zakat kepadanya. Iapun bertanya : "Adakah saya punya kewajiban lainnya ?. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab : "Tidak, kecuali hanya amalan sunnah saja". Perawi mengatakan, "Setelah itu orang ini pergi seraya berkata : Demi Allah, saya tidak akan menambahkan dan tidak akan mengurangkan ini". (Menanggapi perkataan orang itu) Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Niscaya dia akan beruntung jika ia benar-benar (melakukannya)".

Mereka (para pendukung pendapat kesatu) mengatakan : Hadits ini menunjukkan bahwa shalat selain shalat lima waktu dalam sehari dan semalam, hukumnya bukan wajib (Fardhu) 'Ain (bukan kewajiban perkepala). Dua shalat 'Ied termasuk ke dalam keumuman ini (yakni bukan wajib melainkan hanya sunnah saja, -pen). Pendapat ini di dukung oleh sejumlah Ulama diantaranya Ibnu al-Mundzir dalam "Al-Ausath IV/252".

Sedangkan pendukung pendapat kedua, yakni berpendapat bahwa shalat 'Ied adalah Fardhu Kifayah, berdalil dengan argumentasi bahwa shalat 'Ied adalah shalat yang tidak diawali adzan dan iqamat. Karena itu shalat ini serupa dengan shalat jenazah, padahal shalat jenazah hukumnya fardhu kifayah. Begitu pula shalat 'Ied juga merupakan syi'ar Islam. Disamping itu, mereka juga berdalil dengan firman Allah :

"Artinya : Maka dirikanlah shalat karena Rabbmu dan berkorbanlah (karena Rabbmu)". (Al-Kautsar : 2).

(Ayat ini berkaitan dengan perintah melaksanakan shalat 'Ied, yakni 'Iedul Adha, wallahu a'lam, red).

Mereka juga berkeyakinan bahwa pendapat ini merupakan titik gabung antara hadits (kisah tentang) Badui Arab (yang digunakan sebagai dalil oleh pendapat pertama) dengan hadist-hadits yang menunjukkan wajibnya shalat 'Ied. Perhatikanlah Al-Mughni II/224.

Sementara para pengikut pendapat ketiga berdalil dengan banyak dalil. Dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mendukung pendapat ini.

Beliau mengukuhkan dalil-dalil yang menyatakan (bahwa shalat 'Ied adalah) wajib 'Ain (kewajiban perkepala). Beliau pun menyebutkan bahwa para shahabat dulu melaksanakan shalat 'Ied di padang pasir (tanah lapang) bersama Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah memberikan keringanan kepada seorang pun untuk melaksanakan shalat tersebut di Masjid Nabawi.

Berarti hal ini menunjukkan bahwa shalat 'Ied termasuk jenis shalat Jum'at, bukan termasuk jenis shalat-shalat sunnah. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam juga tidak pernah membiarkan shalat 'Ied tanpa khutbah, persis seperti dalam shalat Jum'at. Hal semacam ini tidak didapati dalam Istisqa' (do'a meminta hujan), sebab Istisqa' tidak terbatas hanya dalam shalat dan khutbah saja, bahkan Istisqa' bisa dilakukan hanya dengan berdo'a di atas mimbar atau tempat-tempat lain. Sehingga karena itulah Abu Hanifah Rahimahullah membatasi Istisqa' hanya dalam bentuk do'a, ia berpandangan bahwa tidak ada shalat khsusus untuk istisqa'.

Begitu pula, sesungguhnya ada riwayat yang jelas dari Ali (bin Abi Thalib) Radhiyallahu Anhu, yang menugaskan seseorang untuk mengimami shalat ('Ied) di Masjid bagi golongan kaum Muslimin yang lemah. Andaikata shalat 'Ied itu sunnah, tentu Ali tidak perlu menugaskan seseorang untuk mengimami orang-orang yang lemah di Masjid. Karena jika memang sunnah, orang-orang lemah ini tidak usah melaksanakannya, tetapi toh Ali tetap menugaskan seseorang untuk mengimami mereka di Masjid, berarti ini menunjukkan wajib (sehingga orang-orang lemahpun tetap harus melaksanakannya -red).

Dalil lain ialah bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan agar kaum wanita keluar (ke tanah lapang) walaupun sedang haidh guna menyaksikan barakahnya hari 'Ied dan do'a kaum Mukminin. Apabila Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan para wanita haidh untuk keluar (ke tanah lapang) -padahal mereka tidak shalat-, apalagi bagi para wanita yang sedang dalam keadaan suci. Ketika ada diantara kaum wanita berkata kepada beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa : "Salah seorang di antara kami tidak memiliki jilbab (kain menutupi seluruh tubuh wanita dari atas kepala hingga ujung kaki, pen), beliau tetap tidak memberikan keringan kepada mereka untuk tidak keluar, beliau bahkan menjawab :

"Artinya : Hendaknya ada yang meminjamkan jilbab untuknya". (Hadits shahih, muttafaq 'alaihi, sedangkan lafalnya adalah lafal Imam Muslim).

Padahal dalam shalat Jum'at dan shalat berjama'ah, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (bagi para wanita) :

"Artinya : Dan (di dalam) rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka".

Juga bahwa shalat Jum'at ada gantinya bagi kaum wanita serta kaum musafir, berbeda dengan shalat 'Ied (yang tidak ada gantinya). Shalat 'Ied hanya satu atau dua kali dalam satu tahun, berlainan dengan shalat Jum'at yang terulang sampai lima puluh kali atau lebih (dalam satu tahun). Sementara itu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pun memerintahkan (ummatnya) untuk melaksanakan shalat 'Ied, memerintahkan (agar ummatnya) keluar menuju shalat 'Ied. Beliau dan kemudian di susul para Khalifahnya serta kaum Muslimin sesudahnya terus menerus melakukan shalat 'Ied. Demikian pula tidak pernah sekalipun diketahui bahwa di negeri Islam shalat 'ied ditinggalkan, sedangkan shalat 'Ied termasuk syi'ar Islam yang paling agung. Firman Allah berbunyi :

"Artinya : Dan hendaklah kamu bertakbir (mengagungkan) kepada Allah atas petunjuk-Nya". (Al-Baqarah : 185)

Pada ayat itu Allah Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan bertakbir pada hari Iedul Fitri dan Iedul Adha. Artinya, pada hari itu Allah Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan shalat yang meliputi adanya takbir tambahan, sesuai dengan cara takbir pada raka'at pertama dan raka'at kedua. (Demikianlah secara ringkas apa yang dikemukakan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah disertai sedikit penambahan keterangan dan pengurangan. Lihat Majmu' Fatawa XXIV/179-183).

Imam Shana'ani, dan Shidiq Hasan Khan dalam "Ar-Raudhah An-Nadiyah" menambahkan bahwa apabila (hari) 'Ied dan Jum'at bertemu, maka (hari) 'Ied menggugurkan kewajiban shalat Jum'at. Padahal shalat Jum'at adalah wajib, tidak ada yang bisa menggugurkan kewajiban ini melainkan yang menggugurkannya pasti merupakan perkara yang wajib. (Lihat pula Subul as-Salam II/141).

Mereka (para ahli pendapat ketiga ini) membantah dalil yang digunakan oleh para pendukung pendapat pertama, bahwa hadits (yang mengisahkan persoalan) orang Badui Arab itu mengandung beberapa kemungkinan.

  • Mungkin karena orang Badui Arab itu tidak berkewajiban melaksanakan shalat Jum'at, sehingga apalagi shalat 'Ied.
  • Mungkin pula karena hadits tentang Badui Arab itu (khusus menerangkan) masalah kewajiban shalat dalam sehari dan semalam (bukan mengenai kewajiban setiap tahun). Padahal shalat 'Ied termasuk kewajiban shalat yang bersifat tahunan, bukan kewajiban harian. (Kemungkinan kedua ini dikemukakan oleh Ibnu Al-Qayyim Rahimahullah dalam "Kitab ash-Shalah" halaman 39).

Hadist (kisah tentang) Badui Arab inipun masih bisa dibantah (dari sisi lain, yaitu bahwa) keterangan umum pada hadits itu (mengenai shalat wajib hanyalah shalat lima waktu dalam sehari dan semalam) telah dikhususkan dengan shalat nadzar, yaitu shalat yang seseorang mewajibkan dirinya untuk melaksanakannya karena nadzar (maksudnya : seseorang yang bernadzar untuk melaksanakan shalat, maka shalat itu hukumnya wajib untuk dilaksanakan, padahal itu tidak tertuang dalam hadits (kisah tentang Badui Arab, red-). Jika argumentasi ini dibantah bahwa tentang kewajiban shalat nadzar ada dalilnya tersendiri, maka demikian pula kewajiban shalat 'Ied juga ada dalilnya tersendiri. Jika dibantah lagi bahwa tentang kewajiban shalat nadzar diakibatkan karena seseorang mewajibkan dirinya (dengan nadzar) untuk melaksanakan shalat , maka apalagi shalat yang kewajibannya ditetapkan oleh Allah untuknya, tentu kewajiban melaksanakan shalat baginya itu lebih nyata daripada melaksanakan shalat yang ia wajibkan sendiri.

Adapun argumentasi yang digunakan oleh orang yang mengatakan bahwa shalat 'Ied hukumnya Fardhu Kifayah berdasarkan ayat :

"Artinya : Maka dirikanlah shalat karena Rabbmu dan berkorbanlah (karena Rabbmu)". (Al-Kautsar : 2).

Atau bahwa shalat 'Ied merupakan syi'ar Islam, maka dalil ini justru lebih mendukung pendapat yang mengatakan bahwa shalat 'Ied hukumnya Wajib 'Ain (wajib bagi tiap-tiap kepala).

Mengenai qiyas yang mereka lakukan terhadap shalat jenazah bahwa shalat 'Ied adalah shalat yang tidak didahului adzan maupun iqamat (Qamat) hingga mirip dengan shalat jenazah, maka qiyas itu adalah qiyas yang berlawanan dengan nash.

Disamping itu, sesungguhnya telah dinyatakan bahwa manusia tidak membutuhkan adzan bagi shalat 'Ied, adalah karena :

  1. Mereka keluar (untuk shalat) menuju tanah lapang, dan karena jauhnya dari tempat-tempat pemukiman.
  2. (Sebelumnya) Mereka telah menunggu-nunggu untuk memasuki malam hari raya, sehingga telah bersiap sedia untuk melaksanakan shalat 'Ied (pada pagi harinya), dan telah menghentikan segala kesibukan lain (sehingga mereka tidak lagi memerlukan adanya adzan, -red), berbeda keadaannya dengan shalat yang lima waktu. Wallahu 'alam.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah mengatakan : "Siapa yang berpendapat shalat 'Ied itu Fardhu Kifayah, maka perlu dikatakan kepadanya bahwa hukum Fardhu Kifayah hanya terjadi pada sesuatu yang maslahatnya dapat tercapai jika dilakukan oleh sebagian orang, misalnya menguburkan jenazah atau mengusir musuh. Sedangkan shalat 'Ied maslahatnya tidak akan tercapai jika hanya dilakukan oleh sebagian orang. Kemudian kalau maslahat shalat 'Ied ini (dapat dicapai dengan hanya sebagian orang) berapakah jumlah orang yang dibutuhkan agar maslahat shalat tersebut dapat tercapai ..? Maka sekalipun dapat diperkirakan jumlah tersebut, tetapi pasti akan menimbulkan pemutusan hukum secara pribadi, sehingga mungkin akan ada yang menjawab ; satu orang, dua orang, tiga orang .... dan seterusnya". (Dinukil dari Majmu Fatawa Ibnu Taimiyah).

Imam Shana'ani, Imam Syaukani, guru kita Syaikh Al-Albani dan Syaikh kami Syaikh (Muhammad bin Shalih) Al-Utsaimin -hafizhallahu al-jami- berpegang kepada pendapat bahwa shalat 'Ied adalah WAJIB 'AIN. Saya pribadi cenderung mengikuti pendapat ini, sekalipun pada beberapa dalil yang digunakan oleh para pendukung pendapat ini ada yang perlu dilihat kembali, tetapi pendapat tersebut adalah pendapat yang dalilnya paling kuat dibandingkan dalil-dalil pendapat lainnya.

Kendatipun saya takut menyelisihi jumhur (mayoritas) ahli ilmu (Ulama), namun dalam hal ini saya lebih menguatkan pendapat yang mengatakan (shalat 'Ied) hukumnya Wajib 'Ain, berdasarkan kekuatan dalil yang (menurut saya) mereka gunakan, terutama karena sejumlah Ulama juga berpendapat seperti ini.

Begitulah kiranya sikap adil (tidak taklid). Wallahu a'lam

Halaman satu dari dua tulisan

http://www.assunnah.or.id