Yang bukan merupakan inti dari ajaran nasakom adalah

Jakarta, Beritasatu.com – Presiden pertama Soekarno atau Bung Karno pernah mencetuskan konsep nasionalisme, agama, dan komunisme (nasakom). Menurut putra sulung Bung Karno, Guntur Soekarno, banyak orang salah kaprah mengenai nasakom.

“Kalau mengenai nasakom, banyak orang-orang yang salah kaprah. Nasakom itu adalah satu living reality, kenyataan hidup, baik di Indonesia maupun dunia. Bahwa memang manusia ini terbagi dari tiga besar ideologi yaitu nasionalisme, agama, komunisme,” kata Guntur dalam "Podcast Apa Adanya” seperti dikutip dari kanal YouTube B1 Plus, Jumat (29/10/2021).

Guntur menyatakan Bung Karno dalam pidato kenegaraan pada 17 Agustus 1966 menyebut istilah nasakom dapat diganti dengan nasasos (nasionalisme, agama, sosialisme) atau apa pun.

“Tapi yang penting ketiganya ini bukan berarti kalau 'nas' berarti PNI, 'a' mesti NU, atau 'kom' mesti PKI. Bukan begitu pengertiannya. Pengertiannya adalah persatuan nasional revolusioner. Di mana kenyataan yang tidak bisa dibantah istilah Bung Karno, malaikan di langit pun tidak bisa membantah, manusia ini terbagi dalam tiga ideologi besar, yaitu nasionalisme, agama, dan komunisme atau sosialisme,” tegas Guntur.

Guntur mempersoalkan apabila ada pihak yang mempertentangkan antara nasakom dengan Pancasila. “Bahkan Bung Karno katakan kalau nasakom itu secara ideologi diperas, itu jadinya juga Pancasila. Jadi, jangan dibuat antara nasakom idenya Bung Karno dengan Pancasila idenya Bung Karno dikontradiksikan,” kata Guntur.

Saksikan live streaming program-program BTV di sini

Sumber: BeritaSatu.com

KOMPAS.com - Nasakom adalah konsep politik yang dicetuskan oleh Presiden Soekarno.

Kepanjangan dari Nasakom adalah Nasionalisme, Agama, dan Komunisme. 

Konsep ini berlaku di Indonesia dari 1959, masa Demokrasi Terpimpin, hingga Orde Baru, tahun 1966.

Gagasan Soekarno mengenai Nasakom ini merupakan upaya untuk menyatukan perbedaan ideologi politik.

Baca juga: Penerapan Demokrasi Terpimpin

Latar Belakang Nasakom

Gagasan Nasakom sebenarnya sudah dipikirikan Soekarno sejak 1927, jauh sebelum Indonesia merdeka.

Soekarno menulis rangkaian artikel berjudul "Nasionalisme, Islam, dan Marxisme" dalam majalah Indonesia Moeda.

Kemudian, tahun 1956, ia menyampaikan gagasan ini. 

Ia mengkritik sistem Demokrasi Parlementer yang dianggap tidak cocok untuk diterapkan di Indonesia.

Menurut Soekarno, Demokrasi Parlementer melindungi sistem kapitalisme.

Sebab parlemen dikuasai oleh kaum borjuis. Sehingga menurutnya sistem ini tidak bisa memakmurkan rakyat.

Selain itu, Soekarno juga menganggap bahwa Demokrasi Parlementer dapat membahayakan pemerintahan.

Oleh sebab itu, bulan Februari 1956, Soekarno mengusulkan konsep baru yang disebut Nasakom dengan didasari oleh tiga pilar utama.

Tiga pilar tersebut adalah Nasionalisme, Agama, dan Komunisme.

Ketiga pilar ini dimaksudkan untuk memenuhi tuntutan tiga faksi utama dalam politik Indonesia yaitu tentara, kelompok Islam, dan komunis. 

Melalui dukungan dari militer, bulan Februari 1956, ia menyatakan berlakunya Demokrasi Terpimpin dan mengusukan kabinet yang akan mewakili semua partai politik penting.

Baca juga: PKI: Asal-usul, Pemilu, Pemberontakan, Tokoh, dan Pembubaran

Pelaksanaan Nasakom

Usai Nasakom terbentuk, Soekarno semakin gencar mengkampanyekan konsep Nasakom-nya. 

Soekarno menyatukan tiga kekuatan politik dengan tujuan untuk memperkuat posisinya.

Tiga partai politik yang menjadi faksi utama dalam perpolitikan Indonesia saat itu adalah:

  1. Partai Nasional Indonesia yang berhaluan nasionalis
  2. Masyumi dan Nahdlatul Ulama yang berhaluan agama
  3. Partai Komunis Indonesia (PKI) yang berhaluan komunis

Soekarno bahkan mengampanyekan konsep Nasakom hingga ke forum internasional. Sebab saat itu, negara-negara pemenang Perang Dunia II saling bertentangan ideologi.

Dalam Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tanggal 30 September 1960 di New York, Soekarno menyampaikan pidato berjudul "To Build the World a New".

Melalui pidato tersebut, Soekarno menyampaikan konsep Nasakom yang ia buat.

Selanjutnya, dalam Sidang Panca Tunggal Seluruh Indonesia di Istana Negara, Jakarta, tanggal 23 Oktober 1965, Soekarno kembali menegaskan pentingnya Nasakom.

Baca juga: PBB: Sejarah, Tujuan, dan Tugasnya

Akhir Nasakom

Soekarno sangat gencar memperluas gagasan Nasakom miliknya. Namun, sekeras apapun ia mempertahan konsep Nakasom nya, gagasan ini akhirnya kandas.

Kandasnya Nasakom diakibatkan oleh luruhnya pamor PKI akibat Gerakan 30 September.

Selain itu, berakhirnya Nasakom juga diakibatkan oleh adanya peralihan kekuasaan dari Orde Lama ke Orde Baru, di mana pemimpin baru Indonesia, Soeharto, sangat anti-komunis. 

Dengan demikian, gagasan Nasakom pun berakhir.

Referensi: 

  • Ricklefs, M.C. (1991). A History of Modern Indonesia since c. 1300. MacMillan. 
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

tirto.id - Singkatan NASAKOM adalah kepanjangan dari Nasionalisme, Agama, dan Komunisme, yang mewarnai sejarah pemerintahan Indonesia pada masa Demokrasi Terpimpin tahun 1959 hingga 1965. Lantas, apa pengertian NASAKOM, tujuan, dan siapa pencetusnya? NASAKOM dicetuskan oleh sang proklamator, Ir. Sukarno. Meskipun baru dikenal luas menjelang berakhirnya dekade 1950-an, namun konsep ini sudah terpikirkan jauh sebelum Bung Karno menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia (RI) pertama sejak 17 Agustus 1945. Konsep NASAKOM kemudian diusulkan Sukarno pada Februari 1956. Konsep ini oleh Bung Karno disebut sebagai tiga pilar utama Demokrasi Terpimpin dalam pemerintah Republik Indonesia, yaitu pilar Nasionalis, pilar Agama, dan pilar Komunis.

Sejarah NASAKOM: Nasionalisme, Agama, Komunisme

Gagasan tiga pilar utama sudah terbersit dalam pikiran Sukarno sejak 1926, atau pada tahun yang sama ketika Bung Karno mendeklarasikan berdirinya Partai Nasional Indonesia (PNI). Mengenai embrio NASAKOM, Sukarno menulisnya dalam surat kabar Soeoleh Indonesia Moeda edisi 1926: “Dengan jalan yang kurang sempurna, kita mencoba membuktikan bahwa paham Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme itu dalam negeri jajahan pada beberapa bagian menutupi satu sama lain,” tulis Sukarno. “Nasionalisme, Islam, dan Marxisme, inilah asas-asas yang dipegang teguh oleh pergerakan-pergerakan rakyat di seluruh Asia. Inilah faham-faham yang menjadi rohnya pergerakan-pergerakan di Asia. Rohnya pula pergerakan-pergerakan di Indonesia kita ini,” tambahnya.

Pada masa pergerakan nasional kala itu, dalam pikiran Sukarno, ada 3 aliran politik yang bisa dijadikan sebagai pilar utama kekuatan rakyat beserta wadah atau organisasi yang bisa menaungi masing-masing tiga pilar tersebut.

Terlebih, di Pemilu 1955, partai-partai politik yang mewakili tiga ideologi besar itu menjadi pemenangnya, yakni PNI, Masyumi dan Nahdlatul Ulama (NU), serta PKI. Pilar pertama adalah golongan nasionalis yang diwakili Indische Partij (IP). IP sendiri adalah organisasi pergerakan yang dibentuk pada 1912 oleh Tiga Serangkai yakni Tjipto Mangoenkoesoemo, Douwes Dekker, dan Soewardi Soerjaningrat atau Ki Hajar Dewantara. Pilar kedua adalah kelompok agamis yang diwakili oleh umat Islam sebagai golongan agama terbesar. Menurut Sukarno, Sarekat Islam (SI) yang dipimpin oleh H.O.S. Tjokroaminoto layak menjadi representasi kalangan agama ini. Pilar ketiga adalah Marxisme yang saat itu sepatutnya diemban oleh Partai Komunis Indonesia (PKI). Kala itu, komunisme belum menjadi ideologi terlarang, begitu pula dengan PKI yang terbentuk belum terlalu lama. Pada 1926 itu pula, menjelang pergantian tahun baru 1927, PKI melakukan perlawanan terhadap pemerintah kolonial Hindia Belanda di Sumatera Barat. Namun, aksi tersebut bisa digagalkan dan tokoh-tokoh komunis sempat menjadi incaran pemerintah kolonial.

Alasan Penerapan NASAKOM dan Tujuannya

Konsep tiga pilar utama yang sempat terabaikan kembali didengungkan Sukarno setelah Indonesia merdeka, tepatnya pada 1956. Alasan dan tujuan Bung Karno saat itu adalah karena menilai sistem Demokrasi Parlementer tidak cocok untuk negara Indonesia.

Zulfikri Suleman dalam Demokrasi untuk Indonesia: Pemikiran Politik Bung Hatta (2010) menuliskan, menurut Sukarno, Demokrasi Parlementer melindungi sistem kapitalisme karena parlemen dikuasai oleh kaum borjuis dan tidak akan bisa memakmurkan rakyat.

“Di dalam Demokrasi Parlementer, tiap-tiap orang bisa menjadi raja, tiap-tiap orang bisa memilih, tiap-tiap orang bisa dipilih, tiap-tiap orang bisa memupuk kekuasaan untuk menjatuhkan menteri-menteri dari singgasananya,” beber Sukarno. Sebagai pengganti Demokrasi Parlementer, Sukarno menawarkan sistem pemerintahan baru yang disebutnya Demokrasi Terpimpin. Demokrasi Terpimpin ini, lanjut Bung Karno, berpondasi kepada tiga pilar utama yang dimiliki bangsa Indonesia, yaitu Nasionalisme, Agama, dan Komunisme atau NASAKOM.

Hanya saja, tidak semua kalangan sepakat dengan sistem Demokrasi Terpimpin beserta NASAKOM ala Sukarno itu. Salah satunya adalah Wakil Presiden RI, Mohammad Hatta. Rosihan Anwar dalam In Memoriam: Mengenang yang Wafat (2002) mengungkapkan, NASAKOM berarti bekerja sama dengan PKI dan Hatta kurang cocok dengan itu.

Bagi Hatta, Demokrasi Terpimpin membuat kekuasaan negara kian terpusat kepada sosok presiden, dan itulah yang kemudian terjadi. Seperti diungkapkan Syafii Maarif melalui buku Demokrasi dan Nasionalisme: Pengalaman Indonesia (1996), Hatta kemudian mundur dari wakil presiden karena Sukarno semakin otoriter.

Sistem Demokrasi Terpimpin akhirnya diterapkan juga, begitu pula dengan konsep NASAKOM. Sukarno menyatukan tiga kekuatan politik terbesar di Indonesia kala itu untuk memperkuat posisinya sebagai presiden. Sukarno bahkan menyatakan bahwa NASAKOM merupakan perwujudan Pancasila dan UUD 1945 dalam politik. Dalam pidatonya pada peringatan HariKkemerdekaan RI tanggal 17 Agustus 1961, Bung Karno menegaskan:

“Siapa yang setuju kepada Pancasila, harus setuju kepada NASAKOM; siapa yang tidak setuju kepada NASAKOM, sebenarnya tidak setuju kepada Pancasila,” lantang Sukarno dikutip dari Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia (2004) karya Jan S. Aritonang.

“Sekarang saya tambah: Siapa setuju kepada Undang-Undang Dasar 1945, harus setuju kepada NASAKOM; Siapa tidak setuju kepada NASAKOM, sebenarnya tidak setuju kepada Undang-Undang Dasar 1945,” lanjutnya. Terjadinya peristiwa berdarah Gerakan 30 September (G30S) 1965 membuat kepemimpinan Sukarno mulai digoyang. G30S PKI merupakan awal runtuhnya rezim Orde Lama yang dipimpin Presiden Sukarno. Setelah kekuasaan Sukarno benar-benar terkikis dan kepemimpinan negara mulai diambil-alih oleh Soeharto, segala hal yang berbau komunis menjadi terlarang. Penerapan NASAKOM pun berakhir, begitu pula dengan sistem Demokrasi Terpimpin.