Nilai-nilai sosial budaya apa sajakah yang perlu diteladani dari sejarah lokal atau tradisi lisan

Indonesia mempunyai sejarah sebagai bangsa yang disegani dan dikagumi oleh bangsa-bangsa lain di dunia. Nilai-nilai luhur rakyatnya dan kearifan lokal masyarakatnya mampu menyatukan keanekaragaman budaya, tradisi, dan adat-istiadat dalam ikatan kebersamaan yang saling menghormati dan menghargai. Nilai asli Indonesia terbukti mampu mengakomodir semua kepentingan kelompok menjadi perpaduan yang serasi dan harmonis. Nilai-nilai kearifan lokal yang dapat membawa Indonesia ke puncak kejayaan, di antaranya semangat gotongroyong, tolong-menolong, kemajemukan, dan budi pekerti. Nilai-nilai kearifan lokal merupakan sifat asli bangsa kita, namun telah diracuni dan dikaburkan oleh kekuatan asing. Budaya kebersamaan luntur oleh budaya pragmatis transaksional.

Seiring berjalannya era globalisasi pada seluruh tatanan kehidupan bangsa, mengharuskan negara Indonesia waspada terhadap hal-hal yang berdampak negatif. Dari sekian banyak dampak negatif, adalah adanya percampuran budaya yang berpengaruh terhadap gaya hidup, yaitu pandangan suatu masyarakat terhadap pola kehidupnnya. Pergeseran pola pandangan hidup, dapat memungkinkan bergesernya nilai-nilai  kehidupan  dari  yang  baik mengarah  ke  yang  buruk,  ataupun sebaliknya.

Pergeseran nilai-nilai kehidupan bangsa tidak terlepas dari bagaimana pemahaman generasi muda bangsa Indonesia terhadap Pancasila, yang oleh para pendiri bangsa disebut sebagai pandangan hidup bangsa (way of life). Pemahaman tentang arti penting Pancasila dalam membangun moralitas bangsa semakin hari semakin berkurang.   Padahal   jikalau   dilihat   dari sejarah  pembuatan  Pancasila,  Pancasila dibuat berdasarkan nilai-nilai luhur budaya bangsa, yang dalam hal ini adalah nilai-nilai kearifan lokal bangsa Indonesia. Oleh karena itu tidak seharusnya Pancasila dilupakan apalagi sampai ditinggalkan.

Istilah kearifan lokal muncul sebagai suatu pandangan hidup ketika orang memiliki pandangan terhadap arus besar. Arus besar yang dimaksud adalah pandangan-pandangan yang lahir dikarenakan oleh penciptaan global. Salah satu faktor penting terciptanya pandangan global adalah media informasi. Media informasi mampu membangun opini masyarakat dan dalam batas-batas tertentu opini tersebut dapat mebentuk pandangan masyarakat. Tertanamnya pandangan global pada individu-individu dapat berdampak pada tercabutnya nilai-nilai lokalitas yang dimilikinya. Bahkan dampak yang negatif dapat menimbulkan individu lebih megenal budaya – budaya global yang instan dibandingkan dengan budaya - budaya lokal yang memiliki karakter dan sarat dengan makna. Derasnya arus pandangan global ternyata menimbulkan persoalan. Modernisasi yang digembar gemborkan menimbulkan krisis kemanusiaan. Krisis yang muncul bisa pada diri manusia dan lingkungan sekitarnya.

Krisis kemanusiaan inilah melahirkan kejenuhan bahkan pada batas-batas tertentu melahirkan ketidakpercayaan terhadap ideologi global. Kejenuhan manusia terhadap ideologi global menyebabkan manusia mencoba untuk mencari keunikan-keunikan yang bersifat natural. Dalam konteks budaya, orang mulai kembali ke masa lalu. Orang mulai mencari nilai-nilai lokalitas yang bermakna dan original. Nilai-nilai lokal inilah yang kemudian disebut dengan kearifan lokal. Kearifan lokal sebagai suatu pandangan hidup, dapat muncul sebagai suatu resistensi terhadap ideologi global. Individu atau masyarakat mencoba mencari kembali identitas dirinya sendiri. Sehingga orang sudah banyak mencari icon-icon kelokalan.

Dalam persfektif sejarah, upaya mencari kearifan lokal merupakan bagian dari kesadaran sejarah. Sebab, kearifan lokal terbentuk suatu kurun waktu yang cukup lama. Pengakuan terhadap eksistensi kearifan lokal biasanya dilakukan melalui pelacakan terhadap bagaimana proses terbentuknya kearifan lokal tersebut. Pembelajaran sejarah yang pada umunya terjadi di lapangan mengajarkan materi yang jauh dari realitas kehidupan peserta didik. Peserta didik dihadapkan pada serentetan catatan fakta yang terjadi di masa lampau yang membentuk sebuah cerita.

Bagi saya sebagai seorang guru sejarah, Kemampuan berimajinasi dan retorika penyampaian yang menarik harus dimiliki oleh seorang guru sejarah. Apabila hal itu tidak bisa diaksanakan, maka akan berakibat pembelajaran sejarah menjadi tidak menarik. Ada kesan seolah-olah sumber sejarah bukanlah kenyataan yang bisa dirasakan atau diamati dari lingkungan sekitar. Hal ini terjadi dikarenakan materi terlalu tertumpu pada uraian yang disampaikan oleh buku teks yang dipakai guru. Salah satu cara mendekatkan siswa pada materi sejarah adalah dengan menggunakan sumber-sumber lokal yang berasal dari lingkungan sekitar. Sumber-sumber tersebut tidak hanya diajarkan sebatas pengetahuan belaka, akan tetapi diharapkan mampu menanamkan aspek afektif dalam diri peserta didik. 

Pendidikan melalui sekolah-sekolah kita selama ini lebih banyak berorientasi pada hasil tingginya nilai hasil belajar /prestasi. Kearifan lokal yang terdapat dalam sejarah lokal tidak sempat diperkenalkan kepada mereka melalui pendidikan formal maupun non formal. Perkenalan dengan sejarah lokal sering terjadi secara kebetulan atau usaha pribadi atau kelompok kecil tertentu saja. Tidak ada usaha berencana serta terus menerus agar anak-anak didik kita sejak kecil mengenal peninggalan sejarahnya yang sarat dengan nilai-nilai luhur.

Kurikulum merupakan salah satu alat untuk menciptakan sosok manusia yang mempunyai kecakapan hidup pada masa kini dan masa mendatang. Kecakapan ini tentunya bukan hanya penguasaan materi pelajaran, tetapi juga kecakapan dalam sikap dan keterampilan. Pengembangan dan penyempurnaan kurikulum dilakukan oleh pemerintah untuk peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia, seperti yang diharapkan dalam tujuan pendidikan nasional yang tertuang dalam Undang-undang nomor 20 tahun 2003. Pemerintah telah mengembangkan kurikulum dan sampai akhirnya menyempurnakan kurikulum 2013, tentunya dengan harapan bahwa peserta didik akan menadi manusia yang bermartabat sesuai dengan tujuan pendidikan nasional.

Seiring dengan implementasi kurikulum 2013, saya mulai berfikir untuk mulai mengimplementasikan sejarah lokal dalam pembelajaran sejarah di sekolah dan di ruang-ruang kelas. saya cukup antusias terhadap implementasi sejarah lokal. Sebagai langkah praktis, saya dengan beberapa kawan guru pernah menginisiasi kegiatan mengunjungi situs-situs sejarah lokal bersama peserta didik, yang ada di wilayah kami khususnya wilayah Pulau Belitong, baik yang berada di Belitung maupun Belitung Timur. Dan hal ini, sejak beberapa tahun belakangan dan sampai dengan detik ini menjadi agenda rutin yang kami laksanakan setiap tahunnya.

Sebagai guru sejarah, saya memandang bahwa pendekatan yang tepat untuk mengolaborasikan antara sejarah lokal dengan kurikulum adalah dengan pendekatan interdisipliner. Hal ini, didasarkan pada permasalahan yang ada dalam kehidupan sehari-hari ternyata tidak mungkin ditinjau dari satu segi saja. Setiap gejala social akan saling berkaitan satu dengan yang lainnya, baik dari segi sosial, politik, ekonomi, budaya dan sebagainya. Jenis pendekatan interdisipliner yang sesuai dengan sejarah lokal di pulau Bangka Belitong adalah pendekatan daerah yang merupakan wilayah kerajaan Balok pada masa lampau yang dapat dipelajari aspek biografi, adat istiadat, seni dan aspek lainnya. Keterlibatan peserta didik dengan lingkungan sekitar membantu peserta didik untuk memahami materi dan makna yang terkandung didalamnya.

Situs-situs lokal memiliki potensi untuk membantu peserta didik dan guru yang menawarkan banyak peluang untuk terlibat dengan arti penting sejarah dan untuk mengmbangkan alat intelektual agar lebih memahami bagaimana hubungan masa lalu dan masa kini. Kesadaran sejarah merupakan hal yang penting untuk menemukan kembali identitas bangsa. Sekolah adalah sarana yang tepat untuk membangkitkan kesadaran sejarah karena dalam pembelajaran yang diadakan di sekolah lebih terstruktur. Untuk itu pembinaan identitas kepribadian serta jati diri bangsa harus bersumber pada kesadaran sejarah sebagai bangsa, ialah memahami bangsnya sendiri. Pembinaan kesadaran sejarah bermakna pula bagi pemberdayaan bangsa. Suatu kesalahan yang terbesar adalah tidak mau belajar dari sejarah. Wawasan sejarah lokal yang ada Pulau Belitong dan tradisinya dapat dijadikan muatan lokal sebagai pondasi pembinaan karakter peserta didik. Selain itu, kesadaran sejarah yang masih rendah juga ditengarai dapat mengancam keberagaman yang menjadi keniscayaan sejarah bangsa Indonesia. Salah satu cara yang dapat dilakukan yaitu dengan melaksanakan pembelajaran sejarah berbasis nilai-nilai pancasila.

Peluang implementasi sejarah lokal dalam kurikulum 2013 dapat melalui integrasi kurikulum 2013. Caranya dengan melakukan penyisipan indikator dan materi sejarah Indonesia dan atau sejarah (peminatan). Pengintegrasian dilakukan dengan dua jalan. Pertama, mendesain pembelajaran dengan penekanan pada penentuan indikator pencapaian kompetensi yang mengacu pada kompetensi dasar dan materi yang selaras dengan karakteristik pembelajaran sejarah lokal yang akan dipelajari. Kedua, mempersiapkan bahan ajar dan media pembelajaran terkait.

Selain mengimplementasikan sejarah lokal di dalam pembelajaran sejarah, kita sebagai guru sejarah sejarah juga diharapkan mengintegrasikan nilai-nilai pancasila didalam pembelajaran sejarah. Dalam hal ini, pembelajaran sejarah tidak hanya berpusat pada transfer of knowledge namun juga transfer of value. Pembelajaran sejarah bukan hanya mengedepankan aspek kognitif saja namun harus menanamkan nilai-nilai yang berguna bagi generasi masa kini. Menurut Sartono Kartodirdjo dalam Supardi (2006:129) bahwa maksud pembelajaran sejarah adalah agar generasi muda yang berikut dapat mengambil hikmah dan pelajaran dari pengalaman nenek moyangnya.

Fungsi pembelajaran sejarah adalah menyadarkan siswa akan adanya proses perubahan dan perkembangan masyarakat dalam dimensi waktu dan untuk membangun pesfektif serta kesadaran sejarah dalam menemukan, memahami, dan menjelaskan jati diri bangsa di masa lalu, masa kini, dan masa depan. Selain itu, pembelajaran sejarah sangat berperan untuk memberi pembinaan pada warga masyarakat sehingga sejarah dapat membentuk suatu good citizenship. Sejarah dapat berfungsi sebagai alat penumbuh kesetiaan warga negaranya atau dengan kata lain dapat menumbuhkan rasa nasionalisme.

Pembelajaran sejarah berbasis nilai-nilai pancasila merupakan salah satu tawaran terhadap berbagai persoalan  yang ada dewasa ini. Pembelajaran sejarah bebrasis nilai-nilai Pancasila harus mampu menanamkan nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, serta keadilan kepada peserta didik. Guru harus mampu mendorong siswa untuk menginternalisasi nilai-nilai yang relevan dengan pancasila berdasarkan materi sejarah.

Nilai-nilai sosial budaya apa sajakah yang perlu diteladani dari sejarah lokal atau tradisi lisan

Oleh: EMYTA SARTIKA, S.Pd

(Guru Sejarah SMAN 1 Manggar)

(Artikel ini telah terbit di harian Pos Belitung Pada Kamis 18 Maret 2021)

(Admin, HR)