Apa saja faktor-faktor sosial budaya yang menimbulkan kebutuhan akan bimbingan dan konseling?

Academia.edu no longer supports Internet Explorer.

To browse Academia.edu and the wider internet faster and more securely, please take a few seconds to upgrade your browser.

BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Berbicara budaya adalah berbicara pada ranah sosial dan sekaligus ranah individual. Pada ranah sosial karena budaya lahir ketika manusia bertemu dengan manusia lainnya dan membangun kehidupan bersama yang lebih dari sekedar pertemuan-pertemuan insidental. Dari kehidupan bersama tersebut diadakanlah aturan-aturan, nilai-nilai kebiasaan-kebiasaan hingga kadang sampai pada kepercayaan-kepercayaan transedental yang semuanya berpengaruh sekaligus menjadi kerangka perilaku dari individu-individu yang masuk dalam kehidupan bersama. Semua tata nilai, perilaku, dan kepercayaan yang dimiliki sekelompok individu itulah yang disebut budaya.

Pada ranah individual adalah budaya diawali ketika individu-individu bertemu untuk membangun kehidupan bersama dimana individu-individu tersebut memiliki keunikan masing-masing dan saling memberi pengaruh. Ketika budaya sudah terbentuk, setiap individu merupakan agen-agen budaya yang memberi keunikan, membawa perubahan, sekaligus penyebar. Individu-individu membawa budayanya pada setiap tempat dan situasi kehidupannya sekaligus mengamati dan belajar budaya lain dari individu-individu lain yang berinteraksi dengannya. Dari sini terlihat bahwa budaya sangat mempengaruhi perilaku individu.

Budaya telah menjadi perluasan topik ilmu psikologi di mana mekanisme berpikir dan bertindak pada suatu masyarakat kemudian dipelajari dan diperbandingkan terhadap masyarakat lainnya. Psikologi budaya mencoba mempelajari bagaimana faktor budaya dan etnis mempengaruhi perilaku manusia. Di dalam kajiannya, terdapat pula paparan mengenai kepribadian individu yang dipandang sebagai hasil bentukan sistem sosial yang di dalamnya tercakup budaya. Adapun kajian lintas budaya merupakan pendekatan yang digunakan oleh ilmuan sosial dalam mengevaluasi budaya-budaya yang berbeda dalam dimensi tertentu dari kebudayaan.

Dalam memberikan layanan bimbingan dan konseling di sekolah ada beberapa prinsip yang perlu kita perhatikan. Prinsip-prinsip tersebut menjadi pedoman dalam pelaksanaan bimbingan dan konseling. Apabila bimbingan dan konseling dilaksanakan tidak sesuai dengan prinsip-prinsip tersebut berarti bukan merupakan bimbingan dan konseling dalam arti yang sebenarnya. Bimbingan dan konseling mrupakan layanan kemanusiaan. Pelaksanaannya selain harus berlandaskan pada prinsip-prinsip dan asas-asas tertentu juga harus mengacu pada kepada landasan bimbingan dan konseling itu sendiri.

Landasan dalam bimbingan dan konseling pada hakekatnya merupakan faktor-faktor yang harus diperhatikan dan dipertimbangkan khususnya oleh konselor selaku pelaksana utama dalam mengembangkan layanan bimbingan dan konseling. Ibarat sebuah bangunan, untuk dapat berdiri tegak dan kokoh tentu membutuhkan fondasi yang kuat dan tahan lama. Apabila bangunan tersebut tidak memiliki fondasi yang kokoh, maka bangunan itu akan mudah goyah atau bahkan ambruk. Demikian pula, dengan layanan bimbingan dan konseling, apabila tidak didasari oleh fondasi atau landasan yang kokoh akan mengakibatkan kehancuran terhadap layanan bimbingan dan konseling dan yang menjadi taruhannya adalah individu yang dilayaninya (konseli).

BAB II

PEMBAHASAN

A.    Landasan Sosial Budaya Bimbingan dan Konseling

Landasan sosial-budaya merupakan landasan yang dapat memberikan pemahaman kepada konselor tentang dimensi kesosialan dan dimensi kebudayaan sebagai faktor yang mempengaruhi terhadap perilaku individu. Seorang individu pada dasarnya merupakan produk lingkungan sosial-budaya dimana ia hidup. Sejak lahirnya, ia sudah dididik dan dibelajarkan untuk mengembangkan pola-pola perilaku sejalan dengan tuntutan sosial-budaya yang ada di sekitarnya. Kegagalan dalam memenuhi tuntutan sosial-budaya dapat mengakibatkan tersingkir dari lingkungannya.

Lingkungan sosial-budaya yang melatarbelakangi dan melingkupi individu berbeda-beda sehingga menyebabkan perbedaan pula dalam proses pembentukan perilaku dan kepribadian individu yang bersangkutan. Apabila perbedaan dalam sosial-budaya ini tidak “dijembatani”, maka tidak mustahil akan timbul konflik internal maupun eksternal, yang pada akhirnya dapat menghambat terhadap proses perkembangan pribadi dan perilaku individu yang besangkutan dalam kehidupan pribadi maupun sosialnya.

1.      Individu sebagai Produk lingkungan Sosial Budaya

Manusia hidup berpuak-puak, bersuku-suku, dan berbangsa-bangsa. Masing-masing suku dan bangsa itu memiliki lingkungan budayanya sendiri yang berbeda dengan lainnya. Perbedaan itu ada yang amat besar, cukup besar, ada yang tidak begitu besar, ada yang agak kecil, dan ada yang cukup halus. Organisasi sosial, lembaga-lembaga keagamaan, kemasyarakatan, pendidikan, keluarga, politik, dan masyarakat secara menyeluruh memberikan pengaruh yang kuat terhadap sikap, kesempatan, dan pola hidup warganya. Unsur-unsur budaya yang dibawakan oleh organisasi dan lembaga-lembaga tersebut mempengaruhi apa yang dilakukan dan dipikirkan oleh individu, tingkat pendidikan yang ingin dicapainya, tujuan dan jenis-jenis pekerjaan yang dipilihnya, rekreasinya, dan kelompok-kelompok yang dimasukinya. Dengan segala tuntutan dan pengaruh dari lingkungan sosial budaya itu terjadilah hubungan timbal balik antara individu dan lingkungannya.

2.      Bimbingan dan Konseling Antarbudaya

Dalam proses konseling akan terjadi komunikasi interpersonal antara konselor dengan klien, yang mungkin antara konselor dan klien memiliki latar belakang sosial dan budaya yang berbeda. Komunikasi dan penyesuaian diri antar individu yang berasal dari latar belakang budaya yang sama cenderung lebih mudah daripada antar mereka yang berasal dari latar budaya yang berbeda. Ada lima macam hambatan yang mungkin timbul dalam komunikasi dan penyesuaian diri antar budaya, yaitu perbedaan bahasa, komunikasi non verbal, stereotif, kecenderungan menilai, dan kecemasan.

Ketiadaan penguasaan bahasa asing yang dipakai oleh pihak-pihak yang berkomunikasi menyebabkan komunikasi dapat terhenti, atau tersendat-sendat yang mengakibatkan terjadinya kekurangpengertian dan kesalahpahaman. Pesan-pesan yang disampaikan melalui isyarat, atau bahasa non-verbal lainnya tidak banyak menolong, bahkan sering isyarat yang sama dalam bahasa non-verbal itu memiliki arti yang berbeda-beda atau bahkan bertentangan dalam budaya yang berbeda. Persepsi atau pandangan stereotif cenderung menyamaratakan sifat-sifat individu atau golongan tertentu berdasarkan prasangka subjektif, dan biasanya tidak tepat. Stereotif menyebabkan seseorang memandang orang lain menurut kemauan orang yang memandangnya itu berdasarkan anggapan-anggapan yang sudah tertanam pada dirinya, dan orang tersebut biasanya tidak mau menerima kenyataan-kenyataan yang berbeda dari anggapannya itu. Penilaian terhadap orang lain memang sering dilakukan oleh individu-individu yang berkomunikasi. Kecenderungan menilai ini baik yang menghasilkan penilaian positif maupun negatif, seringkali didasarkan pada standar objektif, dan sering pula merangsang timbulnya reaksi-reaksi baik positif maupun negatif dari pihak yang dinilai. Sumber hambatan komunikasi dan penyesuaian yang lain ialah kecemasan yang ada pada pihak-pihak yang berinteraksi dalam suasana antar budaya. Kecemasan ini muncul ketika seorang individu harus memasuki atau bertugas dengan budaya lain yang unsur-unsurnya dirasakan asing. Kecemasan yang berlebihan dalam kaitannya dengan suasana antar budaya itu dapat menuju kesuasana / culture shock yang menyebabkan orang yang bersangkutan menjadi tidak tahu sama sekali apa, dimana, dan kapan berbuat sesuatu.

Karena inti proses pelayanan bimbingan konseling adalah komunikasi antara klien dan konselor, maka proses pelayanan bimbingan dan konseling yang bersifat antar budaya berasal dari sumber-sumber hambatan komunikasi seperti tersebut. Perbedaan dalam latar belakang ras atau etnik, kelas sosial ekonomi dan pola bahasa menimbulkan masalah dalam hubungan konseling, dari awal pengembangan hubungan yang akrab dan saling mempercayai antara klien dan konselor, penstrukturan suasana konseling, sampai peniadaan sikap menolak dari klien.

Lebih jauh aspek-aspek budaya tidak hanya mempengaruhi proses konseling saja, tetapi lebih luas lagi, yaitu tujuannya, prosesnya, sasarannya, dan bahkan alasan penyelenggaraan konseling itu sendiri. Lingkungan sosial budaya yang kaku, otoriter dan mengekang kebebasan perkembangan individu misalnya, tidak memberikan temapt bagi konseling yang berlandaskan pada kebebasan dan kemerdekaan. Pengaruh aspek-aspek budaya itu akan lebih terasa lagi apabila dikaitkan dengan kemampuan konselor. Menurut Sue dkk, Konselor yang diharapkan akan berhasil dalam menyelenggarakan konseling antar budaya adalah mereka yang telah mengembangkan tiga dimensi kemampuan, yaitu dimensi keyakinan dan sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang sesuai dengan klien antar budaya yang akan dilayani. Konselor yang terkukung atas budayanya sendiri, tidak selayaknya menangani klien-klien antar budaya. Dalam kaitannya itu, secara tegas dikatakan bahwa pelayanan terhadap klien-klien yang berlatar belakang budaya berbeda oleh konselor yang tidak memiliki pemahaman dan kemampuan melayani secara khusus klien antar budaya itu dianggap tidak etis.

Tuntutan tentang kompetensi konselor antar budaya diatas membawa implikasi terhadap pribadi-pribadi konselor serta sekaligus lembaga pendidikan dan latihan bagi konselor. Kurikulum dan program pendidikan serta latihan teori dan praktek perlu mencakup pengkajian dan kegiatan praktek lapangan berkenaan dengan aspek-aspek sosial budaya klien yang berbeda-beda. Untuk itu hasil-hasil penelitian sangan diperlukan agar para calon konselor dan para pendidik konselor yakin tentang berbagai unsur konseling antar budaya. Untuk membimbing penelitian dan mengarahkan perhatian mereka kepada berbagai aspek konseling antar budaya itu, Pedersen dkk, mengemukakan sejumlah hipotesis, yaitu :

a.       Makin besar kesamaan harapan tentang tujuan konseling antar budaya yang apada diri klien dan konselornya, maka dimungkinkan konseling itu akan berhasil.

b.      Makin besar kesamaan pemahaman tentang ketergantungan, komunikasi terbuka, dan berbagai aspek hubungan konseling lainnya pada diri klien dan konselornya, maka makin besar kemungkinan konseling itu akan berhasil.

c.       Makin besar kemungkinan penyederhanaan harapn yang ingin dicapai oleh klien menjadi tujuan-tujuan operasional yang bersifat tingkah laku maka makin efektiflah konseling dengan klien tersebut.

d.      Makin bersifat personal dan penuh dengan suasana emosional suasana konseling antar budaya, makin mungkinlah klien menanggapi pembicaraan dalam konseling dengan bahasanya, dan makin mungkinlah konselor memahami sosialisasi klien dalam budayanya.

e.       Keefektifan konseling antar budaya tergantung pada kesensitifan konselor terhadap proses komunikasi pada umumnya, dan terhadap gaya komunikasi dalam budaya klien.

f.       Latar belakang dan latihan khusus, serta latar belakang terhadap permasalahan hidup seharihari yang relefan dengan budaya tertentu, akan meningkatkan keefektifan konseling dengan klien yang berasal dari latar belakang budaya tersebut.

g.      Makin klien kurang memahami proses konseling antar budaya, makin perlu konselor memberikan pengarahan kepada klien itu tentang keterampilan berkomunikasi, pengambilan keputusan, dan transfer (mempergunakan keterampilann tertentu pada situasi-situasi yang berbeda).

h.      Keefektifan konseling antar budaya akan meningkat sesuai dengan pemahaman tentang nilai-nilai dan kerangka budaya asli klien dalam hubungannya dalam budaya yang sekarang dan yang akan datang yang akan dimasuki klien.

i.        Konseling antar budaya akan meningkat keefektifannya dengan adanya pengetahuan dan dimanfaatkannya kelompok-kelompok antar budaya yang berpandangan amat menentukan terhadap klien.

j.        Keefektifan konseling antar budaya akan bertambah dengan meningkatnya kesadaran konselor tentang proses adaptasi terhadap kecemasan dan kebingungan yang dihadapi oleh individu yang berpindah dari budaya yang satu kebudaya yang lainnya, dan dengan pemahaman konselor tentang berbagai keterampilan yang diperlukan bagi klien untuk memasuki budaya yang baru.

k.      Meskipun konseling antar budaya yang efektif memerlukan pertimbangan tentang kehidupan sekarang dan kemungkinan tugas-tugas yang akan datang yang perlu ditempuh, namun fokus yang paling utama adalah hal-hal yang amat dipentingkan oleh klien.

l.        Model konseling yang khususnya dirancang untuk pola budaya tertentu akan efektif digunakan terhadap klien-klien yang berasal dari budaya tersebut daripada budaya lainnya.

m.    Konseling antar budaya akan efektif apabila konselor memperlihatkan perhatian kepada kliennya sebagai seorang individu yang spesial.

Kebutuhan akan konseling antar budaya di Indonesia makin terasa, mengingat penduduk indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa yang memiliki beranekaragam corak budaya yang berbeda-beda. Para konselor yang berada di Indonesia dihadapkan pada kenyataan adanya keanekaragaman budaya yang menguasai kehidupan para pendukungnya. Kebinekaaan budaya yang berkembang sebagai perwujudan adaptasi aktif pendduduk terhadap lingkungannya maupun karena perbedaan pengalaman dalam lintasan sejarah, tidak dapat diabaikan pengaruhnya terhadap penyelenggaraan bimbingan dan konseling ditanah air. Dalam kenyataannya, disamping masyarakat yang telah mengembangkan struktur kehidupan masyarakat yang kompleks, masih banyak masyarkat Indonesia yang hidup dalam kelompok-kelompok sosial yang terbentuk atas dasar hubungan kerabat. Begitupula, sebagaimana telah disinggung terdahulu, disamping adanya sub budaya yang telah mengembangkan teknologi yang memperkecil penggunaan tenaga kerja hewan dan memperbesar kemanfaatan tenaga mesin-mesin listrik, tenaga surya, dan bahkan nuklir, dewasa ini masih ada sub kultur di Indonesia yang berkembang atas dasar teknologi sederhana.

Karakteristik sosial budaya masyarakat yang majemuk itu tidak dapat diabaikan dalam perencanaan dan penyelenggaraan bimbingan dan konseliing. Pelayanan bimbingan dan konseling yang bertujuan mengembangkan kemampuan dan meningkatkan mutu kehidupan serta masrtabat manusia Indonesia harus berakar pada budaya bangsa indonesia sendiri. Hal ini berarti bahwa penyelenggaraan bimbingan dan konseling harus dilandasi dan mempertimbangkan keanekaragam sosial budaya yang hidup dalam masyarakat, disamping kesadaran akan dinamika sosial budaya itu menuju masyarakat yang lebih maju.

Klien-klien dari latar belakang sosial budaya yang berbineka itu tidak dapat disamaratakan penanganannya. Meskipun bangsa indonesia ini menuju pada satu budaya kesatuan indonesia, namun akar budaya asli yang sekarang masih hidup dan besar pengaruhnya terhadap masyarakat budaya asli itu patut dikenali, dihargai, dan dijadikan pertimbangan utama dalam pelayanan bimbingan dan konseling. Hal itu semua menjadi tanggung jawab konselor dan lembaga pendidikan konselor diseluruh tanah air.

3.  Faktor-Faktor Sosial Budaya yang Menimbulkan Kebutuhan akan Bimbingan

Kebutuhan akan bimbingan timbil karena adanya masalah-masalah yang dihadapi oleh individu yang terlibat dalam kehidupan masyarakat. Semakin rumit struktur masyarakat dan keadaannya  semakin banyak dan rumit pulalah masalah yang dihadapi oleh individu yang terdapat dalam masyarakat itu.

Jadi kebutuhan akan bimbingan  timbul karena terdapat factor yang menambah rumitnya keadaan masyarakat dimana individu itu hidup. Faktor-faktor itu diantaranya sebagai berikut.

a.       Perubahan Konstelasi Keluarga

Ketidakberfungsian keluarga yang melahirkan dampak negatif bagi perkembangan moralitas anak. Perubahan pola kerja keluarga, renggangnya hubungan orang tua dengan anak, kurangnya perhatian dan kesempatan untuk membimbing anak, serta berbagai stres konflik dan frustasi para orang tua maupun anak. Bagi keluarga yang mengalami disfungsional tersebut sering kali dihadapkan kepada kebuntuan dan kesulitan mencari jalan keluar atau pemecahan masalah yang dihadapinya, sehingga apabila tidak segera mendapat bantuan dari luar, maka masalah yang dihadapinya semakin parah.

b.      Perkembangan Pendidikan

Demokrasi dalam bidang kenegaraan menyebabkan demokratisasi dalam bidang kehidupan, termasuk bidang pendidikan. Hal ini berarti pemberian kesempatan kepada setiap orang untuk menikmati pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah ataupun oleh badan swasta. Kesempatan terbuka ini menyebabkan berkumpulnya murid-murid dari berbagia kalangan yang berbeda-beda latar belakangnya antara lain: agama, etnis, keadaan social, adat istiadat, dan ekonomi. Hal ini sering menimbulkan terjadinya kelompok-kelompok kecil yang berusaha memisahkan diri dari kelompok besar dimana mereka berada. Dan hal ini menambah meruncingnya pertentanagan-petentangan yang memerlukan pemecahan yang sungguh-sungguh. Pemecahan ini dapat diperoleh dengan melaksanakan bimbingan bagi anggota kelompok yang bersangkutan.

c.       Dunia Kerja

Dewasa ini masalah karir telah menjadi komponen layanan bimbingan yang lebih penting dibandingkan pada masa sebelumnya. Fenomena ini disebabkan oleh adanya berbagai perubahan dalam dunia kerja. Untuk itu perlu dipersiapkan tenaga-tenaga yang terampil dan memiliki sikap mental yang tangguh dalam bekerja. Bimbingan dan konseling dibutuhkan untuk membantu menyiapkan mental para pekerja yang tangguh itu.

d.      Perkembangan Kota Metropolitan

Perkembangan masyarakat telah mengubah pola kehidupan masyarakat terutama di kota-kota besar yang tahap perkembangannya lebih tinggi dan sangat cepat, pola kehidupan telah banyak berubah. Kehidupan kolektif menjadi semakin tipis, telah berubah menjadi kehidupan yang lebih bersifat individualistic, hubungan antar warga semakin renggang, sibuk dengan urusan masing-masing. Perhatian dan penghargaan hal-hal yang bersifat material atau kebendaan menjadi semakin besar. Oleh karena itu, nilai=nilai kebendaan semakin menonjol dan semakin menjadi ukuran.

e.       Perkembangan Komunikasi

Dampak media massa terutama televisi terhadap kehidupan manusia sangatlah besar pengaruhnya. Banyak tontonan yang tidak seharusnya di lihat oleh anak-anak dan kurangnya pengawasan orang tua mengakibatkan anak-anak menjadi mudah terpengaruh terhadap tayangan acara televise.

f.       Seksisme dan Rasisme

Seksisme merupakan paham yang mengunggulkan salah satu jenis kelamin dari jenis kelamin lainnya. Sedangkan rasisme paham yang mengunggulkan ras yang satu dari ras lainnya. Fenomena ini seperti nampak dari sikap para orang tua yang masih memegang budaya tradisional dalam pemilihan karir bagi anak wanita, yaitu membatasi atau tidak memberikan kebebasan kepada anak wanita untuk memilih sendiri karir yang diminatinya

g.      Kesehatan Mental

Semakin maraknya masalah kesehatan mental seperti gangguan jiwa, banyak orang yang melakukan percobaan bunuh diri, banyak remaja yang melakukan kriminalitas dan lain sebagainya. Menyikapi masalah tersebut maka sekolah, lembaga pendidikan lainnya dituntut untuk menyelenggarakan program layanan bimbingan dan konseling dalam upaya mengembangkan mental yang sehat, dan mencegah serta menyembuhkan mental yang tidak sehat.

h.      Perkembangan Teknologi

Dengan perkembangan teknologi yang pesat maka timbul beberapa masalah seperti penggantian tenaga manusia dengan alat-alat mekanis-elektronik dan bertambahnya jenis pekerjaanbaru dan jabatan yang memerlukan keahlian khusus. Hal ini menimbulkan kebutuhan pada masyarakat untuk meminta bantuan kepada orang lain atau badan yang berwenang untuk memecahkannya.

i.        Kondisi Moral dan Keagamaan

Kebebasan untuk menganut agama sesuai dengan keyakinan masing-masing individu menyebabkan seorang individu berfikir dan menilai setiap agama yang dianutnya . Kadang-kadang menilainya berdasarkan nilai-nilai moral umum yang dianggapnya paling baik. Hal semacam ini kadang-kadang menimbulkan keraguan akan kepercayaan yang telah diwarisinya dari orang tua mereka.

j.        Kondisi Sosial Ekonomi

Perbedaan yang besar dalam factor ekonomi diantara anggota kelompok campuran, menimbulkan masalah yang berat. Masalah ini terutama sangat dirasakan oleh individu yang berasal dari golongan ekonomi lemah, tidak mampu, atau golongan “rendahan”. Dikalangan mereka, terutama anak-anak yang berasal dari social ekonomi lemah, tidak mustahil timbul kecemburuan social, perasaan rendah diri, atau perasaan tidak nyaman untuk bergaul dengan anak-anak dari kelompok orang-orang kaya. Untuk menanggulangi masalah ini dengan sendirinya  memerlukan adanya bimbingan, baik terhadap mereka yang datng dari golongan yang kurang mampu ataupun mereka dari golongan sebaliknya. 

BAB III

PENUTUP

A.    Kesimpulan

Karakteristik sosial budaya masyarakat yang majemuk tidak dapat diabaikan dalam perencanaan dan penyelenggaraan bimbingan dan konseling. Pelayanan bimbingan dan konseling yang bertujuan mengembangkan kemampuan dan meningkatkan mutu kehidupan serta martabat manusia terutama di Indonesia karea kita sebagai warga Negara Indonesia harus berakar pada budaya bangsa sendiri. Hal ini berarti bahwa penyelenggaraan bimbingan dan konseling harus dilandasi oleh dan mempertimbangkan keanekaragaman sosial budaya yang hidup dalam masyarakat, di samping kesadaran akan dinamika sosial budaya itu menuju masyarakat yang lebih maju.

Landasan sosial-budaya merupakan landasan yang dapat memberikan pemahaman kepada konselor tentang dimensi kesosialan dan dimensi kebudayaan sebagai faktor yang mempengaruhi terhadap perilaku individu. Seorang individu pada dasarnya merupakan produk lingkungan sosial-budaya dimana ia hidup.

Konseli-konseli yang berasal dari latar belakang sosial budaya yang berbhieneka itu tidak dapat disamaratakan penaganannya. Akar budaya asli yang sekarang masih hidup dan besar pengaruhya terhadap masyarakat budaya asli itu patut dikenali, dihargai, dan dijadikan pertimbangan utama dalam pelayanan bimbingan dan konseling. Hal itu semua menjadi tanggung jawab para konselor dan lembaga pendidikan konselor di seluruh tanah air.

DAFTAR PUSTAKA

Syamsu Yusuf & A. Juntika Nurishan. Landasan Bimbingan dan Konseling. Bandung: Remaja Rosdakarya. 2011.

Prayitno & Erman Amti. Dasar-dasar Bimbingan dan Konseling. Jakarta: Rineka Cipta. 2009.

Nana Syaodih Sukmadinata, Bimbingan & Konseling dalam Praktek (Mengembangkan Potensi dan kepribadian Siswa), (Bandung: Maestro, 2007)


Prayitno & Erman Amti, Dasar-dasar Bimbingan dan Konseling, Jakarta: Rineka Cipta, 2009), h. 170.