Keraton merupakan salah satu peninggalan Islam di Indonesia yang berfungsi sebagai tempat

Keraton merupakan tempat kediaman raja atau sultan, sekaligus pusat pemerintahan sebuah kerajaan. Di ibu kota kerajaan-kerajaan Islam di Pulau Jawa, penempatan keraton selalu di sebelah Selatan alun-alun kota, menghadap ke arah Utara. Keraton-keraton tersebut biasanya terbagi menjadi tiga bagian, dan bagian terdalam dipakai untuk bangunan utama keraton.

Konsep keraton masa Islam di Jawa sebenarnya erat kaitannya dengan kebudayaan peninggalan Hindu Budha yang menganggap keraton sebagai tempat dewa-raja tinggal. Di Indonesia, dan beberapa daerah di Asia Tenggara masih menganut konsep dewa-raja tersebut, meskipun sebenarnya di dalam Islam tidak dikenal konsep tersebut tetapi hal itu sudah menjadi bagian dari kebudayaan setempat.

Sama seperti di Pulau Jawa, menurut berita asing istana di kerajaan Aceh Darussalam terbagi menjadi tiga bagian bangunan. Konsep tiga bagian tersebut dapat dikaitkan dengan pembagian kompleks percandian Hindu Budha, khususnya di Jawa Tengah dan Bali yang disebut jaba, jaba tengah, dan jero. Selain istana, penempatan makam beberapa Wali Sanga, seperti makam Sunan Kudus, dan makam Sunan Drajat, menggunakan konsep tersebut.

Halaman bagian pertama baik untuk keraton atau kompleks pemakaman umumnya diberi gerbang berbentuk candi yang terbelah dua dinamakan candi bentar. Pada halaman antara bagian kedua dan ketiga diberi sebuah gerbang yang atapnya tertutup, disebut kori agung. Di salah satu sisi halaman bagian pertama akan dibuat sitinggil, sebuah bangunan yang bidang tanahnya lebih tinggi dibanding tanah di sekitarnya. Sitinggil digunakan sebagai tempat raja dan anggota kerajaan menonton pertunjukan di alun-alun, atau sekedar berinteraksi dengan masyarakat.

Halam ketiga sebelum memasuki bangunan utama keraton, terdapat sebuah bangunan untuk penerimaan tamu yang disebut srimanganti. Setelah memasuki keraton terdapat pendopo yang digunakan raja dan pejabat pemerintahan untuk mengadakan rapat. Di dalam keraton terdapat bagian khusus untuk putri-putri kerajaan disebut keputren, sedangkan untuk putra-putra kerjaan disebut kaputran.

Bentuk atap untuk bangunan keraton biasanya berbentuk limasan, sedangkan untuk bangunan pendopo dan masjid bentuk atapnya joglo dengan tiang pendukunya berjumlah 4 buah dinamakan sakaguru.

Memasuki abad ke-16 setelah masuknya pengaruh Islam dan Eropa, keraton-keraton dibangun tidak hanya dengan bahan baku kayu, tetapi juga bata-bata sehingga terlihat lebih kokoh. Bangunan keraton yang sudah mendapat pengaruh Eropa, di antaranya Banten, Kasepuhan Cirebon, Aceh, Kuta Gede, Plered, Kartasura, dan lain sebagainya.

Keraton-keraton di Surakarta dan Yogyakarta dari abad ke-18 diapit oleh dua alun-alun, yaitu alun-alun utara dan alun-alun selatan. Kedua alun-alun tersebut memiliki fungsi yang berbeda. Bagian utara digunakan sebagai tempat pertemuan masyarakat, sedangkan alun-alun selatan digunakan sebagai tempat untuk upacara kematian, seperti kepercayaan agama Hindu mengenai Dewa Yama yang merupakan dewa kematian agama Hindu yang berada di selatan.

Sumber : Poesponegoro, Marwati Djoened, dan Nugroho Notosusanto. 2010. Sejarah Nasional Indonesia III. Jakarta : Balai Pustaka.

Keraton merupakan tempat kediaman raja yang memiliki beberapa bangunan di dalamnya. Fungsi utama keraton adalah sebagai tempat tinggal sultan dan tempat melaksanakan tugasnya sebagai pemimpin  kegiatan politik dan sosial budaya.

Terdapat tiga keraton di Kota Cirebon yang kondisinya masih utuh, yaitu Keraton Kasepuhan, Keraton Kanoman, dan Keraton Kacirebonan. Dari rentetan silsilahnya, ketiga keraton tersebut masih satu keturunan dari Sunan Gunung Jati.

Untuk Keraton Kanoman, letaknya di wilayah Kelurahan Lemahwungkuk, Kecamatan Lemahwungkuk, Kota Cirebon, Jawa Barat. Untuk mencapai ke sana, pengunjung dapat menempuh waktu sekitar 25 menit dengan naik becak atau sekitar 10 menit dengan kendaraan roda empat dari Terminal Harjamukti ke arah timur laut dan sekitar 10 menit dengan roda empat dari Stasiun Kereta Api Kejaksan.

Sejarah Keraton Kanoman

Pada awal abad ke-15, sebelum menjadi Keraton Kanoman, daerah ini hanya sebuah pemukiman kecil bernama Tegal Alang-alang. Kemudian Pangeran Walangsungsang yang dikenal juga sebagai Pangeran Cakrabuana, berhasil mengembangkan dan menguasai daerah tersebut serta mendapatkan pengakuan dari ayahnya, Prabu Siliwangi, untuk menjadi pemimpin.

Pada 1479, Pangeran Walangsungsang menobatkan Syarif Hidayatullah, yaitu anak dari adik perempuannya, Nhay Rarasantang, sebagai tumenggung yaitu gelar bagi kepala daerah. Penobatan tersebut tersiar hingga Kesultanan Demak sehingga Syarif Hidayatullah diberi gelar oleh para wali di Demak sebagai Panetep Panatagama di Tanah Sunda dengan nama Sunan Gunung Jati.

Selama memimpin Cirebon, Sunan Gunung Jati meningkatkan pembangunan Kesultanan Cirebon dengan menjalankan program-program pemerintahan. Ia mendapat gagasan untuk membangun masjid kemudian mengirimkan utusan untuk meminta tanggapan kepada Sultan Demak dan para wali terhadap gagasan tersebut.

Keinginan Sunan Gunung Jati mendapat respons positif dari Raden Fatah dan para wali. Mereka mengirim arsitek terbaik dari Majapahit bernama Raden Sepat yang dibantu oleh Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga. Setelah pembangunan selesai, masjid tersebut diberi nama Masjid Agung Sang Cipta Rasa.

Sunan Gunung Jati wafat pada 1568, posisinya digantikan oleh putranya yaitu Panembahan Ratu. Dalam pemerintahannya, Panembahan Ratu adalah seorang yang cinta perdamaian, ia menjalin hubungan baik dengan para pimpinan kerajaan yang mempunyai misi dalam penyebaran agama Islam, termasuk menjalin persahabatan dengan Kerajaan Mataram di bawah kekuasaan Sultan Agung.

Panembahan Ratu kemudian wafat dan digantikan oleh Pangeran Karim atau dikenal juga sebagai Panembahan Ratu II. Ia menikah dengan adik Sunan Amangkurat I, pemimpin Kerajaan Mataram. Sunan Amangkurat I bersahabat dengan Belanda sehingga ia diadu domba oleh berita bohong bahwa Banten akan menyerang Mataram.

Sunan Amangkurat I menghasut Panembahan Ratu II untuk menyerang Banten, namun ia menolak. Akibatnya, ia bersama dua putranya, Pangeran Martawidjaja dan Pangeran Kartawidjaja dipanggil ke Mataram (saat ini Yogyakarta) dan mereka bertiga diasingkan ke Kartasura (saat ini Surakarta).

Selama 12 tahun, Panembahan Ratu II diasingkan hingga ia meninggal pada 1666 dan dimakamkan di Bukit Girilaya sehingga Kesultanan Cirebon terjadi kekosongan kekuasaan. Pangeran Wangsakerta saat itu merupakan satu-satunya penerus karena kedua saudaranya diasingkan. Tetapi, meski diasingkan, keduanya berhak untuk memimpin sehingga terjadi konflik.

Melihat hal tersebut, Sultan Banten bernama Sultan Ageng Tirtayasa pergi ke Mataram dan berhasil membawa pulang Pangeran Martawidjaja dan Pangeran Kartawidjaja ke Kesultanan Cirebon.

Kemudian Sultan Ageng Tirtayasa membagi Kesultanan Cirebon menjadi tiga yaitu Kesultanan Kanoman dipimpin oleh Pangeran Kartawijaya, Kesultanan Kasepuhan dipimpin oleh Pangeran Martawijaya, dan Panembahan Cirebon dipimpin oleh Pangeran Wangsakerta.

Karakteristik Keraton Kanoman

Keraton Kanoman didirikan oleh Pangeran Mohamad Badridin atau Pangeran Kertawijaya, yang mendapatkan gelar Sultan Anom I sekitar tahun 1678. Keraton tersebut dibangun di atas tanah seluas kurang lebih 175.500 meter persegi.

Tahun berdirinya Keraton Kanoman tertulis dalam sebuah gambar yang ada di Pintu Jinem Keraton Kanoman, yang menggambarkan “matahari” berarti 1, “wayang darma kusuma” yang berarti 5, “bumi” berarti 1, dan “binatang kamangmang” yang berarti 0 sehingga menunjukkan angka tahun 1510 Saka atau 1588 Masehi. Saat itu Keraton Kanoman masih menjadi bagian dari Kesultanan Cirebon sebelum menjadi keraton sendiri pada 1678.

Keraton Kanoman dibangun menghadap ke utara dan membujur hingga ke selatan. Di sebelah utara keraton terdapat alun-alun dan pasar. Sebelah barat laut terdapat Masjid Keraton Kanoman, dan di sebelah selatan dan timur berbatasan dengan Sekolah Taman Siswa dan pemukiman penduduk.

Alun-alun berfungsi sebagai tempat upacara besar prajurit dan kegiatan lainnya. Saat ini, alun-alun digunakan sebagai arena publik. Sebutan alun-alun diambil dari kata alun yang artinya ombak. Di tengah alun-alun terdapat pohon beringin yang dikelilingi pagar (waringin kinurung). Waringin berarti pohon beringin dan kinurung artinya adalah terkurung.

Pohon beringin yang tumbuh besar memiliki banyak batang dan daun yang lebat sehingga bisa digunakan untuk berlindung dari gerimis dan teriknya matahari. Pohon beringin mempunyai bentuk seperti payung yang merupakan lambang pengayoman dan keteduhan. Dalam hal ini menunjukkan keraton yang dipimpin oleh seorang sultan mempunyai fungsi sebagai pengayom dan pelindung bagi masyarakatnya.

Dalam komplek keraton, terdapat saung yang bernama bangsal Witana yang luasnya hampir lima kali lapangan sepak bola. Keraton Kanoman juga menampilkan barang barang, seperti dua kereta bernama Paksi Naga Liman dan Jempana yang masih terawat baik di museum.

Tak jauh dari kereta, terdapat bangsal Jinem atau Pendopo untuk menerima tamu, penobatan sultan, dan pemberian restu pada acara seperti Maulid Nabi.

Alun-Alun Keraton Kanoman

Area alun alun Keraton Kanoman merupakan area terluar dari kompleks keraton. Wilayah ini terlihat dari jalan besar di utaranya dan tempat aktivitas jual beli masyarakat di sebelah timurnya. Melansir dari Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Pemerintah Provinsi Jawa Barat, terdapat bangunan Pancaratna, Pancaniti, Cungkup Alu, dan Cungkup Lesung

Pancaratna

Pancaratna merupakan bangunan kayu tanpa dinding yang menghadap utara dan berbentuk persegi dengan ukuran delapan kali delapan meter. Bangunan ini berfungsi sebagai tempat menghadap atau tempat para pembesar desa saat menemui Demang atau Wedana (asisten Bupati). Selain itu, Pancaratna juga dijadikan tempat jaga prajurit kesultanan.

Pancaniti

Pancaniti adalah bangunan bangunan kayu tanpa dinding yang menghadap utara dan berbentuk persegi panjang dengan ukuran delapan kali sepuluh meter. Bangunan ini berfungsi sebagai tempat perwira melatih dan mengawasi prajurit dalam latihan perang di alun-alun. Selain itu, Pancaniti juga dijadikan sebagai tempat pengadilan serta sebagai tempat jaga prajurit kesultanan.

Cungkup Alu dan Cungkup Lesung

Cungkup Alu dan Cungkup Lesung merupakan bangunan terbuka berukuran 0,7 kali satu kali 1,5 meter yang terbuat dari kayu dengan atap genteng dan ditopang oleh empat tiang. Menurut Lasmiyati dalam artikel Keraton Kanoman Di Cirebon (Sejarah dan Perkembangannya) yang diterbitkan oleh Balai Pelestarian Nilai Budaya Bandung, Cungkup Alu dan Cungkup Lesung digunakan oleh Pangeran Walangsungsang untuk menumbuk rebon menjadi terasi dan petis.

Masjid Agung Kanoman

Masjid Agung Kanoman menghadap ke timur dan terletak di sebelah barat alun-alun serta dikelilingi tembok dengan pintu masuk yang terletak pada bagian timur dan selatan. Arsitektur masjid ini beratap tumpang dua dengan puncak masjid berhiaskan mamolo yang melambangkan simbol dari Hindu ke Islam.

Saat ini, Masjid Agung Kanoman digunakan untuk sarana ibadah umat Islam, tempat penyelenggaraan upacara Maulid Nabi Muhamad SAW, tempat pelaksanaan upacara Pelal besar, tawasulan, dan marhaban.

Kompleks Siti Inggil

Bangunan lain yang ada di Keraton Kanoman adalah kompleks Siti Inggil. Kompleks Siti Inggil juga dinamakan lemah duwur atau tanah tinggi karena keadaan tanahnya yang lebih tinggi dibandingkan dengan keadaan tanah pada bangunan lainnya.

Terdapat tembok setinggi 1,30 meter yang mengitari kompleks ini. Untuk masuk ke kompleks Siti Inggil, pengunjung dapat melewati salah satu dari tiga pintu, yaitu:

  • Pintu syahadatain, yaitu pintu masuk yang menghadap utara.
  • Pintu kiblat, yaitu pintu yang menghadap barat
  • Pintu sholawat, yaitu pintu masuk yang menghadap ke selatan.

Kompleks Siti Inggil mempunyai makna filosofi yang berbunyi “Apabila seorang ingin mencapai derajat yang tinggi, maka harus membaca syahadatain sebagai syarat muslim, menghadap kiblat dengan melakukan salat sebagai salah satu kewajiban muslim, dan senantiasa bershalawat serta melaksanakan sunnah sunnah Nabi Muhammad SAW sebagai pemimpin muslim”.

Di dalam kompleks Siti Inggil terdapat dua bangunan, yaitu Mande Manguntur dan Bangsal Sekaten.

Mande Manguntur

Bangunan ini berukuran 6,5 kali 6,5 kali lima meter dan terbuat dari bata putih, berlantai keramik dan bertingkat dua yang menghadap ke alun-alun pada sebelah utara. Bangunan ini terbuka tanpa dinding dan dari tiang satu ke tiang lainnya saling berhubungan berbentuk melengkung menyerupai gerbang serta beratap genting berbentuk kerucut.

Dalam Mande Manguntur terdapat balai berukuran 1,50 kali 1,50 meter untuk tempat duduk Sultan. Secara keseluruhan bangunan ini diperindah dengan hiasan piring keramik yang ditempelkan di tiang dan dinding tembok. Keramik yang menempel pada tembok berasal dari Dinasti Ming.

Mande Manguntur berfungsi sebagai tempat duduk Sultan saat menghadiri dan menyaksikan upacara sakral seperti apel prajurit dan pemukulan perdana gamelan sekaten setiap tanggal 8 Maulud. Balai ini juga digunakan sultan untuk menyampaikan berita atau pun wejangan, hukum, aturan agama kepada masyarakat.

Bangsal Sekaten

Bangsal ini berukuran enam kali sepuluh kali lima meter, berlantai keramik, dan merupakan bangunan terbuka tanpa dinding. Pada bangunan panggung hanya terdapat tiang-tiang yang menopang atap yang berbentuk limasan.

Fungsi bangunan ini adalah untuk pementasan gamelan sekaten yang dilaksanakan setiap tanggal 8 sampai dengan 12 Maulud. Bangunan ini dibangun dengan konstruksi malang semirang yang memiliki rongga resonansi sehingga apabila gamelan dibunyikan terdengar suara gema yang khas.

Dari pembahasan diatas dapat dipahami bahwa Keraton Kanoman menyimpan banyak sejarah dan benda pusaka yang berperan penting dalam perkembangan Islam di Indonesia. Jika Anda berkunjung ke Kota Cirebon, Keraton Kanoman dapat menjadi pilihan wisata sejarah yang edukatif dan menarik.