Tata cara ritual ilmu jaran goyang puasa 3 hari ini

Penampilan Paijan (bukan nama sebenarnya) jauh dari seram. Dalam keseharian, lelaki yang tinggal di salah satu desa di Kecamatan Rogojampi, Banyuwangi ini tak beda dengan lelaki kebanyakan. Mengenakan kaus oblong putih dan bercelana pendek. Kacamata plus tebal menutupi matanya yang telah mengeriput. Usianya telah senja, 70 tahun.

Dia piawai menabuh kendang, menari, dan membuat segala perlengkapan alat musik tradisional. Selain dikenal sebagai seniman, namanya juga kesohor sebagai 'orang pintar' alias dukun.

Gaya bicaranya penuh semangat saat diminta menceritakan perjalanan hidupnya menjadi dukun. Ingatannya masih tajam. Kepulasan asap rokok nyaris tak pernah berhenti dari mulutnya.

Bismillahirrahmanirahim
niat isun matek aji Jaran Goyang
Sun Goyang ring tengah latar
Sun sabetake gunung gugur
Sun sabetake lemah bangka
Sun sabetake segara asat
Sun sabetake ombak sirap..........

Syair itu merupakan penggalan mantra Jaran Goyang yang diucapkan Paijan, pertengahan Februari lalu. Berkat kemampuannya itu, ia banyak didatangi orang dengan berbagai keluhan. Mulai ditinggal istri hingga hubungan yang tak direstui orang tua."Jaran Goyang itu ilmu pengasihan, untuk mencari jodoh," ujarnya.

Jaran Goyang, setahun ini, sedang booming setelah menjadi lagu yang dibawakan penyanyi dangdut koplo, Nella Kharisma. Lagu ciptaan Andi Mbendol itu berada di urutan ketiga video paling populer di YouTube pada 2017. Jumlah penikmatnya terus merangkak. Hingga 16 Februari 2018, video lagu Jaran Goyang di Youtube telah ditonton 140.601.207 kali, sejak dipublikasikan oleh DD Star Record pada 26 April 2017.

Popularitas lagu Jaran Goyang membuat produser rekaman lainnya berlomba-lomba merilis kembali lagu itu. Seperti dilakukan Samudra Record, yang memproduksi lagu Jaran Goyang dengan penyanyi Vita Alvia, jebolan ajang pencarian bakat D'Academia.

Lagu tersebut menuai popularitas karena mengangkat kisah yang lekat dengan kultur masyarakat, terutama masyarakat pedesaan. Di Banyuwangi, jaran goyang telah masyhur sebagai mantra guna-guna.

Jaran Goyang berakar dari budaya masyarakat Osing, kelompok etnik yang dianggap sebagai penduduk asli Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Etnis Osing saat ini mendiami sekitar 11 kecamatan dari 24 kecamatan di kabupaten paling ujung timur Pulau Jawa ini.

Di tanah kelahirannya, Jaran Goyang juga menjadi mantra yang paling populer dibandingkan mantra lainnya. Namun, sebagai salah satu jenis santet, keberadaannya masih berselimut stigma hitam, pascatragedi politik pembunuhan orang yang diduga dukun santet pada 1998-1999.

Paijan bercerita, dia telah melayani permintaan Jaran Goyang selama 20 tahun. Namun tak semua permintaan dia penuhi. Paijan hanya mau melayani orang-orang yang bertujuan baik, seperti mengharmoniskan kembali hubungan suami-istri atau mendapatkan jodoh bagi yang belum kawin.

"Tapi kalau tujuannya untuk kawin lagi, padahal sudah punya anak dan istri, saya langsung menolaknya," kata pria yang tak lulus Sekolah Rakyat ini.

Ritual Jaran Goyang, kata dia, tidaklah mudah. Sebab prosesi ritual berupa pengucapan mantra harus dilakukan setiap tengah malam dan berpuasa selama 40 hari. Selain mantra sebagai sarana verbal, dibutuhkan media lain seperti foto, rokok atau merica.

Paijan mewarisi kemampuan Jaran Goyang dari kakek dan ayahnya. Kebetulan, keluarganya adalah pelaku kesenian tradisional yang lekat dengan tradisi bermantra. Dalam kesenian Banyuwangi mantra seringkali dipakai saat pertunjukan untuk menarik perhatian dari penonton.

Bahkan, Paijan mengakui, dia menggaet istri ketiganya dengan mantra Jaran Goyang setelah dua kali gagal berumah-tangga. Meski memakai Jaran Goyang, kata dia, rumah tangganya kini bertahan selama 18 tahun.

Tak seperti Paijan, dukun Jaran Goyang lain lebih tertutup. Sebut saja namanya Tarno. Keseharian pria yang juga berusia 70 tahun itu, tak lepas dari sarung dan kopiah.

Tarno berkisah, awalnya belajar Jaran Goyang dari seorang guru di Desa Pakistaji saat berusia 22 tahun. Saat itu, dia terpaksa memakai Jaran Goyang karena tersinggung ditolak dan dicela oleh seorang perempuan yang disukainya.

Setelah menjalani ritual selama 7 hari, termasuk menebarkan irisan bunga sedap malam dan pecari putih, kata Tarno, perempuan itu pun membalas cintanya. "Dia kemudian menjadi istri pertama saya," kata ayah lima anak ini.

Paijan dan Tarno adalah dukun Jaran Goyang yang tersisa. Sri Hidayati, penggiat adat Osing dari Desa Olehsari, menuturkan, keberadaan dukun Jaran Goyang saat ini tak sebanyak 15 atau 20 tahun lalu. Sekitar 2001-2002, misalnya, dia masih menjumpai 10an lebih dukun Jaran Goyang yang tersebar di sejumlah desa.

Kini, dia menduga sebagian besar dukun itu telah tutup usia. Modernitas dan trauma tragedi 1998 juga membuat para dukun tidak mewariskan kemampuan kepada anak-anaknya.

"Sekarang zaman sudah berubah, orang-orang mulai jarang memakai Jaran Goyang," kata perempuan 50 tahun itu.

Tata cara ritual ilmu jaran goyang puasa 3 hari ini
Seorang dukun membaca mantra dalam upacara adat Kebo-keboan di Desa Aliyan, Banyuwangi. Ika Ningtyas / Beritagar.id

Mantra Jaran Goyang sejatinya merupakan ragam dari puisi lisan masyarakat Osing yang sifatnya paling sakral. Heru S.P. Saputra dalam bukunya "Memuja Mantra: Sabuk Mangir dan Jaran Goyang Masyarakat Suku Using Banyuwangi" (2007), menyebutkan, mantra dianggap mengandung kekuatan gaib untuk menandingi kekuatan gaib yang lain.

Mantra Osing, menurut Heru, memiliki keunikan yang tak dimiliki oleh etnik lain. Keunikan itu adalah adanya empat macam magi yang terkandung dalam mantra yakni putih, kuning, merah dan hitam.

Magi putih biasanya untuk penyembuhan, magi kuning dan merah untuk pengasihan atau pencarian jodoh, sedangkan magi hitam atau sihir untuk tujuan mencelakakan orang lain.

Ragam mantra bermagi kuning di Banyuwangi sebenarnya cukup banyak, tapi Sabuk Mangir adalah yang paling populer. Demikian juga Jaran Goyang, merupakan yang paling terkenal dari sekian banyak mantra bermagi merah. Beberapa desa seperti Desa Kemiren, Olehsari, Mojopanggung, Glagah, Watukebo dan Mangir, dianggap yang memanfaatkan mantra Jaran Goyang.

Jaran Goyang populer karena tidak hanya dimiliki oleh dukun, tetapi dapat digunakan oleh masyarakat Osing pada umumnya. "Berbeda dengan mantra bermagi putih dan hitam yang hanya digunakan oleh dukun," tulis Heru.

Mantra bermagi merah, cenderung lebih kasar dan buruk ketimbang magi kuning. Orang yang terkena Jaran Goyang seringkali menjadi tergila-gila dengan berteriak-teriak memanggil nama pemantranya.

Mantra pengasihan tersebut lebih dikenal dengan santet. Istilah ini juga berasal dari bahasa Osing, yakni, akronim dari frasa mesisan kanthet (biar terikut) atau mesisan benthet (biar retak).

Menurut Heru, esensi utama dari santet adalah pengasihan, baik antar sesama mahluk hidup termasuk binatang dan tumbuhan maupun antara laki-laki dan perempuan.

Orientasi akhir dari penggunaan santet sebenarnya adalah terbentuknya perkawinan harmonis yang dilandasi kasih sayang. Termasuk juga merekatkan kembali hubungan kekeluargaan termasuk hubungan suami-istri.

"Jadi santet sangat berbeda dengan sihir. Santet merupakan ngelmu pengasihan, sedangkan sihir ngelmu untuk mencelakakan atau membunuh," tulis Heru.

Mantra santet lahir dari masyarakat Osing yang budayanya menganut sinkretisme cukup tinggi dan akomodatif terhadap kekuatan supranatural dan magis. Meski berpenduduk mayoritas Islam, sinkretisme tampak dari kepercayaan terhadap roh halus atau arwah leluhur yang menetap di makam-makam.

Keyakinan terhadap dimensi alam gaib menjadi bagian tak terpisahkan yang melahirkan banyak tradisi berupa upacara ritual. Tradisi bermantra pun melekat dalam setiap pelaksanaan upacara adat, baik ritual individu seperti upacara kelahiran hingga kematian. Pun dalam upacara bersih desa dan panen padi seperti ritual Seblang di Desa Olehsari dan Bakungan, ritual Barong di Desa Kemiren, serta Kebo-keboaan di Desa Aliyan dan Alasmalang.

Heru memperkirakan, mantra santet berkembang setelah perang Puputan Bayu melawan VOC/Belanda pada 1773. Saat itu, sisa-sisa pasukan Blambangan yang selamat dari peperangan memilih menyingkir ke hutan.

Setelah pertempuran mereda, Bupati Banyuwangi pertama yakni Mas Alit, meminta mereka turun gunung. Namun, mereka tetap dendam terhadap orang asing seperti orang Belanda, Mataram maupun Bali. Mereka tidak mau bercampur darah dengan orang luar. Sehingga media santet digunakan untuk mengukuhkan tali ikatan persaudaraan di antara sisa-sisa penduduk Blambangan (kini disebut orang Osing) melalui perkawinan tertutup antara kerabat sendiri.

Menurut Heru, mantra sebagai kekayaan budaya lisan cenderung terlupakan karena hidup dalam komunitas tradisional yang marjinal. "Ia juga mencitrakan kondisi masyarakat yang bernuansa tribal," ungkap dia.

Meski berasal dari budaya Osing, namun tak semua orang Osing bisa dan menjalani laku mistik Jaran Goyang. Menurut Dewan Daerah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Osing, Purwadi, hanya orang-orang tertentu yang mempraktikkan Jaran Goyang. "Jaran Goyang itu bukan budaya yang diwariskan secara kolektif, sifatnya sangat personal," katanya.

Sebagai ilmu, menurut pria asal Desa Kemiren ini, santet Jaran Goyang bisa bermuatan positif dan negatif sekaligus. Muatan positif apabila Jaran Goyang dipakai untuk mengharmoniskan rumah tangga. Tapi bisa menjadi negatif apabila tujuannya hanya sekedar memperbanyak pasangan. "Jadi sangat tergantung pada manusia yang memakainya," kata pendiri Rumah Budaya Osing ini.

Menurut Purwadi, mereka yang menjalani Jaran Goyang sudah semakin berkurang karena kecenderungan manusia modern saat ini yang pragmatik dan materialistis. Memiliki banyak kekayaan, kata dia, dianggap lebih mudah memikat lawan jenis ketimbang bersusah payah menjalani laku mistik Jaran Goyang.

Tata cara ritual ilmu jaran goyang puasa 3 hari ini
Desa Kemiren, salah satu desa adat Osing Banyuwangi. Ika Ningtyas / Beritagar.id

Tragedi pembantaian terhadap mereka yang diduga dukun santet pada 1998-1999, menewaskan lebih dari 200 orang. Korbannya meluas ke Jember, Malang dan Pangandaran (Jawa Barat). Dari jumlah itu korban terbanyak ada di Banyuwangi yakni antara 109-120 orang.

Sejarawan Banyuwangi, Suhalik menjelaskan, penyebutan nama tragedi itu mencampuradukkan antara santet dan sihir sehingga publikpun cenderung menganggap keduanya sama. Dampaknya, hubungan sosial di akar rumput antara keluarga korban dan masyarakat sekitarnya merenggang. Tak sedikit keluarga korban menjadi terkucil dan terusir dari kampungnya sendiri.

"Mereka yang menguasai jaran goyang pun dianggap juga memiliki sihir. Jadi ada generalisasi akibat peristiwa itu," kata Suhalik.

Peristiwa 1998 itu, kata Suhalik, berkaitan erat dengan huru-hara politik saat itu. Sebab Banyuwangi tidak memiliki budaya pembunuhan terhadap dukun santet. Karenanya, dia mendesak pemerintah tetap membuka kembali kasus yang tergolong pelanggaran HAM berat ini.

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) periode 2012-2017 sebenarnya telah membentuk Tim Penyelidikan Dugaan Pelanggaran HAM Berat Peristiwa Dukun Santet yang resmi bekerja sejak 2015.

Tim telah turun ke Banyuwangi dan tiga daerah lain untuk menemui keluarga korban, pelaku, pemerintah daerah, kepolisian dan pengadilan negeri. Namun, hingga akhir 2017, penyelidikan itu belum rampung.

"Penyelidikan akan kami lanjutkan tahun ini dengan melengkapi data-data yang kurang," kata Ketua Tim Penyelidikan Peristiwa Dukun Santet Komnas HAM periode 2017-2022, Bheka Hapsara.

Bheka berharap hasil dari penyelidikan tersebut dapat juga mendorong pemerintah melakukan program pemulihan trauma dan rehabilitasi nama baik terhadap keluarga korban. Apabila tidak diselesaikan, dia khawatir, kekerasan serupa akan terus berlanjut pada mereka yang diduga dukun santet. "Persekusi akan terus terjadi," kata dia.