Tari Wayang orang merupakan tarian sakral agama

Komite Warisan Budaya Tak Benda United Nations Educational, Scientific, dan Cultural Organization (UNESCO) di Windhoek, Namibia, pada sidang ke-10 yang dilaksanakan Selasa 2 Desember 2015 yang lalu, menetapkan tiga genre tari tradisi dari Provinsi Bali yang terdiri dari sembilan tari tradisional Bali ke dalam UNESCO Representative List of the Intangible Cultural Heritage of Humanity.

Inskripsi tiga genre tari tradisi di Bali yang terdiri dari Sembilan tarian Bali ke dalam daftar Warisan Budaya Tak benda UNESCO merupakan bentuk pengakuan dunia internasional terhadap arti penting tarian tersebut. Diharapkan inskipsi tersebut dapat meningkatkan kesadaran masyarakat Indonesia akan nilai-nilai luhur tarian Bali, serta semangat untuk melestarikannya di masa mendatang.

Sembilan tari tradisional Bali tersebut adalah Rejang, Sanghyang Dadari, dan Baris Upacara yang digolongkan sebagai tarian sakral. Kemudian juga Topeng Sidhakarya, Sendratari Gambuh, dan Sendratari Wayang Wong yang digolongkan sebagai tarian semi-sakral; serta tari Legong Kraton, Joged Bumbung, dan Barong Ket �Kuntisraya�, yang digolongkan sebagai tarian hiburan (entertainment).�

Tari ini digunakan sebagai tari upacara keagamaan, dan diadakan di Pura Merajan atau Sangga. Dalam penataan tari atau koreografinya, tari ini tidak begitu terkait pada pedum karang seperti tarian lain pada umumnya. Sifat dari tari ini adalah fleksibel, dapat disesuaikan dengan situasi dan kondisi, khususnya pada upacara Pangider Buana para penari berputar mengelilingi sajen mengikuti pradaksina.

Tari ini merupakan salah satu jenis tari sanghyang. Sebuah tarian kerauhan yang ditarikan dalam kondisi kesurupan. Tari ini memiliki tujuan mistis dan tidak ditampilkan di depan umum, serta ditarikan degan tujuan untuk melindungi desa dari wabah penyakit, bencana alam, dan bencana lainnya. Sanghyang Dedari merupakan tari peninggalan kebudayaan pra-Hindu yang ditarikan oleh dua orang gadis yang dianggap masih suci.

�Uniknya dari tari ini adalah tidak diiringi oleh instrument musik, tetapi diiringi oleh beberapa orang dengan menyanyikan lagu persembahan kepada dewa.

Tari ini seperti tari-tarian pada umumnya tidak memiliki lakon atau cerita. Pada umumnya tari ini digunakan atau dipertunjukkan untuk Dewa Yadnya. Biasanya pada acara upacara, tari Baris Upacara merupakan symbol Widyadara, Apsara sebagai pengawal Ida Berata sesuhunan turun ke dunia pada saat piodalan di pura bersangkutan. Tari ini juga berfungsi sebagai pemendak atau penyambut kedatangan para dewa.

Tari ini biasanya ditarikan di akhir acara sebagai tanda bahwa tari sakral telah selesai. Dalam acara ritual keagamaan tradisi Hindu di Balli, tari ini menjadi bagian yang tidak terpisahkan dengan runtutan upacara sebagai pelengkap untuk mendapatkan keyakinan dalam mencapai kearah� kesempurnaan dan kesuksesan sebuah yadnya.

Tari ini memiliki fungsi Gambuh, yakni sebagai Trai Bebali atau Tari seremonial pengiring upacara di Pura. Dramatari Gambuh merupakan tari lakon klasik tertua dalam khazanah tari Bali. Tari ini merupakan bentuk total teater yang mimiliki unsur seni, drama, musik, dialog, dan tembang. Tari ini sangat erat hubungannya dengan pelaksanaan upacara-upacara besar. Tarian Gambuh ditarikan pada waktu Ida Bharata turun ke paselang.

Tari ini merupakan perwujudan dari tari lakon Bali, perpaduan antara tari, drama dan musik penarinya diperankan oleh manusia. Tari ini merupakan cabang seni pertunjukan yang bersifat klasik dan satu kesatuan dari tari, tabuh, tembang, dan drama dengan menggunakan tapel, serta memakai cerita atau lakon yang diambil dari lakon Ramayana.

Tari ini merupakan tari klasik yang melakonkan cerita-cerita zaman dahulu, seperti cerita Prabu Lasem, dengan diperankan oleh tiga orang gadis. Satu orang berperan sebagai Condong dan kedua lainnya berperan sebagai Legong.

Tari ini merupakan salah satu jenis tari Joged yang diiringi dengan gamelan bumbung bamboo. Penari joged pada awalnya menari sendiri yang disebut ngelembar. Setelah itu penari mencari pasangannya seorang laki-laki yaitu salah seorang lelaki yang menonton yang dihampiri si penari, dan laki-laki itu kemudian diajaknya menari bersama-sama atau diajaknya ngibing. Penari berganti-ganti pasangan yang dipilihnya. Tari Joged ini ada persamaannya dengan tari gandrung.

Tari ini merupakan perwujudan atau prabhawa Sanghyang Tri Murti. Warna topeng atau punggelan berbagai jenis barong yang berwarna merah adalah simbol Dewa Brahma, warna hitam merupakan wujud Dewa Wisnu, sedangkan yang berwarna putih adalah perwujudan Dewa Iswara. Sanghyang Tri Murti yang disimbolkan dengan berbagai jenis barong yang dilawangkan dari satu pintu ke pintu yang lain selama 35 hari diyakini dapat melindungi umat manusia, khususnya umat Hindu dari kekuatan merusak yang disebabkan oleh Sanghyang Kala Tiga Wisesa sehingga selamat. Perwajahan Barong pada umumnya merupakan wajah manusia dengan berbagai warna berbeda sebagai simbol tertentu, sedangkan barong ket lebih menyerupai hewan.

�Dengan inskripsi sembilan tari tradisi Bali tersebut, maka Indonesia telah memiliki tujuh elemen budaya dalam Daftar Warisan Budaya Takbenda UNESCO. Enam elemen yang telah terdaftar sebelumnya adalah Wayang (2008), Keris (2008), Batik (2009), Angklung (2010), Tari Saman (2011), dan Noken Papua (2012). Serta Satu program Pendidikan dan Pelatihan tentang Batik (2009).

Makna Tari

Tari dalam kehidupan masyarakat Bali bukan sekedar sebagai hiburan, tetapi memiliki arti sakral dan merupakan bagian dari kehidupan masyarakat Bali. Ada tiga genre tari dalam kebudayaan Bali yang tersebar di 9 kabupaten/kota Provinsi Bali meliputi Kabupaten Karangasem, Klungkung, Bangli, Gianyar, Badung, Tabanan, Jembrana, Buleleng dan Kota Denpasar. Tiga genre tarian ini berlaku di semua wilayah Bali, dengan mengikuti prinsip-prinsip berdasarkan desa (tempat), Kala (waktu), dan patra (acara). Tari tradisional Bali ini dilakukan oleh penari baik laki-laki dan perempuan yang mengenakan kostum tradisional dengan warna dan aksesoris berwarna cerah dengan garis emas serta motif bunga dan fauna. Tari Bali terinspirasi oleh alam dan melambangkan tradisi tertentu, kebiasaan dan nilai-nilai agama. Dengan gerakan yang dinamis, dan berbagai ekspresi wajah dengan gerakan mata mengungkapkan kebahagiaan, kesedihan, kemarahan, ketakutan dan cinta � semua disertai dengan musik gamelan.

Penari selain harus terampil secara teknis, juga harus memiliki kerendahan hati, disiplin dan terutama adalah taksu (kharisma) yaitu energi spiritual khusus yang menghidupkan tarian. Dalam masyarakat Bali, tarian terutama ditransmisikan secara informal kepada anak-anak sejak usia dini, dalam banjar (kelompok adat).

Pelatihan dimulai dengan gerakan tari dasar dan posisi, kemudian berkembang menjadi tarian yang lebih rumit. Sesi berlanjut sampai siswa telah hafal urutan gerakan. Tarian tradisional Bali memberikan rasa identitas budaya yang kuat didasarkan pada pemahaman bahwa mereka menjaga warisan budaya nenek moyang mereka. (*)

Koropak.co.id - Wayang orang merupakan salah satu seni pertunjukan tradisional khas Jawa, khususnya daerah Jawa Tengah. Untuk cerita yang dimainkan dalam pertunjukannya biasanya didasarkan pada kisah Mahabharata dan Ramayana yang mengandung pesan-pesan moral.

Selain bentuk pertunjukan teater tradisional, wayang orang juga turut diisi dengan sendratari. Berdasarkan sejarahnya, wayang orang ini diketahui sudah berusia sangat tua.

Hal itu dibuktikan oleh Prasasti Wimalasmara (930 Masehi) dan Prasasti Balitung (907 Masehi) yang telah menyebutkan pertunjukan ini dengan istilah Jawa Kuno, 'Wayang Wwang'.

Dilansir dari berbagai sumber, bukti itu pun menunjukan bahwa kesenian ini sudah ada pada zaman Mataram Kuno. Kemudian setelah itu dilestarikan oleh kerajaan-kerajaan baru yang muncul di Jawa Timur, termasuk Majapahit.

Setelah lama terlupakan, wayang wwang tersebut dihidupkan kembali oleh keraton Surakarta dan Yogyakarta, dua kerajaan yang muncul dari pembagian Mataram dalam Perjanjian Giyanti pada tahun 1755. Di Yogyakarta, wayang orang dikembangkan oleh Sultan Hamengkubuwono I pada tahun 1750-an.

Dalam Wayang Wong: The State Ritual Dance Drama in the Court of Yogyakarta, Soedarsono mengatakan bahwa selain sebagai seni adiluhung, wayang orang juga menjadi alat politik untuk meraih legitimasi sebagai penguasa yang sah dari Mataram dan penerus tradisi kebudayaan Majapahit.

Seni pertunjukan ini pun berkembang di masa Sultan Hamengkubuwono V. Buku panduan berupa narasi (Serat Kandha) dan dialog (Serat Pocapan) juga mulai digunakan untuk latihan dan pertunjukan.

Kemudian setelah lama menjadi kesenian eksklusif keraton, wayang orang pada akhirnya mulai disebarkan ke luar tembok keraton pada era Sultan Hamengkubuwono VII.

Pada tahun 1918, didirikanlah perkumpulan tari Kridha Beksa Wirama yang hingga kini masih menjaga eksistensi seni tari sampai dengan wayang orang di istana Yogyakarta.

Sementara itu, di Surakarta, wayang orang dikembangkan oleh Mangkunegara I sekitar tahun 1760-an. Wayang orang Mangkunegaran itu juga mengalami perkembangan pesat di masa Mangkunegara V.

Dalam Sejarah Tari: Jejak Langkah Tari di Pura Mangkunagaran, Wahyu Santoso Prabowo dan kawan-kawan mengatakan dengan kreativitasnya, Mangkunagara V berhasil melakukan pembaharuan mulai dari sisi penari, rias busana, lakon, dan fungsi sajian.

Tercatat dari sisi penari, Mangkunagara V berhasil mengelompokannya menjadi tiga kelompok.


Baca : Wayang Kulit, Wali Songo dan Ajaran Agama Islam di Nusantara

Ketiganya yaitu kelompok wayang orang sentana (keluarga istana), wayang orang abdi dalem, dan kelompok wayang orang perempuan. Kostum penarinya juga turut diubah mengikuti wayang purwa, sehingga tokoh wayang pun menjadi mudah dikenali oleh penonton.

Koreografi juga turut mendapat perhatian, sehingga gerakan penari menjadi lebih sistematis dan tersusun rapi. Selain lakon-lakon pokok Mahabarata dan Ramayana, Mangkunegara V juga menampilkan lakon carangan (di luar pakem).

Namun diketahui perubahan paling penting terjadi pada akhir abad ke-19. Seni pertunjukan ini pada akhirnya keluar tembok keraton ketika istana tidak mempunyau cukup dana akibat kemunduran ekonomi.

Sehingga, mulai dari sinilah lahir wayang orang panggung yang dipelopori Gan Kam, pengusaha keturunan Tionghoa. Gan Kam sendiri, atas izin Sri Mangkunegara V pada tahun 1895 mengemas wayang orang menjadi pertunjukan komersial.

Tata panggungnya dibuat mirip opera Tiongkok atau opera Italia. Pemainnya juga direkrut dari seniman keraton ditambah masyarakat umum. Setelah Gan Kam wafat pada tahun 1928, tumbuhlah kelompok wayang orang di Surakarta yang didirikan seniman Tionghoa seperti Sedyo Wandowo, Sarotama, dan Srikaton.

Selain itu, ada pula kelompok bentukan pengusaha Belanda bernama Reunecker yang pentas di sebuah gedung pertunjukan. Ketika kelompok wayang orang Reunecker bubar, gedung pertunjukannya dibeli Lie Wat Djien yang kemudian membentuk kelompok wayang orang Sono Harsono.

Tidak ketinggalan, keraton juga turut membentuk kelompok wayang orang Sriwedari untuk menampung penari-penari istana. Pada tahun 1930-an, Sriwedari populer di Surakarta dan salah satu daya tariknya yaitu terletak pada penampilan para pemainnya yang apik hingga menjadi idola penonton.

Kelompok wayang orang juga ternyata muncul di sejumlah kota di Jawa Tengah dan Jawa Timur pada tahun 1930-an mulai dari Sri Wanito (Semarang), Ngesti Pandowo (Madiun lalu pindah ke Semarang), Sri Budaya (Kediri), dan lainnya.

Pada awal kemerdekaan, pertunjukan wayang orang sempat mandek. Akan tetapi setelah itu wayang orang kembali bersinar, bahkan kemunculan kelompok wayang orang juga terus berlangsung hingga tahun 1970-an seperti Pancamurti yang kemudian menjadi Bharata di Jakarta dan Wahyu Utomo di Semarang.

Sayangnya pada tahun 1980-an, banyak pemain sepuh meninggal atau pensiun. Pertunjukan wayang orang pun pada akhirnya dianggap kurang menarik. Gagalnya regenerasi pemain juga menjadi penyebab merosotnya pamor wayang orang hingga proses nunggak semi (kaderisasi) tidak berjalan dengan baik.

Menjamurnya tayangan-tayangan televisi juga turut membuat penonton semakin berkurang. Perkumpulan wayang orang yang masih bertahan seperti Sriwedari, Ngesti Pandowo, dan Bharata seakan hidup segan mati tidak mau.

Sehingga Institusi pendidikan seni kemudian memegang peranan penting dalam melahirkan pemain wayang orang generasi baru.*

Lihat juga : Simak Berbagai Video Menarik Lainnya Disini

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA