24 Maret 2020 01:23 Show
Pertanyaan Mau dijawab kurang dari 3 menit? Coba roboguru plus!403 2 Jawaban terverifikasiMahasiswa/Alumni Universitas Lampung 01 Januari 2022 13:51 Halo Martha A, kakak bantu jawab ya... Tokoh pencetus sistem tanam paksa adalah van den Bosch dan pencetus sistem sewa tanah adalah Thomas Stamford Raffles. Untuk lebih jelasnya yuk pahami penjelasan berikut: Tokoh pencetus sistem tanam paksa adalah van den Bosch. Usul cultuurstelsel membuat van den Bosch diangkat sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Tugas utama van den Bosch adalah mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya dari negeri jajahan untuk mengisi kas Belanda yang kosong dan membayar utang-utang Belanda. Tokoh pencetus sistem sewa tanah adalah Thomas Stamford Raffles.Inggris menunjuk Thomas Stamford Raffles sebagai letnan gubernur untuk menjalankan pemerintahan di Indonesia. Tugas utamanya adalah mengatur pemerintahan dan meningkatkan perdagangan serta keuangan. Sebagai tokoh dari golongan liberal, Raffles menginginkan adanya perubahan dalam berbagai bidang. Perubahan tersebut diwujudkan melalui berbagai kebijakan, salah satunya dengan memberlakukan Land Rent System (landelijk stelsel) atau sistem sewa tanah. Semoga membantu yaa…Balas 24 Maret 2020 15:01 tanam paksa= Van den Bosch sewa tanah=RafflesBalas Jakarta - Pada tahun 1830 kondisi ekonomi di negeri Belanda sangat buruk, beban hutang juga semakin besar. Untuk menyelamatkannya, maka Van den Bosch diangkat sebagai Gubernur Jenderal di Indonesia dengan tugas mencari cara untuk mengisi kekosongan kas negara tersebut. Kemudian Van den Bosch mengerahkan tenaga rakyat tanah jajahan untuk melakukan penanaman yang hasil-hasilnya dapat dijual di pasaran dunia. Hal tersebut dinamakan sistem tanam paksa atau Cultur Stelsel. Tujuan diciptakannya sistem tanam paksa adalah menutup defisit keuangan negeri Belanda. Dikutip dari Buku Siswa Ilmu Pengetahuan Sosial SMP/MTS Kelas 8 yang ditulis Nurhayati, M.Pd., ketentuan sistem tanam kerja sama pada lembaran negara nomor 22 tahun 1834 ternyata dilanggar dalam pelaksanaannya. Misalnya yang tertuang dalam perjanjian adalah tanah yang digunakan untuk cultur stelsel seperlima sawah. Namun dalam praktiknya dijumpai lebih dari seperlima tanah, yaitu sepertiga dan bahkan setengah dari sawah milik pribumi. Selain itu, tanah petani yang dipilih hanya tanah yang subur, sedangkan rakyat hanya mendapat tanah yang tidak subur. Tanah yang digunakan untuk penanaman tetap saja dikenakan pajak sehingga tidak sesuai dengan perjanjian. Dengan banyaknya penyimpangan yang dilakukan, seperti yang disebutkan di atas, adapun beberapa tokoh yang menentang sistem tanam kerja paksa, mengutip dari buku Seri IPS Sejarah SMP Kelas VIII oleh Drs. Prawoto, M.Pd. yaitu: 1. Eduard Douwes Dekker (1820-1887)Ia adalah mantan asisten residen di Lebak (Banten) sehingga sangat mengetahui penyelewengan yang dilakukan oleh para pejabat pemerintah di bawah sistem tanam paksa. Ia mengarang sebuah buku yang berjudul Max Havelaar (lelang kopi perdagangan Belanda) dan terbit pada tahun 1860. Dalam buku tersebut, ia melukiskan penderitaan rakyat di Indonesia akibat pelaksanaan sistem tanam paksa. 2. Fransen van der Putte (1822-1902)Ia menunjukkan sikapnya terhadap kebijakan tanam paksa dalam bukunya berjudul Sulker Constracten, diterjemahkan dalam bahasa Indonesia berarti "Kontrak Gula." Ia bersama dengan Douwes Dekker merupakan tokoh penentang tanam paksa dari golongan liberal. 3. Baron van Hoevell (1812-1870)Ia adalah seorang pendeta Belanda yang menuntut pemerintah pusat dan gubernur jendral agar memperhatikan nasib dan kepentingan rakyatnya. 4. Golongan pengusahaGolongan pengusaha menghendaki kebebasan berusaha, dengan alasan bahwa sistem tanam paksa tidak sesuai dengan ekonomi liberal. Akibat reaksi dari orang-orang Belanda yang didukung oleh kaum liberal mulai tahun 1865 sistem tanam paksa dihapuskan. Nah, itulah tokoh-tokoh yang menentang sistem tanam paksa pada masa pemerintahan Belanda. Semoga menambah pemahaman detikers tentang sejarah Indonesia, ya. Simak Video "Peninggalan Sejarah yang Tersingkap Usai Gelombang Panas di Eropa" (row/row)
Ilustrasi perkebunan kopi, salah satu komoditi dari sistem tanam paksa di era Johannes van den Bosch. KOMPAS.com - Salah satu kebijakan Hindia Belanda yang merugikan rakyat indonesia adalah diberlakukannya sistem tanam paksa yang dikenal dengan cultuurstelsel. Sebagai negara yang subur, Belanda ingin memanfaatkannya dengan menanam tanaman ekspor seperti tebu, nila, dan kopi yang menguntungkan bagi mereka. Baca juga: Jejak Mr Jansen atau Tuan Block, Pejabat Hindia Belanda yang Jadi Juragan Jeruk di Sumedang Gubernur Jenderal Hindia Belanda Johannes van den Bosch adalah sosok di balik kebijakan sistem tanam paksa atau cultuurstelsel. Baca juga: Sejarah Indische Partij: Pendiri, Latar Belakang, Tujuan, dan Alasan Pembubaran Sistem tanam paksa adalah gabungan dari aturan kewajiban menanam tanaman ekspor yang kemudian harus diserahkan ke VOC (contingenteringen) dengan sistem sewa tanah atau pajak tanah (landelijk stelsel) yang pernah dicetuskan oleh Thomas Stamford Raffles. Baca juga: Sejarah VOC di Indonesia: Kedatangan, Masa Kejayaan, hingga Keruntuhannya Cakupan Wilayah Sistem Tanam PaksaJohannes van den Bosch tidak serta merta menerapkan sistem tanam paksa ini ke seluruh wilayah Hindia Belanda. Dalam buku Sistem Politik Kolonial dan Administrasi Pemerintahan Hindia Belanda (2001) oleh Daliman, wilayah yang terkena kebijakan sistem tanam paksa di Pulau Jawa mayoritas ada di Karesidenan Cirebon, Pekalongan, Tegal, Semarang, Jepara, Surabaya, dan Pasuruan. Sementara menurut buku Berjuang Menjadi Wirausaha: Sejarah Kehidupan Kapitalis Bumi Putra Indonesia (2008) oleh Wasino, pelaksanaan tanam paksa di luar Pulau Jawa meliputi wilayah Sumatera Barat, Minahasa, Minangkabau, Palembang, Ambon, dan Banda. Selepas VOC dibubarkan dan diambil alih oleh Belanda di bawah Gubernur Jenderal, nyatanya tidak membuat kondisi rakyat jauh lebih baik. Johannes van den Bosch menerapkan sistem tanam paksa demi mendapatkan pemasukan sebesar-besarnya untuk mengatasi krisis keuangan Hindia Belanda dan membayar kerugian akibat perang. Sementara melansir dari buku Catatan Pinggir (2006) oleh Mohammad Goenawan, berikut adalah aturan cultuurstelsel atau sistem tanam paksa:
Pada kenyataannya pelaksanaan aturan ini mengalami banyak penyimpangan yang merugikan rakyat. dan membuat sengsara. Dampak Sistem Tanam PaksaAkibat sistem tamam paksa, kualitas dan hasil tanaman pangan juga berkurang dan menimbulkan masalah baru yaitu kelaparan. Hal ini karena petani tidak sempat mengurusi sawah dan ladang karena harus mengurus tanaman perkebunan. Kondisi kurangnya pangan juga menimbulkan wabah penyakit mulai merajalela. Di Cirebon dan Grobogan jumlah kematian meningkat sehingga jumlah penduduk menurun tajam. Sistem tanam paksa juga memunculkan sistem premi atau cultuur procenten yakni pemberian untung kepada penguasa pribumi dan bupati atau kepala daerah yang produksinya melebihi target. Hal ini menyebabkan adanya pemerasan tenaga rakyat demi bisa mendapatkan premi sebesar-besarnya. Sumber: |