Orang-orang yang akan diangkat derajatnya menurut firman allah surat al mujadilah (58) : 11, adalah

(Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepada kalian, "Berlapang-lapanglah) berluas-luaslah (dalam majelis") yaitu majelis tempat Nabi ﷺ berada, dan majelis zikir sehingga orang-orang yang datang kepada kalian dapat tempat duduk. Menurut suatu qiraat lafal al-majaalis dibaca al-majlis dalam bentuk mufrad (maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untuk kalian) di surga nanti. (Dan apabila dikatakan, "Berdirilah kalian") untuk melakukan salat dan hal-hal lainnya yang termasuk amal-amal kebaikan (maka berdirilah) menurut qiraat lainnya kedua-duanya dibaca fansyuzuu dengan memakai harakat damah pada huruf Syinnya (niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kalian) karena ketaatannya dalam hal tersebut (dan) Dia meninggikan pula (orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat) di surga nanti. (Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan).

Wahai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu, "Berlapang-lapanglah dalam majelis, maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan, "Berdirilah kamu, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman untuk mendidik hamba-hamba-Nya yang beriman seraya memerintahkan kepada mereka agar sebagian dari mereka bersikap baik kepada sebagian yang lain dalam majelis-majelis pertemuan. Untuk itu Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: Wahai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu, "Berlapang-lapanglah dalam majelis, " (Al-Mujadilah: 11) Menurut qiraat lain, ada yang membacanya al-majlis; yakni dalam bentuk tunggal, bukan jamak. maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. (Al-Mujadilah: 11) Demikian itu karena pembalasan disesuaikan dengan jenis amal perbuatan. Sebagaimana yang telah disebutkan di dalam hadits shahih: Barang siapa yang membangun sebuah masjid karena Allah, maka Allah akan membangunkan baginya sebuah rumah di surga. Dan di dalam hadits yang lain disebutkan: Barang siapa yang memberikan kemudahan kepada orang yang sedang kesulitan, maka Allah akan memberikan kemudahan baginya di dunia dan akhirat. Dan Allah senantiasa menolong hamba-Nya selama si hamba menolong saudaranya. Masih banyak hadits lainnya yang serupa. Karena itulah maka disebutkan oleh firman-Nya: maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. (Al-Mujadilah: 11) Qatadah mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan majelis zikir. Demikian itu karena apabila mereka melihat ada seseorang dari mereka yang baru datang, mereka tidak memberikan kelapangan untuk tempat duduknya di hadapan Rasulullah ﷺ Maka Allah memerintahkan kepada mereka agar sebagian dari mereka memberikan kelapangan tempat duduk untuk sebagian yang lainnya. Muqatil ibnu Hayyan mengatakan bahwa ayat ini diturunkan pada hari Jumat, sedangkan Rasulullah ﷺ pada hari itu berada di suffah (serambi masjid); dan di tempat itu penuh sesak dengan manusia. Tersebutlah pula bahwa kebiasaan Rasulullah ﷺ ialah memuliakan orang-orang yang ikut dalam Perang Badar, baik dari kalangan Muhajirin maupun dari kalangan Ansar. Kemudian saat itu datanglah sejumlah orang dari kalangan ahli Perang Badar, sedangkan orang-orang selain mereka telah menempati tempat duduk mereka di dekat Rasulullah ﷺ Maka mereka yang baru datang berdiri menghadap kepada Rasulullah dan berkata, "Semoga kesejahteraan terlimpahkan kepada engkau, wahai Nabi Allah, dan juga keberkahan-Nya." Lalu Nabi ﷺ menjawab salam mereka. Setelah itu mereka mengucapkan salam pula kepada kaum yang telah hadir, dan kaum yang hadir pun menjawab salam mereka. Maka mereka hanya dapat berdiri saja menunggu diberikan keluasan bagi mereka untuk duduk di majelis itu. Nabi ﷺ mengetahui penyebab yang membuat mereka tetap berdiri, karena tidak diberikan keluasan bagi mereka di majelis itu. Melihat hal itu Nabi ﷺ merasa tidak enak, maka beliau bersabda kepada orang-orang yang ada di sekelilingnya dari kalangan Muhajirin dan Ansar yang bukan dari kalangan Ahli Badar, "Wahai Fulan, berdirilah kamu. Juga kamu, wahai Fulan." Dan Nabi ﷺ mempersilakan duduk beberapa orang yang tadinya hanya berdiri di hadapannya dari kalangan Muhajirin dan Ansar Ahli Badar. Perlakuan itu membuat tidak senang orang-orang yang disuruh bangkit dari tempat duduknya, dan Nabi ﷺ mengetahui keadaan ini dari roman muka mereka yang disuruh beranjak dari tempat duduknya. Maka orang-orang munafik memberikan tanggapan mereka, "Bukankah kalian menganggap teman kalian ini berlaku adil di antara sesama manusia? Demi Allah, kami memandangnya tidak adil terhadap mereka. Sesungguhnya suatu kaum telah mengambil tempat duduk mereka di dekat nabi mereka karena mereka suka berada di dekat nabinya. Tetapi nabi mereka menyuruh mereka beranjak dari tempat duduknya, dan mempersilakan duduk di tempat mereka orang-orang yang datang terlambat." Maka telah sampai kepada kami suatu berita bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: Semoga Allah mengasihani seseorang yang memberikan keluasan tempat duduk bagi saudaranya. Maka sejak itu mereka bergegas meluaskan tempat duduk buat saudara mereka, dan turunlah ayat ini di hari Jumat. Demikianlah menurut riwayat Ibnu Abu Hatim. ". Imam Ahmad dan Imam Syafii mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Ayyub, dari Nafi', dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: Janganlah seseorang menyuruh berdiri orang lain dari majelisnya, lalu ia duduk menggantikannya, tetapi lapangkanlah dan luaskanlah tempat duduk kalian. Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim mengetengahkan hadits ini melalui Nafi' dengan sanad yang sama. Imam Syafii mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdul Majid, dari Ibnu Juraij yang mengatakan bahwa Sulaiman ibnu Musa telah meriwayatkan dari Jabir ibnu Abdullah, bahwa Rasulullah ﷺ telah bersabda: Jangan sekali-kali seseorang di antara-kamu mengusir saudaranya (dari tempat duduknya) di hari Jumat, tetapi hendaklah ia mengatakan, "Lapangkanlah tempat duduk kalian!" Hadits ini dengan syarat kitab sunan, tetapi mereka tidak mengetengahkannya. [] Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdul Malik ibnu Umar dan telah menceritakan kepada kami Falih, dari Ayyub, dari Abdur Rahman ibnu Sa'sa'ah, dari Ya'qub ibnu Abu Ya'qub, dari Abu Hurairah, dari Nabi ﷺ yang telah bersabda: Janganlah seseorang mengusir saudaranya dari tempat duduknya, kemudian ia duduk di tempatnya, tetapi (katakanlah), "Berlapang-lapanglah kalian, semoga Allah memberikan kelapangan bagi kalian. Imam Ahmad telah meriwayatkannya pula dari Syuraih ibnu Yunus dan Yunus ibnu Muhammad Al-Mu'addib, dari Falih dengan sanad yang sama, sedangkan teksnya berbunyi seperti berikut: Janganlah seseorang mengusir orang lain dari tempat duduknya, tetapi (hendaklah ia mengatakan), "Berlapang-lapanglah kalian, semoga Allah memberikan kelapangan bagi kalian. Imam Ahmad meriwayatkan hadits ini secara munfarid (sendirian) Ulama ahli fiqih berbeda pendapat sehubungan dengan kebolehan berdiri karena menghormati seseorang yang datang. Ada beberapa pendapat di kalangan mereka; di antaranya ada yang memberikan rukhsah (kemurahan) dalam hal tersebut karena berlandaskan kepada dalil hadits yang mengatakan: Berdirilah kamu untuk menghormat pemimpinmu! Di antara mereka ada pula yang melarangnya karena berdalilkan hadits Nabi ﷺ lainnya yang mengatakan: Barang siapa yang merasa senang bila orang-orang berdiri untuk menghormati dirinya, maka hendaklah ia bersiap-siap untuk mengambil tempat duduknya di neraka. Dan di antara mereka ada yang menanggapi masalah ini secara rinci. Untuk itu ia mengatakan bahwa hal tersebut diperbolehkan bila baru tiba dari suatu perjalanan, sedangkan si hakim (penguasa) yang baru datang berada di dalam daerah kekuasaannya. Hal ini telah ditunjukkan oleh hadits yang menceritakan kisah Sa'd ibnu Mu'az, karena sesungguhnya ketika Nabi ﷺ memanggilnya untuk menjadi hakim terhadap orang-orang Bani Quraizah, dan Nabi ﷺ melihatnya tiba, maka beliau ﷺ bersabda kepada kaum muslim (pasukan kaum muslim): Berdirilah kalian untuk menghormat pemimpin kalian! Hal ini tiada lain hanyalah agar keputusannya nanti dihormati dan ditaati; hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui. Adapun bila hal tersebut dijadikan sebagai tradisi, maka hal itu merupakan kebiasaan yang dilakukan oleh orang-orang 'Ajam. Karena di dalam kitab-kitab sunnah telah disebutkan bahwa tiada seorang pun yang lebih disukai oleh mereka selain dari Rasulullah ﷺ Dan Rasulullah ﷺ apabila datang kepada mereka, mereka tidak berdiri untuknya, mengingat mereka mengetahui bahwa beliau tidak menyukai cara tersebut. Di dalam hadits yang diriwayatkan di dalam kitab-kitab sunnah disebutkan bahwa Rasulullah ﷺ belum pernah duduk di tempat yang paling ujung dari suatu majelis, tetapi beliau selalu duduk di tengah-tengah majelis itu. Sedangkan para sahabat duduk di dekatnya sesuai dengan tingkatan mereka. Maka Abu Bakar As-Siddiq duduk di sebelah kanannya, Umar di sebelah kirinya, sedangkan yang di depan beliau sering kalinya adalah Usman dan Ali karena keduanya termasuk juru tulis wahyu. Dan Nabi sendirilah yang memerintahkan keduanya untuk hal tersebut, sebagaimana yang disebutkan dalam riwayat Imam Muslim melalui hadits Al-A'masy, dari Imarah ibnu Umair, dari Ma'mar, dari Abu Mas'ud, bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: Hendaklah orang-orang yang memiliki budi dan akal yang duduk mendampingiku, kemudian orang-orang yang sesudah mereka, kemudian orang-orang yang sesudah mereka. Hal ini tiada lain dimaksudkan agar mereka dapat memahami dari beliau apa yang beliau sabdakan. Karena itulah maka beliau ﷺ memerintahkan kepada mereka yang duduk di dekatnya untuk bangkit dan agar duduk di tempat mereka orang-orang Ahli Badar yang baru tiba. Hal ini adakalanya karena mereka kurang menghargai kedudukan Ahli Badar, atau agar Ahli Badar yang baru tiba itu dapat menerima bagian mereka dari ilmu sebagaimana yang telah diterima oleh orang-orang yang sebelum mereka, atau barangkali untuk mengajarkan kepada mereka bahwa orang-orang yang memiliki keutamaan itu (Ahli Badar) harus diprioritaskan berada di depan (dekat dengan Nabi ﷺ ) ". Imam Ahmad mengatakan pula bahwa telah menceritakan kepada kami Waki', dari Al-A'masy, dari Imarah ibnu.Umair Al-Laisi, dari Ma'mar, dari Abu Mas'ud yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah mengusap pundak-pundak kami sebelum shalat seraya bersabda: Luruskanlah saf kalian, janganlah kalian acak-acakan karena menyebabkan hati kalian akan bertentangan. Hendaklah yang berada di dekatku dari kalian adalah orang-orang yang memiliki budi dan akal, kemudian orang-orang yang sesudah mereka, kemudian orang-orang yang sesudah mereka. Abu Mas'ud mengatakan, bahwa keadaan kalian sekarang lebih parah pertentangannya. Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Imam Muslim dan para pemilik kitab sunnahkecuali Imam At-Tirmidzi melalui berbagai jalur dari Al-A'masy dengan sanad yang sama. Apabila hal ini dianjurkan oleh Nabi ﷺ kepada mereka dalam shalat, yaitu hendaknya orang-orang yang berakal dan ulamalah yang berada di dekat Nabi ﷺ , maka terlebih lagi bila hal tersebut di luar shalat. Imam Abu Dawud telah meriwayatkan melalui hadits Mu'awiyah ibnu Saleh, dari AbuzZahiriyah, dari Kasir ibnu Murrah, dari Abdullah ibnu Umar, bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: Luruskanlah semua saf, sejajarkanlah pundak-pundak (mu), tutuplah semua kekosongan (saf), dan lunakkanlah tangan terhadap saudara-saudaramu, dan janganlah kamu biarkan kekosongan (safjmu ditempati oleh setan. Barang siapa yang menghubungkan safnya, maka Allah akan berhubungan dengannya; dan barang siapa yang memutuskan saf maka Allah akan memutuskan hubungan dengannya. Karena itulah maka Ubay ibnu Ka'b yang terbilang pemimpin Ahli Qurra, apabila sampai di saf yang pertama, maka dia mencabut seseorang darinya yang orang itu termasuk salah seorang dari orang-orang yang berakal lemah, lalu ia masuk ke dalam saf pertama menggantikannya. Ia lakukan demikian karena berpegang kepada hadits berikut yang mengatakan: ". Hendaklah mengiringiku dari kalian orang-orang yang berbudi dan berakal. Lain halnya dengan sikap Abdullah ibnu Umar, ia tidak mau duduk di tempat seseorang yang bangkit darinya untuk dia karena mengamalkan hadits yang telah disebutkan di atas yang diketengahkan melalui riwayatnya sendiri. Untuk itu sudah dianggap cukup keterangan mengenai masalah ini dan semua contoh yang berkaitan dengan makna ayat ini. Karena sesungguhnya pembahasannya yang panjang lebar memerlukan tempat tersendiri, bukan dalam kitab tafsir ini. Di dalam sebuah hadits disebutkan bahwa ketika kami (para sahabat) sedang duduk bersama Rasulullah ﷺ , tiba-tiba datanglah tiga orang. Salah seorang dari mereka menjumpai kekosongan dalam halqah, maka ia masuk dan duduk padanya. Sedangkan yang lain hanya duduk di belakang orang-orang, dan orang yang ketiga pergi lagi. Maka Rasulullah ﷺ bersabda: Ingatlah, aku akan menceritakan kepada kalian tentang orang yang terbaik di antara tiga orang itu. Adapun orang yang pertama, dia berlindung kepada Allah, maka Allah pun memberikan tempat baginya. Sedangkan orang yang kedua, ia merasa malu, maka Allah merasa malu kepadanya. Dan adapun orang yang ketiga, dia berpaling, maka Allah berpaling darinya. Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Attab ibnu Ziad, telah menceritakan kepada kami Abdullah, telah menceritakan kepada kami Usamah ibnu Zaid, dari Amr ibnu Syu'aib, dari ayahnya, dari Abdullah ibnu Amr, bahwa Rasulullah ﷺ telah bersabda: Tidak diperbolehkan bagi seseorang memisahkan di antara dua orang (dalam suatu majelis), melainkan dengan seizin keduanya. Imam Abu Dawud dan Imam At-Tirmidzi meriwayatkannya melalui hadits Usamah ibnu Zaid Al-Laisi dengan sanad yang sama, dan Imam At-Tirmidzi menilainya hasan. Telah diriwayatkan pula dari Ibnu Abbas, Al-Hasan Al-Basri dan selain keduanya, bahwa mereka mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Apabila dikatakan kepadamu, "Berlapang-lapanglah dalam majelis, maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. (Al-Mujadilah: 11) Yakni dalam majelis peperangan. Mereka mengatakan bahwa makna firman-Nya: Dan apabila dikatakan, "Berdirilah kamu, maka berdirilah. (Al-Mujadilah: 11) Maksudnya, berdirilah untuk perang. Lain halnya dengan Qatadah, ia mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan apabila dikatakan, "Berdirilah kamu, maka berdirilah. (Al-Mujadilah: 11) Yaitu apabila kamu diundang untuk kebaikan, maka datanglah. Muqatil mengatakan bahwa apabila kamu diundang untuk shalat, maka bersegeralah kamu kepadanya. Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam mengatakan bahwa dahulu mereka (para sahabat) apabila berada di hadapan Nabi ﷺ di rumahnya, dan masa bubar telah tiba, maka masing-masing dari mereka menginginkan agar dirinyalah orang yang paling akhir bubarnya dari sisi beliau. Dan adakalanya Nabi ﷺ merasa keberatan dengan keadaan tersebut karena barangkali Nabi ﷺ mempunyai keperluan lain. Untuk itulah maka mereka diperintahkan agar pergi bila telah tiba saat bubar majelis. Hal ini semakna dengan apa yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya: Dan jika dikatakan kepadamu, "Kembali (saja)lah, maka hendaklah kamu kembali. (An-Nur: 28) Firman Allah subhanahu wa ta’ala: niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Al-Mujadilah: 11) Yakni janganlah kamu mempunyai anggapan bahwa apabila seseorang dari kalian memberikan kelapangan untuk tempat duduk saudaranya yang baru tiba, atau dia disuruh bangkit dari tempat duduknya untuk saudaranya itu, hal itu mengurangi haknya (merendahkannya). Tidak, bahkan hal itu merupakan suatu derajat ketinggian baginya di sisi Allah, dan Allah tidak akan menyia-nyiakan pahala itu untuknya, bahkan Dia akan memberikan balasan pahalanya di dunia dan akhirat. Karena sesungguhnya barang siapa yang berendah diri terhadap perintah Allah, niscaya Allah akan meninggikan kedudukannya dan mengharumkan namanya. Karena itulah maka disebutkan oleh firman-Nya: niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Al-Mujadilah: 11) Yaitu Maha Mengetahui siapa yang berhak untuk mendapatkannya dan siapa yang tidak berhak mendapatkannya. Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Kamil, telah menceritakan kepada kami Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Ibnu Syihab, dari Abut Tufail alias Amir ibnu Wasilah, bahwa Nafi' ibnu Abdul Haris bersua dengan Umar di Asfan, dan sebelumnya Umar telah mengangkatnya menjadi amilnya di Mekah. Maka Umar bertanya kepadanya, "Siapakah yang menggantikanmu untuk memerintah ahli lembah itu (yakni Mekah)?" Nafi' menjawab, "Aku angkat sebagai penggantiku terhadap mereka Ibnu Abza seseorang dari bekas budak kami." Umar bertanya, "Engkau angkat sebagai penggantimu untuk mengurus mereka seorang bekas budak?" Nafi' menjawab, "Wahai Amirul Muminin, sesungguhnya dia adalah seorang pembaca Kitabullah (ahli qiraat lagi hafal Al-Qur'an) dan alim mengenai ilmu faraid serta ahli dalam sejarah." Maka Umar berkata dengan nada menyetujui, bahwa tidakkah kami ingat bahwa Nabimu telah bersabda: Sesungguhnya Allah meninggikan derajat suatu kaum berkat Kitab (Al-Qur'an) ini dan merendahkan kaum lainnya karenanya. Hal yang semisal telah diriwayatkan oleh Imam Muslim melalui berbagai jalur dari Az-Zuhri dengan sanad yang sama. Telah diriwayatkan pula melalui berbagai jalur dari Umar hal yang semisal. Kami (penulis) telah menyebutkan tentang keutamaan ilmu dan para pemiliknya serta hadits-hadits yang menerangkan tentangnya secara rinci di dalam Syarah Kitabul 'Ilmi dari Shahih Al-Bukhari."

Pada ayat yang lalu Allah memerintahkan kaum muslim agar menghindarkan diri dari perbuatan berbisik-bisik dan pembicaraan rahasia, karena akan menimbulkan rasa tidak enak bagi muslim lainnya. Pada ayat ini, Allah memerintahkan kaum muslim untuk melakukan perbuatan yang menimbulkan rasa persaudaraan dalam semua pertemuan. Wahai orang-orang yang beriman apabila dikatakan kepadamu, dalam berbagai forum atau kesempatan, 'Berilah kelapangan di dalam majelis-majelis, agar orang-orang bisa masuk ke dalam ruangan itu,' maka lapangkanlah jalan menuju majelis tersebut, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu dalam berbagai kesempatan, forum, atau majelis. Dan apabila dikatakan kepada kamu dalam berbagai tempat, 'Berdirilah kamu untuk memberi penghormatan,' maka berdirilah sebagai tanda kerendahan hati, niscaya Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman di antaramu karena keyakinannya yang benar, dan Allah pun akan mengangkat orang-orang yang diberi ilmu, karena ilmunya menjadi hujah yang menerangi umat, beberapa derajat dibandingkan orang-orang yang tidak berilmu. Dan Allah Mahateliti terhadap niat, cara, dan tujuan dari apa yang kamu kerjakan, baik persoalan dunia maupun akhirat. 12. Pada ayat sebelumnya Allah memerintahkan agar orang-orang beriman mengembangkan adab yang baik, yaitu saling memberikan tempat dalam pertemuan tanda saling menghormati dan menumbuhkan persaudaraan. Allah pun meninggikan derajat orang yang beriman, berilmu, dan beramal dengan ilmunya itu. Pada ayat ini, Allah menerangkan bahwa para sahabat yang ingin menghadap Nabi diperintahkan mengembangkan adab yang baik, yaitu bersedekah terlebih dahulu guna menyucikan dirinya. Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu mengadakan pembicaraan khusus dengan Rasul untuk berkonsultasi tentang masalah yang sangat pribadi, hendaklah kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin) agar diri kamu menjadi bersih dari penyakit kikir, juga untuk mengurangi beban beliau menerima orang-orang yang tidak berkepentingan, sebelum (melakukan) pembicaraan itu. Yang demikian itu, bersedekah kepada fakir miskin sebelum berkonsultasi dengan Nabi, lebih baik bagimu, karena kamu berbagi dan peduli dengan orang-orang kecil dan lebih bersih, karena kamu membuang sifat kikir dan cinta harta yang berlebihan. Tetapi jika kamu tidak memperoleh harta atau uang (yang akan disedekahkan) sebelum bertemu Nabi karena kemiskinan, maka sungguh, Allah Maha Pengampun kepada orang yang hendak bersedekah, tetapi tidak sanggup, Maha Penyayang kepada hamba yang baik hati.

Ayat ini memberikan penjelasan bahwa jika di antara kaum Muslimin ada yang diperintahkan Rasulullah ﷺ berdiri untuk memberikan kesempatan kepada orang tertentu untuk duduk, atau mereka diperintahkan pergi dahulu, hendaklah mereka berdiri atau pergi, karena beliau ingin memberikan penghormatan kepada orang-orang itu, ingin menyendiri untuk memikirkan urusan-urusan agama, atau melaksanakan tugas-tugas yang perlu diselesaikan dengan segera. Dari ayat ini dapat dipahami hal-hal sebagai berikut: 1. Para sahabat berlomba-lomba mencari tempat dekat Rasulullah ﷺ agar mudah mendengar perkataan yang beliau sampaikan kepada mereka. 2. Perintah memberikan tempat kepada orang yang baru datang merupakan anjuran, jika memungkinkan dilakukan, untuk menimbulkan rasa persahabatan antara sesama yang hadir. 3. Sesungguhnya tiap-tiap orang yang memberikan kelapangan kepada hamba Allah dalam melakukan perbuatan-perbuatan baik, maka Allah akan memberi kelapangan pula kepadanya di dunia dan di akhirat. Memberi kelapangan kepada sesama Muslim dalam pergaulan dan usaha mencari kebajikan dan kebaikan, berusaha menyenangkan hati saudara-saudaranya, memberi pertolongan, dan sebagainya termasuk yang dianjurkan Rasulullah ﷺ Beliau bersabda: Allah selalu menolong hamba selama hamba itu menolong saudaranya. (Riwayat Muslim dari Abu Hurairah) Berdasarkan ayat ini para ulama berpendapat bahwa orang-orang yang hadir dalam suatu majelis hendaklah mematuhi ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam majelis itu atau mematuhi perintah orang-orang yang mengatur majelis itu. Jika dipelajari maksud ayat di atas, ada suatu ketetapan yang ditentukan ayat ini, yaitu agar orang-orang menghadiri suatu majelis baik yang datang pada waktunya atau yang terlambat, selalu menjaga suasana yang baik, penuh persaudaraan dan saling bertenggang rasa. Bagi yang lebih dahulu datang, hendaklah memenuhi tempat di muka, sehingga orang yang datang kemudian tidak perlu melangkahi atau mengganggu orang yang telah lebih dahulu hadir. Bagi orang yang terlambat datang, hendaklah rela dengan keadaan yang ditemuinya, seperti tidak mendapat tempat duduk. Inilah yang dimaksud dengan sabda Nabi saw: Janganlah seseorang menyuruh temannya berdiri dari tempat duduknya, lalu ia duduk di tempat tersebut, tetapi hendaklah mereka bergeser dan berlapang-lapang." (Riwayat Muslim dari Ibnu 'Umar) Akhir ayat ini menerangkan bahwa Allah akan mengangkat derajat orang yang beriman, taat dan patuh kepada-Nya, melaksanakan perintah-Nya, menjauhi larangan-Nya, berusaha menciptakan suasana damai, aman, dan tenteram dalam masyarakat, demikian pula orang-orang berilmu yang menggunakan ilmunya untuk menegakkan kalimat Allah. Dari ayat ini dipahami bahwa orang-orang yang mempunyai derajat yang paling tinggi di sisi Allah ialah orang yang beriman dan berilmu. Ilmunya itu diamalkan sesuai dengan yang diperintahkan Allah dan rasul-Nya. Kemudian Allah menegaskan bahwa Dia Maha Mengetahui semua yang dilakukan manusia, tidak ada yang tersembunyi bagi-Nya. Dia akan memberi balasan yang adil sesuai dengan perbuatan yang telah dilakukannya. Perbuatan baik akan dibalas dengan surga dan perbuatan jahat dan terlarang akan dibalas dengan azab neraka.

SOPAN SANTUN (ETIKET) DALAM MAJELIS


“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila dikatakan kepada kamu berlapang-lapanglah pada majelis-majelis, maka lapangkanlah." Asal mulanya duduk bersama mengelilingi Nabi karena hendak mendengar ajaran-ajaran dan hikmah yang akan beliau keluarkan. Tentu ada yang datang terlebih dahulu, sehingga tempat duduk bersama itu kelihatan telah sempit. Karena di waktu itu orang duduk bersama di atas tanah, belum memakai kursi seperti sekarang. Niscaya karena sempitnya itu, orang yang datang kemudian tidak lagi mendapat tempat, lalu dianjurkanlah oleh Rasul agar yang duduk terlebih dahulu melapangkan tempat bagi yang datang kemudian. Sebab pada hakikatnya tempat itu belumlah sesempit apa yang kita sangka. Masih ada tempat lowong, masih ada tempat untuk yang datang kemudian. Sebab itu hendaklah yang telah duduk lebih dahulu melapangkan tempat bagi mereka yang datang itu. Karena yang sempit itu bukan tempat, melainkan hati.

“Niscaya Allah akan melapangkan bagi kamu." Artinya, karena hati telah dilapangkan terlebih dahulu menerima teman, hati kedua belah pihak akan sama-sama terbuka. Hati yang terbuka akan memudahkan segala urusan selanjutnya. Tepat sebagaimana bunyi pepatah yang terkenal, “Duduk sendiri bersempit-sempit, duduk banyak berlapang-lapang." Kalau hati sudah lapang, pikiran pun lega, akal pun terbuka dan rezeki yang halal pun dapat didatangkan Allah dengan lancar.

“Dan jika dikatakan kepada kamu, ‘Berdirilah!' Maka berdirilah!" Maksud dari kata-kata ini adalah dua.

Pertama, jika disuruh orang kamu berdiri untuk memberikan tempat kepada yang lain yang lebih patut duduk di tempat yang kamu duduki itu, segeralah berdiri!

Kedua, yaitu jika disuruh berdiri karena kamu sudah lama duduk, supaya orang lain yang belum mendapat kesempatan diberi peluang pula, maka segeralah kamu berdiri! Kalau sudah ada saran menyuruh berdiri, janganlah “berat ekor" seakan-akan terpaku pinggulmu di tempat itu, dengan tidak hendak memberi kesempatan kepada orang lain.

Menurut suatu riwayat Rasulullah ﷺ duduk di ruang Shuffah, yaitu ruang tempat berkumpul dan tempat tinggal dari sahabat-sahabat Nabi yang tidak mempunyai rumah tangga. Tempat itu agak sempit, dan sahabat-sahabat dari Muhajirin dan Anshar telah berkumpul. Beberapa orang sahabat yang turut dalam Peperangan Badar telah ada hadir dan kemudian datang pula yang lain. Mana yang datang mengucapkan salam kepada Rasulullah ﷺ dan kepada orang-orang yang hadir lebih dahulu. Salam mereka dijawab orang yang telah hadir, tetapi mereka tidak bergeser dari tempat duduk mereka sehingga orang-orang yang baru datang itu terpaksa berdiri terus. Melihat hal itu Rasulullah merasakan kurang senang, terutama karena di antara yang baru datang itu adalah sahabat-sahabat yang mendapat penghargaan istimewa dari Allah karena mereka turut dalam Peperangan Badar.

Akhirnya bersabdalah Rasulullah ﷺ kepada sahabat-sahabat yang bukan ahli-ahli Badar, “Hai Fulan, berdirilah engkau! Hai Fulan, engkau berdiri pulalah!" Lalu beliau suruh duduk ahli-ahli Badar yang masih berdiri itu. Tetapi yang disuruh berdiri itu ada yang wajahnya terbayang rasa kurang senang atas hal yang demikian, dan orang munafik yang turut hadir mulailah membisikkan celaan atas yang demikian seraya berkata, “Itu perbuatan yang tidak adil, demi Allah!" Padahal ada orang dari semula telah duduk karena ingin mendekat dan mendengar, tiba-tiba dia disuruh berdiri dan tempatnya disuruh duduki kepada yang baru datang. Melihat yang demikian bersabdalah Rasulullah ﷺ,“Dirahmati Allah seseorang yang melapangkan tempat buat saudaranya." (HR Ibnu Abi Hatim) Inilah sebab turun ayat itu.

Ayat ini menunjukkan bahwa apabila seseorang berlapang hati kepada sesama hamba Allah dalam memasuki serba aneka pintu kebajikan dan dengan kesenangan pikiran, niscaya Allah akan melapangkan pula baginya pintu-pintu kebajikan di dunia dan di akhirat. Sebab itu tidaklah selayaknya membatasi ayat ini hanya sekadar melapangkan tempat duduk dalam suatu majelis, bahkan luaslah yang dimaksud oleh ayat ini, yaitu segala usaha bagaimana agar suatu kebajikan dan kemanfaatan sampai kepada sesama Muslim, bagaimana supaya hatinya jadi senang.


“Allah akan mengangkat orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat." Sambungan ayat ini pun mengandung dua tafsir.

Pertama, jika seseorang disuruh melapangkan majelis, yang berarti melapangkan hati, bahkan jika dia disuruh berdiri sekalipun lalu memberikan tempatnya kepada orang yang patut didudukkan di muka, janganlah dia berkecil hati. Melainkan hendaklah dia berlapang dada. Karena orang yang berlapang dada itulah kelak yang akan diangkat Allah iman dan ilmunya, sehingga derajatnya bertambah naik. Orang yang patuh dan sudi memberikan tempat kepada orang lain itulah yang akan bertambah ilmunya.

Kedua, memang ada orang yang diangkat Allah derajatnya lebih tinggi daripada orang kebanyakan, pertama karena imannya, kedua karena ilmunya. Setiap hari pun dapat kita melihat pada raut muka, pada wajah, pada sinar mata orang yang beriman dan berilmu. Ada saja tanda yang dapat dibaca oleh orang yang arif bijaksana bahwa si Fulan ini orang beriman, si fulan ini orang berilmu. Iman memberi cahaya pada jiwa, disebut juga pada moral. Sedang ilmu pengetahuan memberi sinar pada mata.

“Dan Allah, dengan apa pun yang kamu kerjakan, adalah Maha Mengetahui." (ujung ayat 11) Ujung ayat ini ada pada ajaran ini. Pokok hidup utama dan pertama adalah iman, dan pokok pengiringnya adalah ilmu. Iman tidak disertai ilmu dapat membawa dirinya terperosok mengerjakan pekerjaan yang disangka menyembah Allah, padahal mendurhakai Allah. Sebaliknya orang yang berilmu saja tidak disertai atau yang tidak membawanya kepada iman, maka ilmunya itu dapat mem-bahayakan, bagi dirinya sendiri ataupun bagi sesama manusia.

“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu hendak mengadakan pembicaraan tersendiri dengan Rasul hendaklah kamu dahulukan mengeluarkan sedekah sebelum pembicaraan itu." Kelapangan hati Rasulullah ﷺ menghadapi umatnya yang berbagai ragam di waktu itu, menyebabkan ada-ada saja soal yang hendak dibicarakan dengan beliau. Banyak sekali yang minta berbicara berdua saja! Mereka meminta nasihat khusus. Mereka meminta penyelesaian urusan rumah tangga. Orang lain tidak boleh mendengar, sebab ini rahasia. Tetapi kadang-kadang yang meminta berbicara secara khusus itu terlalu banyak, sehingga sangat menghabiskan waktu. Maka datanglah peraturan, yaitu barangsiapa yang ingin hendak berurusan istimewa dengan Rasul, hendak meminta pertemuan berdua saja, mestilah terlebih dahulu mengeluarkan sedekah kepada fakir miskin.

“Demikian itulah yang lebih baik bagi kamu dan lebih bersih." Sebabnya ialah:

Pertama, dengan adanya pembayaran sedekah kepada fakir miskin terlebih dahulu sebelum berjumpa dengan beliau, maka menemui beliau itu tidak dipermudah-mudahkan lagi.

Kedua, karena tiap ada pertemuan rahasia seseorang dengan Rasul, si fakir miskin mendapat rezeki.

Ketiga, sejak ada pembayaran itu orang sudah berpikir-pikir lebih dahulu akan bertemu dengan Nabi. Kalau tidak perlu benar, tidak usah bertemu lagi.

Keempat, terlebih-lebih orang kaya yang bakhil selama ini, sudah terpaksa, mau tidak mau keluar uang lebih dahulu untuk fakir miskin.

“Tetapi jika tidak kamu dapati." Karena kamu miskin, tidak ada harta yang akan diberikan kepada fakir miskin itu sebab kamu sendiri pun terhitung orang miskin, “Maka sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun, lagi Maha Penyayang." (ujung ayat 12) Ini adalah keringanan yang diberikan bagi yang sama sekali tidak mampu. Mereka dikecualikan.

“Apakah takut kamu mendahulukan sedekah sebelum pertemuan itu?" Arti takut di sini ialah takut kalau-kalau perintah Allah ini tidak terpenuhi karena memang tidak ada yang akan diberikan. Sesudah ayat 12 turun hanya ada seorang saja yang sempat melakukan perintah Allah itu, yaitu Ali bin Abi Thalib, ditukarkannya uang dinarnya jadi sepuluh dirham. Maksudnya ialah tiap-tiap akan menemui Rasulullah hendak diberikannya satu dirham kepada fakir miskin.

“Maka jika tidak kamu kerjakan, dan Allah pun memberi tobat kepada kamu, maka dirikanlah shalat dan keluarkanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya." Dengan tambahan firman Allah yang demikian, dijelaskan lagi bahwa memberikan sedekah kepada fakir miskin sebelum menemui Rasul bersendirian, tidaklah termasuk sedekah wajib, melainkan anjuran saja. Tidak kamu bayar pun tidak apa! Asal kamu tetap mengerjakan shalat, terutama shalat berjamaah lima waktu, saat itu kamu dapat beramai-ramai menemui Nabi dan mengerumuni beliau. Dan dengan membayar zakat, keluarlah harta benda orang kaya untuk yang miskin dan itulah sedekah yang wajib. “Dan Allah Maha Tahu dengan apa yang kamu kerjakan." (ujung ayat 13)

Ahli-ahli tafsir mengatakan bahwa ayat 12 dinasikhkan oleh ayat 13. Bahkan ujung ayat 12 itu pun telah jadi penasikh dari pangkalnya. Dikatakan bahwa hanya Ali bin Abi Thalib saja yang menjadi orang pertama dan terakhir yang sanggup mengamalkan ayat itu sepenuhnya. Setelah itu tidak ada orang yang melakukan lagi. Tetapi Abu Muslim al-Isbahani, ahli tafsir terkenal yang kadang-kadang mengeluarkan pendapat tersendiri dari jumhur, punya pendapat yang layak diperhatikan dengan saksama. Beliau ini berkata, tidak terdapat nasikh-mansukh dalam ayat ini. Tidak terdapat pangkal ayat dinasikhkan dengan ujung ayat. Beliau berpendapat bahwa anjuran bersedekah itu tetap ada, untuk siapa yang sanggup. Yang tidak sanggup, tidak diberati. Gunanya ialah untuk menguji pembedaan orang yang Mukmin sejati dengan orang munafik. Dengan susunan ayat yang sangat halus ini berubahlah cara mereka terhadap Rasul, kalau tidak sangat penting, tidaklah ada lagi yang meminta waktu untuk berbicara empat mata dengan Nabi.