Dibawah ini yang tidak termasuk isi dari perjanjian bongaya adalah

Ilustrasi Perjanjian Bongaya. Foto: Pixabay

Peperangan besar-besaran yang telah terjadi antara kerajaan Gowa melawan VOC menjadi bagian dari lahirnya sejarah Perjanjian Bongaya. Perjanjian Bongaya adalah perjanjian yang ditandatangani Kesultanan Gowa dengan VOC.

Perjanjian Bongaya disepakati pada 18 November 1667 Masehi di daerah Bongaya, Provinsi Sulawesi Selatan. Meskipun disebut sebagai perjanjian, Perjanjian Bongaya kebanyakan berisi hal-hal yang merugikan Kerajaan Gowa.

Lebih lanjut, simak sejarah Perjanjian Bongaya yang dihimpun dari buku Sejarah Kebudayaan Islam Madrasah Aliyah Kelas XII oleh Drs. Imam Subchi, dalam uraian artikel di bawah ini hingga tuntas.

Sejarah Perjanjian Bongaya

Pembawa agama Islam ke Sulawesi Selatan yang terkenal adalah Dato' ri Bandang dan Sulaiman. Pada tahun 1605 M, keduanya berhasil mengislamkan para pejabat tinggi kerajaan.

Kraeng Matoaya yang menjadi Raja Gowa, diangkat sebagai Raja Makasar dan setelah masuk Islam bergelar Sultan Alaudin. Ia memerintah pada tahun 1593-1639 M.

Raja Tallo diangkat sebagai mangkubumi dengan gelar Sultan Abdullah Kerajaan Makasar mencapai puncak kejayaan pada abad ke-17, yaitu di bawah kekuasaan Sultan Malikussaid (ayah Sultan Hasanuddin), yang memerintah pada tahun 1639-1653 M.

Dalam masa pemerintahannya, Makasar berkembang menjadi kerajaan maritim yang besar. Kekuasaannya hampir meliputi seluruh kawasan timur Nusantara. Pada masa itu, agama Islam telah menjadi agama resmi kerajaan.

Dengan demikian, hubungan antara ekspansi politik dengan Islamisasi sangat penting dalam memahami konteks dan dinamika yang berlangsung di kawasan timur, khususnya upaya kerajaan Gowa-Tallo dalam ekspansi politik ke Kerajaan Bima pada abad XVII.

Peranan Makasar sebagai pusat perdagangan dan bandar niaga menjadi lebih besar, terutama dalam perdagangan rempah-rempah dan beras. Pelabuhan Makasar, tidak hanya disinggahi kapal-kapal dan para pedagang dari Nusantara, tetapi juga berasal dari Cina dan Eropa.

Sejalan dengan itu, abad ke 17 merupakan saat di mana kerajaan-kerajaan Islam di pesisir Utara Pulau Jawa mengalami kemunduran dan keruntuhan satu persatu.

Kondisi itu merupakan kesempatan dan peluang bagi Kerajaan Gowa untuk mengembangkan diri menjadi pusat penyiaran agama Islam dan pusat perdagangan di kawasan timur Nusantara.

Ilustrasi kastil Kerajaan Gowa. Foto: Pixabay

Pada 1653, Sultan Malikussaid digantikan oleh putranya bernama Hasanuddin. Ia memerintah pada tahun 1653-1669 M. Hasanuddin terus melanjutkan usaha yang dilakukan oleh ayahnya.

Pada masa pemerintahan Hasanuddin, Kerajaan Makasar terus mempertahankan kejayaannya. Sultan Hasanuddin dikenal sebagai raja yang sangat anti terhadap dominasi asing. Oleh karena itu, ia menentang kehadiran dan monopoli yang dipaksakan oleh VOC.

Karena keberaniannya, Hasanuddin terkenal dengan sebutan Ayam Jantan dari Timur. Wilayah kekuasaan Kerajaan Makasar terus meluas. Pulau-pulau di sebelah selatan dapat ditaklukkan Kerajaan Bone juga dapat dikuasai.

Pada sisi berlawanan, VOC menggunakan politik Devide et Impera (politik adu domba) dengan meminta bantuan Aru Palaka, seorang Pangeran Bugis dari Kesultanan Bone. Pada saat yang sama, Aru Palaka ingin membalaskan dendamnya ke Kesultanan Gowa-Tallo dan ingin merebut kemerdekaan Bone.

Sebagai tambahan informasi, pada 1660, Aru Palaka bersama 10.000 orang Bugis dari Bone melakukan pemberontakan ke Kesultanan Gowa. Akan tetapi, pemberontakan itu gagal dilakukan.

Kebesaran Kerajaan Makasar ternyata tidak dapat dipertahankan. Karena di Makasar sedang ada perselisihan antara Aru Palaka, seorang pangeran dari Kerajaan Bone atau Suku Bugis dengan Kerajaan Makasar atau Gowa yang dipimpin oleh Sultan Hasanuddin.

Dalam peperangan besar antara Sultan Hasanuddin dengan Aru Palaka, yang saat itu dibantu oleh tentara VOC yang dipimpin oleh Kapten Cornelis Speelman, ternyata mengalami kekalahan dan dipaksa untuk menandatangani sebuah perjanjian perdamaian di Desa Bongaya pada tahun 1667 M, kini disebut sebagai Perjanjian Bongaya.

Ilustrasi Perjanjian Bongaya. Foto: Pixabay

Isi dari perjanjian Bongaya, antara lain Sultan Hasanuddin sebagai Raja Gowa harus mengakui pemerintahan dan kekuasaan Belanda (VOC) di Makassar. Kerajaan Gowa harus menyerahkan Benteng Ujungpandang, yang kemudian menjadi Fort Rotterdam kepada Belanda.

Berikut ini seluruh isi dari Perjanjian Bongaya selengkapnya, seperti dikutip dari buku Awal Mula Muslim Di Bali Kampung Loloan Jembrana Sebuah Entitas Kuno oleh H. Bagenda Ali:

  • Makassar harus mengakui monopoli VOC.

  • Wilayah Makassar dipersempit hingga tinggal Gowa saja.

  • Makassar harus membayar ganti kerugian perang.

  • Hasanuddin harus mengakui Aru Palakka sebagai Raja Bone.

  • Gowa tertutup bagi orang asing selain VOC.

  • Benteng-benteng yang ada harus dihancurkan kecuali Benteng Rotterdam.

Terlihat dengan jelas bahwa isi Perjanjian Bongaya memuat ketentuan yang cenderung menguntungkan pihak VOC. Dijelaskan dalam buku Sejarah untuk Kelas XI Sekolah Menengah Atas Program Bahasa oleh Nana Supriatna, dalam perjanjian tersebut disebutkan bahwa Belanda berhak memonopoli dagang rempah-rempah di wilayah Makassar sekaligus mendirikan benteng pertahanan di wilayah tersebut.

Sementara itu, pihak kesultanan harus melepaskan daerah kekuasaannya di luar Makassar. Secara tak langsung, perjanjian tersebut menunjukkan betapa besar kerugian yang dialami oleh Kesultanan Gowa-Tallo.

Namun, Perjanjian Bongaya ternyata tidak berlaku lama karena Sultan Hasanuddin kembali memimpin rakyatnya untuk rakyatnya untuk mengadakan peperangan dengan Belanda.

Pada awalnya, Belanda kewalahan menghadapi serangan yang mendadak ini. Dengan persenjataannya yang lengkap, mereka dapat memukul mundur Sultan Hasanuddin.

Sultan Hasanuddin dan rakyat Makassar tidak bisa berkutik berkutik ketika pertahanannya, yaitu Benteng Somba Opu jatuh ke tangan Belanda Akhirnya Sultan Hasanuddin menyerahkan kekuasaan kepada putranya bernama Mappasomba yang bergelar sebagai Sultan Muhammad Ali sebagai Raja Gowa XVII.

Konsekuensi dari perjanjian ini bagi rakyat terutama para punggawa dan prajurit pejuang kerajaan yang tidak mau tunduk kepada VOC Belanda dengan keberaniannya, mereka dengan terpaksa harus eksodus.

Mereka eksodus dari Makassar mengarungi lautan mencari daerah-daerah baru sambil menyebarkan agama Islam termasuk ke Pulau Bali dan di antaranya menuju Jembrana, yaitu pertama mereka sandar di Pantai Air Kuning sebelah timur muara sungai ljo Gading yang sekarang wilayah Kec. Jembrana.

Merangkum buku Pahlawan Indonesia oleh Tim Media Pusindo, Sultan Hasanuddin lahir di Gowa, Sulawesi Selatan pada 12 Januari 1631. Beliau merupakan sultan Gowa ke-16 menggantikan ayahnya, Manuntungi Daeng matola Karaeng Lakiyung Sultan Muhammad Said.

Nama asli Sultan Hasanudin adalah nama Muhammad Bakir I Mallombasi Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangape. Kegigihan dan keberaniannya dalam melawan Belanda membuat Belanda memberikannya julukan "Ayam Jantan dari Timur".

Pada saat pemerintahan ayahnya, Belanda mendirikan kantor dagang di Kepualauan Maluku. Hal tersebut menjadi ancaman bagi kedaulatan Kerajaan Gowa.

Kemudian di tahun 1660, terjadi peperangan antara Kerajaan Gowa dan Belanda. Pertempuran ini berakhir dengan diadakannya perjanjian damai.

Namun, pada tahun 1666 kembali terjadi peperangan karena Belanda melanggar perdamaian dan merugikan Gowa. Sultan Hasanuddin pun menyerang kapal-kapal Belanda dan menenggelamkannya.

Belanda yang tidak terima pun kemudian melakukan serangan balasan. Perang terjadi secara besar-besaran antara pasukan Gowa yang dipimpin Sultan Hasanuddin dan Belanda yang dipimpin Cornelis Speelman.

Pada 18 November 1667, di Bongaya, Sultan Hasanuddin yang sudah terdesak dengan berbagai pertempuran terpaksa menandatangani perjanjian Bongaya. Perjanjian tersebut ternyata sangat merugikan Gowa, sehingga Sultan Hasanuddin tetap memberikan perlawanan pada Belanda. Namun serangan-serangan tersebut tidak berarti karena Belanda sudah sangat kuat.