tirto.id - Firman Allah SWT dalam Surat al-Maidah ayat 48 menunjukkan dengan jelas bahwa Allah menciptakan manusia dengan berbagai variasi warna kulit, bahasa, tabiat, dan bentuk tubuh. Dengan keragaman inilah justru terdapat keindahan dan kesempurnaan. Dengan kata lain, perbedaan merupakan fitrah dan kehendak Allah. Ayat tersebut berbunyi: “Kalau Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap karunia yang telah diberikan-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan.”
Muhammad bin Abdul Rahman al-Dimasyqi, seorang ulama mazhab Syafii, menegaskan dalam kitab Rahmatul Ummah fi Ikhtilafil Aimmah bahwa perbedaan pendapat di kalangan ulama merupakan rahmat bagi umat. Sebab mereka telah melakukan ijtihad dengan mengerahkan seluruh daya intelektual dan spiritual guna mencari kebenaran. Kala Rasulullah masih hidup, perbedaan pendapat sangat jarang terjadi. Rasulullah adalah tokoh sentral, tempat rujukan segala permasalahan yang dialami para sahabat. Karena itu jika para sahabat berselisih pendapat, mereka segera berkonsultasi kepada Rasulullah. Dan Rasulullah pun kemudian menjelaskan pendapat yang benar. Suatu kali para sahabat pernah berbeda pendapat tentang makna sabda Nabi: “Janganlah seseorang melakukan salat asar kecuali di Bani Quraidhah.” Sebagian sahabat tetap menjalankan salat asar pada waktunya, meski belum sampai di Bani Quraidhah. Kelompok ini memaknai hadis di atas sebagai perintah untuk mempercepat perjalanan menuju Bani Quraidhah dan bukan sebagai keringanan melakukan salat di luar waktu yang telah ditentukan.
Sementara sebagian lain baru menjalankan salat asar setelah sampai di Bani Quraidhah sesuai makna harfiah hadis. Perbedaan pendapat ini disampaikan kepada Rasulullah dan ia tidak mencaci salah satu dari kedua pendapat tersebut. Ini berarti Rasulullah membenarkan keduanya. Tapi setelah Rasulullah wafat, bibit-bibit perbedaan pendapat mulai tumbuh dan berkembang.
Baca juga: Di Pangkuan Aisyah, Nabi Muhammad Berangkat Menemui Allah Menurut Taha Jabir al-Alwani dalam kitab Adabul Ikhtilaf fil Islam, perbedaan pendapat setelah Rasulullah wafat dimulai dari benar atau tidaknya berita Rasulullah meninggal. Hingga kemudian timbul pula perbedaan tentang siapakah khalifah pengganti Rasulullah. Perbedaan pendapat tersebut semakin melebar pada periode Tabiin dan mencapai puncaknya pada era imam mazhab. Untuk mengetahui lebih lanjut tentang sejarah perbedaan pendapat dalam Islam, bisa disimak di artikel berikut ini.
Baca juga artikel terkait
Ramadan 2019
atau tulisan menarik lainnya
Zen RS
Penulis : Ivan Aulia Ahsan
Islam adalah agama yang membawa Rahmat ilahi berupa persatuan dan kebersamaan (i’tilaf dan ta’awun) berdasarkan pada standar dan parameter kebenaran (Realitas Ketuhanan) yang merupakan ujian pilihan bagi seluruh manusia. Islam bukan sekedar alternatif, tetapi merupakan kewajiban mutlak (taklif) bagi setiap jin dan manusia. Karena Islam adalah kumpulan kebenaran imani (ideologis-konseptual), satuan kebenaran lapangan (realitas-praktis) dan totalitas kebenaran bersikap (Etis). Adapun persatuan yang bersifat alami; di mana manusia tak memiliki pilihan padanya. Seperti persatuan karena faktor nasab, suku, ras, bangsa dan negara tetap dijaga dalam Islam. Namun sebatas tidak merusak sikap loyal (wala’) kepada Islam. Artinya, persfektif dan ajaran serta norma-norma Islam harus mengungguli dan mengatur semua jenis dan faktor-faktor persatuan tersebut tanpa adanya sikaf ektrim (ta’asub) berlebihan. Kenapa demikian, karena Islam itu menyatukan dan mengakurkan; sama sekali tidak senang mempertentangkan, apalagi melanggengkan sikap bercerai berai. Namun, perlu dipahami dari awal bahwa persatuan yang berefek pada persaudaraan dan sikap saling menghargai yang diinginkan oleh Islam adalah persatuan dalam kebenaran Islam. Selama keadilan Islam tidak diwujudkan, maka tak ada kata persatuan dan tidak ada kompromi sedikit pun. Karena Islam adalah oposisi kebatilan. A. Perbedaan (Keragaman); Tabiat Kehidupan.Hidup ini secara realitas adalah wujud keberagaman ciptaan Allah yang menunjukkan kehebatan Allah ta’alaa sebagai sang kreator maha hebat tanpa batas (badi’us samawati wal ard). Sebuah fakta penciptaan (dalil al-ikhtiraa) yang berpadu dengan fakta perhatian Allah (dalil al-inayah) yang senantiasa aktual pada diri setiap makhlukNya. Inilah yang membuktikan Allah itu esa, tiada duaNya. Tanpa pasangan (istri) ; tak beranak dan tidak pula diperanakkan. Dialah Zat yang paling unik dan tidak mungkin ada yang menyerupaiNya apalagi selevel denganNya. Keberagaman (perbedaan) yang menjadi tabiat kehidupan itu minimal bisa dilihat dari 2 lingkup berikut : (1). Antara keistimewaan Allah dan keberagaman sang hamba (makhluk).Semua makhluk ditetapkan oleh Allah berpasangan. Jenis laki dan perempuan ditemukan pada hampir semua ragam makhluk; manusia, binatang, tumbuhan dll. Perbedaan jenis kelamin ini merupakan rahasia keberlangsungan makhluk melalui mekanisme perkawinan. Sehingga susah mudah, sedikit banyak, baik buruk, halal haram, tinggi rendah, tua muda, jauh dekat ; sebagai identifikasi yangmemudahkan manusia agar tidak terjatuh pada sikap ambigu dan sikap serba relativistik. Belum lagi keragaman warna dengan gradasinya yang menakjubkan. Hingga unsur-unsur pun beragam; dari Ho2, Co2 dll. Sehingga makhluk dikenal dengan keberpasangannya (zaujiyah), sementara identitas khusus Allah dikenal dengan keesaanNya (Ahadiyah) dan ketergantungan makhluk padaNya (Shamadiyah).(2). Peluang Keragaman Pada Level Kebenaran (Agama) Bahkan, bukan hanya pada level keberagaman makhluk yang menunjukkan adanya perbedaan. Hingga pada level agama sebagai standar kebenaran di bumi, apalagi di langit, tetap terbuka. Di samping Allah menegaskan tidak adanya paksaan dalam berislam, juga Allah tetap memberikan opsi pilihan dan kebebasan bagi manusia dan jin untuk menentukan pilihan mereka secara bebas, tapi tetap harus dalam koridor tanggung jawab. Tiada lain kecuali sebagai bentuk ujian seleksi; antara yang taat dan maksiat, kafir dan beriman dll, Penentuan tingkat kelas ketaatan dan level kemaksiatan. Kalau Allah mau, niscaya manusia seragam dalam hal kebenaran. Namun, hal itu bertentangan dengan hikmahNya dalam kehidupan sebagai lahan ujian. Sehingga keburukan diizinkan bukan karena Allah ridha, tapi murni ujian dan pemberian hak-hak kebebasan yang menunjukkan bahwa manusia memang dicipta oleh Allah sekaligus perbuatan mereka. Namun, potensi perbuatan tersebut tetap berada dalam kendali dan kebebasan manusia yang suatu saat nanti akan dimintai pertanggungjawaban atas semuanya secara total. B. Jenis-jenis Perbedaan Secara umum.Minimal perbedaan itu bisa dilihat sekilas berdasarkan kategorisasi berikut :[1]. Hati (Akidah). Perbedaan hati berupa perbedaan iman sehingga menghasilkan sikap loyal (wala’) dan sikap disloyalitas (bara’). Dari sisi eksternal (non muslim) ini mutlak terjadi. Cuman, jika dari sisi internal kita kaum muslimin, inilah yang sangat disayangkan. Walaupun demikian, Perbedaan internal kita antara sesama Ahlu Sunnah wal Jama’ah yang mencakup Atsariyah, Asy’ariyah dan Maturidiyah tetap harus dibedakan secara bijak dengan non Ahlu Sunnah seperti khawarij, Syi’ah. Muktazilah, Jahmiyah dll. [2]. Sikap (Perbuatan). Adapun dalam hal referensi utama, seperti al-Qur’an, as-Sunnah Ijma’ dan Qiyas tetap mereka sepakat. Walaupun cara pandang tentang qath’i-dzanni teks-teks tersebut dari sisi otensititas (wurud) dan maknanya (dilalah) masih juga terjadi perbedaan. Demikian pula dari sisi interpretasi, mereka kadang juga berbeda-beda. Nanti ini diperluas pada babnya secara khusus, in syaa Allah. Masalah pendekatan dan metodologis ini menghasilkan 2 cara pengambilan hukum (istinbath) antara metode Mutakkalimin dan metode Fuqaha. Walaupun ada juga metode sintesis yang dipraktekkan oleh imam lain selain imam Ibnu Qudamah dalam kitab Raudhatun Nazhir ilaa Jannatil Munazhir. [3]. Etika (Moral). [4]. Pemikiran (Ideologi dan Filsafat) Dari semua Perbedaan di atas, minimal bisa diringkas dengan dua jenis perbedaan berikut : (2). Perbedaan kontradiktif (Tadhad). Adalah perbedaan yang timbul akibat diperluasnya cakupan takwil. Sehingga makna makin beragam hingga ke tahap saling menafikan. Umumnya terjadi antara Ahlu Sunnah Wal Jama’ah dengan pemikiran non Ahlu Sunnah. Seperti perbedaan masalah nikah mut’ah yang terjadi antara mazhab Ahlu Sunnah dan Syi’ah. Juga seperti perbedaan makna tauhid antar internal Ahlu Sunnah. Ada yang menegaskan semua sifat-sifat Allah tanpa kecuali. Ada pula yang menetapkan sebagian (20 atau hanya 7). Juga perbedaan antara Ahlu Sunnah dengan Muktazilah. Yang mana, Muktazilah menafikan semua sifat-sifat Allah karena dianggap potensial memperbanyak makna Qadim (ta’addudul qudama’) di sisi Allah yang berefek pada kesyirikan. Sehingga tauhid versi Muktazilah adalah Allah dengan nama-namaNya tanpa predikat sifat sedikit pun. C. Perbedaan (Ikhtilaf) dan Perselisihan (Iftiraq). D. Perbedaan dalam Masalah Fiqhiyah. Inti perbedaan di sini adalah seputar Ar-Ra’yu (rasionalitas). Selama ini, Mazhab Maliki sering dianggap minus ra’yu (rasionalitas) karena fokus riwayat. Sementara mazhab Hanafi dituduh berlebihan dalam aspek ra’yu karena fokus Qiyas (Analogi). Berikut ini titik perbedaan dan persamaan antara kedua mazhab secara global :
Sebab-Sebab Terjadinya Perbedaan.
Referensi :
|