Ilustrasi penerapan Pasal 28 Ayat 1 UUD 1945, sumber gambar: //www.unsplash.com/ Pasal 28 Ayat 1 UUD 1945 merupakan suatu wujud implementasi hak asasi manusia di dalam Undang-Undang. Pasal tersebut tentu mengandung makna yang mendalam tentang upaya pemenuhan hak kepada setiap manusia yang diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Mengutip buku Hak Asasi Manusia oleh Muhammad Ashri [2018], Hak Asasi Manusia merupakan sekumpulan hak yang diakui secara universal sebagai hak yang melekat pada diri manusia sejak lahir. Hal ini mengacu pada kesetaraan sesama manusia tanpa mendiskriminasi atau membedakan berdasarkan ras, suku, agama, dan bangsa. Pasal 28 UUD 1945 telah mengalami amandemen perubahan kedua. Sebelunya, pasal 28 UUD 1945 berbunyi "Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang." Ilustrasi penerapan Pasal 28 Ayat 1 UUD 1945, sumber gambar: //www.unsplash.com/Pasal 28 Ayat 1 berbunyi, “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.” Makna pasal tersebut menjelaskan tentang hak-hak yang harus diberikan kepada warga Indonesia. Hal ini menyangkut tentang hak untuk memeluk agama, memperoleh pendidikan, pekerjaan, dan tempat tinggal. Penerapan Pasal 28 Ayat 1 dalam Kehidupan Berikut adalah contoh penerapan pasal 28 Ayat 1 UUD 1945 dalam kehidupan: • Hak untuk bebas berkumpul dan berserikat untuk mengeluarkan pikiran melalui lisan ataupun tulisan. • Hak untuk tumbuh, berkembang dan menjalankan kelangsungan hidup. • Hak untuk memperoleh perlindungan dari diskriminasi dan kekerasan. • Hak untuk mengembangkan diri melalui pendidikan, pekerjaan, dan kebudayaan. • Hak untuk memperoleh hidup yang sejahtera lahir dan batin. • Hak untuk memperoleh persamaan dan keadilan di mata hukum. • Hak untuk memperoleh jaminan sosial. Itulah makna pasal 28 Ayat 1 dan sederet contoh penerapannya di dalam kehidupan. Setiap individu memiliki hak yang sifatnya mendasar dan tidak dapat diganggu gugat oleh pihak manapun. Negara juga harus melindungi hak-hak warganya agar senantiasa terpenuhi sesuai dengan yang dicantumkan dalam UUD 1945. You're Reading a Free Preview Kabar latuharhary – Warga negara dan Penduduk memiliki perbedaan makna dalam konteks Hak Asasi Manusia [HAM]. Perbedaan paradigma tersebut menimbulkan kontradiksi dalam beberapa pasal pada Undang-Undang Dasar 1945. Komisioner Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM, M. Choirul Anam, menyampaikan hal tersebut saat menjadi narasumber dalam “Diskusi Terfokus dua kajian terhadap Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, dan pelaksanaanya [BAB X Warga Negara dan Penduduk, BAB XA HAM, BAB XI Agama]”. Kegiatan ini diselenggarakan secara daring oleh Center for the Study of Religion and Culture [CSRC] Universitas Islam Negeri [UIN] Syarif Hidayatullah Jakarta, pada Senin, 19 Juli 2021. Pada diskusi ini Anam membahas mengenai penggunaan kata warga nergara dan kata penduduk yang erat kaitannya dengan konsep dasar hak asasi manusia. Anam berpendapat, apabila menggunakan kata penduduk atau civil population dan lain-lain artinya setiap orang yang berada di satu wilayah atau satu otoritas tertentu tanpa terkecuali. Sedangkan, apabila penggunaan kata warga negara, berarti orang yang memiliki satu identitas politik tertentu. Anam menjelaskan bahwa dalam International Covenant on Civil and Political Rights [ICCPR] hampir semua pemilihan kata di hak sipil dan politik tersebut menggunakan istilah person, atau all person. Dan yang tidak menggunakan kata tersebut hanya satu, di Pasal 25, memakai kata citizen, karena berhubungan dengan partisipasi pada satu organisasi yang disebut negara. Pada pasal 25 tersebut, mengatur terkait partisipasi langsung, seperti pemilu dan lain sebagainya. “Di luar konteks partisipasi langsung, semuanyanya menggunakan kata person, all person, individual, yang sifatnya adalah tubuh orang, identitas orang. Bukan identitas yang dilahirkan oleh kesepakatan politik. Kalau citizen itu kan ada kesepakatan politik atau keterdudukan oleh hukum,” kata Anam. Anam menyampaikan apabila berangkat dari paradigma pemilihan kata seperti itu, maka akan terlihat bahwa amademen terkesan terpisah-pisah dan ada beberapa pasal yang kontradiksi. Di dalam Undang-undang Dasar ada beberapa penggunaan kata yakni warga negara, penduduk, dan setiap orang. Dan celakanya, lanjut Anam Pasal-pasal dengan semangat yang bagus di Konstitusi dengan stampelnya “warga negara”, ada yang kontradiksi dengan stampelnya “setiap orang” di pasal 28. Dan Anam menegaskan bahwa Pasal 28 dan Pasal 31 serta pasal-pasal lainnya kedudukannya harus setara antara pasal dengan pasal yang lain. “Misalnya, terkait pendidikan. Pada pasal 31 dijelaskan bahwa setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan. Negara harus menyediakan anggaran. Tetapi, di Pasal 28 ditegaskan bahwa setiap orang berhak untuk mendapatkan pendidikan. Jadi, di pasal 31 yang mewajibkan setiap warga negara untuk berpendidikan, dan di ayat berikutnya dijamin seluruh pembiayaannya minimal pendidikan dasarnya dijamin oleh Negara. Apakah ini berlaku untuk non warga negara yang diatur dalam pasal 28C?” ungkap AnamApabila mengikuti paradigma di hak asasi manusia, ketika berbicara mengenai partisipasi memang akan melekat pada identitas politiknya atau kewarganegaraannya. Anam menjelaskan penikmatan hak asasi manusia dalam beberapa konteks, dalam konsep hak ekonomi sosial dan budaya dalam tanda petik boleh mengutamakan warga negaranya. Tetapi, bridging point antara mengutamakan warga negara, seperti di beberapa pasal l agar tidak bertentangan pada pasal 28 itu tidak ada. “Seperti pasal 34 terkait fakir miskin dan anak anak terlantar hidupnya dilindungi dan dijamin oleh negara dan itu ya anaknya warga negara. Kalau anaknya penduduk dia tidak bisa menikmati. Padahal, pada pasal 28B secara tegas dikatakan bahwa anak-anak itu adalah bagian dari tanggung jawab negara. Apabila membaca pasal-pasal di luar pasal 28 yang memang paradigmanya mencerminkan nilai-nilai HAM, pada dasarnya memiliki potensi bertentangan dengan pasal 28 itu sendiri. Karena pilihan kata warga negara dan kata setiap orang itu berbeda, kalau setiap orang berarti setiap orang tanpa terkecuali,”Pemilihan kata-kata tersebut membuat konsekuensi yang sangat panjang, dan perlu satu bridging point terkait mana saja yang melekat pada warga negara, dan melekat pada setiap orang. Lebih lanjut, Anam menjelaskan bahwa ada beberapa perbedaan dalam konteks hak asasi manusia. Apabila berhubungan langsung dengan keselamatan, keamanan pribadi maupun jaminan atas keadilan, hak asasi manusia melekat pada individuk, tidak membedakan antara warga negara atau bukan. “Apabila berbicara terkat partisipasi termasuk pemilu di dalamnya, menggunakan kata citizen. Dan citizen ini memang berbicara mengenai partisipasi, kalau berbicara terkait hak, dan lain-lain itu tidak. Hal tersebut yang mendasarkan, tetapi di konstitusi kita pembagian itu belum ada,” ujar Anam. Wakil Ketua Bidang Akademik dan Penelitian di Sekolah Tinggi Hukum [STH] Indonesia Jentera, Bivitri Susanti, menjelaskan bahwa ada salah satu Pasal yang menjadi persoalan teks dalam Undang-Undang Dasar, yakni Pasal 28 J ayat 2. “Seperti yang kita tau pada Pasal 28 J ayat 2 dikatakan bahwa dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang. Memang ada kata-kata dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan dan seterusnya, tetapi dengan maksud semata-mata menjamin pengakuan, penghormatan tersebut itu kan sesuatu yang kemudian harus mendapatkan kualifikasi lebih jauh dari pembuat undang-undang atau pun ketika diuji oleh hakim Mahkamah Konstitusi [MK]. Sesungguhnya kita dapat liat dalam berbagai putusan Mahkamah Konstitusi [MK] Pasal 28 J ayat 2 ini lah yang kemudian sering digunakan untuk memberi tafsir yang terlalu luas bahwa negara bisa memberikan pengaturan yang lebih jauh, dan akhirnya justru membatasi hak asasi manusia,” ucap Bivitri.
Oleh: Rudi Pohan [2440092901] Menurut Prof. Dr. Notonegoro [2000], hak adalah kuasa untuk menerima dan melakukan sesuatu yang semestinya diterima dan dilakukan dan tidak dapat diwakilkan oleh orang lain. Sementara, kewajiban adalah beban untuk memberikan sesuatu yang semestinya dibiarkan atau diberikan dan tidak dapat diwakilkan oleh orang lain. Hak dan kewajiban bagaikan dua sisi mata koin, sebuah kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Sebagai manusia yang lahir di Negara Kesatuan Republik Indonesia, kita memiliki berbagai hak dan kewajiban. Contohnya saja hak dan kewajiban sebagai anak, hak dan kewajiban sebagai siswa, serta hak dan kewajiban sebagai warga negara. Dalam tulisan ini, penulis akan berfokus kepada hak dan kewajiban sebagai warga negara. Agar tercapai keseimbangan antara pelaksanaan hak dan kewajiban, maka seseorang harus mengetahui posisinya, dalam hal ini posisinya sebagai warga negara. Jika seseorang mengetahui posisinya, maka mudah saja untuk mengetahui apa saja kewajiban dan haknya. Untuk mengetahui posisi sebagai warga negara, seseorang harus mengetahui apa itu warga negara. Pengertian warga negara menurut UUD 1945 Pasal 26 ayat [1] yang berbunyi “Yang menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara.”. Jadi dapat kita simpulkan bahwa pada hakikatnya warga negara adalah orang asal Indonesia maupun bukan, yang sudah disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara. Pemberian status warga negara kepada seseorang memiliki beberapa jenis asas atau cara, yakni:
Merupakan asas yang memberikan kewarganegaraan kepada seseorang berdasarkan tempat lahirnya. Contoh negara yang menganut asas ini adalah Amerika Serikat, Brazil, Kanada, dan Argentina.
Merupakan asas yang memberikan kewarganegaraan kepada seseorang berdasarkan keturunan atau kebangsaannya. Contoh negara yang menganut asas ini adalah India, China, Jepang, dan Spanyol. Merupakan langkah dimana seseorang ingin menjadi warga negara tertentu dengan mengikuti proses hukum yang berlaku atau seseorang dengan jasa yang besar diberikan kewarganegaraan oleh suatu negara. Dilihat dari pengertian hak menurut Prof. Notonegoro, maka dapat kita simpulkan bahwa hak warga negara adalah kuasa untuk menerima dan melakukan sesuatu sebagai warga negara. Sementara, kewajiban adalah beban untuk memberikan atau melakukan sesuatu sebagai warga negara. Hak sebagai warga negara dijamin dalam UUD Pasal 27 hingga Pasal 34. Beberapa contoh hak warga negara yang dimuat dalam UUD 1945 antara lain:
Dari banyaknya hak yang disebutkan diatas, ternyata itu hanyalah secuil dari hak yang dimiliki oleh warga negara. Masih banyak hak yang bisa diterima oleh seorang warga negara. Bahkan hal kecil sekalipun seperti hak untuk merdeka dalam berpikir pun ternyata telah dijamin oleh hukum [UUD Pasal 28I ayat 1]. Dari banyaknya hak yang bisa didapat oleh warga negara, tentu saja ada kewajiban yang wajib ditunaikan oleh warga negara. Kewajiban ini juga disebutkan di dalam UUD 1945, antara lain dalam:
Dari berbagai hak yang diperoleh sebagai warga negara, ternyata ada beberapa kewajiban yang harus dilakukan dalam kehidupan berwarganegara. Salah satu yang wajib ditunaikan dalam kehidupan warga negara sehari-hari adalah wajib menghormati hak asasi manusia lain dan kewajiban untuk menjalani pendidikan. Namun pada prakteknya, realisasi dalam pemberian hak kepada warga negara masih belum optimal. Masih banyak kasus yang menggambarkan tidak maksimalnya pemberian hak warga negara. Contoh kasus yang menggambarkan belum optimalnya pemberian hak kepada warga negara adalah angka kemiskinan masyarakat Indonesia yang naik menjadi 10,19% pada September 2020 menjadi 27,55 juta orang. Jumlah ini meningkat sebanyak 2,76 juta dibandingkan pada September 2019. Karena naiknya jumlah kemiskinan ini, hak untuk menerima penghidupan yang layak [UUD 1945 pasal 27 ayat [2] tidak terpenuhi. Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa kenaikan jumlah ini disebabkan oleh banyak faktor, tapi faktor utamanya adalah akibat adanya pandemi Covid-19. Pemerintah pun telah mencoba membantu masyarakat untuk mendapatkan penghidupan yang layak dengan memberikan bantuan bansos dan Bantuan Langsung Tunai kepada masyarakat yang terdampak pandemi. Sayangnya, hak rakyat lagi-lagi direnggut dengan adanya kasus korupsi bansos oleh mantan Menteri Sosial, Juliari Batubara. Korupsi ini pun nilainya tidak sedikit, berkisar hingga 17 Miliar diraup oleh Juliari. Korupsi ini dilakukan dengan cara mengambil fee dari tiap paket bansos yang seharusnya diberikan kepada masyarakat. Sangat miris jika kita memikirkan menteri sosial yang seharusnya memikirkan nasib rakyat, yang seharusnya memastikan rakyat sejahtera, malah memakan apa yang menjadi hak rakyat. Bahkan, sejak awal Desember 2020 sampai tulisan ini dibuat [14 Juli 2021], kasus korupsi ini masih belum memiliki penyelesaian. Tetapi, kita tidak boleh hanya menuntut hak tanpa memenuhi kewajiban sebagai warga negara. Bagaimana praktik kewajiban warga negara di masa sekarang? Sayangnya, praktiknya belum maksimal. Ada banyak kasus yang menunjukkan bagaimana warga negara mengingkari kewajibannya seperti tidak membayar pajak. Pada tahun 2020, jumlah Wajib Pajak yang membayar pajak hanya berjumlah 14,76 juta orang dari total 19,01 juta Wajib Pajak. Hal ini menandakan bahwa masih ada 5 juta Wajib Pajak yang tidak membayar pajaknya. Angka pembayaran pajak oleh Wajib Pajak ini menunjukkan masih banyaknya masyarakat yang tidak melakukan kewajibannya sebagai warga negara. Terjadinya kasus korupsi yang sangat kejam ini benar-benar melukai hati rakyat. Bantuan sosial yang diharapkan bisa membantu masyarakat yang sedang kesusahan akibat pandemi, malah dikorupsi oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Kasus ini tidak hanya melukai hati rakyat, tetapi juga membuat rakyat kehilangan kepercayaan terhadap keseriusan pemerintah dalam memberikan hak warga negaranya. Untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat, pemerintah sebaiknya membuat proses distribusi bansos menjadi lebih transparan, memperketat keamanan dalam proses distribusi, dan memberikan hukuman yang berat kepada koruptor. Kebanyakan koruptor selalu diberikan hukuman yang tidak setimpal terhadap perbuatannya, hal ini juga membuat koruptor tidak pernah jera atas perbuatannya. Dengan hukuman yang berat, diharapkan dapat mencegah munculnya aksi korupsi baru. Namun, masyarakat juga harus berefleksi, apakah dirinya sudah melakukan kewajibannya sebagai warga negara atau belum. Seseorang tentu harus melakukan kewajibannya terlebih dahulu sebelum menuntut hak yang pantasnya diterima. Bagaimana mungkin negara memberikan seluruh hak kepada warga negara, namun warga negara tidak melakukan kewajibannya? Oleh karena itu, perlu adanya kesadaran dalam diri masing-masing masyarakat. Memang, kewajiban itu terkadang terasa sulit dilakukan, karena sesuai dengan pengertiannya, kewajiban merupakan beban untuk melakukan dan memberikan hal yang sepatutnya dilakukan dan diberikan. Namun, kita harus ingat bahwa hak dan kewajiban seperti dua sisi mata koin, selalu terkait dan selalu menyatu. Referensi: Badan Pusat Statistik. [15 Februari 2021] Persentase Penduduk Miskin September 2020 naik menjadi 10,19 persen. Diakses pada 14 Juli 2021 dari //www.bps.go.id/pressrelease/2021/02/15/1851/persentase-penduduk-miskin-september-2020-naik-menjadi-10-19-persen.html Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Undang Undang Dasar 1945. Diakses pada 14 Juli 2021 dari //www.dpr.go.id/jdih/uu1945 Indonesia, CNN. [6 Desember 2020]. Kronologi Mensos Juliari Jadi Tersangka Kasus Bansos Corona. Diakses pada 14 Juli 2021 dari //www.cnnindonesia.com/nasional/20201206015241-12-578488/kronologi-mensos-juliari-jadi-tersangka-kasus-bansos-corona Sembiring, L. J. [18 Maret 2021]. Sejak 2015, Orang RI yang Bayar Pajak Itu-Itu Saja. Diakses pada 14 Juli 2021 dari //www.cnbcindonesia.com/news/20210318124054-4-231077/sejak-2015-orang-ri-yang-bayar-pajak-itu-itu-saja Video yang berhubungan |