Bagaimana apresiasi Islam terhadap ilmu pengetahuan

Full PDF PackageDownload Full PDF Package

This Paper

A short summary of this paper

36 Full PDFs related to this paper

Download

PDF Pack

MAKALAH

Penghargaan Islam Terhadap Ilmu Pengetahuan

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah

ILMU HADIST

Dosen Pembimbing : Suprapto, Lc

Bagaimana apresiasi Islam terhadap ilmu pengetahuan

       Disusun Oleh :

1. Slamet Haryanto

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (2-A)

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM MUHAMMADIYAH

(STAIM) TULUNGAGUNG

MARET 2016

         KATA PENGANTAR

            Alkhamdulilah puji sukur kami panjatkan kehadirat Alloh SWT atas rohmat,karunia,taufik dan hidayah-Nya. Kami menyelesaikan makalah dengan judul Ilmu Kalam kajian atas Penghargaan Islam Terhadap Ilmu Pengetahuan. Dan rasa terimakasih  pun tidak lupa kami ucapkan kepada :

1.      Bapak Nurul Amin, M.Ag selaku Kepala Sekolah Tinggi Agama Islam Muhammadiyah Tulungagung.

2.      Suprapto, Lc

            Penulis menyadari betul bahwa masih banyak terdapat sekali kekurangan dalam penyusunan makalah ini . Untuk itu kami memohon kritik dan saran yang membangun demi perbaikan dimasa depan. Disamping itu penulis juga berharap semoga materi yang dipaparkan dalam makalah ini, dapat bermanfaat bagi pembaca umumnya dan penulis khususnya.

             Tulungagung , 10 Maret 2016

              Penulis  

DAFTAR ISI

          HALAMAN JUDUL …………………………………………………………………………………………….           I

          KATA PENGANTAR…………………………………………………………………………………………….          ii

          DAFTAR ISI……………………………………………………………………………………………………….            iii

          BAB I PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang Masalah………………………………………………………………………….          I

B.      Rumusan Masalah………………………………………………………………………………….          I

C.      Tujuan Pembahasan……………………………………………………………………………….         I

          BAB II PEMBAHASAN

1.       Penghargaan Islam terhadap Ilmu Pengetahuan

A.      Pandangan  Islam dalam Ilmu Pengetahuan  ……………………………………..              2

B.      Apresiasi atau penghargaan ……………………………………..………………………                5

          BAB III PENUTUP

                Kesimpulan……………………………………………………………………………………………….               9

          DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………………………………..             10

BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang :

     Kehidupan agama Islam di panggung sejarah peradaban manusia memiliki arti tersendiri, termasuk dalam bidang ilmu pengetahuan. Ilmu dalam Islam berdasarkan paham kesatupaduan yang merupakan inti wahyu Allah Swt. Tujuan dari semua ilmu dikembangkan berdasarkan Islam ialah untuk menunjukkan kesatupaduan dan saling berhubungan dari segala yang ada. Turunnya wahyu Allah Swt kepada Nabi Muhammad Saw, membawa semangat baru bagi dunia ilmu pengetahuan, memecahkan kebekuan zaman. Lahirnya Islam membawa manusia kepada sumber-sumber pengetahuan lain dengan tujuan baru, yakni lahirnya tradisi intel-induktif.

al-qur’an menganggap ”anfus” (ego) dan ”afak” (dunia) sebagai sumber pengetahuan. Allah menumpahkan tanda-tandaNya dalam pengalaman batin dan juga pengalaman lahir. Ilmu dalam Islam memiliki kapasitas yang sangat luas, pengalaman batin merupakan pengembangan manusia terhadap seluruh potensi jiwa dan inteleknya. Jiwa kebudayaan Islam yang diarahkan kepada yang konkrit dan terbatas serta yang telah melahirkan metode observasi dan eksperimen bukanlah sebuah hasil kompromi dengan pikiran Yunani.

B.    Rumusan Masalah

a.    Penghargaan Islam terhadap ilmu Pengetahuan

1.       Pandangan Islam dalam ilmu pengetahuan

2.       Apresiasi atau penghargaan

C.   Tujuan

a.       pandangan Islam terhadap  ilmu pengetahuan

b.      Menjelaskan apresiasi

BAB II

PEMBAHASAN

  A.Pandangan Islam terhadap ilmu pengetahuan  

Sejak akhir abad ke-19 hingga kini, salah satu persoalan besar yang diangkat para pemikir muslim adalah sikap yang mesti diambil terhadap ilmu pengetahuan modern di dunia Barat. Perdebatan mereka dilatarbelakangi kesadaran bahwa dunia Islam pernah menjadi pusat ilmu pengetahuan, tetapi pada zaman modern ini, umat Islam telah jauh tertinggal oleh dunia Barat.Perbincangan tentang Islam dan ilmu pengetahuansejakakhirabadke-19.
Pertama, periode tersebut ditandai banyak perkembangan baru dalam pemikiran Islam. Penyebab utamanya adalah kontak dan interaksi yang intensif pada beberapa kasus, bahkan berupa benturan fisik  antara dunia Islam dan peradaban Barat. Gagasan seperti “kemoderenan” serta modernisme, westernisasi atau pembaratan, dan sekularisme menjadi objek utama perhatian para pemikir muslim. Demikian luasnya penyebaran gagasan baru itu, sehingga tidak berlebihan jika dikatakan bahwa pemikiran baru Islam lahir dari keinginan untuk menanggapi fenomena tersebut.

Kedua, sejak awal perkembangan Islam, ilmu yang berdasarkan pengamatan, wahyu, atau renungan para sufi, sebagai induk ilmu pengetahuan selalu mendapatkan perhatian para pemikir muslim. Bertolak dari kecenderungan di atas, perhatian tersebut mengambil bentuk tanggapan terhadap perkembangan pesat ilmu pengetahuan modern di dunia Barat, yang dianggap tidak berinduk pada suatu ilmu yang benar.Tanggapan itu, pada dasarnya lebih merupakan reaksi dari beberapa pemikir dan aliran pemikiran yang merupakan penyempitan wilayah wacana tentang ilmu dan ilmu pengetahuan dibandingkan dengan periode sebelumnya, khususnya masaawalperkembanganintelektualIslam

Sejak abad ke-19, usaha untuk memberi tanggapan tersebut melahirkan sebuah diskusi pemikiran antara Islam dan ilmu pengetahuan yang amat beragam.Tanggapan tersebut dapat berarti usaha apologetis untuk menegaskan bahwa ilmu pengetahuan yang dikembangkan di Barat sebenarnya bersifat Islami. Dapat juga merupakan usaha mengakomodasi sebagian nilai dan gagasan ilmu pengetahuan modern karena dianggap Islami, dengan menolak sebagian lain. Tidak  bisa dipungkiri,  usaha Islamisasi berbagai cabang ilmu pengetahuan dan penciptaan sebuah filsafat ilmu pengetahuan Islam, pada  akhirnya adalah upaya untuk merekonstruksipandanganduniasertaepistemologiIslam. Kesemua tanggapan itu dapat dikelompokkan ke dalam dua wacana besar. Pembagian atas dua wacana ini sebagian bersifat kronologis dan  tematis. Wacana pertama, yang berkembang sejak abad ke-19, terfokus pada penegasan bahwa tidak terdapat pertentangan antara ilmu pengetahuan dan Islam.Penegasan tersebut didasarkan pada pandangan instrumentalis tentang ilmu pengetahuan, artinya pandangan bahwa ilmu pengetahuan sekedar alat dan tidak terikat pada nilai atau agama tertentu.Sementara hingga kini wacana tersebut masih kerap muncul, ada pula wacana baru yang mendominasi perbincangan tentang ilmu pengetahuan dan Islam, setidaknya sejak akhir tahun 1960-an, yaitu tentang Islamisasi ilmu pengetahuan. Di dunia Islam, ilmu pengetahuan modern mulai menjadi tantangan nyata sejak akhir abad ke-18, terutama sejak Napoleon menduduki Mesir pada 1798 dan semakin meningkat setelah sebagian besar dunia Islam menjadi wilayah jajahan atau pengaruh Eropa. Serangkaian peristiwa kekalahan berjalan hingga mencapai puncaknya dengan jatuhnya Dinasti Usmani di Turki. Proses ini terutama disebabkan oleh kemajuan teknologimiliterBarat.

Setelah pendudukan Napoleon, Muhammad Ali memainkan peran penting dalam kampanye militer melawan Perancis.Ia diangkat oleh penguasa Utsmani menjadi Pasya pada tahun 1805, dan memerintah Mesir sampai dengan tahun 1848. Percetakan yang pertama didirikan di Mesir awalnya ditentang para ulama karena salah satu alatnya menggunakan kulit babi.Buku-buku ilmu pengetahuan dalam bahasa Arab diterbitkan.Muhammad Ali mendirikan beberapa sekolah teknik dengan guru-guru asing.Ia mengirim lebih dari 400 pelajar ke Eropa untuk mempelajari berbagai cabang ilmu pengetahuan dan teknologi. di beberapa wilayah Arab lain, seperti Oman dan Aljazair, upaya peng-Islaman informasi sosial serupa tampak di TurkiUsmani

Dalam situasi seperti ini, ketika teknologi muslim jauh tertinggal dari Eropa dan usaha mengejar ketertinggalan ini dilakukan muslim memberikan tanggapan dalam dua hal, yaitu merumuskan sikap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi peradaban Barat modern, dan terhadap tradisi Islam. Kedua unsur ini sampaikinimasihmewarnaipemikiranmuslimhinggakini. Di Timur maupun Barat, pada hakekatnya mengakui akan adanya hubungan yang spesial antara Islam dan ilmu pengetahuan. Walaupun latar belakang dari kedua kelompok ini memiliki pokok persoalan berbeda, yakni yang satu dilandaskan kepada kepercayaan, sedang yang lain kepada rasio dan akal sehat, namun hubungan antara Islam dan ilmu pengetahuan tidaklah antagonistik tapi justru saling menguatkan. Sejak dari semula, yaitu ketika wahyu pertama diturunkan dengan kata-kata yang tidak lain dari: Baca (Iqra’), sampai kepada wahyu terakhir, ketika Allah telah menyempurnakan Islam itu sebagai agama yang terakhir, sikap Islam terhadap ilmu sangatlah positif dan konsisten sekali. Tidak ada satu ayat pun dari Al-Qur’an maupun ucapan Nabi sendiri yang memperlihatkan antagonisme antara iman dan ilmu. Al-Qur’an telah menempatkan ilmu pengetahuan dalam kedudukan yang demikian tinggi, sehingga seperti yang dikemukakan oleh Dr. Muhammad Ijazul Khatib dari Universitas Damaskus, tidak kurang dari 750 ayat, atau seperdelapan dari seluruh ayat yang menyuruh orang-orang mukmin untuk berfikir, mempergunakan penalaran dengan sebaik-baiknya, melakukan intizar (penyelidikan sistematik dan mendalam) tentang rahasia-rahasia alam semesta ini, dan menjadikan kegiatan-kegiatan ilmiah sebagai bagian tak terpisahkan dari kehidupan umat. Betapa tingginya penghargaan yang diberikan oleh Al-Qur’an kepada ilmu dapat dilihat dengan memperbandingkan bahwa ayat-ayat yang berhubungan dengan hukum yang mengatur segi-segi kehidupan umat hanyalah sepertiga dari pada ayat-ayat yang berhubungan dengan ilmu.Rasulullah sendiri telah memberikan julukan “Pewaris para Nabi” kepada mereka yang berilmu.Al-Qur’an bahkan menekankan keunggulan orang yang berilmu daripada yang tidak berilmu. Seperti dalam firman Allah dalam surat Az-Zumarayat9: Artinya: (Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadah di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (adzab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.(Q.S.Az-Zumar:9)

Selama sains atau ilmu pengetahuan itu tetap dalam upaya untuk mencari kebenaran dan ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam alam ini, tidak akan pernah ada masalah. Karena Islamlah yang pertama-tama akan mengajak dan menggalakkan manusia untuk mengungkapkan rahasia-rahasia alam itu serta mengambil manfaat dari padanya. Problematika kita bukanlah antara Islam dan ilmu pengetahuan (karena kaitannya jelas dan gamblang) tetapi antara muslim atau penganut Islam itu dan ilmu pengetahuan. Setidaknya sejak dasawarsa 1970-an hingga sekitar awal 1990-an, berkembang sebuah wacana baru tentang Islam dan ilmu pengetahuan, dengan munculnya gagasan Islamic science (ilmu pengetahuan Islam) atau Islamization of knowledge (Islamisasi ilmu). Terlepas dari siapa yang pertama menggunakan istilah ini, dalam kenyataannya cukup beragam (kelompok) pemikir muslim yang memaknai istilah ini dengan berbeda-beda, bahkan tidak jarang terdapat pertentangan pendapat. Karena yang lebih populer adalah istilah dalam bahasa Inggris itu, ada beberapa hal penting dan menarik untuk dicatat dalam kaitanya dengan penggunaan kata ilmu pengetahuan atausains,Islamisasi,dankataIslamicdalamIslamicscience. Pertama, perkembangan berbagai istilah ini menunjukkan betapa seriusnya tantangan yang dihadapkan ilmu pengetahuan modern kepada perkembangan intelektual Islam.Seperti telah dipaparkan di atas, sebetulnya hal ini telah dimulai sejak akhir abad ke-19. Namun, tidak efektifnya usaha mengejar ketertinggalan muslim dari Barat di masa lalu, pada perkembanganya hal tersebut mengkerucut dan mengkristal menjadigerakandenganorientasibarupadabeberapakelompok. Kedua, munculnya istilah baru, Islamic science dan Islamization of knowledge nyatanya hanya tampak sebagai  baju baru dari usaha yang telah dilakukan olehbeberapapemikirdimasasebelumnya.

Istilah sains (science) sendiri baru mendapatkan maknanya yang khas dalam perkembangan kegiatan ilmiah di dunia Barat sejak beberapa abad. Di sana sains dianggap sebagai model cabang ilmu yang paling unggul, karena perkembangannya yang paling pesat dibandingkan cabang-cabang ilmu lain. Adalah anggapan tersebut yang melatar belakangi kebiasaan bahasa Inggris modern yang berbeda dengan kebanyakan bahasa lain. Untuk membedakan science, sebagai istilah yang dipakai untuk ilmu pengetahuan alam atau eksakta (pasti), dari berbagai cabang ilmu pengetahuan lain, terutama ilmu-ilmusosialdanhumaniora.

Perkembangan teknologi sebagai buah dari perkembangan ilmu pengetahuan ini juga amat memukau banyak orang, tidak terkecuali umat Islam. Sebagai akibat dari fenomena itu, sebagian ilmuwan muslim hanya berusaha mengejar ketertinggalan umat Islam dengan mengambil alih secara menyeluruh teknologi dan ilmu pengetahuan Barat modern. Namun, sebagian lain tidak puas dengan sikap itu dan menuntut Islamisasi ilmu pengetahuan atau pengembangan ilmu pengetahuan Islam. Para penggagas ilmu pengetahuan Islam atau Islamisasi memulai argumennya dari premis bahwa ilmu pengetahuan tidak bebas nilai.Karena itulah nilai-nilai sebuah agamadapatmasukdalampembicaraantentangilmupengetahuan. Jelas bahwa ilmu pengetahuan Islam adalah sebuah istilah modern.Kita tak bisa menemukan padanan istilah ini dalam literatur Islam klasik, termasuk dalam masa yang disebut Zaman Keemasan Islam.Bahkan, bisa jadi istilah ini digunakan pertama kali oleh kaum orientalis ketika kajian-kajian orientalisme modern dimulai akhir abad yang lalu. Pada tahun 1920-an, misalnya, sejarawan ilmu pengetahuan George Sarton dalam karya monumentalnya menggunakan istilah ini untuk menyebut sebuah periode dalam sejarah perkembangan ilmu pengetahuan ketika dengan dukungan penguasa, para ilmuwan muslim (dan sebagian kecilnya adalah non-muslim) menghasilkan karya-karya besar dalam bidang ilmu pengetahuan. Orientalis George Anawati bahkan menyebutkan adanya upaya-upaya “Islamisasi” cabang-cabang ilmu yang diperoleh terutama dari tradisi Yunani itu.Ia juga menyebutkan bahwa ilmu pengetahuan alam adalah bidang yang paling sedikit terkena Islamisasi dibandingkan dengan,misalnya,metafisika. Jadi, di sini istilah Islami digunakan untuk menyebut dua hal sekaligus: yang pertama adalah suatu periode sejarah, sebagaimana istilah modern, abad pertengahan, klasik atau Yunani digunakan; yang kedua, suatu aktivitas yang disusupi nilai-nilai Islam. Kedua makna ini kerap muncul dalam perbincangan kontemporer tentang ilmu pengetahuanmoderndanIslam.

Empat pemikir muslim kontemporer yang dapat mewakili wacana baru ini adalah Syed Hossein Nasr, Syed Muhammad Naquib al-Attas, Ismail Raji al-Faruqi, dan Ziauddin Sardar. Bukanlah suatu kebetulan jika keempatnya terdidik di universitas-universitas Amerika dan Eropa dan terutama menulis dalam bahasa Inggris.Wacana baru ini memang berkembang terutama di kalangan komunitas intelektual Islam berbahasa Inggris, yang baru muncul secara jelas setelah paruh pertama abad ke-20 in

C.   Apresiasi atau penghargaan

            Apresiasi Islam terhadap IlmuUmat Islam pernah mengalami masa kejayaan. Hodgson menyatakan bahwa masa kemajuan Islam di dorong oleh ayat yang berbunyi ; kamu adalah umat yang terbaik yang menyeru kepada kebaikan dan meninggalkan segala keburukan(Q.S. al-Imran, 110). Melalui kemajuan ilmu pengetahuan ini umat Islam pernah mengalami kejayaan beberapa abad pada masa yang lalu.Ajaran Islam pertama kali turun adalah ajaran membaca—iqra’ lengkap-nya ayat itu berbunyi : Iqra’ bismirabbika alladzî khalaq (Q.S. al-‘Alaq, 1) yang artinya bacalah dengan nama Tuhanmu yang yang menciptakan manusia dari segumpal darah. Kata Iqra’ mengisyaratkan agar umat Islam membaca, membaca dan membaca sebagai gerbang pengetahuan. Ayat itu diteruskan bacalah dengan nama Tuhanmu melalui perantaraan qalam.

Qalam berarti pena atau alat menulis; artinya umat Islam setelah membaca, menulis apa-apa yang dia baca; ini menggambarkan semangat untuk menggali dan mengembang-kan ilmu pengetahuan. Kemudian pentingnya ilmu pengetahuan dalam sebuah Hadist diisyarat-kan bahwa apabila seorang ingin jaya di dunia tentu dengan ilmu, apabila ia ingin berjaya di akherat juga dengan ilmu, tetapi apabila ingin berjaya kedua-duanya hendaklah dengan ilmu.Dalam ayat al-Qur’an yang lain disebutkan bahwa orang yang memiliki ilmu akan diangkat beberapa derajat. Seperti ayat yang berbunyi: Yarfa’illah alladzîna âmanû minkum wa alladzîna ûtû al-‘ilma darajãt artinya Allah mengangkat derajat orang yang beriman dan berilmu dalam berbagai derajat (Q.S. al-Mujadilah, 11). Ayat ini berlaku untuk semua orang apakah ia seorang Muslim atau tidak apabila ia memiliki ilmu ia akan memperoleh derajat yang lebih tinggi.

Pentingnya ilmu ini di dalam Islam bahkan seorang menuntut ilmu melebihi seorang ahli ibadah sekalipun. Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa orang yang sedang mengkaji ilmu pengetahuan pahalanya melebih orang yang beribadah sepanjang malam.Dalam Islam isyarat membedakan pentingnya ilmu agama daripada ilmu umum tidak ditemukan.Dalam Islam hanya menggambarkan tidak semua orang perlu pergi berperang, tetapi hendaklah ada sebagian orang Islam yang belajar “ilmu agama” (fuqaha) (Q.S. al-Taubah, 122). Dengan demikian agama Islam tidak mengajarkan bahwa ilmu agama lebih penting dari ilmu umum atau ilmu lainnya.Tentang teknologi menurut Quraish Shihab ada sekitar 750 ayat al-Qur’an yang berbicara tentang alam materi dan fenomenanya, yang termasuk katagori teknologi. Sebab menurutnya teknologi adalah ilmu tentang cara menerapkan sains untuk memanfaatkan alam bagi kesejahteraan dan Kenya-manan manusia. Antara lain ayat-ayat berikut yang artinya: Dan Dia menundukkan untuk kamu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya (sebagai anugerah) dari-Nya (Q.S. al-Jatsiyah, 13). Kemudian ayat berikut: Segala sesuatu di sisi-Nya memiliki ukuran (Q.S. al-Ra’d, 8). Kemudian ayat lain lagi menyatakan: Kemudian Dia menuju kepada penciptaan langit dan langit ketika itu masih merupakan asap, lalu Dia berkata kepada-Nya, “Datang-lah(tunduklah) kamu berdua (langit dan bumi) menurut perintah-Ku suka atau tidak suka!” Mereka berdua berkata, Kami datang dengan suka hati” (Q.S. Fushshilat, 11)

7

 Dalam sejarah Islam ilmu pengetahuan mengalami kemajuan yang sangat pesat dalam waktu sekitar 5 abad lebih, bersamaan dengan itu orang-orang Barat berada di alam kegelapan atau kebodohan.Ilmu pengetahuan dalam Islam berkembang secara pesat pada masa Banî Umayyah dan Banî Abbasiyah.Berkembangnya ilmu pengetahuan ini didahului oleh penerjemahan buku-buku Yunani ke dalam bahasa Arab yang berpusat di Bayt al-Hikmah di Baghdad.Ilmi-ilmu yang dicakup dalam perkembangan ini adalah ilmu kedokteran, matematika, fisika, mekanika, botanika, optika, astronomi di samping filsafat dan logika.Karya yang diterjemahkan adalah karangan Galinos, Hipokrates, Ptolemeus, Euclid, Plato, Aristoteles dan lain-lain. Buku-buku itu dipelajari oleh ulama-ulama Islam dan mengalami perkembangan di bawah khalîfah-khalîfah Banî Umayyah dan Banî Abbasiyah antara lain ilmu hitung, ilmu ukur, aljabar, ilmu falak, ilmu kedokteran, ilmu kimia, ilmu alam, ilmu bumi, ilmu sejarah di samping bahasa dan sastra arab.

Cendikiawan Muslim pada masa kemajuan Islam bukan hanya menguasai ilmu dan filsafat yang mereka peroleh dari peradaban Yunani tetapi mereka kembangkan ke dalam penyelidikan hasil-hasil mereka sendiri dalam berbagai bidang ilmu. Pada masa ini berkembang universits-universitar termasyhur di dunia yakni universitas Qordoba di Andalusia, Universitas di Salamanka dan universitas di berbagai kota lainnya sebagai tempat menuntut ilmu bagi kalangan Nasrani yang berasal dari berbagai negara Eropa.Ilmu yang sangat menarik bagi khalîfah adalah ilmu kedokteran. Ali bin Rabba al-Thabary pada tahun 850 mengarang Firdaus al-Hikmah adalah dokter pertama terkenal dalam Islam. Abu bakar Muhammad bin Zakaria al-Razi pada tahun 865 yang di Eropa dikenal dengan nama Rhazes ia mengepalai rumah sakit di Baghdad dan menyusun ensiklopedi ilmu kedokteran yang berjudul Kitab al-Thib al-Manshûri dan al-Hawi yang diterjemahkan dalam bahasa latin dengan nama Liber al-Mansoris dan Continens.

Begitu pula Ibnu Sina (Avicenna) bukunya al-Qanûn fî al-Thib diterjemahkan ke dalam bahasa latin dengan nama Canon dan Ibnu Rusyd bukunya berjudul al-Kulliyât fî al-Thib diterjemahkan dengan nama Colliget.Dalam astronomi, astronom-astronom Islam di kenal di Eropa antara lain al-Faraganus (Abu al-‘abb al-Farghani dan al-Battegnius (Muhammad bin Jabr al-Battani). Mengenai sistem Heliosentris, al-Biruni pernah menulis buku tentang hal itu, dan Abu Said al-Sijri membuat astrolab atas dasar teori bumi berputar sekeliling bulan. Dalam ilmu optika dapat disebut nama Abu Ali Hasan bin al-Haytsam di Eropa menjadi al-Hazem bukunya berjudul al-Manâzib diterjemahkan dalam bahasa latin tahun 1572 M. Dalam bukunya dia berteori bahwa bendalah yang mengirim cahaya ke mata bukan sebaliknya. Dari proses pengiriman cahaya itulah timbul gambaran benda dalam mata. Dalam bidang geografi dapat di sebut nama Abu al-Hasan al-Masudi, pengarang buku Muruj al-Dzahab dan Ma’din al-Jauhar, menjelajah dunia yang dikenal pada zamannya dan datang ke Timur sampai kepulauan Indonesia.

Ulama-ulama Islam meninggalkan pula buku-buku dalam ilmu hewan, ilmu tumbuh-tumbuhan, antropologi dan geologi.Al-Jahiz dalam bukunya Kitab al-Hayyawan yang berbicara tentang evolusi dan antropologi. Dengan diterjemahkannya buku ilmiah karangan ilmuan Islam tersebut ke dalam bahasa latin, ilmu pengetahu-an diambil oleh orang Eropa, ketika umat Islam mengalami kemunduran dalam sejarah kebudayaannya. Dekade kemunduran ilmu dan sains datang. Sejalan dengan kemajuan ilmu Islam tersebarnya ke berbagai penjuru dunia, pemikiran dalam mengem-bangkan ilmu pengetahuan agama seperti ilmu fiqh, tafsir, hadits, tauhid mengalami kemajuan pesat, sementara pengetahuan umum seperti kedokteran, astronomi dan lainnya mengalami kemunduran.Pemikiran–pemikiran keagamaan memproleh penghargaan yang tinggi dan menjadikan seseorang terhormat, sementara penguasaan orang terhadap ilmu non agama tidak mendapatkan tempat. Pada masa ini pula ditandai oleh pola perilaku raja-raja Islam yang tidak sesuai dengan norma Islam yang hidup bermewah-mewah, menyebabkan banyak orang Islam menghindari kehidupan dunia dan pergi menyendiri atau belajar agama untuk memperbaiki keadaan.

Pemerintah yang berdasarkan keturunan cenderung diperebutkan antara satu anak keturunan dengan keturunan lainnya. Kemudian, masyarakat disibukkan dengan diskursus masalah-masalah ketuhanan, apakah Tuhan dominan dalam menentukan nasib manusia atau sebaliknya atau akallah penentu segala-galanya dan yang lain berpandangan tidak. Pemikiran Asy’ari, Mu’tazilah dan pemikiran lainnya mewarnai jagad ilmu saat itu.Di tengah kondisi ini negara-negara Islam saling menyerang atau antara satu keturunan raja dengan yang lainnya saling bermusuhan, umat Islam sudah jauh dari norma-norma Islam, generasi mudanya yang bakal menjadi ulama sangat mengagung-agungkan filsafat helenisme, sehingga muncul diskursus antar mereka yang sering menimbulkan ketegangan.

 Melihat fenomena itu banyak ilmuan Islam yang mendalam ilmu tashawuf—dan memandang pentingnya mendalami ajaran agama, untuk membawa umat Islam mendekatkan diri pada al-Khaliq.Al-Ghazali salah seorang ilmuan terkenal mengarang buku Ihya ‘Ulûmuddîn yang berteori bahwa menuntut ilmu agama merupakan kewajiban ‘ain sementara menuntut ilmu non agama merupakan wajib kipâyah. Sehingga melalui salah satu teori al-Ghazali ini telah mempengaruhi frame atau mainset berfikir umat dan berkembanglah ilmu agama Islam, sejalan dengan itu ilmu non agama mengalami kemunduran. Padahal, di dalam Islam tidak ada pemisahan antara al-dîn dan al-‘ilm.Ilmu dalam keadaan demikian ilmu yang memiliki kaitan dengan masalah-masalah asal-usul, pertumbuhan dan berjalan manusia dengan orientasi tran-sendental dan dengan nilai-nilai rohani. Hasan Abd al-‘Ala berpendapat bahwa dengan cara yang memisahkan antar ilmu dan agama dari sudut pandang di atas jelas keliru.

Sebagai konsekuensi dari tidak adanya pemisahan antar ilmu dan agama, dapat pula ditegaskan bahwa tidak ada pemisahan antara apa yang disebut dengan ilmu agama dan ilmu umum. Munir Mursi menyatakan bahwa seluruh ilmu adalah islami sepanjang berada dalam batas-batas yang digariskan Allâh kepada kita.Hanya saja memang harus diakui bahwa menurut Muhammad Said Ramadan bahwa ilmu itu ada ilmu ilahi, ialah ilmu yang memberikan manusia pengetahuan yang menyeluruh dan lengkap (al-Ma’rifah al-Kâmilah al-Samilah), ilmu-ilmu itu hanya terwujud melalui kitab Allâh. Hanya para Nabî dan Rasûl yang dapat memperoleh ilmu ilahi secara sempurna.Ada pula ilmu atas hasil kreasi manusia yang bersifat nisbi seperti kimia, biologi, kedokteran dan lainnya. Kenisbian ilmu manusia ini didasari oleh alasan-alasan berikut:

Pertama, adanya keterbatasan perangkat-perangkat pengetahuan yang diberi-kan Tuhan kepada manusia. Kedua, indra, akal dan ruh yang dimiliki manusia adalah media terbatas baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Ketiga, keterbatasan kawasan yang dapat ditangkap perangkat tersebut mengingat manusia hanya dapat menangkap sesuatu yang sifatnya materi yang tidak meliputi alam ghaib.Keempat, ilmu yang diperoleh dan ditampung manusia juga terbatas.Oleh karena itu, kenisbian ilmu manusia harus selalu dikonfirma-si dengan sumbernya yaitu kebenaran mutlak yang dicakup ilmu Tuhan. Dengan kata lain ilmu pengetahuan yang nisbi harus dihubungkan dengan ilmu ilahi agar menuju kepada kesatuan ilmu, sesuai dengan kesatuan Tuhan. Dengan demikian ilmu yang harus dikuasai menurut pandangan Islam adalah segala ilmu yang dapat membawanya menuju iman kepada Allâh, dalam kaitan inilah Islam memasukkan pancaran ilmu sebagai amalan yang sangat terhormat, bahkan sebagian dari ibadah.

         BAB III

  KESIMPULAN

Penghargaan terhadap Ilmu Agama Islam bersumber dari wahyu Allah Swt, sedangkan ilmu pengetahuan bersumber dari pikiran manusia yang disusun berdasarkan hasil penyelidikan alam, yang bertujuan mencari kebenaran ilmiah. IPTEK dalam Islam dipandang sebagai kebutuhan manusia dalam rangka mencapai kesejahteraan hidup di dunia dan memberi kemudahan pada peningkatan Ubudiyah kepada Allah.
IPTEK dalam Islam juga sebagai bagian dari pelaksanaan kewajiban manusia sebagai makhluk Allah yang berakal. Penghargaan Islam terhadap ilmu pengetahuan sangat tinggi sekali karena hal ini merupakan cerminan penghargaan bagi manusia itu sendiri. Penghargaan ini dapat dilihat dari beberapa aspek, di antaranya:

1.        TurunnyawahyupertamakepadaRasulullahSaw (Al Alaq:1–5)

2.        Banyaknya ayat Al-Qur’an yang memerintahkan manusia untuk menggunakan akal, pikiran,danpemahaman(AlBaqarah:44)

3.        Allah Swt memandang rendah orang-orang yang tidak mau menggunakan potensi akalnya sehingga mereka disederajatkan dengan binatang, bahkan lebih rendah lagi (Al Araaf:179)

4.        Allah memandang lebih tinggi derajat orang-orang yang berilmu (Az Zumar : 9 dan Al Mujadilah:11)

5.        Allah akan meminta pertanggungjawaban orang-orang yang melakukan sesuatu tidak   berdasarkanilmu(AlIsraa:36)

6.        Pemahaman terhadap ajaran agama harus berdasarkan ilmu (Ali Imran:18)

7.        Dalam menentukan orang-orang pilihan yang menjadi Khalifah di muka bumi ini Allah melihatsisikeilmuannya(AlBaqarah:247).

8.        Allah menganjurkan kepada seorang yang beriman untuk sentiasa berdo'a bagi pertambahankekuasaanilmunya(Thaha:114)

Menuntut ilmu adalah bagian yan sangat penting dari pengamalan ajaran Islam yang menunjukkan seseorang pada jalan kehidupan yang memberikan keyakinan. Ilmu yang diperlukan bagi pembangunan masyarakat yang pemanfaatannya dapat meningkatkan kemampuan produksi dalam berbagai sektor kehidupan, sehingga Islam mewajibkan untuk menuntuti ilmu, baik secara pribadi maupun kelompok.

                                                  DAFTAR PUSTAKA Abdul Karim, Nashir Al-Aql, Gerakan Dakwah Islam, Darul Haq, 2003. Iskandar, Noer Al-Barsany, Biografi dan Garis besar Pemikiran Kalam Ahlussunnah Waljama`ah, Raja Grafindo Persada, 2001. Hanafi, A, Pengantar Teologi Islam, Pustaka Al-Husna Baru, 2003.

Nasution, Harun, Teologi Islam Aliran-Aliran sejarah Analisa Perbandingan, UI-Pers, 2008.


Page 2