Muhammadiyah merupakan sebuah organisasi yang hidup dan berkembang sekitar 108 tahun ylalu, telah melalui banyak tantangan dan dinamika. K.H Ahmad Dahlan sebagai pendiri organisasi ini menitikberatkan perjuangan pada unsur aksi. Dalam proses pembentukan Muhammadiyah, K.H Ahmad Dahlan, terinspirasi pada ayat-ayat Al Quran diantaranya Quran Surah Ali Imran 104, Ali Imran 110, Al Maun 1-7 dan Al Ashr 1-3. Pemaknaan K.H Ahmad Dahlan pada QS. Ali Imran 104 dititikberatkan tentang pentingnya sebuah perkumpulan yang terorganisir dalam rangka amar ma’ruf nahi mungkar. Gerakan yang terorganisir mampu menjangkau banyak aspek. Sedangkan pada ayat 110, sebagai perwujudan umat terbaik maka tugas umat islam melakukan proses Transendensi (seruan kepada Allah), Liberasi (pembebasan manusia dari bentuk penjajahan terhadap materi), dan Humanisasi (menjadikan manusia untuk peka terhadap manusia), ketiga proses tersebut dalam pemikiran Kuntowijoyo disebut sebagai kesadaran Profetik. Sedang pada makna surah Al Maun dan Ashr, K.H Ahmad Dahlan, dalam kisah yang masyhur, menjelaskan pentingnya peduli pada kemanusiaan dan memanfaatkan waktu untuk senantiasa memberikan nasehat dan beramal shaleh. Dari konsep 3 surah tersebut kemudian K.H Ahmad Dahlan mengajarkan kepada para santrinya untuk menjadi muslim yang tidak hanya cakap pada ranah Keimanan atau spritualitas, tapi juga cakap pada ranah Pikir atau Intelektualitas dan kesemuanya dibuktikan pada ranah gerakan Kemanusiaan. Proses berpikir K.H Ahmad Dahlan tentang 3 ranah diatas bermuara pada tujuan Muhammadiyah yaitu “Masyarakat Islam yang sebenar benarnya” hal ini diatur pada Anggaran Dasar Muhammadiyah Bab 3 Pasal 6. Apa hubungan Tujuan Muhammadiyah dan Pemikiran K.H. Ahmad Dahlan?. Farid Ma’ruf pada Muktamar Muhammadiyah ke-33 di Palembang menjelaskan “masyarakat islam adalah golongan manusia yang mencerminkan untuk berbakti kepada Allah”. Proses berpikir K.H Ahmad Dahlan tentang “perkumpulan yang menyeru kepada yang ma’ruf dan menjauhi yang mungkar” dan “masyarakat islam” bagaikan anak tangga. Ali Imran 104 adalah dasarnya dan Ali Imran 110 adalah pijakan terakhir menuju tujuan Muhammadiyah yaitu masyarakat Islam. Tujuan Muhammadiyah, kemudian diImplementasikan dalam bentuk proses perkaderan dalam lingkup persyarikatan. Perkaderan adalah proses pembentukan secara terstruktur dalam organisasi. Hasil dari perkaderan disebut sebagai kader. Kader dalam bahasa perancis disebut sebagai les cadre yang berarti anggota inti yang menjadi bagian terpilih dalam lingkup dan lingkungan Pimpinan serta mendampingi sekalian Kepemimpinan. Kader inilah yang kemudian menjadi anak panah Muhammadiyah dalam mengemban misi dakwah. Sebagai organisasi pembaharu dan purifikasi (Tajdid) pemikiran-pemikiran kader Muhammadiyah selalu dinanti, untuk merespon gejala yang terjadi di masyarakat. Walaupun dalam beberapa diskursus Ke Muhammadiyahan, fatwa-fatwa Muhammadiyah dianggap tidak terlalu populer di kalangan lapis bawah masyarakat Indonesia bahkan pada Simpatisan atau warga persyarikatan Muhammadiyah fatwa-fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah seolah olah tidak diindahkan. Di awal berdirinya Muhammadiyah dianggap sebagai sebuah aliran kepercayaan baru yang tidak sejalan dengan Islam garis mainstream. Sebutan Kiyai kafir dan kristen alus merupakan sebutan yang melekat pada aktifis-aktifis Muhammadiyah generasi awal. Keberadaan Muhammadiyah sebagai gerakan kemodernan merupakan anti thesa dari gerakan Islam tradisional yang sudah mapan ditengah-tengah masyarakat. Pada saat ini, peran Muhammadiyah sebagai social movement dianggap terlalu melangit atau elitis sehingga terkadang kehadiran kader Muhammadiyah sebagai agen perubahan kalah pamor ketimbang para salafis yang lebih menyentuh kalangan bawah. Sehingga terkadang peran kemasyarakatan Muhammadiyah seolah tak tampak dan tak menyentuh lapisan bawah. Padahal pada sisi kesejarahan Muhammadiyah adalah gerakan sosial kemasyarakatan, yang kemudian berkembang dan berubah menjadi gerakat “elit” atau tak kelihatan lagi sosial kemasyarakatannya. Sebagai gerakan islam modern, Muhammadiyah dituding sebagai gerakan anti kebudayaan, dengan mematikan atau membid’ahkan seluruh aktifitas kebudayaan masyarakat dengan dalih purifikasi dan pemberantasan Tahayul, Bid’ah, dan Khurafat. Kuntowijoyo, menuliskan dalam ” Islam tanpa Mitos” dan “Muslim tanpa Mesjid” bahwa Muhammadiyah bukan gerakan anti kebudayaan tapi gerakan yang menawarkan kebudayaan baru. Kaderisasi Muhammadiyah harus menjawab segala tudingan dan tantangan dakwah Muhammadiyah. Lahirnya Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah dan lembaga pengembangan pesantren di lingkup Muhammadiyah mencoba menghadirkan ulama-ulama Tarjih Muhammadiyah yang dinilai kian terkikis akibat hadirnya para cendikiawan-cendikiawan yang lahir dari perguruan tinggi muhammadiyah dan para kader yang melakukan studi diluar ilmu keislaman. Sedang untuk gerakan kemasyarakatan, Muhammadiyah mengoptimalkan Lazismu, MDMC dan Majelis pelayanan sosial sebagai Tridente atau ujung tombak Muhammadiyah, memperbarui PKO (Poenoeloeng Kesengsaraan Oemoem) yang hadir di awal berdirinya Muhammadiyah. Ikhwanushoffa salah seorang pimpinan Lazismu Sragen, berujar pada pelatihan Lazismu di Kab. Jenneponto menjelaskan bahwa kehadiran Lazismu diharapkan menghidupkan kembali neo Al maun yang pernah digagas KH. Ahmad Dahlan. Pada bidang pendidikan, Muhammadiyah masih konsisten dengan konsep Integrasi pendidikannya. Dengan memadukan unsur materi umum dan materi pendidikan Al Islam dan Kemuhammadiyah dan Bahasa Arab atau Ismuba, yang gencar dilaksanakan satuan pendidikan di lingkup Muhammadiyah. Bagaimana dengan para cendikiawan Muhammadiyah atau budayawan Muhammadiyah? Apakah kedua bidang ini berkembang ataukah menjadi stagnan dengan hadirnya gerakan keulamaan dan gerakan sosial Muhammadiyah?. Para cendikiawan Muhammadiyah seolah tak pernah habis di Nusantara, ketua PP Muhammadiyah saat ini adalah seorang guru besar bidang sosial, dan integritas keilmuan dan keulamaannya tidak diragukan lagi. Kita juga mengenal Prof. Buya Syafii Maarif, cendikiawan dan tokoh besar Muhammadiyah, dan terkonsentrasi pada masalah pluralisme yang kadang panas di Indonesia. Sedang tokoh kebudayaan Muhammadiyah, kita mengenal tokoh sekaliber Buya Hamka, ulama, politisi dan sekaligus kebudayaan. Jika cendikiwan Muhammadiyah lahir dari kalangan akademisi Muhammadiyah, maka budayawan Muhammdiyah lahir dari Lembaga Seni Budaya dan Olahraga. Kebudayaan baru yang ditawarkan Muhammadiyah hadir dengan mencipta karya kebudayaan baru seperti film “jejak 2 ulama”. Kebudayaan yang mengedukasi masyarakat islam tentang perjuangan K.H Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari dalam mendirikan organisasi dan melakukan perubahan. Lembaga ini juga baru-baru ini menghadirkan sebuah klub sepak bola dan berlaga di kasta 2 liga Indonesia bernama PS HW. Persigo Semeru Hizbul Wathan adalah klub sepak bola binaan Pimpiman Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur. PS HW, kelanjutan dari PS HW yang dibentuk oleh Ki Bagus Hadikusumo pada era tahun 1800an. Muhammadiyah mencoba hadir di segala lini, menjadi sebuah gerakan yang melakukan perubahan dan perbaikan dalam banyak bidang. Kekuatan Intelektualitas, Spiritualitas yang menghadirkan dimensi Humanitas, menjadikan Muhammadiyah tumpuan basis Intelektualitas dan moralitas bangsa ini. Kemajuan zaman, membuat bangsa kita kehilangan identitasnya sebagai bangsa yang majemuk. Miskinnya Ulama cendekia dan Cendekia Ulama menyebabkan umat islam gampang menjadi bahan adu domba. Masuknya gerakan Islam Transnasional sejak awal reformasi dan munculnya isu politik Identitas menyebabkan posisi Muhammadiyah menajadi penentu arah kiblat bangsa kita. Kehadiran para intelektual Muhammadiyah dan para politisi dari kader Muhammadiyah menghadirkan dimensi pencerahan baru ditengah-tengah kebingungan bangsa ini menjawab dinamika kebangsaannya. Baitul Arqam PCM Lamongan. PWMU.CO– Perkaderan Muhammadiyah ada dua kategori. Yaitu perkaderan utama dan fungsional. Demikian dijelaskan Ketua Majelis Pendidikan Kader PDM Lamongan Fathurrahim Syuhadi di acara Baitul Arqom PCM Lamongan di Prigen, Senin (20/12/2021). Dia menjelaskan, perkaderan utama yaitu kaderisasi pokok yang dilaksanakan dalam bentuk pelatihan untuk menyatukan visi dan pemahaman nilai ideologis dan aksi gerakan Muhammadiyah. Materi kajiannya sudah standar. Contoh, Darul Arqam dan Baitul Arqam. ”Darul Aqram itu kaderisasi yang utama dan khas dalam Sistem Perkaderan Muhammadiyah. Bertujuan membentuk cara berpikir dan bersikap kader dan pimpinan yang kritis, terbuka dan berkomitmen terhadap gerakan Muhammadiyah,” kata Fathurrahim. Darul Arqam, kata dia, diselenggarakan di tingkat Pimpinan Pusat, Pimpinan Wilayah dan Pimpinan AUM. Perbedaan pada tingkatan tersebut adalah mengenai waktu, cakupan keluasan materi, segmentasi dan kualifikasi peserta. Darul Arqam tingkat pusat selama satu pekan, tingkat wilayah selama lima hari dan pimpinan AUM selama empat hari. Peserta Darul Arqam diprioritaskan untuk Pimpinan Persyarikatan, Unsur Pembantu Pimpinan dan pimpinan tertentu (top manager) Amal Usaha Muhammadiyah Baitul ArqamBeda lagi dengan Baitul Arqam. Dijelaskan, ini merupakan modifikasi dan penyederhanaan dari Darul Arqam yang diselenggarakan untuk tingkat Pimpinan Daerah, Cabang dan Ranting serta AUM. Sasarannya mulai simpatisan, anggota, pimpinan Muhammadiyah dan pimpinan (middle manager ke bawah) serta karyawan Amal Usaha Muhamamdiyah. ”Modifikasi dan penyederhanaan ini dilakukan dari sisi waktu penyelenggaraan serta kurikulumnya. Baitul Arqam untuk tingkat Daerah selama tiga hari, tingkat Cabang dan Ranting selama dua hari dan untuk pimpinan AUM selama tiga hari dan karyawan selama dua hari,” ujarnya. Penyederhanaan ini dirancang agar kegiatan kaderisasi dapat menjangkau peserta yang lebih luas terutama para anggota, simpatisan dan pimpinan yang tidak dapat mengikuti kegiatan Darul Arqam dalam waktu yang lama. Perkaderan FungsionalSedangkan Perkaderan Fungsional, kata Fathurrahim, kegiatan kaderisasi yang dilaksanakan dalam bentuk pendidikan, pelatihan, kursus atau kajian intensif yang terstruktur. Tidak ditetapkan standar kurikulumnya secara baku. Diadakan untuk kebutuhan dan fungsi tertentu dari majelis atau lembaga. ”Perkaderan fungsional dilaksanakan sebagai pendukung perkaderan utama dan guna pengembangan secara fleksibel sesuai jenis pelatihan serta kebutuhan dan kreativitas masing-masing penyelenggara,” tuturnya. Dia menjelaskan contoh-contoh perkaderan fungsional seperti pertama, Sekolah Kader sebagai tempat pendidikan kader pelajar dan mahasiswa. Contoh kader ulama tarjih. Kedua, Pelatihan Instruktur. Kegiatan kaderisasi pendukung yang dilakukan untuk meningkatkan kemampuan kader Muhammadiyah sebagai pelatih (instruktur) dalam mengelola dan melaksanakan berbagai bentuk kegiatan kaderisasi. Pelatihan Instruktur tingkat pusat selama lima hari, tingkat Wilayah selama empat hari, tingkat Daerah dan Cabang selama tiga hari. Ketiga, Dialog Ideopolitor. Ini dialog ideologi, politik dan organisasi. ”Merupakan kaderisasi bagi pimpinan Persyarikatan dan AUM yang didesain dalam bentuk dialog dengan panelis dan diskusi dengan sesama peserta dalam bentuk dinamika kelompok,” ujarnya. Pokok bahasannya, sambung dia, seperti peta mutakhir ideologi politik, ekonomi dan gerakan keagamaan yang berkembang di Indonesia, baik dalam skala lokal maupun regional dan nasional. Keempat, pelatihan yang diselenggarakan oleh majelis dan lembaga. Contoh, pelatihan ilmu falak (Majelis Tarjih dan Tajdid), pelatihan kader muballigh (Majelis Tabligh), pelatihan kewirausahaan (Majelis Ekonomi dan Kewirausahaan), pelatihan kader lingkungan (Majelis Lingkungan Hidup). Kelima, Pengajian Pimpinan. Kegiatan terbatas bagi pengembangan wawasan dan pendalaman nilai-nilai ideologi gerakan Muhammadiyah diikuti oleh pimpinan persyarikatan, Ortom dan AUM ditambahi kalangan tertentu yang dipandang perlu. Salah satu bentuk pengajian pimpinan yang rutin diadakan adalah Pengajian Ramadhan. Keenam Pengajian Khusus. Sebagai media internalisasi dan peneguhan paham agama dan ideologi gerakan Muhammadiyah bagi segenap warga persyarikatan di lingkungan masing-masing. Ketujuh, Pelatihan Tata Kelola Organisasi atau Up Grading. Memberikan bekal kemampuan manajerial dan administratif bagi pimpinan Persyarikatan serta pengelola Amal Usaha Muhammadiyah. Tujuannya dapat menjalankan amanah kepemimpinan dan pengelolaan secara profesional. Kedelapan, Diklat Khusus. Pendidikan dan pelatihan ini berorientasi pada pengembangan sumberdaya kader dan pemekaran potensinya sehingga bisa mendukung peran kader di luar persyarikatan dan menjadi pintu masuk bagi simpatisan dan calon kader Muhammadiyah. Di antara bentuk diklat khusus ini seperti Diklat Jurnalistik, Pelatihan Pengembangan Kapasitas Kecerdasan Emosional dan Spiritual, Diklat Kepemimpinan dan Outbound Training. Penulis Alfain Jalaluddin Ramadlan Editor Sugeng Purwanto |