Apa yang dimaksud dengan asas personalitas?

Hukum waris yang mengatur di bidang wasiat sebagai salah satu bidang hukum yang berada di luar bidang yang bersifat netral kiranya sulit untuk diperbaharui dengan jalan perundang-undangan atau kodifikasi guna mencapai suatu unifikasi hukum. Hal itu disebabkan upaya ke arah membuat wasiat yang sesuai dengan kebutuhan dan kesadaran masyarakat akan senantiasa mendapat kesulitan, mengingat beranekaragamnya corak budaya, agama, sosial, dan adat istiadat serta sistem kekeluargaan yang hidup dan berkembang di dalam masyarakat Indonesia. Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis tertarik untuk mengkaji lebih lanjut mengenai asas personalitas keislaman yang terdapat pada asas dalam sistem peradilan agama dalam bidang wasiat, dalam suatu karya ilmiah berbentuk skripsi dengan judul “Asas Personalitas Keislaman Sebagai Syarat Berlakunya Wasiat dalam Hukum Waris Islam Menurut Undang-Undang No.3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama” Tujuan dalam penyusuna karya ilmiah ini untuk mengetahui dan mengkaji kedudukan wasiat dalam hukum waris Islam di Indonesia dan untuk mengetahui dan mengkaji penerapan asas personalitas keislaman dalam memberlakukan wasiat terhadap hukum waris Islam. Metode penelitian dalam karya tulis ilmiah ini antara lain tipe penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah yuridis normatif,pendekatan masalah yang digunakan pendekatan undang-undang (statue approach). Sumber bahan hukum mencakup sumber bahan hukum primer,sumber bahan hukum sekunder dan bahan non hukum, Sedangkan analisa bahan hukum yang digunakan adalah metode deduktif. Pembahasan permasalahan berdasarkan latar belakang tersebut adalah bagaimana kedudukan wasiat dalam hukum waris Islam dan penerapan asas personalitas keislaman sebagi syarat berlakunya wasiat dalam hukum waris islam. Kedudukan wasiat dalam hukum kewarisan Islam sangat penting. Berulang-ulang disebutkan dalam al-Qur’an mengenai wasiat ini, baik dalam ayat-ayat al-Qur’an sebelum turunnya ayat kewarisan maupun sesudah turunnya ayat kewarisan, terutama dalam ayat kewarisan bersangkutan itu sendiri. Syarat-syarat dalam wasiat ada 3 yakni pemberi wasiat, penerima wasiat, dan sesuatu yang diwasiatkan. Kedudukan wasiat dalam hukum waris Islam disini adalah menyangkut pada wasiat itu sendiri sebagai pembagi harta warisan dan wasiat dalam hukum kewarisan Islam dapat juga untuk menyeimbangkan perolehan anak laki-laki dan anak perempuan. Apabila terjadi perselisihan atau persengketaan dalam masalah wasiat baik yang menyangkut obyek maupun subyeknya menyangkut orang islam dan tidak dapat diselesaikan secara musyawarah atau kekeluargaan. Selanjutnya diselesaikan dengan jalan melalui badan peradilan khususnya Peradilan Agama, maka Peradilan Agama dapat menerapkan Asas Personalitas Keislaman. Peradilan Agama sebagai wadah bagi pencari keadilan dalam menjalankan tugasnya menerapkan asas personalitas keislaman. artinya Peradilan Agama mempunyai kewenangan untuk memeriksa dan mengadili perkara perdata tertentu bagi mereka yang beragama Islam sesuai dengan ketentuan pasal 2 jo pasal 49 Undang-undang nomor 3 tahun 2006 tentang peradilan agama. Pasal 49 ayat (1) dan penjelasan umum paragraf pertama Undang-undang nomor 3 tahun 2006 tentang Peradilan Agama, diuraikan dalam asas personalitas kelslaman yang melekat pada Undang-undang Peradilan Agama. Hal yang sama juga dicantumkan dalam penjelasan umum angka 2 alinea 2 Undang-undang nomor 3 tahun 2006 tentang Peradilan Agama yang berbunyi " Pengadilan Agama merupakan pengadilan tingkat pertama untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara antara orang-orang yang beragama Islam dibidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi syari'ah berdasarkan Hukum Islam". Saran dari penul i s yakni keberadaan dan pel aksanaan wasi at sebagai bent uk pembagi harta warisan dan wasiat dalam hukum kewarisan Islam yang dapat juga untuk menyeimbangkan perolehan anak laki-laki dan anak perempuan harus senant i asa dilestarikan dalam kehidupan masyarakat untuk kemaslahatan bersama, namun demikian harus sesuai dengan ketentuan dan persyaratan yang berlaku sesuai dengan tujuannya, tepat sasaran dan bermanfaat sehingga tidak menimbulkan sengketa wasiat dikemudian hari.

Aripin, Jaenal, 2008, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, Kencana, Jakarta.

Arto, A. Mukti, 2012, Peradilan Agama Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Arto, A. Mukti, 2008, Garis Batas Kekuasaan Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri (Penerapan Asas Personalitas Keislaman Sebagai Dasar Penentuan Kekuasaan Pengadilan Agama), di muat dalam Jurnal Varia Pengadilan edisi November 2008.

Hamami, Taufiq, 2012, Peradilan Agama Dalam Reformasi Kekuasaan Kehakiman Di Indonesia Pasca Amandemen Ketiga UUD 1945, PT. Tata Nusa, Jakarta.

Harahap, Yahya, 2001, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, Sinar Grafika, Jakarta.

-------------------, 2005, Hukum Acara Perdata, Jakarta : Sinar Grafika.

Idris Ramulyo, Muhammad, 1991, Beberapa Masalah tentang Hukum Acara Perdata Peradilan Agama, Ind-Hill.Co, Jakarta.

Lubis, Sulaikin et. Al., 2005, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia, Kencana, Jakarta.

Raharjo, Satjipto, 1991, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Rosyadi, A. Rahmad dan M. Rais Ahmad, 2006, Formulasi Syari’at Islam Dalam Perspektif Tata Hukum Indonesia, Ghalia Indonesia, Bogor.

Sunggono, Bambang, 1997, Metodologi Penelitian Hukum, Rajawali Press, Jakarta.

Thalib, Sayuti, 1985, Receptio a Contrario, Hubungan Hukum Adat dengan Hukum Islam, Bina Aksara, Jakarta.

Jurnal

Yati Nurhayati dan Ifrani, “ The Legal Consequences Regarding The Execution Of Joint Property Land Obtained Due Transnatiional Marriage In Indonesian Positive Law” Lambung Mangkurat Law Journal, Vol. 3 Issue 1, March (2018) http://lamlaj.ulm.ac.id/web/index.php/abc/article

Nurhayati, Yati. "Posisi Agama dalam Ranah Politik di Indonesia." Al Adl: Jurnal Hukum 5.9 (2013).

Peraturan Perundang-Undangan :

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman;

Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama;

Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam;

PP Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974;

Putusan Mahkamah Agung Nomor: 726K/Sip/1976.

Asas Personalitas Keislaman

Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam, salah satunya di bidang perkawinan.[1]

Yang dimaksud dengan “antara orang-orang yang beragama Islam” adalah termasuk orang atau badan hukum yang dengan sendirinya menundukan diri dengan sukarela kepada hukum Islam, mengenai hal-hal yang menjadi kewenangan peradilan agama.[2]

Ketentuan ini menggambarkan bahwa peradilan agama menganut asas personalitas keislaman.

Maknanya, bahwa yang tunduk dan dapat ditundukan kepada kekuasaan lingkungan peradilan agama adalah mereka yang beragama Islam.

Menurut M Yahya Harahap dalam bukunya Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama (hal. 57 - 58), asas personalitas keislaman dikaitkan bersamaan dengan perkara perdata bidang tertentu yang menjadi kewenangan peradilan agama.

Menurutnya, asas personalitas keislaman penerapannya menjadi sempurna dan mutlak apabila didiukung dan tidak dipisahkan dengan unsur hubungan hukum.

Terdapat dua strategi untuk menerapkan asas personalitas keislaman, yaitu patokan umum dan patokan saat terjadi hubungan hukum.

Patokan umum merupakan patokan yang bersifat formal. Apabila seseorang telah mengaku beragama Islam, maka terhadapnya telah melekat asas personalitas keislaman.

Sedangkan patokan saat terjadi hubungan hukum ditentukan berdasarkan dua syarat, yaitu

  1. pada saat terjadi hubungan hukum, kedua pihak sama-sama beragama Islam; dan

  2. hubungan ikatan hukum yang mereka lakukan berdasarkan hukum Islam.

Apabila kedua syarat telah dipenuhi, maka telah melekat asas personalitas keislaman terhadap kedua pihak. Sehingga, sengketa yang terjadi di antara pihak-pihak tersebut menjadi kewenangan peradilan agama.

Masih menurut Yahya Harahap, untuk menentukan asas personalitas keislaman bukan didasarkan atas agama yang dianut saat terjadinya sengketa, namun ditentukan oleh dasar hukum yang menjadi landasan saat hubungan hukum berlangsung.

Baca juga:

Perceraian Pasangan yang Berpindah Agama

Berdasarkan pertanyaan Anda, kedua belah pihak melakukan pernikahan berdasarkan agama Islam dengan dokumen-dokumen pernikahan secara Islam (dicatat oleh Kantor Urusan Agama).

Meskipun di kemudian hari kedua belah pihak telah pindah agama secara Katolik (yang tidak dilaporkan), terhadap kedua belah pihak telah melekat asas personalitas keislaman, berdasarkan patokan saat terjadi hubungan hukum.

Peralihan agama dari suami, istri, maupun keduanya tidak menggugurkan asas personalitas keislaman itu.

Dengan demikian tidak menjadi soal apakah salah satu atau kedua belah pihak telah berpindah dari agama Islam.

Sengketa yang terjadi di kemudian hari (dalam kasus ini adalah perceraian) menjadi kewenangan peradilan agama.

Oleh karenanya tepat apabila perceraian kedua belah pihak diajukan kepada pengadilan agama.

Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat.

Dasar Hukum:

Referensi:

M Yahya Harahap. Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama: UU No. 7 Tahun 1989. Jakarta: Sinar Grafika. 2009.