Pada bulan Juli 1943, Pemerintah Dai Nippon di Jakarta menyelenggarakan ‘Latihan Kiai’ (Kiai Koshukai). Latihan ini diselenggarakan selama 3 minggu, dimana tiap angkatan terdiri dari 40 orang. Pada angkatan pertama terdiri para tokoh ulama besar seperti : KH Hasyim Asy’ari, KH Wahab Hasbullah, KH Bisri Syansuri, KH Mas Mansur, KH Ki Bagus Hadikusumo, KH Abdul Kahar Muzakkir, H. Agus Salim, KH Ahmad Sanusi, KH. R. Mohammad Adnan, Habib Ali Al-Habsyi, KH. Abdul Wahid Hasyim, KH M. Ilyas, dan lain-lain. Pada perkembangannya, dibentuklah sejumlah organisasi kepemudaan dan badan kemiliteran, yang sebetulnya oleh pemerintah Dai Nippon dipersiapkan untuk membantu mereka dalam perang melawan pasukan Sekutu. Badan-badan tersebut di antaranya Seinendan (pemuda berumur 14-22 tahun), Keibodan (pemuda berumur 23-35 tahun), Fujinkai (perempuan), dan Heiho. Kemudian pada September 1943, dibentuk Pembela Tanah Air (PETA). Di PETA ini, sejumlah pemuda NU juga ikut terlibat di dalamnya dan bahkan dipercaya menjadi pemimpin pasukan, seperti Shodancho (komandan peleton) Wahib Wahab (putra KH Wahab Hasbullah), Daidancho Iskandar Sulaiman (Konsul NU Malang), Cudancho (komandan kompi) Sullam Syamsun, Daidancho (komandan batalyon) Abdul Kholiq Hasyim (putra KH Hasyim Asy’ari), dan lain-lain. Bagi NU dan para tokoh pembesar Indonesia lain seperti Soekarno, pembentukan badan-badan kemiliteran yang sedianya akan digunakan untuk membantu angkatan perang Jepang, justru dimanfaatkan untuk memperkuat dalam upaya meraih kemerdekaan bangsa. Dalam upaya tersebut, KH Wahid Hasyim, yang kala itu menjadi ketua Masyumi, mengajukan permintaan kepada Jepang untuk membentuk barisan sukarelawan. Permintaan ini pun disetujui, dan pada 14 Oktober 1944 lahirlah ‘Hizbullah’ (Tentara Allah). Sebagai panglima pusat, ditunjuklah tokoh NU, KH Zainul Arifin. Berdasarkan catatan Ario Helmy dalam buku KH Zainul Arifin Pohan Panglima Santri Ikhlas Membangun Negeri (Pustaka Compass, 2016), Zainul Arifin Pohan, merupakan pria kelahiran Barus, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara pada 2 September 1909. Tokoh yang termasuk sebagai Pahlawan Nasional tersebut, pernah mengemban amanah sebagai pengurus PBNU pada periode 1952-1967, serta menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri (1953-1955). KH Zainul Arifin wafat pada 2 Maret 1963. Duo Panglima Perang NU, H. Zainul Arifin (kiri) dan KH Masjkur (kanan) (dok. Buku KH Masjkur) Latihan kemiliteran Hizbullah dipusatkan di Cibarusa, Bogor, Jawa Barat diikuti hingga 500 pemuda Islam, baik dari pesantren maupun ormas Islam. Latihan tersebut dipimpin oleh seorang perwira Jepang Yanagawa, dan dibantu beberapa perwira PETA. Tak hanya fisik yang digembleng, selama 3.5 bulan tersebut, para pemuda Hizbullah juga mendapatkan gemblengan rohani dari para ulama, antara lain : KH Mustofa Kamil Jawa Barat (kekebalan jasmani), KH Mawardi Solo (bidang tauhid), KH Zarkasyi (Ponorogo), Kiai Mursyid Pacitan, Kiai Syahid Kediri, KH Abdul Halim Majalengka (bidang politik), KH Tohir Dasuki Solo (bidang sejarah), Kiai Roji’un Jakarta, dan KH Abdullah. Secara fungsional status Hizbullah ini adalah sebagai kesatuan yang akan membantu kesatuan sebelumnya, Peta, dalam upaya pembelaan tanah air. Sementara secara ideologis maksud dan tujuan atas keberadaan Hizbullah ini adalah menjunjung tinggi perintah agama, menginsyafkan seluruh umat Islam serta berusaha meningkatkan upaya dan membulatkan segenap tenaga untuk berjuang bersama pasukan Jepang. Pada Januari 1945 kepengurusan Hizbullah pusat dibentuk berdasarkan hasil dari rapat pleno Masyumi ketika sedang membicarakan kedudukan Hizbullah di hadapan Peta. Diputuskan pimpinan pusat dari Barisan Hizbullah adalah KH Zainul Arifin, dengan didukung struktur Bagian Umum (Suroyo dan Sujono), Bagian Propaganda (Anwar Cokroaminoto, KH Zarkasyi, dan Masyhudi); Bagian Perencanaan (Muhammad Junaidi); Bagian Keuangan (Raden Haji Oned Junaedi dan Mangkusasmito). Keberadaan Hizbullah menjadi salah satu benteng penting dalam upaya mempertahankan kemerdekaan bangsa Indonesia. Sejak Oktober 1945 hingga akhir1946, serta Agresi Militer Belanda pada tahun 1947. Laskar Hizbullah bertempur menghadapi perlawanan tentara Sekutu, tersebar di wilayah seperti Surabaya, Jawa Timur, Semarang dan Ambarawa, Jawa Tengah dan Priangan (Bandung dan sekitanya) Jawa Barat. Kemudian momen 10 November 1945 (Hari Pahlawan) dan 23 Maret 1946 (Hari Bandung Lautan Api). Penulis: Ajie Najmuddin Editor: Abdul Muiz Hizbullah (bahasa Arab: حزب الله Hezbollah, bahasa Indonesia: "Partai Allah / Partai Tuhan") adalah organisasi Politik dan Paramiliter dari kelompok Syiah didirikan pada tahun 1982 yang berbasis di Lebanon.[22] Sejak didirikan, organisasi ini telah berkembang menjadi organisasi yang bercampur ke dalam strukur sosial Lebanon melalui pelayanan sosial dan partisipasi aktif dalam politik sambil tetap melancarkan serangan teror internasional dan operasi-operasi militer regional. Kelompok ini secara rutin berselisih dengan Israel dan menentang pengaruh barat di Lebanon, dan yang paling baru adalah terlibat dalam perang saudara di Suriah sebagai pendukung pemerintah Assad.[23][22] Kelompok ini dianggap sebagai organisasi teroris oleh Amerika Serikat, Israel, Kanada, dan Australia.[24][25][26][27] Hizbullah حزب الله
"Maka sungguh, pengikut (agama) Allah itulah yang menang" [Qur'an Al-Ma’idah:56]Parlemen[8] 13 / 128 (10%)
Sekutu non-negara:
Lihat lebih banyakLawanNegara lawan:
Lawan non-negara:
Bagan Organisasi Hezbollah oleh Ahmad Nizar Hamzeh. Pada awalnya para pemimpin Hizbullah mengatakan bahwa gerakan ini bukanlah sebagai sebuah organisasi, oleh karena itu tidak mempunyai kartu anggota, hiraki kepemimpinan [28] dan struktur organisasi [29] yang jelas Hisbullah mempunyai majalah mingguan Kabdat Alla serta penyiaran satelit, radio Al Nour dan televisi Al-Manar yang pernah melakukan penyiarkan 29 bagian episode mengenai konspirasi Yahudi di seluruh dunia dengan judul Al-Shatat yang diklaim oleh sementara pihak sebagai alat agitasi dan propaganda yang bersifat menyebarkan Antisemitisme [30][31][32] dan 3 bulan kemudian setelah penyiaran Al-Shafat sebuah lembaga Jerman bernama Friedrich Ebert Stiftung (FES) pusat pemikir yang dekat dengan Partai Sosial Demokrat Jerman (German Social Democratic Party - SPD) bersama-sama dengan Hizbullah "research department" membuat konferensi bersama di Beirut dengan tema "The Islamic World and Europe: From Dialogue to Agreement" [33][34]
|