Syarat khusus bagi wanita untuk beritikaf adalah brainly

Syarat khusus bagi wanita untuk beritikaf adalah brainly

Syarat khusus bagi wanita untuk beritikaf adalah brainly
Lihat Foto

ANTARA FOTO/IGGOY EL FITRA

Umat Islam melakukan shalat sunah saat beriktikaf di Masjid Baiturrahmah Padang, Sumatera Barat, Sabtu (25/5/2019) malam. Ratusan jemaah beriktikaf dengan berdiam diri di dalam masjid tersebut yang diisi dengan kegiatan berzikir, membaca Al Quran dan ibadah lainnya pada 10 hari terakhir di bulan Ramadhan menanti malam Lailatul Qadar.

KOMPAS.com - Umat muslim memanfaatkan waktu 10 hari terakhir di bulan Ramadhan ini untuk melakukan iktikaf atau i'tikaf.

Umat muslim melaksanakan iktikaf di masjid dengan ibadah, bermuhasabah, introspeksi diri, dan mendekatkan diri ke Allah SWT.

Aktivitas yang dapat dilakukan, yakni salat wajib atau sunnah, membaca Al Quran, berzikir, dan lain sebagaianya.

Berbagai keistimewaan dari iktikaf ini menjadi hal yang diutamakan oleh umat muslim, termasuk salah satu upaya untuk meraih malam lailatul qadar.

Baca juga: Niat dan Tata Cara Itikaf di 10 Hari Terakhir Ramadhan

Arti Itikaf

Itikaf berasal dari bahasa Arab "Akafa" yang berati menetap, mengurung diri atau terhalangi.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Itikaf merupakan berdiam diri beberapa waktu di dalam masjid sebagai suatu ibadah dengan syarat-syarat tertentu.

Berdiam diri ini dilaksanakan dengan menjauhkan pikiran dari keduniaan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan.

Sementara itu, dikutip situs Nahdlatul Ulama (NU), secara terminologi itikaf adalah berdiam diri di masjid disertai dengan niat. Tujuannya adalah semata-mata beribadah kepada Allah SWT.

Niat

Dilansir dari Kompas.com,  Iktikaf atau I'tikaf umumnya dilaksanakan di masjid, akan tetapi di tengah situasi pandemi, itikaf dapat dilaksanakan di rumah.

itikaf dapat dilaksanakan di masjid dengan membaca niat:

Syarat khusus bagi wanita untuk beritikaf adalah brainly
Jakarta Ketika masuk 10 hari terakhir, pada malam hari Rasulullah Muhammad SAW tidak pernah berada di rumah. Rasulullah menghabiskan waktu malam di masjid menjalankan iktikaf.

Iktikaf merupakan berdiam diri di masjid yang kerap digunakan untuk sholat Jumat. Tujuan Rasulullah adalah demi meraih Lailatul Qadar.

Ibadah ini sangat dianjurkan untuk setiap Muslim. Umumnya, orang yang lebih sering ke masjid adalah para pria. Lantas bagaimana dengan wanita?

Dikutip dari bincangsyariah.com, riwayat tentang kebiasaan Rasulullah beriktikaf disampaikan oleh Aisyah RA.

" Bahwasanya Nabi SAW selalu beriktikaf di sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadan sampai Allah memanggilnya, kemudian istri-istrinya meneruskan iktikafnya setelah itu."

Hadis ini menunjukkan kebiasaan Rasulullah beriktikaf dilanjutkan oleh seluruh istrinya. Para ulama menjadikan hadis ini sebagai dalil mengenai dibolehkannya wanita beriktikaf di masjid.

Tetapi, dalam kitab Ibanatul Ahkam Syarh Bulughul Maram disebutkan wanita bisa menjalankan iktikaf di masjid jika sudah mendapatkan izin dari suaminya.

Dasarnya adalah hadis riwayat Bukhari dari Aisyah RA.

" Nabi SAW biasa beriktikaf di sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadan. Aku mendirikan tenda untuk beliau. Kemudian beliau melaksanakan sholat Subuh dan memasuki tenda tersebut. Hafshah meminta izin pada Aisyah untuk mendirikan tenda, Aisyah pun mengizinkannya. Ketika Zainab binti Jahsy melihatnya, ia pun mendirikan tenda lain.

Ketika di Subuh hari lagi Nabi SAW, melihat banyak tenda, lantas diberitahukan dan beliau bersabda, 'Apakah kebaikan yang kalian inginkan dari ini?' Beliaupun meninggalkan iktikaf pada bulan ini dan beliau mengganti dengan iktikaf pada sepuluh hari dari bulan Syawal."

Imam Ibnu Hajar dalam kitabnya Fathul Bari menjelaskan wanita boleh beriktikaf di masjid atas izin suaminya. Tetapi jika tanpa izin, sang suami bisa menyuruhnya keluar dari iktikaf.

Selain itu, Ibnu Hajar juga menjelaskan demikian.

" Jika perempuan ingin melaksanakan iktikaf di masjid, maka hendaknya menutupi diri (dari pandangan laki-laki). Disyaratkan bagi perempuan untuk berdiam diri di masjid selama tempat tersebut tidaklah mengganggu (menyempitkan) orang-orang yang sholat."

Kemudian, wanita juga harus dalam keadaan suci dari haid, nifas, dan janabah. Kecuali jika wanita istihadah atau mengeluarkan darah penyakit, dibolehkan beriktikaf asalkan menggunakan pembalut agar tidak mengotori masjid.

Sumber: Dream.co.id

Bolehkah Wanita Melaksanakan I’tikaf??? – Pada kesempatan ini Pengetahuan Islam akan membahas tentang I’tikaf. Karena yang sering melaksanakan i’tikaf adalah para lelaki, muncul kesan bahwa ibadah i’tikaf khusus dilaksanakan oleh kaum Adam. Sehingga ada anggapan bahwa kaum hawa tidak disyariatkan untuk melaksanakannya. Apalagi bagi kaum hawa yang juga ingin mendapatkan pahala besar melalui ibadah puncak di bulan penuh berkah?

Nah, Bagaimana bila hukumnya wanita melaksanakan i’tikaf?… Boleh atau tidak, tentu sahabat bertanya-tanya bagaimana hal tersebut. Untuk lebih jelasnya silahkan simak artikel Pengetahuanislam.com berikut ini.

I’tikaf termasuk amal shalih yang disyariatkan pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadlan. Dan sesungguhnya Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam biasa beri’tikaf pada sepuluh hari terahir dari Ramadlan itu. Dalam Shahih Al-Bukhari (2026) dan Muslim (1172) dari jalur ‘Urwah, dari Aisyah radliyallaahu ‘anha,

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الْأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ

Artinya :

“Adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadlan hingga Allah mewafatkannya. Kemudian i’tikaf dilanjutkan oleh istri-istri beliau.”

Hal itu menunjukkan bahwa i’tikaf disyariatkan bagi kaum laki-laki dan wanita. Para ulama juga telah berijma’ (bersepakat) i’tikaf laki-laki tidak sah kecuali di masjid. Mereka berdalil dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ

Artinya :

“Dan janganlah kamu campuri mereka itu (istri-istrimua), sedang kamu beri`tikaf dalam masjid.” (QS. Al-Baqarah: 187)

Begitu juga dengan dasar pelaksanaan Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam yang di masjid.

Pendapat Para Ulama

Syarat khusus bagi wanita untuk beritikaf adalah brainly

Jumhur ulama dari kalangan Madhab Hanafi, Maliki, syafi’i, Hambali, dan lainnya  berpandangan bahwa kaum perempuan seperti laki-laki, tidak sah i’tikafnya kecuali di masjid. Maka tidak sah i’tikaf yang dilaksanakannya di masjid rumahnya. Pendapat ini berbeda dengan yang dipahami madhab Hambali, mereka berkata,

“Sah i’tikaf seorang wanita yang dilaksanakan di masjid rumahnya.”

Sedangkan pendapat jumhur jelas lebih benar, karena pada dasarnya laki-laki dan wanita sama dalam hukum kecuali ada dalil yang menghususkannya. Karena itu disyariatkan bagi wanita yang akan beri’tikaf untuk melaksanakannya di masjid-masjid. Namun perlu diketahui, bagi wanita yang memiliki suami tidak boleh beri’tikaf kecuali dengan izin suaminya menurut pendapat jumhur ulama. Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam telah bersabda,

لَا يَحِلُّ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَصُومَ وَزَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلَّا بِإِذْنِه

Artinya :

“Janganlah seorang wanita berpuasa sementara suaminya ada bersamanya, kecuali dengan seizinnya.” (HR. Al-Bukhari no. 5195 dan Muslim no. 1026 dari jalur Thariq Abu al-Zinad, dari Al-A’raj, dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu)

Apabila dalam urusan puasa saja seperti ini maka dalam i’tikaf jauh lebih (ditekankan untuk mendapat izin dari suaminya), karena hak-hak suaminya yang akan terabaikan jauh lebih banyak.

Begitu juga perlu diingatkan, bahwa apabila kondisi diamnya seorang wanita di masjid tidak terjamin keamananya, seperti keberadaannya di situ membahayakan bagi dirinya atau akan menjadi tontonan, maka ia tidak boleh beri’tikaf.

Karena itulah para fuqaha’ menganjurkan bagi wanita apabila beri’tikaf supaya menutup diri dengan kemah dan semisalnya berdasarkan perbuatan Aisyah, Hafshah, Zainab pada masa Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam. Diterangkan dalam Shahih Al-Bukhari (2033) dan Muslim (1173) dari jalur Yahya bin Sa’id bin Amrah, dari Aisyah,

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرَادَ أَنْ يَعْتَكِفَ فَلَمَّا انْصَرَفَ إِلَى الْمَكَانِ الَّذِي أَرَادَ أَنْ يَعْتَكِفَ إِذَا أَخْبِيَةٌ خِبَاءُ عَائِشَةَ وَخِبَاءُ حَفْصَةَ وَخِبَاءُ زَيْنَبَ

Artinya :

“Bahwasanya Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam hendak beri’tikaf. Maka ketika beliau beranjak ke tempat yang hendak dijadikan beri’tikaf di sana sudah ada beberapa kemah, yaitu kemah Aisyah, kemah Hafshah, dan kemah Zainab.”

Semua itu menunjukkan bahwa disyariatkan mengadakan penutup (satir) bagi wanita yang beri’tikaf dengan tenda (kemah) dan semisalnya. Wallahu Ta’ala a’lam.

Demikianlah pembahasan tentang Bolehkah Wanita Melaksanakan I’tikaf???. Semoga dapat memberikan manfaat dan ilmu pengetahuan kita semua. Terima kasih.