Sebutkan tradisi tradisi nenek moyang di daerah Jawa Tengah

Sebutkan tradisi tradisi nenek moyang di daerah Jawa Tengah

Sebutkan tradisi tradisi nenek moyang di daerah Jawa Tengah
Lihat Foto

KOMPAS.COM/SLAMET PRIYATIN

Warga Dayunan Sukorejo Kendal saat perayaan nyadran. KOMPAS.COM/SLAMET PRIYATIN

KOMPAS.com - Upacara adat yang merupakan tradisi masyarakat Jawa Tengah berkaitan
dengan hubungan kemasyarakatan dan sang Pencipta.

Tradisi dilakukan untuk menjaga kerukunan warga, menghindari kesusahan batin,
maupun mewarisi nilai-nilai luhur para leluhur.

Berikut tradisi di masyarakat Jawa Tengah:

1. Tradisi Ruwatan

Tradisi Ruwatan adalah salah satu bentuk ritual penyucian. Ruwat berasal dari istilah Ngaruati
yang memiliki makna menjaga kesialan Dewa Batara.

Sampai saat ini, tradisi ini dilestarikan oleh masyarakat Demak.

Tradisi Ruwatan juga untuk melestarikan ajaran Kanjeng Sunan Kalijaga dan digunakan bagi
orang Nandang Sukerto atau berada dalam dosa.

Meruwat bisa berarti mengatasi atau menghindari sesuatu kesusahan batin dengan cara mengadakan pertunjukkan atau ritual.

Umumnya, ritual tersebut menggunakan media wayang kulit yang mengambil cerita Murwakala.

Upacara Ruwatan biasanya dilakukan orang Jawa ketika mengalami kesialan hidup.

Masalah kehidupan tersebut, seperti anak sedang sakit, anak tunggal yang tidak memiliki adik atau kakak, terkena sial, jauh jodoh, susah mencari kehidupan, dan lain sebagainya.

Baca juga: Ruwatan, Tradisi Jawa Pembuang Sial

2. Tradisi Syawalan

Tradisi syawalan merupakan tradisi masyarakat di Kota Pekalongan, khususnya masyarakat Daerah Krapyak, bagian utara Kota Pekalongan.

Tradisi ini dilakukan setiap hari ketujuh (8 Syawal) sesudah Hari Raya Idul Fitri.

Asal mula tradisi Syawalan ini, supaya dapat membuat acara 'open house' setelah
tidak menerima tamu pada 2-7 Syawal.

Pada 8 Syawal, masyarakat saling mengunjungi, baik dari luar desa maupun kota.

Tradisi ini berkembang dari masa ke masa hingga sekarang.

Yang menarik dari tradisi ini adalah adanya Lopis Raksasa dengan tinggi 2 meter, diameter 1,5 meter, dan beratnya bisa mencapai 1000 kg atau lebih 1 kuintal.

Setelah melakukan doa bersama, lopis akan dipotong oleh Walikota Pekalongan lalu dibagi-bagikan kepada pengunjung.

Pembuatan Lopis Raksasa dimaksudkan untuk mempererat tali silaturahmi. Hal ini, identik dengan sifat lopis yang lengket.

Baca juga: Riuhnya Tradisi Syawalan di Berbagai Daerah di Indonesia

3. Tradisi Nyadran

Tradisi Nyadran merupakan tradisi yang dilakukan di bulan Sya'ban atau menjelang bulan ramadan. Kata Nyadran berasal dari kata 'Sraddaa' yang bermakna keyakinan.

Tradisi yang dilakukan masyarakat Jawa Tengah dan Yogyakarta dimaksudkan untuk membersihakan makam orang tua dan leluhur, membuat dan membagikan makanan tradisional, dan berdoa atau selamatan di area makam.

Dalam tradisi Jawa bulan ramadan disebut juga bulan ruwah, sehingga Nyadran disebut juga acara ruwah.

Bagi masyarakat Jawa, Nyadran merupakan tradisi yang penting. Pasalnya, para pewaris tradisi ini menjadikan Nyadran sebagai momentum untuk menghormati para leluhur dan ungkapan syukur kepada Sang Pencipta.

Di beberapa daerah di Jawa, masyarakat membersihkan makam sambil membawa makanan hasil bumi yang disebut sadranan. Lalu, mereka akan makan bersama-sama di atas daun pisang.

Namun, tradisi Nyadran di setiap daerah di Jawa berbeda-beda. Di Muntilan, Jawa Tengah, masyarakat tidak membawa sadaran (makanan hasil bumi) ketika membersihkan makam.

Masyarakat mempercayai bahwa tradisi Nyadran dengan membersihkan makam adalah simbol pembersihan diri menjelang ramadan. Tidak hanya kepada Pencipta, namun pembersihan diri pada leluhur dan kegangatan persaudaraan.Baca juga: Nyadran, Doa Syukur dan Makan Ala Sorobayan di Atas Tikar

4. Tradisi Popokan

Tradisi ini merupakan upacara adat lempar lumpur di Dusun Sendang, Kecamatan Bringing, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah.

Dilansir dariejournal.undip.ac.id, Laporan Budaya berjudul Popokan: Tradisi Perang Lumpur di Tradisi Desa Sendang Kecamatan Bringin, Kabupaten Semarang oleh Muh Hafidz disebutkan bahwa tradisi ini dilakukan laki-laki yang masih muda.

Mereka saling melempar lumpur satu sama lain di pesawahan desa.

Tradisi ini dilakukan pada Agustus, tepatnya Jumat Kliwon, atau September sesuai masa panen. Tradisi dilakukan setelah acara kirap, tepatnya pukul 15.00 - 15.30 WIB.

Tradisi Popokan merupakan tradisi turun temurun yang masih dilakukan sampai saat ini.

Tradisi ini muncul berdasarkan kesepakatan warga Desa Sendang lalu menjadi tradisi Desa Sendang.

Tradisi dimulai dengan pembersihan mata air atau sendang pada Kamis sore. Setelah shalat Jumat, warga membawa ambeng atau nasi yang bentuknya mirip gunungan dan jajan pasar ke rumah bayan (pengurus kampung) untuk selamatan.

Setelahnya, masyarakat menuju perbatasan desa untuk melakukan kirap dan tradisi Popokan.

Baca juga: Nyadran Agung di Kulon Progo, Puluhan Gunungan Diarak

5. Tradisi Brobosan

Tradisi Brobosan adalah tradisi ketika jenazah yang meninggal diangkat lalu anak cucu yang meninggal secara beriringan menerobos atau melewati jenazah yang diangkat.

Tradisi ini dimulai dengan anak tertua sampai cucu-cucu dengan cara menunduk di bawah keranda jenazah.

Kemudian, mereka mengelilingi jenazah sebanyak 3 sampai 7 kali searah jarum jam.

Makna tradisi ini adalah penghomatan terakhir dari keluarga yang masih hidup kepada jenazah.

Masyarakat Jawa meyakini bahwa nilai-nilai luhur almarhum akan turun kepada anak cucu.

Sumber: tourism.pekalongankota.go.id, menpan.go.id, ejournal.undip.ac.id, antaranews, dan
pariwisata.demakkab.go.id.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Tradisi Selamatan. Selamatan merupakan sebuah tradisi ritual yang hingga kini tetap dilestarikan oleh sebagian besar masyarakat Jawa.Salah satu upacara adat Jawa ini dilakukan sebagai bentuk rasa syukur atas anugerah dan karunia yang diberikan Tuhan.

Istilah Selamatan sendiri berasal dari bahasa arab yakni Salamah yang memiliki arti selamat atau bahagia.

Dalam prakteknya, selamatan atau syukuran dilakukan dengan mengundang beberapa kerabat atau tetangga . Secara tradisional acara syukuran dimulai dengan doa bersama, dengan duduk bersila di atas tikar, melingkari nasi tumpeng dengan lauk pauk dan kemuadian di lanjutkan dengan menikmati nasi tumpeng tersebut secara bersama – sama.

Sejarah Tradisi Selamatan

Sejarah religi masyarakat Jawa jauh sebelum kedatangan agama Hindu dan Islam telah dimulai sejak jaman Pra Sejarah. Kebutuhan orang-orang Jawa akan keselamatan, keamanan, kesejahteraan, ketentraman serta kedamaian hidup menciptakan sebuah sistem kepercayaan (Animisme dan Dinamisme).

Sistem kepercayaan Animisme dan Dinamisme sangatlah melekat dalam kehidupan masyarakat Jawa. Mereka beranggapan bahwa setiap tempat yang ada di dunia ini memiliki penjaga yang memiliki kekuatan gaib (roh) dan berwatak (baik dan buruk).

Dari sini terciptalah percampuran atau akulturasi antara agama pendatang dengan kepercayaan nenek moyang. Dalam hal ini, ritual selamatan adalah salah satu tradisi hasil akulturasi budaya yang masih tetap dilestarikan hingga saat ini.

Biasanya upacara ini di pimpin oleh pemuka agama (Modin) daerah setempat diteruskan dengan makan-makan bersama sekadarnya. Dan, dimaksudkan untuk mendapatkan keselamatan dan perlindungan dari Tuhan yang maha Kuasa.

Karena tujuan utama diadakannya ritual ini adalah keselamatan, tradisi selamatan dalam praktiknya dilakukan hampir di setiap kejadian yang dianggap penting oleh masyarakat jawa. Misalnya kelahiran, kematian, pernikahan dan jika akan mengadakan suatu kegiatan besar. Pun Bakesbangpoldagri Kab. Madiun (30/9) mengadakan selamatan yang bertempat di depan Pendopo Monumen Kresek Kec. Wungu Kab. Madiun, “Semoga kegiatan Upacara memperingati Hari Kesaktian Pancasila besok (1/10) berjalan aman dan lancar dan memberikan manfaat bagi kita semua khususnya Masyarakat Kab. Madiun”, Harap Modin yang memimpin acara selamatan. Setelah doa bersama dilanjutkan dengan menikmati nasi panggang tumpeng yang di ikuti seluruh karyawan karyawati Bakesbangpoldagri Kab. Madiun, perwakilan masyarakat dan perangkat daerah setempat. Cimp

BNews—MAGELANG— Masyarakat jawa terkenal dengan keramah tamahannya penuh tradisi. Selain tradisi, adat budayanya juga cukup kental dijalani mereka.

Adat, Tradisi dan Budaya di Jawa memang sangat banyak jenisnya. Banyak yang membuat tertarik masyarakat luar jawa untuk menyaksikan atau mengikutinya, salah satunya yang terkait dengan ritual.

Ritual sering berlangsung dengan nama Upacara adat. Acara tersebut tergolong cukup unik dan harus dikenalkan pada generasi muda agar warisan nenek moyang ini tetap lestari dan terjaga.

Berikut upacara adat Jawa yang harus Anda ketahui sebagai orang Jawa :

1. Selametan

Upacara adat Jawa sering disebut “selametan”. Upacara ini dilakukan secara turun temurun sebagai peringatan doa. Upacara ini dilakukan untuk mendoakan para leluhur agar diberinya ketentraman.

2.  Ruwatan

Upacara ruwatan adalah upacara adat Jawa yang dilakukan dengan tujuan untuk meruwat atau menyucikan seseorang dari segala kesialan, nasib buruk, dan memberikan keselamatan dalam menjalani hidup.

Biasanya upacara ini dilakukan di dataran Tinggi Dieng. Anak-anak yang berambut gimbal dianggap sebagai keturunan buto atau raksasa harus dapat segera diruwat agar terbebas dari segala marabahaya.

3.  Tradisi Nikahan

Dalam pernikahan adat Jawa terdapat beberapa upacara perkawinan yang sangat unik dan sakral. Banyak tahapan yang harus dilalui dalam upacara adat Jawa yang satu ini, mulai dari siraman, siraman, upacara ngerik, midodareni, srah-srahan atau peningsetan, nyantri, upacara panggih atau temu penganten, balangan suruh, ritual wiji dadi, ritual kacar kucur atau tampa kaya, ritual dhahar klimah atau dhahar kembul, upacara sungkeman dan lain sebagainya.

4.  Tedak Siten

Bayi yang di masukan kedalam sangkar ayam ini merupakan upacara adat Jawa yang digelar ketika mereka mulai belajar berjalan. Upacara ini dibeberapa wilayah lain juga dikenal dengan sebutan upacara turun tanah atau tedak siten. Tujuan dari diselenggarakannya upacara ini adalah sebagai ungkapan rasa syukur orang tuanya atas kesehatan anaknya yang sudah mulai bisa menapaki alam sekitarnya.

BACA JUGA : Sahabat Perempuan Magelang Desak Sahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual

5.  Tingkeban

Upacara tingkeban (mitoni) adalah upacara adat Jawa yang dilakukan saat seorang wanita tengah hamil 7 bulan. Pada upacara ini, wanita tersebut akan dimandikan air kembang setaman diiringi panjatan doa dari sesepuh, agar kehamilannya selamat hingga proses persalinannya nanti.

6.  Kebo-Keboan

Masyarakat Jawa yang mayoritas bekerja sebagai petani juga memiliki ritual upacara tersendiri. Kebo-keboan merupakan upacara adat Jawa yang dilakukan untuk menolak segala bala dan musibah pada tanaman yang mereka tanam, sehingga tanaman tersebut dapat tumbuh dengan baik dan menghasilkan panen yang memuaskan.

Dalam upacara ini, 30 orang yang didandani menyerupai kerbau akan diarak keliling kampung. Mereka akan didandani dan berjalan seperti halnya kerbau yang lagi membajak sawah.

7.  Larung Sesaji

Upacara larung sesaji adalah upacara yang digelar orang Jawa yang hidup di pesisir pantai utara dan Selatan Jawa. Upacara ini digelar sebagai perwujudan rasa syukur atas hasil tangkapan ikan selama mereka melaut dan sebagai permohonan agar mereka selalu diberi keselamatan ketika dalam usaha.

Berbagai bahan pangan dan hewan yang telah disembelih akan dilarung atau dihanyutkan ke laut setiap tanggal 1 Muharam dalam upacara adat Jawa yang satu ini.

Nah itulah 7 upacara adat tradisi jawa yang masih berlangsung turun-temurun di sebagian besar orang jawa. Jangan sampai hilang termakan kemajuan jaman peninggalan nenek moyang kita ini. (bsn)