Penyelesaian dalam susunan dramatik naskah drama disebut ?

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia struktur memiliki definisi struktur 1 cara sesuatu disusun atau dibangun; susunan; bangunan; 2 yang disusun dengan pola tertentu; 3 pengaturan unsur atau bagian suatu benda; 4 ketentuan unsur-unsur dari suatu benda (Tim KBBI, 2007: 1092).

Menurut Prof. Benny H. Hoed, struktur adalah bangun (teoritis) yang terdiri atas unsur-unsur yang berhubungan satu sama lain dalam satu kesatuan diunduh dari https://id.wikipedia.org/wiki/Struktur pada tanggal 21 Januari 2016 pukul 02.19.

Oemarjati (dalam Satoto, 2012: 9) menjelaskan struktur merupakan elemen paling utama, dan merupakan prinsip kesatuan lakuan (unity of action) dalam drama. Sistematika pembicaraannya dilakukan dalam hubungannya dengan alur (plot) dan penokohan (perwatakan).

Satoto (1985: 14) menjelaskan bahwa struktur ilmu kesusastraan merupakan bangunan yang di dalamnya terdiri atas unsur-unsur, tersusun menjadi suatu kerangka bangunan yang arsitektual.

8

Sudikan (dalam Ambarwati, 2015: 14) menjelaskan struktur adalah hubungan unsur-unsur pembentuk dalam susunan keseluruhan. Struktur dalam drama dapat diibaratkan sebagai sebuah bangunan yang terbentuk dari unsur-unsur yang saling terkait satu sama lain. Unsur-unsur tersebut adalah alur, tokoh dan penokohan, latar, tema, dan amanat. Unsur-unsur tersebut dapat membentuk sebuah struktur dengan adanya dialog dan tingkah laku konkret para tokohnya. Struktur itu dapat disebut sebagai struktur dramatik.

Dramatik dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki arti dramatis. Sedangkan, dramatis memiliki arti (1) mengenai drama; (2) bersifat drama (Tim KBBI, 2007: 276).

Moulton (dalam Harymawan, 1993: 1) menjelaskan drama sebagai hidup yang dilukiskan dengan gerak (life presented in action). Sedangkan, Harymawan (1993: 1) mendefinisikan drama sebagai kualitas, situasi, action, segala sesuatu yang terlihat dalam pentas yang menimbulkan perhatian, kehebatan (exciting), dan ketegangan pada penonton atau pendengar.

Drama terdiri atas beberapa unsur yang saling berkaitan satu dengan yang lainnya. Unsur-unsur yang terdapat dalam drama di antara-nya adalah, latar (setting), tokoh, tema, amanat, konflik, serta alur (plot). Unsur-unsur tersebut membentuk sebuah kesatuan yang disebut dengan struktur drama atau lebih dikenal dengan struktur dramatik. Hal ini juga dikemukakan Braham (dalam Edraswara, 2011: 25) bahwa drama

9

memiliki kesamaan dengan karya prosa dan juga novel. Terbukti dengan menyetujui Hudson mengenai pendapat bahwa plot drama (dramatic-line) terdiri dari: (a) insiden permulaan, konflik dimulai, (b) penanjakan (rising action), mulai penanjakan, komplikasi, (c) klimaks, mulai menanjak, terjadi krisis, lalu menuju ke titik balik (turning-point), (d) penurunan (the falling action), dan (e) keputusan (catastrophe).

Struktur menurut Aristoteles merupakan satu kesatuan dari bagian-bagian yang kalau satu di antara bagiannya diubah atau dirusak, akan berubah atau merusak struktur tersebut. Di dalam cerita-cerita konvensional, struktur dramatik yang dipergunakan adalah struktur dramatik Aristoteles yang terdiri atas bagian-bagian yang saling tunjang-menunjang dan tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya. Adapun bagian-bagian tersebut ialah protasis (eksposisi), epitasio (komplikasi), catastasis (klimaks), dan catastrophe (konklusi).

Protasis (eksposisi) adalah bagian awal pembukaan dari suatu karya sastra drama yang menjelaskan peran dan motif lakon. Epitasio (komplikasi) merupakan bagian dimulainya sebuah masalah atau penggawatan yang diwujudkan dengan jalinan kejadian. Kemudian masalah yang ada akan memuncak dan mencapai titik kulminasinya: sejak 1-2-3 terdapat laku sedang memuncak (rising action) disebut dengan catastasis (klimaks). Tahap terakhir adalah catastrophe (konklusi) yang merupakan kesimpulan dari karya atau penutup (Harymawan, 1993: 18).

10

Selain teori konstruksi struktur dramatik Aristoteles ada beberapa teori yang dapat digunakan untuk menentukan struktur dramatik dalam sebuah karya di antara-nya sebagai berikut:

a. Piramida Freytag

Gustav Freytag (Harymawan, 1993: 18), menggambarkan struktur dramatiknya mengikuti elemen-elemen Aristoteles dan menempatkannya dalam adegan-adegan lakon sesuai laku dramatik yang dikandungnya. Struktur Freytag dikenal dengan sebutan piramida dramatic action Freytag atau Freytag‟s pyramid. Berikut adalah gambar dari Freytag‟s pyramid yang menjelaskan alur lakon dari awal sampai akhir melalui bagian-bagian tertentu yang dapat diuraikan sebagai berikut:

Gambar I: Piramida Freytag Exposition Complication (Rising action) Climax Resolution (Falling Action) Catastrophe Conclusion Denouement

11

1) Exposition

Eksposisi adalah penggambaran awal dari sebuah lakon. Berisi tentang perkenalan karakter, masalah yang akan digulirkan. Penonton diberi informasi atas masalah yang dialami atau konflik yang terjadi dalam karakter yang ada dalam naskah lakon.

2) Complication (Rising Action)

Mulai terjadi kerumitan atau komplikasi yang diwujudkan menjadi jalinan peristiwa. Di sini sudah mulai dijelaskan laku karakter untuk mengatasi konflik dan tidak mudah untuk mengatasinya sehingga timbul frustasi, amukan, ketakutan, kemarahan. Konflik ini semakin rumit dan membuat karakter-karakter yang memiliki konflik semakin tertekan serta berusaha untuk keluar dari konflik tersebut.

3) Climax

Klimaks adalah puncak dari laku lakon dan titik kulminasi mencapai titik. Pada titik ini semua permasalahan akan terurai dan mendapatkan penjelasan melalui laku karakter maupun lewat dialog yang disampaikan oleh peran.

12

Dengan terbongkarnya semua masalah yang melingkupi keseluruhan lakon diharapkan penonton akan mengalami katarsis atau proses membersihkan emosi dan memberikan cahaya murni pada jiwa penonton.

4) Resolution (Falling Action)

Resolution adalah penurunan emosi lakon. Penurunan ini tidak saja berlaku bagi emosi lakon tapi juga untuk menurunkan emosi penonton. Dari awal emosi penonton sudah diajak naik dan dipermainkan. Falling action ini juga berfungsi untuk memberi persiapan waktu pada penonton untuk merenungkan apa yang telah ditonton. Titik ini biasanya ditandai oleh semakin lambatnya emosi permainan, dan volume suara pemeran lebih bersifat menenangkan.

5) Conclusion

Conclusion adalah kesimpulan dari lakon. Dalam conclusion terdapat catastrophe dan denouement. Catastrophe merupakan bencana yang ditimbulkan dan denouement adalah penyelesaian dari lakon tersebut, baik berakhir dengan bahagia maupun menderita.

13

b. Skema Hudson

Wiliiam Henry Hudson menyebutkan plot dramatik (the dramatic line) tersusun menurut apa yang dinamakan dengan garis laku. Garis laku terdiri dari 1) Initial incident (awal kejadian atau peristiwa); 2) The rising action (peristiwa mulai bergerak); 3) Growth or complication (berkembang/komplikasi); 4) Climax and The falling action (klimaks dan peristiwa mulai mereda); 5) Resolution or denouement (resolusi, peleraian/penyelesaian); 6) And the conclusion or catastrophe (kesimpulan/kalastropi). Enam garis laku tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar II: Skema Hudson

1) Initial Incident

Saat memperkenalkan dan membeberkan materi-materi yang relevan dalam lakon tersebut. Materi-materi-materi

14

ini termasuk karakter-karakter yang ada, di mana terjadinya peristiwa tersebut, peristiwa apa yang sedang dihadapi oleh karakter-karakter yang ada dan lain-lain.

2) Rising Action

Mulai teridentifikasi insiden-insiden yang memicu konflik, baik yang dimunculkan oleh tokoh utama maupun tokoh pembantu. Insiden-insiden ini akan menggerakkan plot dalam lakon.

3) Growth or Complication

Pada bagian ini merupakan tindak lanjut dari insiden-insiden yang teridentifikasi tersebut. Konflik-konflik yang terjadi antara karakter-karakter semakin menanjak, dan semakin mengalami komplikasi yang rumit. Jalan keluar dari konflik tersebut terasa samar-samar dan tidak menentu.

4) Climax and Falling Action

Keadaan di mana lakon berhenti pada satu titik yang sangat menegangkan atau menggelikan sehingga emosi penonton tidak terkendali. Bagi Hudson, klimaks adalah tangga yang menunjukkan laku yang menanjak ke titik balik, dan bukan titik balik itu sendiri. Sedangkan,

15

titik balik sudah menunjukan suatu peleraian di mana emosi lakon maupun emosi penonton sudah mulai menurun.

5) Resolution or Denouement

Penyelesaian atau denoument yaitu bagian lakon yang merupakan tingkat penurunan emosi dan jalan keluar dari konflik.

6) Conclusion or Catastrophe

Semua konflik yang terjadi dalam sebuah lakon bisa diakhiri, baik itu akhir sesuatu yang membahagiakan maupun akhir sesuatu yang menyedihkan (Satoto, 1985: 17).

c. Tensi Dramatik

Brander Mathews (Satoto, 1985: 18) menekankan pentingnya tensi dramatik. Mathews membagi drama ke dalam tiga babak yaitu, babak I yang berisi pengenalan awal hingga munculnya permasalahan, babak II dan III adalah babak di mana sudah ada penurunan tegangan (tension). Pembagian babak ini bertujuan untuk memberi kesempatan penonton kembali pada alur dramatik, setelah terjadi komplikasi-komplikasi. Tegangan dramatik tidak menunjukkan pada garis lurus, melainkan pada

16

garis lengkung. Setiap pergantian babak, diawali dengan sedikit penurunan tegangan.

Dalam sebuah lakon terdapat penekanan atau tensi masing-masing pada setiap bagiannya. Efek dramatik dapat dimunculkan dengan mengatur nilai tegangan pada bagian lakon secara tepat. Pengaturan ini bertujuan untuk menghindari kejenuhan dan kesan monoton dari penonton. Berikut adalah gambar tensi dramatik milik Brander Mathews:

Gambar III: Tensi dramatik

1) Exposition

Exposition adalah bagian awal atau pembukaan dari sebuah cerita yang memberikan gambaran, penjelasan dan keterangan-keterangan mengenai tokoh, masalah, waktu, dan tempat. Hal ini dijelaskan atau digambarkan kepada penonton agar penonton mengerti. Nilai tegangan Exposition Rising Action Complication Climax Resolution Conclusion T E N S I O N

BABAK I BABAK II BABAK III

17

dramatik pada bagian ini masih berjalan wajar-wajar saja. Tegangan menandakan kenaikan tetapi dalam batas wajar karena tujuannya adalah pengenalan seluruh tokoh dalam cerita dan kunci pembuka awalan persoalan.

2) Rising Action

Rising Action adalah peristiwa atau aksi tokoh yang membangun penanjakan menuju konflik. Pada bagian ini, penekanan tegangan dramatik mulai dilakukan. Cerita sudah mengarah pada konflik sehingga emosi para tokoh pun harus mulai menyesuaikan. Penekanan tegangan ini terus berlanjut sampai menjelang komplikasi.

3) Complication

Complication atau penggawatan merupakan kelanjutan dari penanjakan. Pada bagian ini salah seorang tokoh mulai mengambil prakarsa untuk mencapai tujuan tertentu atau melawan satu keadaan yang menimpanya. Pada tahap komplikasi ini kesadaran akan adanya persoalan dan kehendak untuk bangkit melawan mulai dibangun. Penekanan tegangan dramatik mulai terasa karena seluruh tokoh berada dalam situasi yang tegang.

18

4) Climax

Climax merupakan nilai tertinggi dari tensi dramatik. Penanjakan yang dibangun sejak awal mencapai pada puncaknya. Tokoh-tokoh yang berlawanan dipertemukan pada titik ini.

5) Resolution

Dalam resolution masalah-masalah yang diusung oleh para tokoh dipertemukan dengan tujuan mendapatkan solusi atau pemecahan. Tensi dramatik mulai diturunkan. Semua pemain mulai mendapatkan titik terang dari segenap persoalan yang dihadapi.

6) Conclusion

Tahap akhir dari peristiwa lakon biasanya para tokoh mendapatkan jawaban atas masalahnya. Pada tahap ini peristiwa lakon diakhiri. Meskipun begitu nilai tensi tidak kemudian nol tetapi paling tidak berada lebih tinggi dari bagian eksposisi karena pengaruh emosi atau tensi yang diperagakan pada bagian komplikasi dan klimaks. Berdasarkan uraian di atas, struktur dramatik dibangun berdasarkan unsur-unsur yang saling menunjang satu sama lain yang terdiri dari: (a) insiden permulaan, konflik dimulai, (b) penanjakan

19

(rising action), mulai penanjakan, komplikasi, (c) klimaks, mulai menanjak, terjadi krisis, lalu menuju ke titik balik (turning-point), (d) penurunan (the falling action), dan (e) keputusan (catastrophe). Untuk melihat keutuhan dramatik dalam sebuah drama harus mengamati komponen-komponen drama seperti, tema dan amanat, alur (plot), penokohan (karakterisasi), tikaian (konflik), dan cakapan (Satoto, 2012: 39).

Sama halnya dengan drama, tari terdiri atas elemen-elemen atau unsur-unsur yang saling berkaitan satu dengan yang lainnya untuk membentuk satu kesatuan komposisi. Unsur-unsur tersebut terdiri atas gerak tari, desain lantai atau floor design, desai atas, desain musik, desain dramatik, dinamika, koreografi kelompok, tema, rias dan kostum, property tari, pementasan, tata lampu, dan penyusunan acara (Sudarsono, tanpa tahun: 41).

Di dalam bukunya yang berjudul Elemen-Elemen Dasar Komposisi Tari (1986) La Meri mengemukakan bahwa desain dramatik dari sebuah komposisi adalah tanjakan emosional, klimaks, dan jatuhnya keseluruhan (terjemahan Soedarsono, 1986: 53).

Dalam menggarap sebuah tari, baik tunggal maupun kelompok harus memperhatikan struktur dramatik untuk memperoleh keutuhan dalam garapan. Satu garapan tari yang utuh adalah sebuah cerita yang terdiri dari pembuka, klimaks, dan penutup. Dari pembuka menuju

20

klimaks mengalami perkembangan dan dari klimaks menuju penutup mengalami penurunan.

Desain dramatik dalam tari dibagi menjadi dua jenis, yaitu desain kerucut tunggal dan desain kerucut berganda. Desain kerucut tunggal merupakan teori yang dikemukakan oleh Bliss Perry dalam menggarap drama. Dalam teori ini diibaratkan seperti orang yang sedang mendaki gunung, di mana ketika akan mendaki seseorang memerlukan kekuatan yang sangat besar untuk menanjak. Perjalanan naik tersebut mengakibatkan perjalan melambat, hingga pada akhirnya dengan semangat dan emosi penuh akan sampai pada puncak gunung yang merupakan klimaks. Setelah mencapai puncak atau klimaks, ia akan turun dengan tenaga yang mengendur dan perjalanan akan lebih cepat hingga sampai pada titik dasar. Dengan mencapai titik dasar menandakan bahwa perjalanan penurunan gunung telah selesai (Sudarsono, tanpa tahun: 48).

D

C E

B F

A G

21

Keterangan: A : permulaan

B : kekuatan yang merangsang untuk naik C : perkembangan

D : klimaks E : penurunan F : penahanan akhir G : akhir

Sedangkan, desain kerucut berganda memiliki kesamaan dengan desain kerucut tunggal. Namun, dalam desain kerucut berganda penanjakan terjadi dalam beberapa tahap. Tanjakan pertama lalu turun, lalu menanjak lagi dan turun lagi namun tidak mencapai dasar permulaan. Setelah mengalami tahap menanjak dan menurun, terjadi tanjakan yang paling tinggi hingga sampai pada puncaknya dan kemudian turun dengan cepat hingga mencapai pada dasar pendakian. Dalam menggunakan desain kerucut berganda perlu diperhatikan beberapa hal seperti, jangan terlalu banyak membuat tanjakan dan turunan kecil karena dikhawatirkan akan keluar dari tujuan awal pendakian, setiap tanjakan harus semakin tinggi jangan semakin rendah. Berikut adalah gambar desain kerucut berganda.