Mengapa ada perjanjian internasional yang harus diratifikasi tetap juga ada yang tidak perlu diratifikasi?

Artikel/Buku/Laporan Apeldoorn, L.J. van. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Noor Komala, 1962. Gautama, Sudargo. Hukum Dagang & Arbitrase Internasional. Bandung: Citra Aditya Bakti, 1991. Http://www.asean-cn.org/Item/1065.aspx. Diakses 2/5/2011. Http://www.austlii.edu.au/au/other/dfat/treaties/1980/23.html. Diakses 11/5/2011. Http://www.dfat.gov.au/geo/indonesia/ind-aus-sec06.html. Diakses 11/5/2011. Http://legislasi.mahkamahagung.go.id/docs/Peraturan%20MA/Perma_1990_1_TATA%20CARA%20PELAKSANAAN%20PUTUSAN%20ARBITRASE%20ASING.pdf Http://www.mofa.go.jp/region/asia-paci/indonesia/epa0708/agreement.pdf. Diakses 11/5/2011. Http://pstalker.com/ilo/resources/Malaysia%20Indonesia%20MOU%20&%20Appendix%20A-B.pdf. Diakses 17/5/2011. Http://www.uncitral.org/pdf/english/texts/arbitration/NY-conv/XXII_1_e.pdf Http://www.unidroit.org/english/conventions/mobile-equipment/aircraftprotocol.pdf Http://www.unidroit.org/english/conventions/mobile-equipment/mobile-equipment.pdf Juwana, Hikmahanto. “Catatan atas Masalah Aktual dalam Perjanjian Internasional”. Jurnal Hukum Internasional, 5, 3 (2008): 443-451. Juwana, Hikmahanto. “Hukum Internasional Sebagai Instrumen Politik: Beberapa Pengalaman Indonesia Sebagai Studi Kasus.” Jurnal Hukum Internasional, 1, 1 (2003): 78-100. Kusumaatmadja, Mochtar dan Etty R. Agoes. Pengantar Hukum Internasional. Bandung: PT. Alumni, 2003. Shearer, I.A. Starke’s International Law. United Kingdom: Butterworth & Co. Ltd., edisi kesebelas, 1994. Peraturan Hukum Republik Indonesia. Undang-undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. Republik Indonesia. Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Coventa on Civil and Political Rights (Kovenan International tentang Hak-hak Sipil dan Politik). Republik Indonesia. Undang-undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan. Republik Indonesia. Undang-undang Nomor 47 Tahun 2007 tentang Pengesahan Perjanjian antara Republic Indonesia dan Australia tentang Kerangka Kerja Sama Keamanan (Agreement between the Republic of Indonesia and Australia on the Framework for Security Cooperation). Republik Indonesia. Undang-undang Nomor 5 Tahun 2009 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Transnational Organized Crime. Republik Indonesia. Undang-undang Nomor UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Republik Indonesia. Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Republik Indonesia. Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2007 tentang Pengesahan Convention on International Interests in Mobile Equipment (Konvensi tentang Kepentingan Internasional dalam Peralatan Bergerak) Beserta Protocol to the Convention on International Interests in Mobile Equipment on Matters Specific to Aircraft Equipment (Protokol pada Konvensi tentang Kepentingan Internasional dalam Peralatan Bergerak Mengenai Masalah-Masalah Khusus pada Peralatan Pesawat Udara). Republik Indonesia. Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pengesahan Agreement Between the Republic of Indonesia and Japan for An Economic Partnership (Persetujuan antara Republik Indonesia dan Jepang mengenai suatu Kemitraan Ekonomi). Republik Indonesia. Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 1981 tentang Mengesahkan “Convention on the Recoginition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards,” yang telah ditandatangani di New York pada tanggal 10 Juni 1958 dan telah mulai berlaku pada tanggal 7 Juni 1959. Republik Indonesia, Mahkamah Konstitusi. Putusan Nomor 13/PUU-XVI/2018 dalam Perkara Pengujian UU Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional terhadap UUD NRI Tahun 1945. Republik Indonesia, Mahkamah Konstitusi. Putusan Nomor 33/PUU-IX/2011 dalam Perkara Pengujian UU Nomor 38 Tahun 2008 tentang Pengesahan Charter of the Association of Southeast Asian Nations (Piagam Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara) terhadap UUD NRI Tahun 1945. The International Institute for the Unification of Private Law (UNIDROIT). Convention on International Interest in Mobile Equipment. The International Institute for the Unification of Private Law (UNIDROIT). Protocol to the Convention on International Interests in Mobile Equipment on Matters Specific to Aircraft Equipment. The International Monetery Fund dan Republik Indonesia. Letter of Intent of the Government of Indonesia to International Monetary Fund (October 31, 1997). The United Nations. Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment. The United Nations Office for Disarmament Affairs (UNODA). Treaty on the Non-Proliferation of Nuclear Weapons, 1968.

The World Trade Organization. Agreement Establishing the World Trade Organization.

Ratifikasi Perjanjian Internasional

Perlu tidaknya perubahan terhadap undang-undang ratifikasi yang konvensi aslinya diubah adalah tergantung dari materi yang terdapat dalam perubahan konvensi tersebut.

Ratifikasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang kami akses melalui Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia berarti:

pengesahan suatu dokumen negara oleh parlemen, khususnya pengesahan undang-undang, perjanjian antar negara, dan persetujuan hukum internasional.

Ratifikasi (pengesahan) sendiri telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional (“UUPI”), dalam Pasal 1 Angka 2 UUPI dijelaskan bahwa:

Pengesahan adalah perbuatan hukum untuk pengikatkan diri pada suatu perjanjian internasional dalam bentuk ratifikasi (ratification), aksesi (accession), penerimaan (acceptance) dan penyetujuan (approval).

Adapun yang dimaksud dengan perjanjian internasional adalah perjanjian, dalam bentuk dan nama tertentu, yang diatur dalam hukum internasional yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik.[1]

Terdapat dua bentuk ratifikasi yakni pengesahan menggunakan undang-undang dan pengesahan menggunakan keputusan presiden. Jika menggunakan pengertian ini maka semua perjanjian internasional memerlukan ratifikasi/pengesahan ke dalam hukum nasional. Ratifikasi dalam Konvensi Wina 1969 tentang Perjanjian Internasional (“KW 1969”) adalah persetujuan atau konfirmasi kesediaan untuk diikat oleh perjanjian internasional.

Dalam hukum internasional, menurut Sefriani dalam bukunya Peran Hukum Internasional dalam Hubungan Internasional Kontemporer (hal.102) ratifikasi bukan merupakan pengesahan tetapi persetujuan, konfirmasi, kesediaan Negara untuk tunduk (consent to be bound) dan diikat oleh suatu perjanjian internasional.[2]

Jadi dengan meratifikasi sebuah perjanjian internasional berarti Indonesia bersedia terikat dan menerima hak dan kewajiban yang timbul akibat perjanjian tersebut. Pengesahan perjanjian internasional dalam bentuk undang-undang dilakukan apabila menyangkut hal-hal yang fundamental. Hal ini sesuai dengan Pasal 11 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (“UUD 1945”) yang menyebutkan bahwa:

  1. Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain.

  2. Persiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.

  3. Ketentuan lebih lanjut tentang perjanjian internasional diatur dengan undang-undang.

Pasal tersebut memang tidak menjelaskan proses pengesahan secara eksplisit, namun yang dijelaskan lebih pada prasyarat ratifikasi melalui undang-undang dalam hal menimbulkan akibat luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat. jika prasyarat ini terpenuhi maka Presiden memerlukan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (“DPR”) untuk meratifikasi.

Selanjutnya dijelaskan lebih terperinci dalam Pasal 10 UUPI bahwa:

Pengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan undang-undang apabila berkenaan dengan:

  1. masalah politik, perdamaian, pertahanan dan keamanan Negara;

  2. perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah Negara Republik Indonesia.;

  3. kedaulatan atau hak berdaulat Negara;

  4. hak asasi manusia dan lingkungan hidup;

  5. pembentukan kaidah hukum baru;

  6. pinjaman dan/atau hibah luar negeri.

Namun, terhadap perjanjian internasional yang tidak mengatur hal-hal pada pasal tersebut, maka tidak diperlukan ratifikasi menggunakan undang-undang terhadapnya, ratifikasi cukup dilakukan melalui Keputusasn Presiden sebagaimana tertuang dalam Pasal 11 UUPI, yakni:

  1. Pengesahan perjanjian internasional yang materinya tidak termasuk materi sebagaimana dimaksud Pasal 10, dilakukan dengan keputusan presiden.

  2. Pemerintah Republik Indonesia menyampaikan salinan setiap keputusan presiden yang mengesahkan suatu perjanjian internasional kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk dievaluasi.

Pasca dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-XVI/2018, kriteria perjanjian internasional yang pengesahannya perlu mendapat persetujuan DPR diperluas dengan ditambahkan area perjanjian internasional lain yang menimbulkan akibat luas dan mendasar yang terkait dengan beban keuangan Negara dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang. Lalu putusan ini dapat juga dikatakan mempersempit lingkup ratifikasi dalam bentuk undang-undang karena tidak semua jenis perjanjian harus memperoleh persetujuan DPR.

Meskipun masuk dalam kategori sebagaimana dimaksud Pasal 10 UUPI, masih perlu dilihat apakah perjanjian tersebut menimbulkan akibat luas dan mendasar yang terkait dengan beban keuangan negara atau tidak. Dalam pertimbangannya, Mahkamah mendasarkan pada semangat pembukaan UUD 1945, hakikat kekuasaan eksekutif, dan memperhatikan praktik negara-negara berdaulat, keterlibatan parlemen atau lembaga perwakilan rakyat dalam proses pemberian persetujuan pembuatan perjanjian internasional umumnya tidak diberlakukan pada semua perjanjian internasional, melainkan hanya terhadap perjanjian internasional yang dianggap penting saja.

Perlukah Undang-Undang Ratifikasi Diubah Jika Perjanjian Internasional Berubah?

Maka dari itu menjawab pertanyaan Anda, perlu diperhatikan terlebih dahulu perihal materi apa yang diatur dalam perubahan konvensi internasional tersebut. Apakah perubahan konvensi tersebut mengatur perihal hal-hal yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 UUPI dan Putusan a quo Mahkamah Konstitusi. Jika terhadap perubahan konvensi internasional bertentangan dengan berbagai aspek yang fundamental sebagaimana prasyarat dalam UUPI dan putusan MK maka perlu dilakukan perubahan terhadap undang-undang ratifikasinya.

Sebaliknya, jika perubahan tersebut masih sejalan dengan dasar-dasar dan ideologi bangsa dan memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud UUPI dan Putusan MK maka undang-undang ratifikasinya tidak perlu diubah. Hal ini disebabkan karena perubahan terhadap undang-undang memerlukan tahapan yang tidak sederhana dan cenderung memakan waktu yang lama. Terhadap perjanjian internasional yang tidak termasuk dalam kategori berdampak luas maka dalam pengesahannya hanya diperlukan keputusan presiden saja.

Demikian jawaban dari kami, semoga bermafaat.

Dasar Hukum:

Putusan:

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-XVI/2018.

Referensi:

  1. Sefriani. 2016. Peran Hukum Internasional dalam Hubungan Internasional Kontemporer . Jakarta : Rajawali Pers.

[2] Sefriani, Peran Hukum Internasional dalam Hubungan Internasional Kontemporer ( Rajawali Pers: Jakarta, 2016) hlm. 102