Kita harus sifat Ar rahman dan Ar rahim Allah

Asmaul Husna adalah nama-nama Allah yang terbaik dan agung, sesuai dengan sifat-sifat Allah. Diantara 99 Asmaul Husna ada namaNya Ar-rahman yang artinya Maha Pengasih dan Ar-rahim yang artinya Allah Maha Penyayang. Maha Pengasih dan Penyayang maksudnya adalah Dialah Tuhan yang kasih-sayangnya tiada terbilang.

Ar-rahman artinya Tuhan yang kasih sayangnya untuk semua hamba-Nya walau karihal kafirun, Meskipun hambanya itu orang kafir, orang musyrik, munafik, dzolim dan lain sebagainya, tetap disayang oleh Allah.

Ar-rahim berkaitan dengan sifat rahimiyah yang menggambarkan Tuhan Sang Maha Pemurah, yang sifat kasih sayang-Nya Dia wujudkan dalam memberi balasan kepada setiap orang yang berusaha, aktif berbuat dan mencipta, mewujudkan segala potensi dalam dirinya dan kekayaan yang tersedia dalam alam semesta untuk kebaikan diri, sesama dan seluruh makhluk alam semesata.

Mengutip Haidar Bagir dalam bukunya Islam Tuhan Islam Manusia, bahwa semua makhluk di alam semesta ini termasuk manusia diciptakan atas dasar sifat ar-Rahman dan ar-RahimNya yang dapat tercermin (bertajalli) dalam diri. Mestilah kita yang juga dikaruniai akal budi dan hati nurani, di dunia ini senantiasa memancarkan sifat pengasih dan penyayang baik kepada sesama manusia, sesama mahluk hidup dan alam semesta.

Adanya sifat rahmaniyah dan rahimiyah Ilahi, seharusnya kita sungguh-sungguh dalam berusaha menjaga dan memelihara alam sebagai anugerah Tuhan, yakni melestarikan tanpa merusaknya, berusaha hidup berguna bagi diri sendiri, sesama, dan makhluk seluruh penjuru semesta, kapan pun dan dimana pun berada. Sebab keseimbangan antara alam dengan makhluk hidup akan berdampak pada keselarasan serta kesejahteraan hidup kita.

Baca juga:  Ngaji Rumi: Jendela Cinta, Melihat Segalanya Lebih Indah

Manifestasi Sifat Ar-rahman dan Ar-rahim ke dalam Kehidupan Modern

Sebagai makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri, kita memerlukan bantuan manusia lain. Oleh sebab itu, maka hubungan antara sesama umat manusia harus selalu terjalin dengan baik dan harmonis. Hubungan antar manusia harus diatur dengan dasar cinta kasih, sikap saling menghargai, saling menghormati dan saling membinmbing satu sama lain.

Allah memberi amanat kita sebagai khalifah fi al-ardh yang harus dijalankan dengan penuh tanggung jawab. Untuk itu kita juga dituntut menjaga keseimbangan alam. Dengan tidak mengekploitasi alam secara berlebih dan hal paling terkecil tidak merusak alam disekitarnya. Sesungguhnya kita dan alam berasal dari Yang Satu. Ketika kita merusak alam, sebetulnya kita telah merusak diri kita sendiri, sebagaimana contohnya ketika kita menebang pohon, sebetulnya kita telah mengurangi jatah oksigen, juga meniadakan cadangan air lebih jauh lagi, sama artinya dengan meniadakan paru-paru dunia.

Akibat pengaruh kehidupan manusia yang direkoki kemajuan IPTEK dan budaya global di zaman modern in, maka dewasa ini bumi kita sudah kian rusak akibat ulah kita sendiri. Bencana lingkungan yang semakin sering terjadi di tanah air akibat kesalahan kita sendiri yang bahkan menimbulkan bencana dan bahaya untuk diri kita. Semua peristiwa itu semestinya memerlukan refleksi dan tindakan yang konkrit dalam jangka pendek maupun jangka panjang, yaitu berupa sebuah gerakan penyelamatan lingkungan yang komprehensif. Hal itu diperlukan kontribusi kita sebagai manusia yang diberikan amanah penuh untuk menjaga harmoni jagat raya.

Baca juga:  Syekh Ramadan, Mencari Ilmu dengan Jalan Spiritual

Jika kita menginginkan kenyamanan dalam hidup, maka lingkungan harus selalu dijaga dengan perhatian intensif dan penuh cinta.  Kita memang boleh mengolah kekayaan alam namun seperlunya saja dengan memperhatikan beberapa cataan penting yang tidak dapat diabaikan, bertindak secara bertanggung jawab, memikirkan masa depan generasi mendatang, dan mengembangkan sikap konservatif.

Jika kita terus menerus apatis dan tidak mau peduli lagi dengan lingkungan, maka keseimbangan alam akan terganggu dan ekosistem akan menjadi rusak. Padahal lingkungan harus selalu dijaga kerapiannya, keserasiannya dan kelestariannya. Jika kita mampu memelihara lingkungan dengan baik, maka kita akan mendapatkan kebahagiaan dari manefestasi sifat ar-Rahman dan ar-RahimNya.

Karena manusia adalah satu-satunya mahluk penuh keluhuran, keadilan, kebijaksanaan dan kasih sayang yang menjadi tumpuan harmoni jagat raya. Keberadaan kita sebagai manusia jelas adalah suatu pengharapan dari seluruh mahluk untuk menjadikan alam semesta senantiasa dalam keseimbangannya.

Untuk menjaga harmonisasi dengan sesama, lingkungan dan alam semesta, maka sudah merupakan tugas kita sebagai makhluk yang memiliki kelebihan untuk selalu memelihara, merawat, melindungi alam sekitar dengan segenap kesadaran tentang ar-Rahman ar-RahimNya yang meliputi segala hal. Seperti inilah manusia yang layak disebut khalifah atau wakilNya di muka bumi dalam menebarkan rahmat kepada semesta alam (rahmatan lil ’alamin).[]

Kita tahu dalam surah Al-Fatihah kedua nama ini disebutkan bergandengan, Ar-Rahman dan Ar-Rahim.

Dalam surah Al-Fatihah ada nama Allah Ar-Rahman dan Ar-Rahim, sebagaimana dalam ayat,

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang.” (QS. Al-Fatihah: 1).

الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

“Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang.”  (QS. Al-Fatihah: 3).

Kalau di dalam Al-Qur’an Terjemahan, Ar-Rahman dan Ar-Rahiim diartikan Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Sebenarnya, kita belum tahu arti keduanya karena terlihat sama. Hal ini hanya bisa dijawab jika direnungkan dari kitab tafsir. 

Sebagian ulama menyatakan bahwa Ar-Rahman dan Ar-Rahiim bermakna sama. Sedangkan jumhur (kebanyakan ulama) menyatakan ada perbedaan.

Jika dianggap berbeda, istilah para ulama untuk kedua nama ini yaitu:

الرَّحْمَنُ خَاصُ الاِسْمِ عَامُ الفِعْلِ وَالرَّحِيْمُ عَامُ الاِسْمِ خَاصُ الفِعْلِ

“Ar-Rahman adalah nama yang khusus bagi Allah, menunjukkan umumnya rahmat Allah. Sedangkan Ar-Rahiim adalah nama yang umum (manusia pun diperkenankan bernama dengannya), dan menunjukkan perbuatan khusus dari rahmat Allah.” (Lihat At-Tashiil li Ta’wil At-Tanziil Tafsir Surah Al-Baqarah fii Sual wa Jawab, hlm. 20-21).

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin menyatakan bahwa Ar-Rahman adalah Allah itu memiliki rahmat waasi’ah (yang luas). Sedangkan Ar-Rahiim adalah Allah memiliki rahmat waashilah (yang bersambung). Ar-Rahman menunjukkan sifat rahmat, sedangkan Ar-Rahiim menunjukkan perbuatan. Kedua nama ini masuk dalam istilah “idzaj-tama’a iftaroqo wa idzaftaroqo ijtama’a” (jika disebut berbarengan, maknanya berbeda; jika disebut berbeda tempat, maknanya sama). Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-Karim Juz ‘Amma, hlm. 13.

Secara ringkas, kita dapat menyimpulkan:

  1. Ar-Rahman artinya Allah memiliki rahmat yang luas, berarti orang beriman dan orang kafir mendapatkan rahmat ini. Contoh, orang beriman dan orang kafir sama-sama mendapatkan rezeki dan kesehatan. Baca juga: Jangan Hanya Memikirkan Nikmat Perut.
  2. Ar-Rahiim artinya Allah memiliki rahmat yang khusus pada orang yang Allah kehendaki. Contoh rahmat di sini adalah rahmat berupa ilmu diin dan iman. Ilmu dan iman hanya didapati oleh orang-orang beriman.

Baca juga:

  • Memahami Ar-Rahman dan Ar-Rahim
  • Memahami Bismillah

Sumber bahasan:

Buku “Tafsir Jalalain Surah Al-Fatihah“, Muhammad Abduh Tuasikal, Penerbit Rumaysho, 085200171222

Selesai disusun di Darush Sholihin, Kamis pagi, 3 Ramadhan 1442 H, 15 April 2021

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Rumasyho.Com

Ar-Rahman artinya apa? Mungkin itulah pertanyaan dari sebagian kaum muslimin yang belum belajar asmaul husna. Oleh karena itu, kami akan coba menjelaskan pengertian dari Ar-Rahman sekaligus perbedaannya dengan Ar Rahiim.

“Ar-Rahman” dan “Ar-Rahiim” berasal dari kata yang sama, yaitu “rahmah”. Dalam terjemah bahasa Indonesia, “Ar-Rahman” seringkali diterjemahkan dengan “Maha Pengasih”, sedangkan “Ar-Rahiim” diterjemahkan dengan “Maha Penyayang.” Secara sekilas membaca terjemah tersebut, seolah-olah makna “Ar-Rahman” dan “Ar-Rahiim” adalah sama, yaitu menunjukkan sifat rahmah Allah Ta’ala.

Konsekuensi dari pemahaman ini adalah disebutkannya nama “Ar-Rahiim” itu untuk menguatkan makna “Ar-Rahman” yang telah disebutkan sebelumnya, sebagaimana dalam lafadz basmalah,

بِسْمِ اللَّه الرَّحْمَن الرَّحِيم

Maksudnya, nama “Ar-Rahiim” itu berfungsi untuk menguatkan nama Allah “Ar-Rahman” yang telah disebutkan terlebih dahulu, karena keduanya memiliki makna yang sama (menunjukkan sifat rahmah Allah Ta’ala) dan tidak ada perbedaan. Dalam bahasa Arab, penguatan makna ini disebut dengan ta’kiid. Inilah pendapat sebagian ulama, yaitu “Ar-Rahiim” berfungsi sebagai penguat untuk nama “Ar-Rahmaan”, karena keduanya memiliki makna yang sama.

Akan tetapi, dalam bahasa Arab terdapat sebuah kaidah,

تأسيس المعني مقدم علي التأكيد

“Memunculkan makna baru itu lebih didahulukan daripada menguatkan makna sebelumnya.”

Inilah yang lebih tepat, yaitu meskipun sama-sama berasal dari akar kata yang sama (yaitu rahmah), kedua nama Allah Ta’ala tersebut memiliki makna yang berbeda. Hal ini juga diperkuat dari sisi bahasa Arab, karena “Ar-Rahman” mengikuti pola (wazan) (فعلان) (fa’laan), sedangkan “Ar-Rahiim” mengikuti pola (فعيل) (fa’iil). Karena memiliki pola yang berbeda, maka maknanya pun juga menjadi berbeda.

Baca Juga: Merasakan Bahagia Ketika Ber-khalwat Bersama Allah

Perbedaan pendapat para ulama tentang perbedaan nama Allah Ta’ala “Ar-Rahman” dan “Ar-Rahiim”

Para ulama berbeda pendapat dalam memahami perbedaan makna “Ar-Rahman” dan “Ar-Rahiim”.

Pendapat pertama, “Ar-Rahman” menunjukkan rahmat Allah Ta’ala yang sangat luas, yang meliputi seluruh makhluk, termasuk hamba-Nya yang kafir. Hal ini sebagaimana kaidah dalam bahasa Arab, karena “Ar-Rahmaan” mengikuti pola (wazan) (فعلان) (fa’laan) yang berarti “penuh atau sangat banyak”. Contohnya adalah (غضبان) (ghadhbaan) yang menunjukkan orang yang sedang dipenuhi dengan rasa marah. Sehingga “Ar-Rahmaan” kurang lebih bermakna “Dzat yang dipenuhi rasa rahmah mencakup seluruh makhluk.”

Sedangkan “Ar-Rahiim” adalah rahmat yang khusus ditujukan untuk orang-orang yang beriman. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala,

هُوَ الَّذِي يُصَلِّي عَلَيْكُمْ وَمَلَائِكَتُهُ لِيُخْرِجَكُمْ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ وَكَانَ بِالْمُؤْمِنِينَ رَحِيمًا

“Dialah yang memberi rahmat kepadamu dan malaikat-Nya (memohonkan ampunan untukmu), supaya dia mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya (yang terang). Dan adalah Dia (Allah) Maha Penyayang kepada orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Ahzab [33]: 43)

Di antara ulama kontemporer yang memilih pendapat ini adalah Syaikh Dr. Shalih Al-Fauzan hafidzahullahu Ta’ala. (Syarh Al-‘Aqidah Al-Wasithiyyah, hal. 5-6)

Inilah yang mungkin menjadi rahasia mengapa Allah Ta’ala memilih nama “Ar-Rahmaan” ketika menyebut sifat istiwa’ di atas ‘Arsy, dan tidak memilih “Ar-Rahiim”. Allah Ta’ala berfirman,

الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى

“(Rabb) Yang Maha Pemurah, Yang tinggi di atas ‘arsy.(QS. Thaha [20]: 5)

Sisi kesesuaian pemilihan “Ar-Rahman” adalah bahwa ‘arsy merupakan makhluk Allah Ta’ala yang paling besar dan paling tinggi, dan menaungi seluruh makhluk yang lainnya.

Baca Juga: Hukum Membakar yang Ada Tulisan Lafadz Allah dan Al-Quran

Pendapat ke dua, “Ar-Rahman” menunjukkan sifat rahmat Allah Ta’ala sejak dahulu tanpa awal. Sedangkan “Ar-Rahiim” menunjukkan perbuatan (fi’il) Allah Ta’ala yang merahmati hamba-hamba-Nya yang berhak untuk mendapatkan rahmat-Nya. Sebagaimana dalam ayat di atas,

وَكَانَ بِالْمُؤْمِنِينَ رَحِيمًا

“Dan adalah Dia (Allah) Maha Penyayang kepada orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Ahzab [33]: 43)

Pendapat ke dua ini dipilih oleh Ibnul Qayyim rahimahullahu Ta’ala. Dan di antara ulama kontemporer yang menguatkan pendapat ke dua ini adalah Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullahu Ta’ala. (Syarh Al-Mandzumah Al-Baiquniyyah, hal. 15)

Pendapat yang lebih kuat: Di antara dua pendapat tersebut, pendapat yang -insyaa Allah- lebih tepat adalah pendapat ke dua. Hal ini berdasarkan dalil firman Allah Ta’ala,

إِنَّ اللَّهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوفٌ رَحِيمٌ

“Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada seluruh manusia.” (QS. Al-Baqarah [2]: 143)

Dalam ayat di atas, Allah Ta’ala menyebut sifat “rahiim” dan dikaitkan dengan semua manusia (بِالنَّاسِ). Sesuai dengan kaidah bahasa Arab, “manusia” di sini bersifat umum, mencakup muslim ataupun kafir, baik hamba-Nya yang shalih ataupun yang suka bermaksiat. Sehingga mengatakan bahwa “Ar-Rahiim” adalah rahmat yang khusus kepada hamba-Nya yang beriman itu tidaklah tepat berdasarkan ayat di atas. Sehingga yang lebih tepat adalah pendapat yang ke dua. Wallahu Ta’ala a’lam.

Baca Juga: Allah Sangat Sayang kepada Hamba-Nya Melebihi Kasih Sayang Ibu

“Ar-Rahmaan” itu khusus milik Allah Ta’ala, berbeda dengan “Ar-Rahiim”

Perbedaan antara “Ar-Rahman” dan “Ar-Rahiim” lainnya adalah bahwa “Ar-Rahmaan” itu khusus untuk Allah Ta’ala. Sedangkan Allah Ta’ala terkadang mensifati sebagian hamba-Nya dengan sifat “rahiim”. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ

“Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (QS. At-Taubah [9]: 128)

Dalam ayat di atas, Allah Ta’ala mensifati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sifat rahmat, dengan memilih kata “rahiim” dan bukan “rahmaan”. Dan di dalam Al-Qur’an, Allah Ta’ala tidak pernah mensifati hamba-Nya dengan “rahmaan”. Sehingga hal ini menunjukkan bahwa “rahmaan” adalah khusus untuk Allah, berbeda dengan “rahiim”.

Yang perlu diperhatikan adalah meskipun sebagian hamba memiliki sifat “rahiim”, sifat tersebut berbeda dengan sifat “rahiim” yang dimiliki oleh Allah Ta’ala. Karena sifat “rahiim” Allah adalah sesuai dengan keagungan, kebesaran dan kemuliaan Allah Ta’ala, dan sifat “rahiim” yang dimiliki hamba itu sesuai dengan yang layak untuk makhluk. Dan sifat Allah Ta’ala tidaklah sama atau serupa dengan sifat makhluk, sebagaimana firman Allah Ta’ala,

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha mendengar dan Melihat.” (QS. Asy-Syura [42]: 11)

Baca Juga:

[Selesai]

***

@Rumah Lendah, 14 Jumadil awwal 1440/ 20 Januari 2018

Penulis: M. Saifudin Hakim

Artikel: Muslim.or.id

Referensi:

Syarh Al-Mandzumah Al-Baiquniyyah, karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah, hal. 14-15 (tahqiq: Abu Malik Kamal Saalim, penerbit Maktabah Al-‘Ilmi)

Syarh Al-‘Aqidah Al-Wasithiyyah, karya Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin ‘Abdullah Al-Fauzan hafidzahullah, hal. 5-6 (cetakan pertama, tahun 1425, penerbit Daarul ‘Ashimah Riyadh KSA)

🔍 Dalil Bumi Datar, Cara Mengqodho Sholat Isya, Menghitamkan Rambut Menurut Islam, Hukum Bpjs Menurut Mui, Muslimah Istiqomah