Kasta yang ada di kerajaan Kutai yang mendapat pengaruh dari India

Jakarta -

Masuknya unsur budaya India ke Indonesia menyebabkan kebudayaan Indonesia tidak kehilangan kepribadiannya. Hal ini disampaikan dalam buku Sejarah SMA Kelas 2 oleh Tugiyono KS, dkk.


Dalam perkembangannya, pengaruh masuknya unsur budaya India ke Indonesia menyebabkan munculnya budaya Indonesia baru yang coraknya masih terlihat sampai sekarang.


Beberapa budaya Indonesia yang memiliki unsur budaya India yaitu adanya teori Kasta. Hindu sangat kental dengan sistem kasta. Ketika agama dan kebudayaan Hindu berkembang di Indonesia, sistem kasta tidak berlaku mutlak seperti negara asalnya di India. Sistem kasta dikenal dalam ajaran agama saja, tetapi tidak diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, seperti dikutip dari penelitian Amalia Irfani, dosen Komunikasi dan Penyiaran Islam STAIN Pontianak dalam Jurnal Dakwah Al Hikmah.


Pada bidang seni, budaya Indonesia yang memiliki unsur budaya India dapat dilihat dari bangunan candi. Bangunan candi di Indonesia diadaptasi dari kebudayaan India pada masa Hindu-Budha. Perbedaannya, banguanan candi di India berfungsi sebagai tempat pemakaman, sementara di Indonesia sebagai tempat pemujaan. Dengan begitu, bahasa Indonesia hanya mengambil unsur kebudayaan India namun tetap bernuansa lokal Indonesia.


Pada konsep pemerintahan, unsur budaya India yang masuk ke Indonesia yaitu adanya konsep raja dan kerajaan. Indonesia baru mengenal konsep kesukuan yang dipimpin seorang kepala suku dengan wilayah terbatas. Kepala suku dipilih berdasar kekuatan fisik dan kekuatan magis yang dimiliki. Munculnya kerajaan Kutai di Kalimantan Timur adalah salah satu bukti sejarahnya masuknya unsur budaya India ke Indonesia.


Menurut para ahli sejarah, Kerajaan Kutai pada mulanya hanya setingkat suku yang dipimpin oleh kepala suku yang disebut Kudungga. Kutai mulai terlihat menjadi sebuat kerajaan sejak pemerintahan Raja Aswawarman.

Masuknya unsur budaya India ke Indonesia dan teorinya


Masuknya unsur budaya India ke Indonesia menyebabkan kebudayaan Indonesia tidak kehilangan kepribadiannya. Hubungan India dan Indonesia dirintis melalui perdagangan. Dalam hubungan ini, turut serta pendata yang berkunjung ke Indonesia. Kemudian, orang Indonesia yang belajar dari para pendeta India turut berpengaruh dalam penyebaran budaya India.


Orang Indonesia pergi ke tempat asal gurunya di India untuk berziarah dan menambah ilmu pengetahuan tentang keagamaan. Setelah kembali dengan bekal pengetahuan yang cukup, orang Indonesia lalu menyebarkan yang mereka ketahui dengan bahasanya sendiri. Ini membuat ajaran yang mereka sebarkan lebih cepat dan lebih mudah diterima di Indonesia, seperti dikutip dari buku Sejarah SMA Kelas 2 oleh Tugiyono KS, dkk.


Hubungan dagang antara Indonesia dan India mengakibatkan masuknya unsur budaya India ke Indonesia. Proses sesungguhnya yang terjadi belum dapat diungkapkan sepenuhnya oleh peneliti. Pada intinya, pendapat peneliti terbagi dua. Pertama, bertolak pada anggapan bahwa bangsa Indonesia berlaku pasif pada proses tersebut. Kedua, yang tumbuh lebih akhir memberi peranan aktif pada bangsa Indonesia.


Peneliti yang berpendapat pertama beranggapan bahwa telah terjadi kolonisasi oleh orang-orang India. Koloni-koloni orang India menjadi pusat penyebaran budaya India di Indonesia. Ada juga yang berpendapat kolonisasi ini disertai penaklukan.


Dalam proses masuknya budaya India menurut gambaran di atas, yang berperan utama adalah golongan prajurit atau kasta ksatria. Ilmuwan Indologi dan Indonesia Frederik David Kan Bosch menyebut hal ini sebagai hipotesa ksatria.


Pendapat lain yang masih berpegang pada anggapan adanya kolonisasi bangsa India terhadap bangsa Indonesia adalah hipotesa yang semula diajukan Krom. Ia berpendapat, karena hubungan ini terjadi karena perdagangan, maka orang India di Indonesia terbanyak adalah pedagang dari kasta vaisya [waisya].


Hipotesa vaisya sejarawan Nicolaas Johannes Krom memperkirakan adanya perkawinan antara para pedagang dengan perempuan Indonesia. Perkawinan, menurut Krom, merupakan saluran penyebaran pengaruh yang penting.


Sementara itu, J.C. Van Leur berpendapat, masuknya unsur budaya India ke Indonesia dibawa oleh orang India golongan Brahmana yang datang atas undangan penguasa di Indonesia.


Penguasaan yang luas dan mendalam mengenai kitab-kitab suci menempatkan para brahmana sebagai purohita yang memberi nasihat raja. Sehingga, brahmana bukan hanya memberi pengaruh dalam bidang keagamaan, juga mengenai pemerintahan, peradilan, perundang-undangan, dan lain-lain.


Nah gimana detikers, udah paham ya dampak masuknya unsur budaya India ke Indonesia?

Simak Video "Pesan Jokowi untuk Umat Hindu di Hari Suci Nyepi 2022"

[Gambas:Video 20detik]

[lus/lus]

JAKARTA - Sejarah Kerajaan Kutai merupakan sesuatu yang patut disimak oleh pelajar Indonesia. Ini mengingat sejarah Kerajaan Kutai yang merupakan kerajaan bercorak Hindu tertua di Indonesia.

Menyadur dari buku Sejarah Indonesia untuk Kelas X keluaran Kemedikbud tahun 2013, terdapat beberapa sumber peninggalan yang bisa digunakan untuk mempelajari sejarah Kerajaan Kutai.

Apa saja yang harus diperhatikan dalam mempelajari sejarah Kerajaan Kutai? Berikut pembahasannya.

Bicara soal perkembangan Kerajaan Kutai, tidak lepas dari sosok Raja Mulawarman. Kerajaan Kutai diperkirakan terletak di daerah Muarakaman di tepi Sungai Mahakam, Kalimantan Timur. Sungai Mahakam merupakan sungai yang cukup besar dan memiliki beberapa anak sungai.

Baca juga: Mau Beasiswa Program Sarjana di Hokkaido University? Ini Info Lengkapnya

Baca juga: Tragedi Trisakti: Sejarah, Latar Belakang dan Kronologinya

Daerah di sekitar tempat pertemuan antara Sungai Mahakam dengan anak sungainya diperkirakan merupakan letak Muarakaman dahulu. Sungai Mahakam dapat dilayari dari pantai sampai masuk ke Muarakaman, sehingga baik untuk perdagangan. Inilah posisi yang sangat menguntungkan untuk meningkatkan perekonomian masyarakat.

Untuk memahami perkembangan Kerajaan Kutai itu, tentu memerlukan sumber sejarah yang dapat menjelaskannya. Sumber sejarah Kutai yang utama adalah prasasti yang disebut yupa, yaitu berupa batu bertulis. Yupa juga sebagai tugu peringatan dari upacara kurban.

Yupa ini dikeluarkan pada masa pemerintahan Raja Mulawarman. Prasasti Yupa ditulis dengan huruf pallawa dan bahasa sanskerta. Dengan melihat bentuk hurufnya, para ahli berpendapat bahwa yupa dibuat sekitar abad ke-5 M.

Hal menarik dalam prasasti itu adalah disebutkannya nama kakek Mulawarman yang bernama Kudungga. Kudungga berarti penguasa lokal yang setelah terkena pengaruh Hindu-Buddha daerahnya berubah menjadi kerajaan.

Walaupun sudah mendapat pengaruh Hindu-Buddha namanya tetap Kudungga, berbeda dengan puteranya yang bernama Aswawarman dan cucunya yang bernama Mulawarman. Oleh karena itu yang terkenal sebagai wamsakerta adalah Aswawarman.

Satu di antara yupa itu memberi informasi penting tentang silsilah Raja Mulawarman. Diterangkan bahwa Kudungga mempunyai putra bernama Aswawarman. Raja Aswawarman dikatakan seperti Dewa Ansuman [Dewa Matahari]. Aswawarman mempunyai tiga anak, tetapi yang terkenal adalah Mulawarman.

Raja Mulawarman dikatakan sebagai raja terbesar di Kutai. Ia pemeluk agama Hindu-Siwa yang setia. Tempat sucinya dinamakan Waprakeswara. Ia juga dikenal sebagai raja yang sangat dekat dengan kaum brahmana dan rakyat.

Raja Mulawarman sangat dermawan. Ia mengadakan kurban emas dan 20.000 ekor lembu untuk para brahmana. Oleh karena itu, sebagai rasa terima kasih dan peringatan mengenai upacara kurban, para brahmana mendirikan sebuah yupa.

Pada masa pemerintahan Mulawarman, Kutai mengalami jaman keemasan. Kehidupan ekonomi pun mengalami perkembangan. Kutai terletak di tepi sungai, sehingga masyarakatnya melakukan pertanian.

Selain itu, mereka banyak melakukan perdagangan, yang bahkan diperkirakan sudah terjadi hubungan dagang dengan luar. Jalur perdagangan internasional dari India melewati Selat Makassar, terus ke Filipina dan sampai di Cina. Dalam pelayarannya diperikirakan para pedagang itu singgah terlebih dahulu di Kutai, membuat kerajaan ini semakin ramai dan rakyat hidup makmur.

Satu di antara yupa di Kerajaan Kutai berisi keterangan yang artinya: “Sang Mulawarman, raja yang mulia dan terkemuka, telah memberi sedekah 20.000 ekor sapi kepada para brahmana yang seperti api, [bertempat] di dalam tanah yang sangat suci [bernama] Waprakeswara”. 

Kerajaan Kutai Martadipura adalah kerajaan bercorak Hindu di Nusantara yang memiliki bukti sejarah tertua berupa prasasti Yupa dan berdiri sekitar abad ke-4[1], bersamaan dengan Kerajaan Tarumanegara di Jawa. Pusat kerajaan ini terletak di Muara Kaman, yang saat ini adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur. Nama Kutai diberikan oleh para ahli mengambil dari nama tempat ditemukannya prasasti yang menunjukkan eksistensi kerajaan tersebut. Informasi nama Martadipura diperoleh dari kitab Salasilah Raja dalam Negeri Kutai Kertanegara yang menceritakan pasukan Kerajaan Kutai Kertanegara dari Kutai Lama menyerang ibu kota kerajaan ini.[2]

Kerajaan Kutai Martadipura

399–1635Ibu kotaMuara Kaman, Kalimantan TimurBahasa yang umum digunakanBahasa Sansekerta, Bahasa KutaiAgama HinduPemerintahanMonarkiSri Maharaja 

• Abad 4 masehi

Kudungga

• Abad 4 masehi

Aswawarman

• Abad 5 masehi

Mulawarman

• Abad 16 masehi

Dermasatia Sejarah 

• Didirikan

399

• Dianeksasi oleh Kutai Kertanegara

1635
Digantikan oleh
Kesultanan Kutai Kertanegara ing Martadipura
Sekarang bagian dariIndonesia

Sumber primer sejarah Kerajaan Martadipura adalah tujuh prasasti yupa yang ditemukan di Bukit Brubus, Muara Kaman.[3] Penemuan batu bertulis ini tidak sekaligus, melainkan dalam dua tahap dengan rentang waktu lebih dari setengah abad. Tahap pertama, empat prasasti ditemukan pada tahun 1879. Setahun kemudian, keempat prasasti tersebut diangkut ke Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen [kini Museum Nasional, Jakarta]. Tahap kedua, tiga prasasti lainnya ditemukan berselang 61 tahun kemudian, yakni pada 1940. Ketiganya disimpan di museum yang sama.[4]

Selain sumber prasasti yupa, terdapat kitab Surat Salasilah Raja dalam Negeri Kutai Kertanegara. Naskah Arab Melayu ini belum dibahas oleh Tim Nasional Penulisan Sejarah Indonesia sehingga perihal lanjutan riwayat Dinasti Mulawarman tidak termuat dalam buku babon Sejarah Nasional Indonesia.

Nama kerajaan tertua di Nusantara yang umumnya diketahui oleh khalayak adalah Kutai. Tim Penyusun Sejarah Nasional Indonesia mengungkapkan, nama Kutai digunakan oleh para peneliti sejak zaman Belanda untuk menamakan kerajaan Dinasti Mulawarman berdasarkan lokasi penemuan prasasti yupa di wilayah Kesultanan Kutai. Tetapi, prasasti yupa sendiri tidak menyebutkan nama kerajaannya dengan Kutai.[5]

Hanya ada lima nama raja yang tercatat dalam sumber sejarah, yakni 3 orang di Prasasti Yupa beraksara Pallawa dan 2 orang dalam kitab Salasilah Raja dalam Negeri Kutai Kertanegara beraksara Arab Melayu. Adapun informasi lain yang menyebutkan daftar lebih dari 20 raja tidak berdasarkan sumber sejarah yang autentik, melainkan dari ucapan meranyau seorang dukun dalam upacara adat belian.[6][7]

Maharaja Kudungga

Artikel utama: Kundungga

Nama Maharaja Kundungga dimaknai sebagai nama asli orang Indonesia yang belum dipengaruhi oleh budaya India.[5] Pada awalnya kedudukan Kundungga adalah sebagai kepala suku, setelah masuk pengaruh Hindu ke Indonesia kemudian ia mengubah struktur menjadi kerajaan dan dirinya menjadi raja, dan dilakukan secara turun temurun.[8] Nama Maharaja Kundungga oleh para ahli sejarah ditafsirkan sebagai nama asli orang Indonesia yang belum terpengaruh dengan nama budaya India.

Maharaja Aswawarman

Merupakan Raja Kedua dari Kerajaan Martapura sekaligus anak dari Raja Kundungga. Asmawarman diduga telah terpengaruh budaya Hindu. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa kata Warman berasal dari bahasa Sanskerta. Kata itu biasanya digunakan untuk akhiran nama-nama masyarakat atau penduduk India bagian Selatan.[9][5]

Maharaja Mulawarman

Artikel utama: Mulawarman Nala Dewa

Mulawarman adalah anak Aswawarman dan cucu Kundungga. Nama Mulawarman dan Aswawarman sangat kental dengan pengaruh bahasa Sanskerta bila dilihat dari cara penulisannya. Kundungga sendiri diduga belum menganut agama Hindu.

Berdasarkan Prasasti Yupa, dapat diketahui bahwa Kerajaan Kutai mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Raja Mulawarman.

Mulawarman disebut-sebut sebagai raja yang memiliki budi pekerti baik, kuat, dan pernah mengadakan upacara persembahan 20.000 ekor lembu untuk kaum Brahmana yang bertempat di "Waprakecvara". Waprakecvara adalah tempat suci [keramat] yang merupakan sinkretisme antara kebudayaan Hindu dengan kebudayaan Indonesia.

Sebagai keturunan Aswawarman, Mulawarman juga melakukan upacara "Vratyastoma", yaitu upacara penyucian diri untuk masuk pada kasta Ksatria. Pada masa pemerintahan Mulawarman, upacara penghinduan ini dipimpin oleh pendeta/kaum Brahmana dari orang Indonesia asli. Hal ini membuktikan bahwa kemampuan intelektualnya tinggi, karena Bahasa Sanskerta bukanlah bahasa rakyat sehari-hari. Selain itu, di bawah kekuasaan Raja Mulawarman kehidupan ekonomi kerajaan mengalami perkembangan pesat dari sektor pertanian dan perdagangan karena letaknya sangat strategis.

Kerajaan Kutai Martapura berakhir saat rajanya yang bernama Maharaja Dermasatia terbunuh dalam peperangan di tangan Raja Kutai Kertanegara ke-8, Pangeran Sinum Panji Mendapa.

Perlu diingat bahwa Kutai Martapura berbeda dengan Kerajaan Kutai Kertanegara yang saat itu ibukota di Kutai Lama. Kutai Kertanegara inilah, pada tahun 1365, yang disebutkan dalam sastra Jawa Negarakertagama.

Kutai Kertanegara selanjutnya menjadi kerajaan Islam. Sejak tahun 1735 kerajaan Kutai Kertanegara yang semula rajanya bergelar Pangeran berubah menjadi bergelar Sultan [Sultan Aji Muhammad Idris] dan hingga sekarang disebut Kesultanan Kutai Kertanegara.

  1. ^ Vogel, J. Ph. [1918]. "The Yupa Inscription of King Mulawarman, from Koetei [East Borneo]". BKI. 74. 
  2. ^ Muhammad Sarip [2018]. Dari Jaitan Layar sampai Tepian Pandan Sejarah Tujuh Abad Kerajaan Kutai Kertanegara. Indonesia: RV Pustaka Horizon. ISBN 9786025431159.  Parameter |coauthors= yang tidak diketahui mengabaikan [|author= yang disarankan] [bantuan]
  3. ^ "Keputusan Mendikbud RI Nomor 279/M/2014 tentang Tujuh Prasasti Yupa Koleksi Museum Nasional Nomor Inventaris D.2A, D.2B, D.2C, D.2D, D.175, D.176, dan D.177 Sebagai Kawasan Cagar Budaya Peringkat Nasional" [PDF]. munas.kemdikbud.go.id. Diakses tanggal 24 Agustus 2020. 
  4. ^ Vlekke, Bernard H.M [2008]. Nusantara Sejarah Indonesia [Nusantara: A History of Indonesia [1961]]. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.  Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan [bantuan]
  5. ^ a b c Poesponegoro, Marwati Djoened; Notosusanto, Nugroho [Ed.] [2008]. Sejarah Nasional Indonesia II Zaman Kuno [Awal M–1500 M]. Jakarta: Balai Pustaka.  Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan [bantuan]Pemeliharaan CS1: Teks tambahan: authors list [link]
  6. ^ M. Asli Amin dkk, Dari Swapraja ke Kabupaten Kutai, Tenggarong: Pemerintah Daerah Kabupaten Kutai Kalimantan Timur, 1975
  7. ^ Rujukan kosong [bantuan] 
  8. ^ Abdullah, Taufik; Lapian, A.B. [2012]. Indonesia dalam Arus Sejarah Jilid 2: Hindu-Buddha. Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve.  Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan [bantuan]
  9. ^ Minattur, Joseph [2009]. "A Note on the King Kundungga of the East Borneo Inscriptions". Journal of Southeast Asian History. 5 [2]: 181–183. doi://doi.org/10.1017/S0217781100000995 Periksa nilai |doi= [bantuan]. 

Diperoleh dari "//id.wikipedia.org/w/index.php?title=Kerajaan_Kutai_Martapura&oldid=21105199"

Video yang berhubungan