Jelaskan tiga tahap partisipasi komunitas dalam pembangunan menurut erikson

Partispasi merupakan cara kerja atau proses yang rumit dan aktif, karena tergantung pada sistem sensorik dan otak karena itu partisipasi merupakan aspek terpenting dalam pembangunan masyarakat. Pengertian partisipasi menurut Sunarti (2012) bisa terentang lebar mulai dari keterlibatan (bukan keikutsertaan) masyarakat dalam semua tahap (sejak perencanaan sampai evaluasi dan perencanaan kembali, bukan sebagian atau hanya pada tahap tertentu) proses pembangunan masyarakat, sampai keikutsertaan masyarakat pada bagian kecil proses pembangunan yang telah ditentukan tujuan, arah, dan sasarannya oleh perencanaan pembangunan.

Menurut Mardikanto (2010) partisipasi merupakan suatu keterlibatan secara aktif, baik alasan dari dalam atau dari luar dalam keseluruhan proses kegiatan yang bersangkutan, mencangkup pengambilan keputusan dalam perencanaan, pelaksanaan, pengendalian (pemantauan, evaluasi, dan pengawasan), serta pemanfaatan hasil-hasil kegitan yang dicapai. Sementara Nasdian (2006) mengartikan partisipasi sebagai proses aktif dan inisiatif yang diambil oleh warga komunitas itu sendiri, dibimbing melalui cara mereka sendiri dengan menggunakan sarana dan proses (lembaga dan mekanisme) dimana mereka dapat menegaskan kontrol secara efektif. Kategori partisipasi meliputi: (1) warga komunitas dilibatkan dalam tindakan yang telah difikirkan atau dirancang dan dikontrol oleh orang lain; (2) partisipasi merupakan proses pembentukan kekuatan untuk keluar dari masalah mereka sendiri. Titik tolak partisipasi adalah memutuskan, bertindak, kemudian mereka merefleksikan tindakan tersebut sebagai subyek yang sadar. Dengan partisipasi, program yang dilaksanakan akan lebih berkelanjutan karena disusun berdasarkan kebutuhan dasar yang sesungguhnya dari masyarakat setempat.

Menurut Khrisna dan Lovell (1985) seperti dikutip Iqbal (2007) paling tidak ada empat alasan pentingnya partisipasi dalam menunjang keberhasilan suatu program, yaitu: 1. Partipasi diperlukan untuk meningkatkan rencana pengembangan program; 2. Partisipasi dikehendaki agar implementasi kegiatan sesuai dengan kebutuhan masyarakat; 3. Partisipasi dibutuhkan untuk menjamin kelangsungan program; dan

4. Partisipasi dapat meningkatkan kesetaraan dalam implementasi kegiatan.

Partisipasi masyarakat terbagi menjadi empat tahap menurut Uphoff et al. (1979), yaitu: 1. Tahap perencanaan, ditandai dengan keterlibatan masyarakat dalam kegiatan-kegiatan yang merencanakanprogram pemberdayaan yang akan dilaksanakan di desa, serta menyusun rencana kerjanya. 2. Tahap pelaksanaan, yang merupakan tahap terpenting dalam pemberdayaan, sebab inti dari pemberdayaan adalah pelaksanaannya. Wujud nyata partisipasi pada tahap ini dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu partisipasi dalam bentuk sumbangan pemikiran, bentuk sumbangan materi, dan bentuk keterlibatan sebagai anggota proyek. 3. Tahap menikmati hasil, yang dapat dijadikan indikator keberhasilan partisipasi masyarakat pada tahap perencanaan dan pelaksanaan program. Selain itu, dengan melihat posisi masyarakat sebagai subjek pemberdayaan, maka semakin besar manfaat program dirasakan, berarti program tersebut berhasil mengenai sasaran.

4. Tahap evaluasi, dianggap penting sebab partisipasi masyarakat pada tahap ini dianggap sebagai umpan balik yang dapat memberi masukan demi perbaikan pelaksanaan program selanjutnya. Faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi masyarakat terdiri dari faktor dari dalam masyarakat (internal), yaitukemampuan dan kesediaan masyarakat untuk berpartisipasi, maupun faktor dari luarmasyarakat (eksternal), yaitu peran aparat dan lembaga formal yang ada. Kemampuan masyarakat akan berkaitan dengan stratifikasi sosial dalam masyarakat. Menurut Max Weber dan Zanden seperti dikutip Sunarti (2012), mengemukakan pandangan multidimensional tentang stratifikasi masyarakat yang mengidentifikasi adanya 3 komponen di dalamnya, yaitu kelas (ekonomi), status (prestise) dan kekuasaan.

Bentuk partisipasi, menurut Ericson seperti dikutip Slamet (1994) yang diberikan kepada masyarakat dalam tahapan pembangunan memiliki beberapa bentuk yang terbagi menjadi tiga tahapan, yaitu: 1. Partisipasi di dalam tahap perencanaan (idea planning stage). Partisipasi pada tahap mempunyai maksud adalah pelibatan seseorang pada tahap penyusunan rencana dan strategi dalam penyusunan kepanitiaan dan anggaran pada suatu kegiatan/proyek. Masyarakat mampu berpartisipasidengan memberikan usulan, saran, kritik melalui pertemuan-pertemuan yang diadakan; 2. Partisipasi dalam tahap pelaksanaan (implementation stage). Partisipasi pada tahap ini maksudnya adalah pelibatan seseorang pada tahap pelaksaan pekerjaan suatu proyek. Masyarakat disini dapat memberikan tenaga, uang ataupun material/barang, serta ide-ide sebagai salah satu wujud partisipasinya pada pekerjaan tersebut; dan

3. Partisipasi di dalam pemanfaatan. Partisipasi pada tahap ini maksudnya adalah pelibatan seseorang pada tahap pemanfaatan suatu proyek setelah proyek tersebut selesai dikerjaan. Partisipasi masyarakat pada tahap ini berupa tenaga dan uang pengoperasian, serta memelihara proyek yang telah dibangun.

Terdapat usaha untuk meningkatkan partisipasi masyarakat yang berkaitan dengan beberapa kondisi awal yang harus dipenuhi sebelum partisipasi menurut Sunarti (2012), yaitu: 1. Masyarakat menyadari bahwa situasi sekarang tidak memuaskan, tidak sesuai dengan tujuan merek, yang mungkin untuk dirubah dan diperbaiki, serta mereka akan menyumbang terhadap perubahan situasi ini; 2. Masyarakat harus diyakinkan bahwa keuntungan berkaitan dengan proses pembangunan direncanakan dan partisipasi mereka lebih besar dari biayanya. Masyarakat diyakinkan bahwa bahwa akan mendapatkan keuntungan ekologi, sosial atau material; dan

3. Masyarakat harus diberi kesempatan untuk terlihat dalam beberapa tahap dari proses pembangunan yang direncanakan. Masyarakat akan berpartisipasi bila dari konteks sosial dan politik membuatnya mungkin untuk berpartisipasi.

Dalam makalahnya yang berjudul “A Ladder of Citizen Participation” seperti dikutip Journal of The American Planning Association, Arnstein (1969) mengemukakan delapan tangga atau tingkatan partisipasi. Delapan tingkat tersebut diuraikan sebagai berikut: 1. Manipulation(Manipulasi) Dengan mengatasnamakan partisipasi, masyarakat diikutkan sebagai ‘stempel karet’ dalam badan penasihat. Tujuannya adalah untuk dipakai sebagai formalitas semata dan untuk dimanfaatkan dukungannya. Tingkat ini bukanlah tingkat partisipasi masyarakat yang murni, karena telah diselewengkan dan dipakai sebagai alat publikasi oleh penguasa. 2. Therapy(Terapi) Pada tingkat terapi atau pengobatan ini, pemegang kekuasaan sama dengan ahli kesehatan jiwa. Mereka menganggap ketidakberdaayan sebagai penyakit mental. Dengan berpura-pura mengikutsertakan masyarakat dalam suatu perencanaan, mereka sebenarnya menganggap masyarakat sebagai sekelompok orang yang memerlukan pengobatan. Meskipun masyarakat dilibatkan dalam berbagai kegiatan namun pada dasarnya kegiatan tersebut bertujuan untuk menghilangkan lukanya dan bukan karena menemukan penyebab lukanya. 3. Informing (Menginformasikan) Dengan memberi informasi kepada masyarakat akan hak, tanggungjawab, dan pilihan mereka merupakan langkah awal yang sangat penting dalam pelaksanaan partisipasi masyarakat. Namun seringkali pemberian informasi dari penguasa kepada masyarakat tersebut bersifat satu arah. Masyarakat tidak memiliki kesempatan untuk memberikan umpan balik dan tidak memiliki kekuatan untuk negosiasi. Apalagi ketika informasi disampaikan pada akhir perencanaan, masyarakat hanya memiliki sedikit kesempatan untuk mempengaruhi program. Komunikasi satu arah ini biasanya dengan menggunakan media pemberitahuan, pamflet, dan poster. 4. Consultation (Konsultasi) Meminta pendapat masyarakatmerupakan suatu langkah logis menuju partisipasi penuh. Namun konsultasi ini masih merupakan partisipasi semu karena tidak ada jaminan bahwa pendapat mereka akan diperhatikan. Cara yang sering digunakan dalam tingkat ini adalah jajak pendapat, pertemuan warga,dan dengar pendapat. Jika pemegang kekuasaan membatasi usulan masyarakat, maka kegiatan tersebut hanyalah partisipasi palsu. Masyarakat padadasarnya hanya dianggap sebagai abstraksi statistik, karena partisipasi mereka diukur dari frekuensi kehadiran dalam pertemuan, seberapa banyak brosur yang dibawa pulang dan juga seberapa banyak dari kuesioner dijawab. Dengan demikian, pemegang kekuasaan telah memiliki bukti bahwa mereka telah mengikuti rangkaian pelibatan masyarakat. 5. Placation (Menenangkan) Pada tingkat ini masyarakat sudah memiliki beberapa pengaruh meskipun dalam beberapa hal pengaruh tersebut tidak memiliki jaminan akan diperhatikan. Masyarakat memang diperbolehkan untuk memberikan masukan atau mengusulkan rencana akan tetapi pemegang kekuasaanlah yang berwenang untuk menentukan. Salah satu strateginya adalah dengan memilih masyarakat miskin yang layak untuk dimasukkan ke dalam suatu lembaga. Jika mereka tidak bertanggungjawab dan jika pemegang kekuasaan memiliki mayoritas kursi, maka mereka akan dengan mudah dikalahkan dan diakali. 6. Partnership(Kemitraan) Pada tingkatan ini kekuasaan disalurkan melalui negosiasi antara pemegang kekuasaan dan masyarakat. Mereka sepakat untuk sama-sama memikul tanggungjawab dalam perencanaan dan pengambilan keputusan. Aturan ditentukan melalui mekanisme take and give, sehingga diharapkan tidak mengalami perubahan secara sepihak. Kemitraan dapat berjalan efektif bila dalam masyarakat ada kekuasaan yang terorganisir, pemimpin bertanggungjawab, masyarakat mampu membayar honor yang cukup bagi pemimpinnya serta adanya sumberdana untuk menyewa teknisi, pengacara dan organisator masyarakat. Dengan demikian, masyarakat benar-benar memiliki posisi tawar menawar yang tinggi sehingga akan mampu mempengaruhi suatu perencanaan. 7. Delegated Power (Kekuasaan didelegasikan) Negosiasi antara masyarakat dengan pejabat pemerintah bisa mengakibatkan terjadinya dominasi kewenangan pada masyarakat terhadap rencana atau program tertentu. Pada tingkat ini masyarakat menduduki mayoritas kursi, sehingga memiliki kekuasaan dalam menentukan suatu keputusan. Selain itu masyarakat juga memegang peranan penting dalam menjamin akuntabilitas program tersebut. Untuk mengatasi perbedaan, pemegang kekuasaan tidak perlu meresponnya akan tetapi dengan mengadakan proses tawar menawar. 8. Citizen Control (Kontrol warga negara)

Pada tingkat ini masyarakat menginginkan adanya jaminan bahwa kewenangan untuk mengatur program atau kelembagaan diberikan kepada mereka, bertanggungjawab penuh terhadap kebijakan dan aspek-aspek manajerial dan bisa mengadakan negosiasi apabila ada pihak ketiga yang akan mengadakan perubahan. Dengan demikian, masyarakat dapat berhubungan langsung dengan sumber-sumber dana untuk memperoleh bantuan atau pinjaman tanpa melewati pihak ketiga.

Manipulasi dan Terapi termasuk ke dalam level ‘non-partisipasi’, inisiatif pembangunan tidak bermaksud untuk memberdayakan masyarakat akan tetapi membuat pemegang kekuasaan untuk “menyembuhkan” atau “mendidik” komunitas. Informasi dan konsultasitermasuk dalam level ‘tokenisme’. Komunitas bisa mendapatkan informasi dan menyuarakan pendapat akan tetapi tidak ada jaminan kalau pendapat komunitas akan diakomodasi. Placation sebagai level tertinggi dalam tokenisme. Komunitas bisa memberikan saran kepada pemegang kekuasaan, tetapi penentuan tetap berada pada pemegang kekuasaan.

Kemitraan,membuat komunitas dapat bernegosiasi, dan terlibat dalam pengambilan keputusan. Pendelegasian kewenangan dan kontrol, komunitas memegang mayoritas pengambilan keputusandan kekuatan pengelolaan.

Partisipasi masyarakat dalam pembangunan dikelompokkan menjadi 4 tahap, yaitu: 1) partisipasi dalam tahap perencanaan, 2) partisipasi dalam tahap pelaksanaan, 3) partisipasi dalam tahap pemanfaatan hasil pembangunan, dan 4) partisipasi dalam tahap pengawasan. Manfaat partisipasi peserta dalam suatu pelatihan, secara teoritik ditentukan oleh banyak faktor, terutama faktor ketertarikan (interest), kualitas pengetahuan dan keterampilan yang dilatihakan, rasa memilki dan tanggungjawab, percaya diri, motivasi dan kebanggaan akan program, dan faktor waktu dan biaya implememtasi hasil pelatihan (Cornell University, 2006).