Jelaskan apa yang dimaksud dengan jumlah uang yang beredar?

Oleh: Laeli Sugiyono
Statistisi Madya pada BPS
Provinsi Jawa Tengah

BERDASARKAN data Bank Indonesia (BI) jumlah uang beredar dalam arti luas (M2) atau likuiditas perekonomian meningkat pada Januari 2021 (www.bi.go.id). Posisi M2 pada Januari 2021 tercatat Rp 6.761,0 triliun atau tumbuh 11,8 persen (year on year/yoy), lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan bulan Januari 2020 yang sebesar 7,1 persen (yoy). Peningkatan M2 ini disebabkan oleh peningkatan jumlah uang beredar (JUB) dalam arti sempit (M1), uang kuasi, maupun surat berharga selain saham.

Tercatat, uang beredar dalam arti sempit (M1) meningkat dari 7,9 persen menjadi 8,6 persen. Selanjutnya, uang kuasi tumbuh 7,5 persen dari sebelumnya 6,8 persen dan untuk surat berharga selain saham naik dari 31,8 persen mnejadi 34,7 persen. Peningkatan juga terjadi pada surat berharga selain saham, dari 31,8 persen pada bulan sebelumnya menjadi 34,7 persen (yoy) pada Januari 2021.

Pada Februari 2021 terjadi inflasi sebesar 0,10 persen dengan Indeks Harga Konsumen (IHK) sebesar 106,06. Dari 90 kota IHK, 56 kota mengalami inflasi dan 34 kota mengalami deflasi. Inflasi tertinggi terjadi di Mamuju sebesar 1,12 persen dengan IHK sebesar 106,72 dan terendah terjadi di Tasikmalaya dan Sumenep masing-masing sebesar 0,02 persen dengan IHK masing-masing sebesar 103,88 dan 105,52. Sementara deflasi tertinggi terjadi di Gunungsitoli sebesar 1,55 persen dengan IHK sebesar 107,33 dan terendah terjadi di Malang dan Tarakan masing-masing sebesar 0,01 persen dengan IHK masing-masing sebesar 104,08 dan 104,27.

Inflasi terjadi karena adanya kenaikan harga yang ditunjukkan oleh naiknya sebagian besar indeks kelompok pengeluaran, yaitu kelompok makanan, minuman dan tembakau sebesar 0,07 persen; kelompok pakaian dan alas kaki sebesar 0,06 persen; kelompok perumahan, air, listrik, dan bahan bakar rumah tangga sebesar 0,04 persen; kelompok perlengkapan, peralatan, dan pemeliharaan rutin rumah tangga sebesar 0,36 persen; kelompok kesehatan sebesar 0,19 persen; kelompok transportasi sebesar 0,30 persen; kelompok rekreasi, olahraga, dan budaya sebesar 0,06 persen; dan kelompok penyediaan makanan dan minuman/restoran sebesar 0,28 persen.

Jumlah Uang Beredar
Menurut BI, uang beredar adalah kewajiban sistem moneter (Bank Sentral, Bank Umum, dan Bank Perkreditan Rakyat/ BPR) terhadap sektor swasta domestik (tidak termasuk pemerintah pusat dan bukan penduduk). Kewajiban yang menjadi komponen Uang Beredar terdiri dari uang kartal yang dipegang masyarakat (di luar Bank Umum dan BPR), uang giral, uang kuasi yang dimiliki oleh sektor swasta domestik, dan surat berharga selain saham yang diterbitkan oleh sistem moneter yang dimiliki sektor swasta domestik dengan sisa jangka waktu sampai dengan satu tahun (www.bi.go.id).

Selanjutnya terdapat empat jenis JUB yaitu M0, M1, M2 dan M3. Penjelasan dari keempat JUB sebagai berikut (Rosyidi, 2009). Pertama, M0 hanya terdiri dari uang kertas dan uang logam yang kita pegang sehari-hari yang tidak dipegang oleh bank maupun pemerintah. Kedua, M1 adalah M0 ditambah simpanan dalam bentuk rekening koran (demand deposit). Pengertian demand deposit adalah tabungan yang kita miliki di bank yang dapat kita carikan sewaktu-waktu dan merupakan perhitungan jumlah uang beredar yang paling likuid. Ketiga, M2 adalah M1 + tabungan + deposito berjangka (time deposit) dalam jumlah kecil pada bank-bank umum.

Definisi time deposit adalah tabungan, deposito dan sejenisnya yang memiliki waktu jatuh tempo atau tidak dapat dicairkan sewaktu-waktu. Keempat, M3 adalah M2 + deposito berjangka panjang dalam jumlah besar pada lembaga-lembaga tabungan non bank, termasuk meliputi dana-dana institusional yang ada di pasar uang.

Kemudian BI mendefinisikan uang beredar arti sempit (M1) dan dalam arti luas (M2) (www.bi.go.id). M1 meliputi uang kartal yang dipegang masyarakat dan uang giral (giro berdenominasi Rupiah). M2 meliputi M1, uang kuasi (mencakup tabungan, simpanan berjangka dalam rupiah dan valas, serta giro dalam valuta asing), dan surat berharga yang diterbitkan oleh sistem moneter yang dimiliki sektor swasta domestik dengan sisa jangka waktu sampai dengan satu tahun.

Inflasi
Secara umum pengertian inflasi adalah suatu keadaan di mana harga barang secara umum mengalami kenaikan secara terus menerus atau terjadi penurunan nilai uang dalam negeri. Sebaliknya, deflasi adalah suatu keadaan dimana terdapat peristiwa penurunan harga barang umum secara terus menerus atau terjadi peningkatan nilai uang. Berdasarkan referensi, inflasi merupakan fenomena moneter yang merupakan suatu proses kenaikan harga yaitu adanya kecenderungan bahwa harga meningkat secara terus menerus (Agusmianata, Militina, dan Lestari, 2017).

Dari buku teks ekonomi moneter dijelaskan beberapa jenis inflasi atau macam berdasarkan penyebab, sumber, dan keparahan (Lestari, 2018; Ambarini, 2015). Jenis inflasi berdasarkan penyebabnya. Pertama, demand pull inflation yaitu inflasi yang terjadi karena permintaan akan barang atau jasa lebih tinggi jumlah pasokan dari produsen/penjual. Kedua, cost push inflation yaitu inflasi yang terjadi karena terjadi kenaikan biaya produksi sehingga harga barang/ jasa naik.

Kemudian jenis inflasi berdasarkan sumbernya. Pertama, domestic inflation yaitu inflasi yang bersumber dari dalam negeri, misalnya adanya gagal panen. Inflasi ini terjadi karena jumlah uang di masyarakat lebih banyak daripada yang dibutuhkan. Kedua, imported inflation yaitu inflasi yang bersumber dari luar negeri, mislanya meningkat kurs dolar AS terhadap rupiah (IDR).

Berdasarkan jenis keparahan, inflasi dapat dikategorikan sebagai berikut. Pertama, inflasi ringan (creeping inflation) yang merupakan inflasi dengan tingkat pertumbuhan cukup rendah yaitu sekitar kurang dari 10 persen per tahun. Kedua, inflasi sedang (galloping inflation) yang merupakan inflasi dengan tingkat pertumbuhan tergolong ringan yaitu sekitar 10 – 30 persen per tahun.

Ketiga, inflasi berat (high inflation) yang dimana merupakan inflasi dengan tingkat pertumbuhan tergolong inflasi berat yaitu sekitar 30 – 100 persen per tahun. Keempat inflasi sangat berat (hyperinflation) yang dimana merupakan inflasi dengan tingkat pertumbuhan sangat berat yaitu lebih dari dari 100 persen per tahun.

Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab terjadinya inflasi antara lain penurunan nilai tukar mata uang (kurs), permintaan yang tinggi terhadap suatu barang dan bertambahnya uang yang beredar. Faktor yang lain adalah adanya kenaikan biaya produksi, ekspektasi dari masyarakat, dan karena faktor penyebab sifatnya campuran (mixed inflation).

Catatan Penutup
Dalam jangka pendek sebaiknya kebijakan moneter yang dapat dilakukan BI adalah dengan mengendalikan JUB, sehingga tingkat inflasi dapat relatif stabil. Dalam beberapa periode tahun terakhir, BI telah berhasil mengendalikan inflasi.

Berdasarkan data BI, selama periode 2014 sampai tahun 2019 tingkat inflasi rata-rata hanya sebesar 4,68 persen. Pada tahun 2017 inflasi tahunan sedikit naik menjadi 3,61 persen. Kemudian pada tahun 2018 inflasi tahunan menurun menjadi 3,13 persen. Data pada tahun 2019 inflasi tahunan hanya sebesar 2,72 persen. Jika mencermati data yang ada, maka inflasi tahun 2019 merupakan yang terendah setelah tahun 1999 yang sebesar 2,13 persen. Dengan demikian selama periode 2014-2019 dengan inflasi tahunan rata-rata 4,68 persen tersebut termasuk inflasi ringan (creeping inflation) karena besarnya masih di bawah 10 persen (single digit).

Pada tahun 2021 ini, tantangan BI untuk mengendalikan JUB “semakin berat”. Kondisi tersebut terkait dengan sejumlah kebijakan stimulus dan non fiskal serta jaring pengaman sosial (social safety net) yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk mencegah dan menanggulangi pandemi Covid-19. Kebijakan stimulus tersebut berupa kenaikan anggaran dalam APBN dan juga penerbitan recovery bond (R-Bond) yang pada gilirannya mendorong kenaikan JUB. Jatengdaily.com-yds

Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Money supply atau penawaran uang disebut juga dengan jub (jumlah uang beredar) yaitu jumlah uang keseluruhan yang berada di tangan masyarakat dan beredar dalam sebuah perekonomian suatu negara pada suatu waktu tertentu.

Jub dapat dibagi menjadi 3 definisi, yaitu :

1.      Dalam arti sempit, M1 = Uang Kartal + Deman Deposit (kita kenal dengan “giro”)+ Uang Giral

2.      Dalam arti yang agak luas, M2 = M1 + Time Deposit (Deposito Berjangka)

3.      Dalam arti luas, M3 = M2 + Dana Lembaga keuangan non Bank

Bank Indonesia, sebagai otoritas moneter berkewajiban mengatur jub di masyarakat, menentukan takaran jub yang tepat, dan menstabilkannya. Agar, tidak terjadi inflasi, suku bunga kompetitif, dan perekonomian terkendali dalam suatu negara.  BI memiliki kewenangan memperbesar atau mengurangi jub sesuai dengan target moneter yang diinginkan atau sesuai dengan keadaan perekonomian suatu negara. Dengan 2 cara, yaitu :

1.       Kebijakan moneter ekspansif (Monetary expansive policy atau bisa disebut dengan kebijakan moneter longgar / easy money policy)
--> suatu kebijakan dalam rangka menambah jumlah uang yang beredar. Kebijakan ini dilakukan pada saat perekonomian suatu negara itu mengalami resesi atau depresi. Dengan menambah jub, maka BI mengatasi pengangguran dan meningkatkan daya beli masyarakat.

2.       Kebijakan Moneter Kontraktif (Monetary contractive policy atau bisa disebut dengan kebijakan uang ketat / tight money policy))
Adalah suatu kebijakan dalam rangka mengurangi jumlah uang yang beredar. Kebijakan ini dilakukan pada saat perekonomian mengalami inflasi. Disebut juga dengan kebijakan uang ketat (tight money policy).

Jadi, konsep penawaran uang yaitu “Semakin besar kapasitas uang yang disediakan bank bagi masyarakat, maka JUB semakin besar. Dan sebaliknya! “

Kesimpulannya,  “jika uang beredar di masyarakat jumlahnya banyak, maka tingkat harga barang dan jasa akan meningkat,  lalu Harga bergejolak (tidak stabil), maka terjadi Inflasi” dan akhirnya perekonomian menjadi overheating.

Page 2

Money supply atau penawaran uang disebut juga dengan jub (jumlah uang beredar) yaitu jumlah uang keseluruhan yang berada di tangan masyarakat dan beredar dalam sebuah perekonomian suatu negara pada suatu waktu tertentu.

Jub dapat dibagi menjadi 3 definisi, yaitu :

1.      Dalam arti sempit, M1 = Uang Kartal + Deman Deposit (kita kenal dengan “giro”)+ Uang Giral

2.      Dalam arti yang agak luas, M2 = M1 + Time Deposit (Deposito Berjangka)

3.      Dalam arti luas, M3 = M2 + Dana Lembaga keuangan non Bank

Bank Indonesia, sebagai otoritas moneter berkewajiban mengatur jub di masyarakat, menentukan takaran jub yang tepat, dan menstabilkannya. Agar, tidak terjadi inflasi, suku bunga kompetitif, dan perekonomian terkendali dalam suatu negara.  BI memiliki kewenangan memperbesar atau mengurangi jub sesuai dengan target moneter yang diinginkan atau sesuai dengan keadaan perekonomian suatu negara. Dengan 2 cara, yaitu :

1.       Kebijakan moneter ekspansif (Monetary expansive policy atau bisa disebut dengan kebijakan moneter longgar / easy money policy)
--> suatu kebijakan dalam rangka menambah jumlah uang yang beredar. Kebijakan ini dilakukan pada saat perekonomian suatu negara itu mengalami resesi atau depresi. Dengan menambah jub, maka BI mengatasi pengangguran dan meningkatkan daya beli masyarakat.

2.       Kebijakan Moneter Kontraktif (Monetary contractive policy atau bisa disebut dengan kebijakan uang ketat / tight money policy))
Adalah suatu kebijakan dalam rangka mengurangi jumlah uang yang beredar. Kebijakan ini dilakukan pada saat perekonomian mengalami inflasi. Disebut juga dengan kebijakan uang ketat (tight money policy).

Jadi, konsep penawaran uang yaitu “Semakin besar kapasitas uang yang disediakan bank bagi masyarakat, maka JUB semakin besar. Dan sebaliknya! “

Kesimpulannya,  “jika uang beredar di masyarakat jumlahnya banyak, maka tingkat harga barang dan jasa akan meningkat,  lalu Harga bergejolak (tidak stabil), maka terjadi Inflasi” dan akhirnya perekonomian menjadi overheating.


Lihat Money Selengkapnya

Page 3

Money supply atau penawaran uang disebut juga dengan jub (jumlah uang beredar) yaitu jumlah uang keseluruhan yang berada di tangan masyarakat dan beredar dalam sebuah perekonomian suatu negara pada suatu waktu tertentu.

Jub dapat dibagi menjadi 3 definisi, yaitu :

1.      Dalam arti sempit, M1 = Uang Kartal + Deman Deposit (kita kenal dengan “giro”)+ Uang Giral

2.      Dalam arti yang agak luas, M2 = M1 + Time Deposit (Deposito Berjangka)

3.      Dalam arti luas, M3 = M2 + Dana Lembaga keuangan non Bank

Bank Indonesia, sebagai otoritas moneter berkewajiban mengatur jub di masyarakat, menentukan takaran jub yang tepat, dan menstabilkannya. Agar, tidak terjadi inflasi, suku bunga kompetitif, dan perekonomian terkendali dalam suatu negara.  BI memiliki kewenangan memperbesar atau mengurangi jub sesuai dengan target moneter yang diinginkan atau sesuai dengan keadaan perekonomian suatu negara. Dengan 2 cara, yaitu :

1.       Kebijakan moneter ekspansif (Monetary expansive policy atau bisa disebut dengan kebijakan moneter longgar / easy money policy)
--> suatu kebijakan dalam rangka menambah jumlah uang yang beredar. Kebijakan ini dilakukan pada saat perekonomian suatu negara itu mengalami resesi atau depresi. Dengan menambah jub, maka BI mengatasi pengangguran dan meningkatkan daya beli masyarakat.

2.       Kebijakan Moneter Kontraktif (Monetary contractive policy atau bisa disebut dengan kebijakan uang ketat / tight money policy))
Adalah suatu kebijakan dalam rangka mengurangi jumlah uang yang beredar. Kebijakan ini dilakukan pada saat perekonomian mengalami inflasi. Disebut juga dengan kebijakan uang ketat (tight money policy).

Jadi, konsep penawaran uang yaitu “Semakin besar kapasitas uang yang disediakan bank bagi masyarakat, maka JUB semakin besar. Dan sebaliknya! “

Kesimpulannya,  “jika uang beredar di masyarakat jumlahnya banyak, maka tingkat harga barang dan jasa akan meningkat,  lalu Harga bergejolak (tidak stabil), maka terjadi Inflasi” dan akhirnya perekonomian menjadi overheating.


Lihat Money Selengkapnya

Page 4

Money supply atau penawaran uang disebut juga dengan jub (jumlah uang beredar) yaitu jumlah uang keseluruhan yang berada di tangan masyarakat dan beredar dalam sebuah perekonomian suatu negara pada suatu waktu tertentu.

Jub dapat dibagi menjadi 3 definisi, yaitu :

1.      Dalam arti sempit, M1 = Uang Kartal + Deman Deposit (kita kenal dengan “giro”)+ Uang Giral

2.      Dalam arti yang agak luas, M2 = M1 + Time Deposit (Deposito Berjangka)

3.      Dalam arti luas, M3 = M2 + Dana Lembaga keuangan non Bank

Bank Indonesia, sebagai otoritas moneter berkewajiban mengatur jub di masyarakat, menentukan takaran jub yang tepat, dan menstabilkannya. Agar, tidak terjadi inflasi, suku bunga kompetitif, dan perekonomian terkendali dalam suatu negara.  BI memiliki kewenangan memperbesar atau mengurangi jub sesuai dengan target moneter yang diinginkan atau sesuai dengan keadaan perekonomian suatu negara. Dengan 2 cara, yaitu :

1.       Kebijakan moneter ekspansif (Monetary expansive policy atau bisa disebut dengan kebijakan moneter longgar / easy money policy)
--> suatu kebijakan dalam rangka menambah jumlah uang yang beredar. Kebijakan ini dilakukan pada saat perekonomian suatu negara itu mengalami resesi atau depresi. Dengan menambah jub, maka BI mengatasi pengangguran dan meningkatkan daya beli masyarakat.

2.       Kebijakan Moneter Kontraktif (Monetary contractive policy atau bisa disebut dengan kebijakan uang ketat / tight money policy))
Adalah suatu kebijakan dalam rangka mengurangi jumlah uang yang beredar. Kebijakan ini dilakukan pada saat perekonomian mengalami inflasi. Disebut juga dengan kebijakan uang ketat (tight money policy).

Jadi, konsep penawaran uang yaitu “Semakin besar kapasitas uang yang disediakan bank bagi masyarakat, maka JUB semakin besar. Dan sebaliknya! “

Kesimpulannya,  “jika uang beredar di masyarakat jumlahnya banyak, maka tingkat harga barang dan jasa akan meningkat,  lalu Harga bergejolak (tidak stabil), maka terjadi Inflasi” dan akhirnya perekonomian menjadi overheating.


Lihat Money Selengkapnya

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA