Hukum memegang al quran menurut empat madzhab

Al-Qur’an adalah firman Allah Swt yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw melalui perantara malaikat Jibril. Al-Qur,an merupakan mukjizat yang Allah swt berikan kepada Nabi Muhammad saw. Dan merupakan satu-satunya mukjizat terbesar atau yang paing baik di antara mukjizat-mukjizat lainnya.

Membaca Al-Qur’an adalah salah satu sunnah yang sangat dianjurkan oleh Nabi Muhammad saw kepada umatnya. Oleh karena itu barang siapa yang membaca Al-Qur’an akan mendapat pahala sesuai dengan porsi yang ia baca. Maksud membaca pada konteks ini ialah melafadzkan sesuatu yang berasal dari Al-Qur’an.

Dalam praktiknya terdapat halangan bagi wanita dalam upaya membaca Al-Qur’an. Hal tersebut terjadi ketika wanita sedang mengalami haid. Haid secara bahasa berarti mengalir, sedangkan secara terminology atau istilah yakni artinya dara yang bisa keluar pada diri seorang wanita pada hari-hari tertentu.

Wanita Haid dan Al-Quran

Mazhab Hanafi mengatakan haid juga dapat berarti seperti hadas yang lainnya; seperti kentut. Dapat pula seperti benda yang najis seperti urin. Penjelasan tersebut dapat kita sebut juga sebagai sifat syar’iyyah yang melekat pada kaum perempuan yang akibat keluarnya darah. Perempuan yang sedang mengalami haid tidak boleh melakukan puasa, shalat, dan beberapa ibadah lainnya. Ia juga haram untuk melakukan hubungan suami istri.

***

Mazhab Maliki berpendapat bahwa haid adalah darah yang keluar secara alami dalam batas usia tertentu. Darah itu keruh, berwarna merah kehitam-hitaman kekuning-kuningan dan keluar secara alami tanpa ada sebab lain. Jika darah itu keluar saat melahirkan itu bukan merupakan darah haid melainkan darah nifas.

Haid sendiri memiliki dampak yang membolehkan untuk meninggalkan ibadah dan menjadi patokan selesainya iddah bagi wanita yang dicerai. Darah haid umumnya keluar minimal wanita berumur  tahun. Jika darah tersebut keluar sebelum umur  9 tahun maka darah tersebut berarti darah istihadah atau darah penyakit.

Hukum menyentuh Al-Qur’an bagi wanita haid yakni tidak boleh apalagi membawanya. Berbeda halnya dengan hukum membaca Al-Qur’an bagi wanita haid. Terdapat banyak perbedaan pendapat tentang hukum wanita yang sedang haid untuk membaca Al-Qur’an. Ada pendapat yang memperbolehkan dengan ketentuan-ketentuan yang sudah ada, namun ada juga yang melarangnya.

Pandangan Empat Imam Mazhab

Terdapat pula mazhab yang memperbolehkan wanita sedang haid membaca Al-Qur’an yakni mazhab Hanafi dan Maliki. Pendapat ulama dari kalangan ini juga sering menjadi rujukan atau hujjah oleh berbagai pihak untuk memperbolehkan wanita haid membaca Al-Quran. Terlebih lagi bagi wanita yang sedang menjalankan program tahfid atau hafalan Al-Qur’an yang dapat menyelesaikan hafalannya sesuai target tanpa ada halangan. Selain itu Ibnu Rusyd dalam kitab Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid menjabarkan bahwa ulama malikiyah memperbolehkan wanita haid membaca sedikit dari Al-Qur’an dengan dalil istihsan atau berpaling dari hukum yang ada untuk suatu kemaslahatan.

***

Menurut Mazhab Syafii yang terkenal dengan pemahaman yang sangat ketat melang wanita haid membaca Al-Qur’an. Seperti menurut salah satu ulama yang mengikuti mazhab ini yakni Imam An-Nawawi dalam kitabnya Al-Majmu. Di dalam kitab tersebut, menjelaskan haram hukumnya bagi wanita haid untuk membaca Al-Qur’an sebagaimana jumhur ulama di kalangan mazhab tersebut.

Selain itu menurutnya juga masa haid yang berlangsung dalam beberapa hari biasanya tidak akan sampai membuat seseorang lupa pada hafalannya bagi wanita yang sedang menjalankan program tahfidz. Kekhawatiran akan hilangnya hafalan Al-Qur’an dapat kita lakukan dengan menghafal atau bermuraja’ah terus menerus secara konsisten.

Sedangkan menurut mazhab Hanbali mayoritas ulamanya tidak melarang wanita haid untuk membaca Al-Qur’an. Alasannya mengacu pada hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Ali bin Abi Thalib: “Tidaklah Nabi melarang seorang membaca sesuatu pun dari Al-Qur’an selama dia tidak dalam keadaan junub”.

Selengkapnya dapat dibaca di sini

Penyunting: Bukhari

TRIBUN-TIMUR.COM - Bolehkah Membaca Alquran Saat Haid atau apa hukum wanita haidh membaca Alquran?

Membaca Alquran merupakan ibadah yang sangat disunnahkah bagi muslimin dan muslimat, karena keutamaannya yang sangat besar.

Karena keutamaan membaca Alquran yang besar, maka para ulama kita dahulu dalam banyak riwayat disebutkan, tidaklah mereka melewatkan hari-hari mereka dari membaca Alquran.

Semangat dan keinginan istiqomah dapat membaca Alquran setiap hari ini, sering menjadi dilema tersendiri bagi wanita yang sedang haid.

Keinginan yang besar untuk dapat membaca namun di satu sisi mereka khawatir hal tersebut dilarang.

Terkait hukum wanita haidh membaca Alquran belakangan ini sangat banyak sekali ditanyakan, terutama bagi mereka yang sedang belajar Alquran, baik program tahsin ataupun tahfiz, atau bagi mereka yang memang berprofesi sebagai pengajar Alquran, sebenarnya adakah toleransi bagi mereka sehingga tetap dapat membaca Alquran?

Berikut pendapat para ulama madzhab Fiqih tentang hukum wanita haidh membaca Alquran:

1. Madzhab Hanafi

Secara umum madzhab ini mengaharamkan bagi wanita haidh membaca Alquran. Hanya saja dalam batasan atau tujuan tertentu mereka memberikan pengecualian.

Seperti berdzikir dengan ayat-ayat Alquran atau membacakan potongan ayat atau kosa kata Alquran.

Berikut pendapat dari ulama Hanafiyah:

1. As-Sarakhsi (W. 483)

وَلَيْسَ لِلْحَائِضِ مَسُّ الْمُصْحَفِ وَلَا دُخُولُ الْمَسْجِدِ وَلَا قِرَاءَةُ آيَةٍ تَامَّةٍ مِنْ الْقُرْآنِ1

"Tidaklah seseorang yang haid boleh memegang mushaf, dan tidak pula masuk masjid, serta tidak diperbolehkan membaca satu ayat Al-Qur’an dengan sempurna"

Imam As-Sarakhsi dalam kitab Al-Mabsuth-nya menegaskan bahwa haram hukumnya bagi wanita haidh memegang mushaf dan membaca ayat Al-Qur’an secara utuh.

Beliau memberikan batasan keharaman membacanya adalah satu ayat secara sempurna, namun jika hanya potongan ayat atau tidak sampai satu ayat beliau berpendapat hal tersebut tidak dianggap membaca Al-Qur’an yang diharamkan.

2. Al-Kasani (W. 587)

حُكْمُ الْحَيْضِ وَالنِّفَاسِ فَمَنْعُ جَوَازِ الصَّلَاةِ، وَالصَّوْمِ، وَقِرَاءَةِ الْقُرْآنِ، وَمَسِّ الْمُصْحَفِ إلَّا بِغِلَافٍ، وَدُخُولِ2الْمَسْجِدِ، وَالطَّوَافِ بِالْبَيْتِ

Konsekuensi hukum dari haid dan nifas adalah tidak boleh shalat, puasa, membaca Al-Qur’an, memegang mushaf tanpa sampul, masuk masjid, dan thawaf di baitullah.

3. Ibnul Humam (w. 681 H)

ليس للحائض والجنب والنفساء قراءة القرآنلقوله - عليه الصلاة والسلام - لا تقرأ الحائض ولا الجنب شيئا من القرآن3

Tidaklah bagi wanita haid, junub, dan nifas membaca al-Qur’an. Karena nabi SAW bersabda: "Tidaklah bagi wanita haidh dan junub membaca sesuatu pun dari Al-Qur’an”

2. Madzhab Maliki

Madzhab Maliki adalah madzhab yang sering disebut-sebut sebagai yang membolehkan wanita haidh membaca Alquran.

Pendapat mereka juga sering dijadikan rujukan atau hujjah oleh berbagai pihak untuk membolehkan wanita haidh membaca Alquran, terutama untuk wanita-wanita yang sedang program tahfizh bisa menyelesaikan hafalannya sesuai target.

Meskipun mereka sedang haidh, mereka tetap dibolehkan membaca dan menghafal Alquran serta memuraja’ah hafalan dengan bersandarkan kepada pendapat madzhab Maliki.

Karena jika memakai pendapat jumhur Ulama, sudah tentu membaca dan menghafal Alquran diharamkan.

Sebenarnya apakah benar madzhab ini membolehkan wanita haidh membaca Alquran? Dan apakah mereka tidak menggunakan hadis-hadis yang menjadi hujjah jumhur?

Dimana dengan berbagai redaksi semua hadisnya melarang wanita haidh dan junub membaca Alquran.

Diantaranya hadis Ibnu Umar RA :

عن ابن عمر، عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: لا تقرأ الحائض، ولا الجنب شيئا من القرآن.

Artinya: Dari Ibnu Umar, Nabi SAW bersabda :Janganlah wanita haidh dan junub membaca sesuatu pun dari Al-Qur’an.(HR: At-Tirmidzi)

عَنْ أَبِي وَائِلٍ، قَالَ: كَانَ يُقَالُ: " لَا يَقْرَأُ الْجُنُبُ، وَلَا الْحَائِضُ، وَلَا يُقْرَأُ فِي الْحَمَّامِ، وَحَالَانِ لَا يَذْكُرُ الْعَبْدُ فِيهِمَا اللَّهَ: عِنْدَ الْخَلَاءِ وَعِنْدَ الْجِمَاعِ، إِلَّا أَنَّ الرَّجُلَ إِذَا أَتَى أَهْلَهُ، بَدَأَ فَسَمَّى اللَّهَ "

Artinya: Dari Abi Wail, beliau berkata: Diriwayatkan bahwa tidaklah orang yang junub dan haidh membaca (Al-Qur'an), dan tidak pula membacanya saat di kamar mandi. Dan seorang hamba tidak diperkenankan menyebut nama Allah dalam dua keadaan. Saat ia berada di kamar mandi/wc dan ketika berjima' kecuali saat ia mendatangi istrinya maka mengucap bismillah. (HR: Ad-Darimi)

Berikut pendapat para ulama Malikiyah dan Hujjah Mereka:

1. Ibnu Abdil Barr (W. 463)

ولا يقرأ الجنب ولا الحائض شيئا من القرآن على اختلاف عن مالك وأصحابه في قراءة الحائضوأما الجنب يمكنه الطهر بالماء أو بالصعيد فلا يقرأ حتى يرفع [حدث] الجنابة بأحدهما، وأكثر العلماء على أن الحائض والجنب لا يقرءان شيئا من القرآن ولو قرأت الحائض لصلت، وأما المصحف فلا يمسه أحد قاصدا إليه مباشرا له أو غير مباشر إلا وهو على طهارة

Wanita yang haidh dan junub tidak diperbolehkan membaca sesuatupun dari Al-Qur’an, berbeda dengan pendapat yang diriwayatkan Imam Malik dan Ulama Malikiyah lainnya, yang membedakan keadaan wanita haidh dan orang junub yang memungkinkan untuknya bersuci kapan saja, baik dengan air ataupun dengan tanah.

Dan kebanyakan ulama melarang wanita haidh dan junub membaca sesuatu pun dari Al-Qu’an. Kalau dia membacanya sama hukumnya seperti dia shalat yaitu haram.

Dan dalam menyentuh mushaf, tidak diperkenankan seorang pun menyentuhnya, kecuali dalam keadaan suci. Baik tersentuh secara langsung maupun menggunakan penghalang atau perantara.

Dari apa yang ditulis Abdil Barr, beliau menyatakan Imam Malik dan beberapa ulama Malikiyah yang lainnya berbeda pendapat dengan jumhur ulama yang melarang wanita haidh membaca Al-Qur’an. Namun dari pernyataan diatas beliau termasuk ulama Malikiyah yang melarang wanita haidh membaca ataupun menyentuh mushaf secara mutlak.

2. Ibnu Rusyd (W. 595)

Ibnu Rusyd menegaskan dalam Kitabnya Bidayatul Mujtahid :

فأجازوا للحائض القراءة القليلة استحسانا؛ لطول مقامها حائضا، وهو مذهب مالك9 .

Mereka (Ulama Malikiyah)membolehkan wanita haidh membaca sedikit dari Al-Qur’an dengan dalil Istihsan10, karena lamanya masa haidh. Ini adalah pendapat Imam Malik.

3. Al-Qarafi(w. 684 H)

Al-Qarafidi dalam kitabnyaAdz-Dzakhirah menuliskan sebagai berikut :

الثامن في الطراز يفارق الجنب الحائض في جواز قراءة القرآن ظاهرا ومس المصحف للقراءة على المشهور في الحائض لحاجة التعليم وخوف النسيان11.

Hukum kedelapan: Dalam Kitab Ath-Thiraz : Hukum terhadap wanita haidh dan junub itu tentang kebolehan membaca Al-qur’an ini berbeda, begitu juga menyentuh mushaf. Dalam membaca Al-Qur’an, pendapat yang masyhur dalam madzhab adalah dibolehkan bagi wanita haidh untuk kegiatan mengajar dan dan karena takut lupa membaca Al-Qur’an.

وأما جواز القراءة فلما يروى عن عائشة رضي الله عنها أنها كانت تقرأ القرآن وهي حائض والظاهر اطلاعه عليه السلام وأما المنع فقياسا على الجنب والفرق للأول من وجهين أن الجنابة مكتسبة وزمانها

لا يطول بخلاف الحيض12 .

"Kebolehkan bagi wanita haid membaca Al-Qur’an, berdasarkan riwayat dari Aisyah RA, bahwasannya Aisyah pernah membaca Al-Qur’an dalam keadaan haid, dan itu dengan sepengetahuan Rasulullah.

Adapun larangan membaca Al-Qur’an ini terhadap wanita haidh,karena diqiyaskan hukumnya kepada orang junub berdasarkan pendapat pertama (Jumhur),maka ada perbedaan diantara keduanya dari dua segi, karena junub itu adalah seseuatu yang dikehendaki, sedangkan haidh tidak.Kedua, dari segi waktu, haidh waktunya lama, junub tidak selama haidh."

Berdasarkan pemaparan ulama-ulama besar Malikiyah di atas, dapat disimpulkan bahwa mereka tidak semuanya sepakat tentang kebolehan bagi wanita haidh membaca Al-Qur’an, seperti Ibnu Abdil Barr.

Sehingga penisbatan atas ulama madzhab Maliki yang membolehkan membaca Al-Qur’an perlu disebutkan siapanya, atau dengan menyebutkan bahwa pendapat kebolehan membaca Al-Qur’an bagi wanita haidh ini mengikuti pendapat sebagian ulama Malikiyah.

Dari pendapat-pendapat ulama malikiyah juga dapat disimpulkan, boleh bagi wanita haidh membaca Alquran, tapi kebolehannya tidak bersifat mutlak, tapi ada pengecualian-pengecualian.

3. Madzhab Asy-Syafi’i

Madzhab Syafi’i dalam hal ini, termasuk madzhab yang ketat melarang wanita haidh membaca Alquran.

Berikut pendapat dari para ulama Syafi’iyah terkait hukum wanita haidh membaca Alquran:

1.An-Nawawi (w. 676 H)

Al-Imam An-Nawawi dalam kitabnya Al-Majmu Syarah Al-Muhadzdzab sebagai berikut :

في مذاهب العلماء في قراءة الحائض القرآن قد ذكرنا أنّ مذهبنا المشهور تحريمها ولا ينسى غالبا في هذا القدر ولأنّ خوف النّسيان ينتفي بإمرار القرآن على . 14القلب

"Sebagaimana yang telah kami sebutkan terkait wanita haidh membaca al-Qur’an, pendapat yang masyhur dalam madzhab kami adalah haram bagi wanita haidh membaca Al-Qur’an.

Adapun masa haid yang berlangsung beberapa hari biasanya, tidak akan sampai membuat seseorang lupa pada hafalannya.Kekhawatiran akan hilangnya hafalan Al-Qur’an dapat ditampik dengan menghafal/muraja'ah terus menerus di dalam hati”

2. Zakaria Al-Anshari (w. 926 H)

Zakaria Al-Anshari menuliskan di dalam kitabnya Asna Al-Mathalib Syarah Raudhatu At-Thalib sebagai berikut :

(لم يحلّ وطؤها) ولا غيره من التّمتّع المحرّم والقراءة 15ومسّ المصحف ونحوها

Tidak dihalalkan wanita haidh untuk digauli, begitu juga bercumbu yang diharamkan dengannya , serta melafadzkan Al-Quran dan menyentuhnya.

3.An-Khatib Asy-Syirbini (w. 977 H)

Imam Al-Khatib Asy-Syirbini menuliskan di dalam kitabnya Mughni Al-Muhtaj menyatakan sebagai berikut :

(الْقُرْآنُ) لِمُسْلِمٍ أَيْ وَيَحْرُمُ بِالْجَنَابَةِ الْقُرْآنُ

بِاللَّفْظِوَبِالْإِشَارَةِ مِنْ الْأَخْرَسِ. كَمَا قَالَ الْقَاضِي فِي فَتَاوِيهِ فَإِنَّهَا مُنَزَّلَةٌ مَنْزِلَةَ النُّطْقِ هُنَا، وَلَوْ بَعْضَ آيَةٍ كَحَرْفٍ لِلْإِخْلَالِ بِالتَّعْظِيمِ، سَوَاءٌ أَقَصَدَ مَعَ ذَلِكَ غَيْرَهَا أَمْ لَا، وَلِحَدِيثِ التِّرْمِذِيِّ وَغَيْرِهِ «لَا يَقْرَأُ الْجُنُبُ وَلَا الْحَائِضُ شَيْئًا مِنْ الْقُرْآنِ» (2) وَيَقْرَأُ رُوِيَ بِكَسْرِ الْهَمْزَةِ عَلَى النَّهْيِ وَبِضَمِّهَا عَلَى الْخَبَرِ الْمُرَادِ بِهِ النَّهْيُ ذَكَرَهُ فِي الْمَجْمُوعِ وَضَعَّفَهُ، لَكِنْ لَهُ مُتَابَعَاتٌ تَجْبُرُ ضَعْفَهُ، وَالْحَائِضُ وَالنُّفَسَاءُ فِي ذَلِكَ كَالْجُنُبِ، وَسَيَأْتِي حُكْمُهُمَا فِي بَابِ الْحَيْضِ، وَلِمَنْ بِهِ حَدَثٌ أَكْبَرُ إجْرَاءُ الْقُرْآنِ عَلَى قَلْبِهِ، وَنَظَرٌ فِي الْمُصْحَفِ، وَقِرَاءَةُ مَا نُسِخَتْ تِلَاوَتُهُ، وَتَحْرِيكُ لِسَانِهِ وَهَمْسُهُ بِحَيْثُ لَا يُسْمِعُ نَفْسَهُ؛ لِأَنَّهَا لَيْسَتْ بِقِرَاءَةِ قُرْآنٍ.16

Diharamkan bagi yang sedang junub membaca Al-Qur’an, baik secara lisan ataupun dengan isyarat bagi seseorang yang bisu.

Sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Qadhi Husein dalam fatwa-fatwanya :Isyarat sama kedudukannya seperti melafalkan, meskipun hanya sebagian huruf saja, baik berniat dengan membacanya yang lainnnya (yaitu dzikir atau doa)atau tidak, sama-sama diharamkan.

Karena berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Imam At-Tirmidzi dan yang lainnya berbunyi: “Tidaklah orang yang junub dan haidh membaca sesuatu pun bagi dari Al-Qur’an.”

Wanita haidh dan nifas dalam hal ini sama hukumnya dengan orang yang junub. Maka bagi mereka, hanya beoleh boleh berinteraksi dengan Al-Qur’an bisa dengan membacanya di dalam hati, melihat kepada mushaf, melihat mushaf, membaca ayat-ayat Al-Quran yang sudah dinasakh tulisannya, menggerakkan bibir berkomat-kamit dan berbisik dengan sauranya tidak sampai terdengar oleh dirinya sendiri, maka (sebatas ini dibolehkan) tidak dianggap sebagai membaca Al-Qur’an.

Berdasakan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan, bahwa para ulama Syafi’iyah dalam hal ini sangat berhati-hati, melarang wanita haidh membaca Alquran secara mutlak, baik hanya sebagian ayatnya saja, atau karena tujuan ta’lim, atau membacanya bukan dengan niat membaca, tetap hukumnya sama.

Namun bukan berarti tidak ada cara bagi wanita haidh bisa beriteraksi dengan Al-Qur’an, yang dilarang adalah melafadzkan dengan lisan secara jelas dan terdengar, namun jika membacanya di dalam hati, atau berkomat kamit dengan menggerakkan bibir dan mulut selama tidak terdengar bacaannya, maka masih boleh.

4. Madzhab Hambali

1. Ibnu Qudamah (W. 620 H)

Ibnu Qudamahmenuliskan di dalam kitabnya Al-Mughni:

ولنا: ما روي عن علي، - رضي الله عنه - أن النبي - صلى الله عليه وسلم - لم يكن يحجبه، أو قال: يحجزه، عن قراءة القرآن شيء، ليس الجنابة.رواه أبو داود، والنسائي، والترمذي، وقال: حديث حسن صحيح. وعن ابن عمر، أن النبي - صلى الله عليه وسلم - قال: لا تقرأ الحائض ولا الجنب شيئا من القرآن. رواه أبو داود، والترمذي17

Pendapat kami berdasarkan hadis yang diriwayatkan dari Ali: “Tidaklah Nabi melarang seseorang membaca sesuatu pun dari Al-Qur’an selama dia tidak dalam keadaan junub”. Hadits Hasan Shahih. Dan Dari Ibnu Umar Rasulullah SAW bersabda: "janganlah wanita haidh dan junub membaca sesuatupun dari Al-Qur’an" (HR. Abu Daud dan At-Tirmidzi).

2. Ibnu Taimiyah (W. 782 H)

وَأَمَّا الْحَائِضُ فَحَدَثُهَا دَائِمٌ لَا يُمْكِنُهَا طَهَارَةٌ تَمْنَعُهَا عَنْ الدَّوَامِ فَهِيَ مَعْذُورَةٌ فِي مُكْثِهَا وَنَوْمِهَا وَأَكْلِهَا وَغَيْرِ ذَلِكَ فَلَا تُمْنَعُ مِمَّا يُمْنَعُ مِنْهُ الْجُنُبُ مَعَ حَاجَتِهَا إلَيْهِ وَلِهَذَا كَانَ أَظْهَرُ قَوْلَيْ الْعُلَمَاءِ أَنَّهَا لَا تُمْنَعُ مِنْ قِرَاءَةِ الْقُرْآنِ إذَا احْتَاجَتْ إلَيْهِ كَمَا هُوَ مَذْهَبُ مَالِكٍ وَأَحَدُ الْقَوْلَيْنِ فِي مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ وَيَذْكُرُ رِوَايَةً عَنْ أَحْمَد فَإِنَّهَا مُحْتَاجَةٌ إلَيْهَا وَلَا يُمْكِنُهَا الطَّهَارَةُ كَمَا يُمْكِنُ الْجُنُبَ18

Bagi wanita haidh, hadasnya berkepanjangan, tidka memungkinkan baginya untuk dapat segera bersudi, maka dia dapat dimaklumi…tidaklah dia dibatasi atau dilarang seperti orang yang sedang junub untuk memenuhi hajatnya, oleh karenanya.

Maka pendapat yang lebih jelas bahwasanya tidaklah dilarang wanita haidh membaca Al-Qur’an kalau untuk suatu hajat, sebagaimana pendapat madzhab Maliki, pendapat dari salah satu madzhab Syafi’I dan Ahmad, karena dia sednag berhajat sementara dia tidak dapat bersuci seperti orang yang sedang junub.

Ibnu Taimiyah terkait hukum wanita haidh membaca Al-Qur’an berbeda dengan pendapat dari mayoritas ulama Hanabillah, sebagaimana yang dikatakan Ibnu Qudamah.

Ibnu Taimiyah, beliau cenderung kepada pendapat dari Imam Malik, yang membolehkan untuk kondisi dan kadar tertentu kalau memang yang demikian merupakan suatu hajat atau keperluan.

Tulisan ini dikutip dari buku Membaca Al-Qur’an Saat Haidh, Bolehkah? yang ditulis oleh Isnawati,Lc., MA, terbitan Rumah Fiqih Publishing, Cetakan Pertama
15 Desember 2018

Menurut Imam Syafi i apakah boleh membaca Alquran saat haid?

Mazhab Syafi'i Dalam mazhab ini seorang wanita haid diharamkan membaca al-Quran walaupun hanya sebagian ayat, baik itu menggabungkan niat berdzikir dan membaca al-Quran ataupun hanya untuk membaca Al-Quran saja. hal ini ditujukan agar manusia lebih menghormati dan mengagungkan al-Quran.

Apakah boleh menyentuh Alquran tanpa wudhu?

"Dalam kitab (At-Tibyaan fii Aadaabi Hamalatil Quran), semua ulama sepakat dalam konteks orang tidak punya wudhu, itu masih dibolehkan menyentuh. Misalnya mushaf atau membaca," kata UAH dalam siaran Youtube dari Dakwah Sunnah dan dikutip detikEdu, Rabu (17/11/2021).

Siapakah yang tidak boleh menyentuh mushaf Alquran?

Ingat, tidak boleh menyentuh Al-Qur'an kecuali orang yang suci. Jadi dalam keadaan berwudhu barulah mushaf Al-Qur'an boleh disentuh. “Tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan.” (QS. Al-Waqi'ah: 79).

Apa yang dimaksud dengan menyentuh mushaf?

Menyentuh mushaf menurut mayoritas ulama adalah menyentuhnya dengan bagian dalam telapak tangan maupun bagian tubuh lainnya.

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA