Di bawah ini ibadah yang dituntut harus selalu dalam keadaan suci sebelum melaksanakan adalah

Di bawah ini ibadah yang dituntut harus selalu dalam keadaan suci sebelum melaksanakan adalah
Muhammad Iqbal, Lc., M.H.I Dosen FUAD IAIN Kendari Dalam kondisi terjadinya pandemik covid-19, tenaga medis baik dokter, perawat, maupun penyuluh adalah kelompok yang paling rentan terkena wabah. Ini  karena posisi mereka berada di garda terdepan dalam penanganan pasien. Pemerintah DKI Jakarta mengumumkan bahwa sudah terdapat 50 tenaga medis yang terpapar virus Corona. Bahkan, berdasarkan informasi yang diunggah di akun instagram @ikatandokterindonesia hingga saat ini  diketahui 10 dokter telah meninggal dunia.  Ada yang terpapar virus Corona  dan ada pula akibat  kelelahan. Belum lagi, persoalan alat pelindung diri (APD) yang membatasi gerak-gerik mereka. Data ini menunjukkan bahwa petugas medis seharusnya  diperlakukan berbeda dengan orang lain, termasuk  dalam hal peribadatan. Dari kondisi yang menyulitkan ini, Islam hadir untuk memberikan keringanan dalam ibadah ritual mereka. Dalam kitab al-Jami’ al-Shahih yang dikenal dengan shahih al-Bukhari (7/106), terdapat sebuah hadis yang bercerita tentang beberapa Sahabat Nabi saw yang ditugaskan untuk mencari kalung hilang Sayyidah ‘Aisyah yang dipinjam dari Asma’.  Kemudian, Rasulullah memerintahkan para sahabatnya untuk mencari kalung tersebut.  Setelah lama mencari, akhirnya mereka menemukannya. Namun, saat itu waktu salat hampir habis, sementara tidak ada air untuk berwudhu dan belum ada ayat perintah untuk melakukan tayamum. Akhirnya, mereka tetap salat tanpa bersuci dan kemudian melaporkan kejadian tersebut kepada Rasulullah.  Nabi pun merespon kejadian tersebut dengan tidak menyalahkan salat para Sahabat dan tidak pula menyuruh mereka mengulangi salat. Inilah kisah yang menjadi penyebab turunnya (asbābun nuzūl) ayat perintah untuk melakukan tayammum [QS. Al-Maidah ayat 6]. Berdasarkan hadis ini, para ulama Fiqih kemudian membuat iftiradhī atau kemungkinan dan gambara-gambaran yang serupa dengan hadits ini. Mereka pun membuat beberapa contoh orang yang termasuk dalam kategori Fāqidu ath-Thahūrain atau Hilangnya dua media bersuci berupa air dan tanah. Fāqidu ath- Thahūrain itu bukan hanya seseorang  yang tidak bisa bersuci dengan air dan tanah, tetapi juga posisi bersuci atau thahārah termasuk syarat sah salat. Sehingga, Siapapun Muslim yang ketika masuk waktu salat,  namun beberapa syarat sah salat tidak terpenuhi,  seperti menghadap kiblat,  suci dari hadas,  suci tubuh, pakaian dan tempat dari najis, dan menutup aurat, termasuk kategori Fāqidu ath- Thahūrain. Orang-orang yang masuk ke golongan ini adalah orang yang dipenjara, orang dipasung yang tidak bisa bergerak, apalagi tayamum dan berwudhu, orang sakit yang sekujur tubuhnya dijejali selang infus atau sejenisnya yang jika dilepas dapat membahayakan keselamatan dirinya, orang yang berkendara di pesawat yang  tidak memungkinkan untuk bersuci, atau orang yang hendak salat, tetapi ruangan salat tidak memadai sehingga  tidak bisa rukuk dan sujud secara sempurna. Persoalannya adalah  bagaimana Hukum Salat Fāqidu ath- Thahūrain? Bagaimana pendapat para ulama mazhab dalam kondisi seperti ini? Apakah wajib salat atau tidak? kalaupun tetap salat, apakah harus diulang untuk menggugurkan kewajiban?  Dalam hal ini, para ulama berbeda pendapat. Pertama, Mazhab Hanafi berpendapat bahwa orang-orang yang tergolong Fāqidu ath-Thahūrain tidak wajib salat, tapi wajib qadha (mengganti). Dalil mereka bahwa syarat sah itu adalah bersuci (thaharah). Jika tidak suci, salatnya menjadi tidak sah. Namun kewajiban salatnya tidak  gugur karena tidak  bersuci, sehingga menurut mereka tetap harus melaksanakan salat meskipun statusnya qadha. Kedua, Mazhab Maliki berpendapat bahwa  orang-orang yang tergolong Fāqidu ath-Thahūrain tidak wajib salat dan  tidak pula wajib qadha. Berbeda dengan mazhab sebelumnya, Imam Malik  justru tidak mewajibkan salat dan tidak perlu diqadha (diganti). Dalilnya adalah keadaan tidak suci tidak termasuk syarat sah salat, tetapi syarat wajib. Sehingga  ketika syarat wajib tidak terpenuhi, kewajibanpun tidak ada. Ketiga, Mazhab Syafi’i berpendapat bahwa wajib salat dan wajib qadha. Mazhab inilah yang memperkenalkan istilah shalat lihurmatil waqt (untuk menghormati waktu salat). Mazhab ini mewajibkan orang-orang yang tergolong Fāqidu ath-Thahūrain untuk tetap salat dengan kondisi semampunya dan wajib diqadha dalam kondisi normal. Alasan mereka karena kondisi seperti ini tidak dapat dijadikan alasan untuk tidak melaksanakan salat dan tetap diharuskan qadha karena shalat lihurmatil waqt tetap dihukumi tidak sah secara hukum karena syarat sah salat tidak terpenuhi. Keempat Mazhab Hanbali berpendapat bahwa  wajib salat dan  tidak wajib qadha.  mazhab Hanbali  mewajibkan salat  dalam keadaan fāqidu ath-thahūrain  berdasarkan dalil al-Quran surah At-Tagabun Ayat 16 “Bertaqwalah kepada Allah menurut kesanggupanmu”. Dan tidak perlu mengganti salat setelah kondisi normal. Alasannya adalah karena kewajibannya telah gugur, berbeda dengan mazhab Syafi’i yang tetap mewajibkan pengulangan. Jika kita mencoba menelisik genealogi transformasi hukum orang-orang yang tergolong Fāqidu ath-Thahūrain mulai dari kondisi ketika ayat tayammum belum turun dan setelah turunnya, ada semacam pergeseran hukum yang lahir  karena perbedaan kondisi dan konteks. Dalam penerapan produk Fiqhi, hal  ini menjadi lumrah. Dalam kondisi pandemik covid-19, MUI mengeluarkan fatwa yang membedakan kondisi Fāqidu ath-Thahūrain dan pakaian yang terkena najis. Mayoritas ulama memasukkan kategori suci hadas dan najis ke dalam syarat sah salat. Di dalam fatwa MUI tentang pedoman salat tenaga kesehatan yang memakai alat pelindung diri (APD) saat menangani pasien Covid-19 bahwa dalam kondisi hadas dan tidak mungkin bersuci, seperti wudhu atau tayamum, ia boleh melaksanakan salat dalam kondisi tidak suci dan tidak perlu mengulangi salatnya (point 8). Dan dalam kondisi APD yang dipakai terkena najis dan tidak memungkinkan untuk dilepas atau disucikan, ia boleh melaksanakan salat dalam kondisi tidak suci dan mengulangi salat (i’adah) setelah bertugas (poin 9). Fatwa yang dikeluarkan MUI ini membedakan kondisi hadas dan kondisi pakaian yang terkena najis. Dalam kondisi hadas [poin 8], MUI mengikuti pendapat yang terkuat dalilnya menurut an-Nawawi, sebagaimana yang beliau kemukakan sendiri dalam syarh shahih muslim [Juz 2, h.103], yakni salatnya tidak perlu diulang. Sedangkan kondisi pakaian terkena najis [poin 9], MUI mengikuti pendapat mayoritas dalam mazhab Syafi’i yaitu salatnya harus diulang usai bertugas atau dalam kondisi normal.

Hal ini berarti bahwa  pelaksanaan  ibadah ritual dalam Islam selalu memiliki sisi toleransi dan untuk itu, janganlah terlalu memperdebatkan persoalan hukum. Penerapan hukum Islam tidak selamanya berorientasi pada hal-hal yang ideal, tetapi selalu ada beberapa pertimbangan khusus yang mengakibatkan terjadinya  keringanan, seperti dalam kondisi penyebaran penyakit SARS-CoV-2. Bahkan, kebutuhan sekunder terkadang dikategorikan sebagai kebutuhan primer. Ini bertujuan  untuk memudahkan umat melaksanakan perintah agama dan mencegah bahaya yang ditimbulkan. Berbagai kondisi yang menunjukkan situasi umum balwa (musibah umum yang sulit terhindarkan)  berdampak pada perubahan hukum yang pada akhirnya dapat ditolerir dan dimaafkan. Keadaan berat dan sulit pun atau masyaqqah dan haraj mempunyai otoritas yang besar terhadap transformasi produk hukum fiqhi. Wallahu A’lam.

Reporter : Ahmad Baiquni

Wajib hukumnya berwudhu atau mandi sebelum sholat, jika kita sedang dalam keadaan tidak suci.

Dream - Sholat mensyaratkan umat Islam dalam keadaan suci. Jika fisik terkena najis atau sedang berhadas besar, kita terlarang melaksanakan sholat.

Kita diwajibkan untuk membersihkan diri lebih dulu baik dengan wudhu ataupun mandi. Ini agar tubuh kita terbebas dari segala kotoran.

Surah yang Dibaca Rutin KH Quraish Shihab dan Diajarkan Pada Anak Cucunya

Kebersihan merupakan ajaran yang sangat ditonjolkan dalam Islam. Bahkan kesucian dianggap sebagai pangkal ibadah.

Sejumlah dalil mengenai hal ini seperti firman Allah SWT dalam Surat Al Maidah ayat 6.

Hai orang-orang yang beriman, ketika kalian akan melaksanakan sholat, basuhlah wajah kalian...

Di bawah ini ibadah yang dituntut harus selalu dalam keadaan suci sebelum melaksanakan adalah
© Dream

Juga sabda Rasulullah Muhammad SAW.

Kuncinya sholat adalah suci.

Lantas mengapa kita wajib suci?

Dikutip dari rubrik Ubudiyah Nahdlatul Ulama, ternyata terkandung sejumlah makna di balik wajibnya kita suci ketika sholat. Pertama, malaikat tidak tertarik melihat ada hamba Allah SWT yang berpakaian kotor.

Kedua, baunya pakaian kotor akan mengganggu jemaah lain. Ini mengingat sholat jemaah sangat dianjurkan, sehingga tak baik jika membuat orang lain tidak nyaman.

Ketiga, ada dua sisi kepribadian pada manusia, yaitu hayawan dan malaikat. Ketika berhubungan intim, maka sisi hayawan sedang mendominasi diri manusia mengalahkan sisi malaikat.

Untuk memulihkannya, seseorang harus mandi jinabat. Selain itu, wudhu dan mandi dapat menumbuhkan semangat baru serta mengusir kemalasan.

Selengkapnya...

Waktu masih anak-anak, barangkali masih teringat bahwa kita seringkali mendendangkan lagu rukun Islam ini:

Rukun Islam yang 5.. Mengucapkan dua kalimat syahadat.. Sembahyang sholat wajib dikerjakan.. Ibadah puasa bila Ramadhan tiba.. Bagi yang kaya membayarkan zakatnya..

Bila datang panggilan tanah suci, menunaikan tugas ibadah haji..

Rukun Islam wajib diamalkan oleh setiap orang yang beragama Islam sehingga hal tersebut dapat dijadikan tanda atau tolak ukur keislaman seseorang. Rukun Islam sebagai dasar ilmu agama Islam, telah diajarkan semenjak dini agar umat muslim lebih memahami dan dapat menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Rukun Islam merupakan landasan atau fondasi bagi umat Islam yang harus selalu diamalkan agar imannya senantiasa terjaga selama kehidupannya.

Dalam pelaksanaan rukun Islam, ada beberapa syarat tertentu sehingga dapat menjadikannya wajib, sunah atau tidak wajib melakukannya jika tidak memenuhi syarat-syaratnya.

Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,

“Islam dibangun di atas lima perkara, yaitu syahadat laa ilaaha illallah dan Muhammadan Rasulullah, menegakkan salat, menunaikan zakat, haji dan puasa Ramadhan”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Berikut ini akan dijelaskan secara singkat mengenai masing-masing rukun Islam tersebut.

1. Dua Kalimat Syahadat

Dua kalimat syahadat diucapkan oleh seorang muslim sebagai bukti keyakinannya dalam memeluk agama Islam dan ikhlas dalam menjalani syariat yang diwajibkan.

Lafaz dua kalimat syahadat adalah:

“Asyhadu an-laa ilaaha illallaah Wa asyhadu anna Muhammadan rasuulullaah.”

Artinya:

“Saya bersaksi tiada Tuhan Yang berhak disembah Selain Allah dan saya bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah.”

Dengan melafazkan dua kalimat syahadat tersebut, seseorang meyakini bahwa Allah Ta’ala adalah satu-satunya Tuhan yang berhak dan wajib disembah serta Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah utusan-Nya.

Seorang Muslim harus meyakini Nabi Muhammad bukan Tuhan untuk disembah, melainkan utusan Allah Ta’ala di dunia untuk menyampaikan risalah Islam.

2. Salat

Salat wajib dikerjakan sesuai waktu yang telah ditetapkan, mulai salat subuh yang dibatasi sampai terbitnya matahari hingga salat isya pada malam hari.

Dari Aisyah -radhiallahu ‘anha- istri Nabi -shallallahu alaihi wasallam- beliau bersabda:

“Pertama yang diwajibkan shalat kepada Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- adalah dua rakaat dua rakaat kecuali Maghrib yaitu 3 rakaat. Kemudian Allah menyempurnakan (jumlah rakaat) Dzhuhur, Ashar, dan Isya’ 4 rakaat dalam kondisi hadir (tidak safar) dan ditetapkan shalat di waktu safar sebagaimana kewajiban awal (2 rakaat)” (H.R Ahmad)

3. Puasa

Rukun Islam yang ketiga adalah menjalankan ibadah puasa wajib pada bulan Ramadhan. Puasa artinya adalah menahan diri dari makan, minum, hubungan suami istri, dan segala hal yang membatalkannya yang dimulai dari terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari. Di antara hikmah puasa pada hakikatnya adalah melatih diri kita untuk melawan segala hawa nafsu seperti makan berlebihan, amarah, dan syahwat.

4. Zakat

Zakat dalam Islam ada 2 macam, yaitu zakat fitrah  (makanan pokok) dan zakat  mal  (harta yang mencapai nisob dan haul). Zakat fitrah dibayarkan selama bulan Ramadan dan sebelum memasuki Hari Raya Idulfitri. Sedangkan zakat mal dibayarkan satu kali dalam satu tahun yaitu dari harta/kekayaan/pendapatan yang disimpan selama satu tahun dan memenuhi nisob setara dengan 85gram emas. Zakat ini sangat bermanfaat dalam membantu orang yang kurang mampu dan kurang beruntung sehingga mereka dapat terbantu dalam memenuhi kehidupannya. Ada 8 golongan yang berhak menerima zakat, sebagaimana firman Allah:

إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ  (التوبة: 60

“Sesungguhnya, zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mualaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah, dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah.” (Qs. At-Taubah:60)

Ayat tersebut menjelaskan bahwa 8 golongan tersebut adalah:

  1. Fakir
  2. Miskin
  3. Orang yang mengurusi zakat
  4. Mualaf
  5. Pembebasan budak
  6. Orang yang terlilit utang
  7. Orang yang berjuang di jalan Allah
  8. Orang yang kehabisan bekal dalam perjalanan

5. Haji

Menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci dilakukan setiap bulan haji atau bulan Zulhijah. Ibadah haji merupakan kewajiban umat muslim apabila ia mampu dari segi fisik dan biaya. Ibadah haji  wajib bagi orang yang mampu karena perjalanan ke Tanah Suci membutuhkan banyak persiapan yang memerlukan biaya banyak serta membutuhkan kesiapan fisik serta kesiapan batin bagi yang akan menjalaninya.

Demikian sekilas tentang rukun Islam, semoga menjadi pengingat kembali bagi kita serta menjadi penguat iman kita. Aamiin.

Penulis: Asti Maharti Niken Sari, Ahmad Fathan Hidayatullah

Jurusan Informatika UII menerima kiriman artikel untuk ditampilkan pada Pojok Informatika dan Pojok Dakwah. Ketentuan dan prosedur pengiriman dapat dilihat pada laman berikut.