Bolehkah Guru menerima hadiah dari wali murid?

DIASUH OLEH USTAZ DR ONI SAHRONI; Anggota Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia

Assalamualaikum wr wb.

Biasanya pada akhir tahun ajaran sekolah, pada saat pengambilan rapor, banyak orang tua (wali murid) berinisiatif memberikan hadiah kepada wali kelas atau guru. Apakah wali murid boleh memberikan hadiah kepada guru? Apakah hadiah tersebut termasuk ghulul yang dilarang dalam hadis? Mohon penjelasan, Ustaz. -- Fauzi, Depok 

Waalaikumussalam wr wb.

Wali murid boleh berbagi hadiah kepada guru saat diberikan setelah penilaian, guru tetap objektif, dan sebagai bentuk ihsan atau apresiasi wali murid kepada guru. Lebih baik lagi jika dikoordinasikan dan diberikan kepada lembaga untuk seluruh pihak yang ikut serta mendidik. 

Hal itu didasarkan pada manath atau ’illat dari hadis Abu Humaid dan hadis Ibnu Luthbiyah. Terlebih, sudah menjadi kelaziman ketika hadiah tersebut diberikan setelah penilaian dengan besaran yang standar dan tidak besar yang pada umumnya diberikan sebagai bentuk ihsan atau apresiasi wali murid kepada guru.

Lebih detailnya bisa dijelaskan sebagai berikut. Saat ada kenaikan kelas, sebagian wali murid memberikan hadiah secara langsung kepada guru atau mengoordinasikan penghimpunan dana terbuka kepada para wali kelas yang akan dibelikan barang tertentu sebagai apresiasi para orang tua atas jasanya membimbing anak-anak mereka.

Sesungguhnya, ada perbedaan pendapat di antara para ahli fikih. Ada yang membolehkan dan ada yang tidak membolehkan (khilaf).

Pendapat pertama, tidak boleh memberikan hadiah apa pun kepada guru karena termasuk ghulul atau suap sebagaimana hadis dari Abu Humaid as-Sa’idi bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Hadiah bagi pejabat (pegawai) adalah ghulul (khianat)” (HR Ahmad).

Hadis ini dhaif sebagaimana dijelaskan dalam Musnad Ahmad dalam hadis Abi Humaid as-Sa’idi Nomor 23601 dan dijelaskan oleh asy-Syaukani bahwa karena dalam sanadnya ada Ismail bin Abbas (Nail al-Authar/2710). Namun, hadis tersebut disahihkan oleh Syekh Albani (Shahih al-Jami’ ash-Shagir wa Ziyadatuhu halaman 1.111).

Walaupun demikian, makna hadis tersebut dikuatkan dengan hadis lain yang sahih sehingga praktis substansi larangan memberikan hadiah kepada pegawai/pejabat itu ghulul (terlarang) menjadi sahih. Di antara hadis sahih tersebut adalah, “... Ada seorang petugas yang aku tugaskan memungut zakat. Dia berkata, ‘Zakat ini yang kuberikan (setorkan) kepada Anda, dan ini pemberian orang kepadaku.’ Mengapa dia tidak duduk saja di rumah ibu-bapaknya menunggu orang mengantarkan hadiah kepadanya? ....” (HR Muslim/Sahih Muslim dalam kitab al-Imarah, bab Tahrim Hadaya al-‘Ummal, Nomor 1832).

Asy-Syaukani mengatakan, “Hadis tersebut menjelaskan larangan memberikan kepada amil melebihi haknya, baik bersumber dari sedekah yang diambil dari para pelaku usaha atau yang diberikan atas dasar hadiah atau risywah” (Nail al-Authar/2711).

Hadiah yang diberikan oleh pihak yang memiliki kepentingan kepada pihak lain (seperti hadiah kepada pejabat sebagaimana dalam hadis pertama atau hadiah kepada petugas yang menghimpun zakat sebagaimana dalam hadis kedua) itu tidak dibolehkan karena bagian dari ghulul. Oleh karena itu, ghulul dikategorikan suap, yaitu memberikan hadiah (yang memiliki kepentingan) berharap mendapatkan yang bukan haknya (lihat al-Mausu’ah al-Fiqhiyah/27935).

Dalam konteks hadiah wali murid kepada guru, hadiah tersebut tidak dibolehkan karena termasuk ghulul/suap, memicu sikap wara’ (di mana guru bisa tidak objektif dalam menilai), serta dapat menyebabkan yang lain terpaksa memberikan hadiah (Dar al-Ifta al-Mishriyah).

Pendapat kedua, boleh memberikan hadiah dalam kondisi tertentu berdasarkan kedua hadis tersebut, tetapi dengan memaknai kedua hadis tersebut sesuai manath atau ’illat-nya. Praktisnya, hadiah dibolehkan selama tidak membuat guru pilih kasih (muhaabah) dalam memberikan nilai.

Selanjutnya, para pihak terkait, baik sekolah/lembaga pendidikan maupun wali murid, lebih paham untuk melakukan pilihan (muwazanah) mengenai kemungkinan pemberian hadiah akan membuat guru menjadi tidak objektif atau tidak profesional. Wallahualam. Baca Selengkapnya';

BOLEHKAH SEORANG GURU MENERIMA HADIAH DARI MURIDNYA?

Pertanyaan: Bolehkah seorang guru menerima hadiah dari murid-muridnya? Jika tidak boleh, bagaimana bila hadiah itu diberikan setelah selesai tahun ajaran dan setelah hasil belajar (rapor) diserahkan? Kalau tidak boleh juga, bagaimana dengan hadiah yang diberikan oleh murid setamatnya dia dari sekolah tersebut atau ingin pindah ke sekolah yang lain?

Jawab:

Kata Samahatusy Syaikh Ibnu Baz rahimahullah, seorang guru semestinya tidak menerima hadiah-hadiah dari murid/wali muridnya. Alasannya, hadiah tersebut terkadang menyeretnya untuk berbuat tidak adil dan tidak mau memberi perhatian lebih kepada murid yang tidak memberi hadiah, sementara murid yang memberi hadiah kemudian diberi perhatian istimewa. Selain itu, si guru juga terdorong berlaku curang. Yang wajib, seorang guru tidak menerima hadiah dari murid-muridnya karena hadiah itu terkadang mengantarkan kepada akibat yang tidak terpuji. Seorang mukmin dan mukminah seharusnya menjaga agamanya dan menjauhi sebab-sebab yang mengundang keraguan, tuduhan, dan mudarat.

Adapun jika hadiah itu diberikan oleh si murid setelah ia pindah ke sekolah yang lain, tidak menjadi masalah bagi guru untuk menerimanya karena ketika itu keraguan/tuduhan telah berakhir dan aman dari mudarat. Demikian pula, jika hadiah diberikan setelah selesai dari suatu pekerjaan atau setelah pensiun, tidak apa-apa diterima. (Pertanyaan diajukan kepada Syaikh Ibnu Baz rahimahullah dalam acara radio Nurun ‘alad Darb, dikutip dalam Majmu’ Fatawa wa Rasail Mutanawwi’ah, 20/63—64)

————————————————–

Sumber : Majalah Asy Syariah

© 1444 / 2022 Forum Salafy Indonesia. All Rights Reserved.

Apakah guru boleh menerima hadiah dari wali murid?

Menurut pendapat banyak ulama, menerima hadiah dari wali murid diberikan kepada guru hukumnya adalah haram.

Kenapa guru tidak boleh menerima hadiah?

Guru tidak seharusnya menerima hadiah dari pihak-pihak yang dilayaninya. "Kenapa pemberian ini dilarang, pertama karena guru sudah digaji oleh negara untuk mengajar. Kedua, kalau yang dikasih hadiah hanya wali kelas saja, itu tidak adil.

Bagaimana hukum memberikan hadiah?

Hukum hadiah adalah Mubah, artinya boleh saja dilakukan atau boleh ditinggalkan. Sabda Rasulullah saw.

Apa yang dimaksud dengan hadiah dalam Islam?

Sedangkan menurut istilah, dalam madzhab syafii, hadiah didefinisikan sebagai pemberian suatu benda tanpa adanya imbalan, yang disertai dengan memindahkan barang tersebut ke penerima hadiah sebagai bentuk penghormatan.