Berikut ini yang termasuk tradisi umat islam di madura adalah

Surel :

Alamat Kantor :

Kompleks Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Jalan Jenderal Sudirman, Senayan Jakarta Pusat 10270

Tradisi Islam di Nusantara ini begitu lekat dengan sejarah Indonesia

Banyak tradisi Islam di Nusantara yang tersebar di seluruh pelosok Indonesia. Sebab, pendekatan awal Islam di Indonesia adalah beriringan dengan tradisi yang ada agar bisa lebih diterima oleh masyarakat secara luas.

Ad-Dhuha Jurnal Pendidikan Bahasa Arab dan Budaya Islam mencatat bahwa tradisi Islam di Nusantara merupakan jejak peninggalan para wali yang mampu mengakulturasikan tradisi sebelum Islam.

Baca Juga: Tak Cuma di Indonesia, 3 Negara Ini Punya Tradisi Seputar Ari-ari Bayi

Tradisi Islam di Nusantara

Berikut ini yang termasuk tradisi umat islam di madura adalah

Foto: ucapan mohon maaf untuk lebaran.jpg (bewakoof.com)

Foto: Orami Photo Stock

Tradisi adalah kebiasaan atau adat istiadat yang dilakukan turun temurun oleh masyarakat. Sebelum Islam datang, masyarakat Indonesia sudah mengenal berbagai kepercayaan dan memiliki beragam tradisi lokal.

Hadirnya Islam turut berbaur dengan tradisi tersebut hingga tercipta beberapa tradisi Islam di Nusantara. Ini digunakan sebagai metode dakwah para ulama zaman itu dengn tidak memusnahkan secara total tradisi yang telah ada di masyarakat.

Seni budaya, adat, dan tradisi yang bernapaskan Islam tumbuh dan berkembang di Nusantara yang sangat bermanfaat bagi penyebaran Islam di Nusantara. Para ulama dan wali pada zaman dahulu tentu telah mempertimbangkan tradisi-tradisi tersebut dengan sangat matang, baik dari segi madharat mafsadat maupun halal-haramnya.

Banyak sekali tradisi Islam di Nusantara yang berkembang hingga saat ini. Semuanya mencerminkan kekhasan daerah atau tempat masing-masing. Berikut ini adalah beberapa tradisi Islam di Nusantara

1. Tradisi Halal Bihalal

Ini dilakukan pada Bulan Syawal yang berupa acara saling bermaaf-maafan. Setelah umat Islam selesai puasa Ramadhan sebulan penuh, maka dosa-dosanya telah diampuni oleh Allah SWT.

Namun, dosa kepada sesama manusia belum akan diampuni jika belum mendapat kehalalan atau dimaafkan oleh orang tersebut.

Oleh karena itu tradisi halal bihalal dilakukan dalam rangka saling memaafkan atas dosa dan kesalahan yang pernah dilakukan agar kembali kepada fitrah (kesucian). Tujuan halal bihalal selain saling bermaafan adalah untuk menjalin tali silaturahim dan mempererat tali persaudaraan.

Halal bihalal sebagai sebuah tradisi Islam di Nusantara lahir dari sebuah proses sejarah. Ini dibuat untuk membangun hubungan yang harmonis (silaturahim) antar umat untuk berkumpul, saling berinteraksi dan saling bertukar informasi.

2. Tradisi Kupatan (Bakdo Kupat)

Di Pulau Jawa bahkan sudah berkembang ke daerah-daerah lain terdapat tradisi kupatan. Tradisi membuat kupat ini biasanya dilakukan seminggu setelah hari raya Idulfitri.

Biasanya, masyarakat akan berkumpul di suatu tempat seperti mushala dan masjid untuk mengadakan selamatan dengan hidangan yang didominasi kupat (ketupat). Kupat merupakan makanan yang terbuat dari beras dan dibungkus anyaman (longsong) dari janur kuning atau daun kelapa yang masih muda.

Sampai saat ini ketupat menjadi maskot Hari Raya Idul Fitri karena sebagai makanan khas lebaran. Oleh para Wali, tradisi membuat kupat itu dijadikan sebagai sarana untuk syiar agama.

Oleh sebagian besar masyarakat, kupat juga menjadi singkatan atau di-jarwo dhosok-kan menjadi rangkaian kata yang sesuai dengan momennya yaitu Lebaran. Kupat adalah singkatan dari ngaku lepat (mengakui kesalahan) dan menjadi simbol untuk saling memaafkan.

Baca Juga: 5 Tradisi Menyusui dari Berbagai Negara di Dunia

3. Tradisi Sekaten di Surakarta dan Yogyakarta

Tradisi Sekaten dilaksanakan setiap tahun di Keraton Surakarta Jawa Tengah dan Keraton Yogyakarta. Tradisi ini dilestarikan sebagai wujud mengenang jasa-jasa para Walisongo yang telah berhasil menyebarkan Islam di tanah Jawa.

Peringatan yang lazim dinamai Maulud Nabi itu oleh para wali disebut Sekaten, yang berasal dari kata Syahadatain (dua kalimat Syahadat). Tradisi ini sebagai sarana penyebaran agama Islam yang pada mulanya dilakukan oleh Sunan Bonang.

Dahulu setiap Sunan Bonang membunyikan gamelan diselingi dengan lagu-lagu yang berisi ajaran agama Islam serta setiap pergantian pukulan gamelan diselingi dengan membaca syahadatain. Jadi, Sekaten diadakan untuk melestarikan tradisi para wali dalam memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW.

4. Tradisi Grebeg

Tradisi untuk mengiringi para raja atau pembesar kerajaan. Grebeg pertama kali diselenggarakan oleh keraton Yogyakarta oleh Sultan Hamengkubuwono ke-1. Grebeg dilaksanakan saat Sultan memiliki hajat dalem berupa menikahkan putra mahkotanya.

Grebek di Yogyakarta di selenggarakan 3 tahun sekali yaitu: Pertama grebek pasa-syawal diadakan setiap tanggal 1 Syawal bertujuan untuk menghormati Bulan Ramadhan dan Lailatul Qadr. Kedua grebeg besar, diadakan setiap tanggal 10 dzulhijjah untuk merayakan hari raya kurban.

Ketiga grebeg maulud setiap tanggal 12 Rabiul awwal untuk memperingati hari Maulid Nabi Muhammad SAW. Selain kota Yogyakarta yang menyelenggarakan pesta grebeg adalah kota Solo, Cirebon dan Demak.

5. Tradisi Grebeg Besar di Demak

Tradisi Grebeg Besar merupakan upacara tradisional yang setiap tahun dilaksanakan di Kabupaten Demak Jawa Tengah. Tradisi ini dilaksanakan pada tanggal 10 Dzulhijjah bertepatan dengan datangnya Hari Raya Idul Adha atau Idul Kurban.

Tradisi ini cukup menarik karena Demak merupakan pusat perjuangan Walisongo dalam dakwah. Pada awalnya Grebeg Besar dilakukan tanggal 10 Dzulhijjah tahun 1428 Caka dan dimaksudkan sekaligus untuk memperingati genap 40 hari peresmian penyempurnaan Masjid Agung Demak.

Baca Juga: 9 Tradisi Pernikahan Berbagai Negara yang Aneh dan 'Menyebalkan'

Tradisi Islam di Nusantara saat Syawal

Berikut ini yang termasuk tradisi umat islam di madura adalah

Foto: grebeg gunungan.jpeg (visitingjogja.com)

Foto: Orami Photo Stock

Sebagai negara kepulauan yang memiliki banyak suku, etnis, dan kepercayaan, tidak heran bahwa Indonesia memiliki beragam tradisi. Salah satunya adalah tradisi Islam di Nusantara khususnya yang terjadi saat bulan Syawal. Beberapa di antaranya yakni:

5. Sesaji Rewanda, Semarang

Ini dilakukan sebagai bentuk rasa syukur atas rezeki yang diberikan oleh Allah SWT, serta mengenang napak tilas perjuangan Sunan Kalijaga untuk membangun Masjid Demak. Tradisi bulan Syawal di Indonesia ini biasanya diadakan pada hari ketiga setelah Idul Fitri.

Warga akan membawa gunungan yang berisi sego kethek (nasi monyet), buah-buahan, hasil bumi, lepet, dan ketupat dari Kampung Kandri ke Goa Kreo. Replika kayu jati tiang Masjid Demak juga akan diarak dalam acara ini. Ratusan penari dan pemusik tradisional pun akan memeriahkan acara ini.

6. Njimbungan, Klaten

Tradisi Islam di Nusantara pada bulan Syawal di Indonesia berikutnya ada di daerah Klaten. Para warga lebih mengenal acara ini sebagai acara Njimbungan. Yakni berupa arak-arakan gunungan ketupat dan hasil bumi di Bukit Sidogora, Krakitan Bayat, Klaten.

Nantinya, gunungan ketupat dan hasil bumi ini akan dibagikan ke seluruh peserta yang mengikuti acara ini. Walaupun terlihat ricuh saat prosesi pembagian ini, sebenarnya ritual ini tetap berlangsung dengan aman. Tradisi ini peninggalan Keraton Surakarta yang digelar enam hari setelah Lebaran.

7. Grebeg Syawal, Yogyakarta

Grebeg Syawal Yogyakarta dilaksanakan pada hari pertama bulan Syawal tepatnya saat lebaran berlangsung atau setelah salat Id. Tradisi ini merupakan wujud kedermawanan sultan kepada rakyat Yogyakarta.

Pada Grebeg Syawal ini, gunungan hasil bumi akan diarak dari Keraton Yogyakarta menuju Masjid Agung Kauman. Setelah itu, gunungan tersebut akan jadi rebutan warga. Mereka percaya, aneka hasil bumi di gunungan tersebut mampu membawa keberuntungan karena telah didoakan saat ritual berlangsung.

8. Syawalan, Pekalongan

Berbeda dengan yang daerah lain yang menyediakan gunungan hasil bumi, daerah Pekalongan justru menghadirkan lopis raksasa. Tradisi bernama Syawalan ini dilakukan di daerah Krapyak.

Alasan dipilihnya lopis adalah karena makanan berbahan beras ketan ini dapat menjadi simbol persatuan yang erat. Nantinya, lopis tersebut akan dipotong-potong untuk kemudian dibagikan ke seluruh warga Pekalongan.

Beberapa tradisi Islam di Nusantara tersebut masih ada hingga kini dan dilestarikan juga oleh masyarakat sebagai bagian dari kebudayaan dan juga keislaman yang harus terjaga.

  • https://online-journal.unja.ac.id/Ad-Dhuha/article/view/9727
  • https://www.bacaanmadani.com/2018/02/10-contoh-tradisi-islam-di-nusantara.html
  • https://blog.reservasi.com/5-tradisi-bulan-syawal-di-indonesia-yang-fenomenal/

Jakarta -

Suku Madura termasuk salah satu yang terbesar di Indonesia. Mereka memiliki banyak kesenian dan kebudayaan yang sudah sejak lama.

Orang Madura sudah menyebar tinggal di Indonesia. Bahkan ada yang di luar negeri. Suku Madura mayoritas tinggal di bagian timur Jawa Timur. Jumlah yang paling banyak yakni di Situbondo, Bondowoso, sebelah timur Probolinggo, utara Lumajang, dan utara Jember. Ada juga yang tinggal di wilayah yang disebut Tapal Kuda yakni dari Pasuruan sampai utara Banyuwangi.

Berikut 8 kebudayaan suku Madura yang perlu diketahui:

Karapan Sapi adalah budaya suku Madura yang digelar setiap tahun pada bulan Agustus atau September. Pada perlombaan ini, sepasang sapi menarik semacam kereta dari kayu dipacu dalam lomba adu cepat melawan pasangan-pasangan sapi lain. Trek pacuan tersebut biasanya sekitar 100 meter.

Lomba pacuan dapat berlangsung sekitar sepuluh detik sampai satu menit. Beberapa kota di Madura menyelenggarakan karapan sapi pada bulan Agustus dan September setiap tahun. Final pertandingan itu pada akhir September atau Oktober di eks Kota Karesidenan, Pamekasan untuk memperebutkan piala bergilir presiden. Kini piala itu berganti nama menjadi piala gubernur.


2. Clurit

Suku Madura memiliki senjata tradisional khas yang disebut clurit. Bentuk Clurit mirip dengan arit di suku Jawa yang biasa digunakan untuk bertani dan berkebun. Bedanya, clurit dari Madura lebih ramping dengan lingkar lengkung yang lebih tipis. Ujung clurit juga lebih lancip. Gagang clurit terbuat dari besi atau kayu.

3. Carok

Budaya suku Madura berikutnya yakni tradisi carok. Carok adalah duel sampai mati dengan menggunakan senjata tajam yakni celurit. Orang Madura memiliki watak keras dan mengedepankan harga diri. Karena itu, masalah diselesaikan dengan cara kekerasan.

Carok biasanya terjadi menyangkut masalah-masalah terkait kehormatan atau harga diri bagi orang Madura, seperti perselingkuhan dan harkat martabat atau kehormatan keluarga. Meski mayoritas suku Madura beragama Islam namun secara individual banyak yang masih memegang tradisi carok.

4. Haji Tujuan Akhir

Budaya Suku Madura lainnya yakni haji sebagai tujuan akhir. Suku Madura dikenal hemat dan ulet dalam berusaha, bekerja, atau berdagang. Meski gajinya kecil namun mereka menyisihkan sedikit penghasilannya untuk simpanan naik haji.

Predikat haji di Madura masih menjadi kebanggaan tersendiri. Bahkan mereka lebih mengutamakan Lebaran Haji dibanding Lebaran Idul Fitri. Suku Madura tidak akan pulang kampung pada Lebaran Idul Fitri. Mereka akan pulang kampung pada Lebaran Haji.

5. Toktok

Tradisi Toktok adalah kompetisi aduan sapi. Dua sapi saling berhadapan dan saling seruduk. Sapi yang diadu biasanya sapi jantan. Kedua sapi beradu kekuatan hingga salah satu menyerah bahkan lari dari lawannya.

Aduan Toktok ini harus didampingi wasit. Namun tidak sembarang orang bisa menjadi wasit. Sebab hal itu akan membahayakan orang yang sedang menonton.

6. Rokat

Rokat adalah upacara petik laut yang biasa disebut Rokat Tase. Tradisi ini merupakan ungkapan rasa syukur atas karunia dan nikmat yang diberikan oleh Tuhan Tradisi ini juga dipercaya dapat memberikan keselamatan dan kelancaran rezeki.

Tradisi rokat dimulai dengan acara pembacaan istighosah dan tahlil bersama masyarakat dengan dipimpin pemuka agama. Setelah itu, masyarakat menghanyutkan sesaji ke laut sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan. Isi dari sesaji itu adalah tumpeng, ketan berwarna-warni, dan ikan-ikan.

7. Mondok

Mayoritas suku Madura beragama Islam. Madura memiliki ratusan pondok pesantren Islam. Sudah menjadi kebiasaan suku Madura untuk menyekolahkan anak-anaknya ke pondok pesantren. Suku Madura beranggapan ilmu agama lebih penting daripada ilmu dunia. Mereka menyebutnya dengan istilah mondok daripada menyekolahkan anak-anak ke sekolah-sekolah umum.

Bahkan suku Madura terbiasa melepas anak-anak untuk mondok sejak usia kecil. Anak-anak mondok tidak hanya di sekitaran pulau Madura tetapi hingga ke wilayah-wilayah Jawa Timur berbasis pondok pesantren Islam.

8. Patuh pada Kiai

Kebudayaan suku Madura lainnya yakni patuh pada kiai. Kebiasaan mondok dan keteguhan pada ajaran Islam membuat suku Madura tunduk dan patuh pada kiai. Kiai merupakan sosok yang sangat dihormati oleh orang suku Madura. Bahkan ada pepatah, sejahat-jahatnya orang Madura, mereka akan tetap patuh dan tidak berani melawan kiai dan guru.

Simak Video "Menjaga Keseimbangan Di Atas Karapan Sapi, Palu"



(nwy/erd)


Page 2

Jakarta -

Suku Madura termasuk salah satu yang terbesar di Indonesia. Mereka memiliki banyak kesenian dan kebudayaan yang sudah sejak lama.

Orang Madura sudah menyebar tinggal di Indonesia. Bahkan ada yang di luar negeri. Suku Madura mayoritas tinggal di bagian timur Jawa Timur. Jumlah yang paling banyak yakni di Situbondo, Bondowoso, sebelah timur Probolinggo, utara Lumajang, dan utara Jember. Ada juga yang tinggal di wilayah yang disebut Tapal Kuda yakni dari Pasuruan sampai utara Banyuwangi.

Berikut 8 kebudayaan suku Madura yang perlu diketahui:

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

1. Karapan Sapi

Karapan Sapi adalah budaya suku Madura yang digelar setiap tahun pada bulan Agustus atau September. Pada perlombaan ini, sepasang sapi menarik semacam kereta dari kayu dipacu dalam lomba adu cepat melawan pasangan-pasangan sapi lain. Trek pacuan tersebut biasanya sekitar 100 meter.

Lomba pacuan dapat berlangsung sekitar sepuluh detik sampai satu menit. Beberapa kota di Madura menyelenggarakan karapan sapi pada bulan Agustus dan September setiap tahun. Final pertandingan itu pada akhir September atau Oktober di eks Kota Karesidenan, Pamekasan untuk memperebutkan piala bergilir presiden. Kini piala itu berganti nama menjadi piala gubernur.


2. Clurit

Suku Madura memiliki senjata tradisional khas yang disebut clurit. Bentuk Clurit mirip dengan arit di suku Jawa yang biasa digunakan untuk bertani dan berkebun. Bedanya, clurit dari Madura lebih ramping dengan lingkar lengkung yang lebih tipis. Ujung clurit juga lebih lancip. Gagang clurit terbuat dari besi atau kayu.

3. Carok

Budaya suku Madura berikutnya yakni tradisi carok. Carok adalah duel sampai mati dengan menggunakan senjata tajam yakni celurit. Orang Madura memiliki watak keras dan mengedepankan harga diri. Karena itu, masalah diselesaikan dengan cara kekerasan.

Carok biasanya terjadi menyangkut masalah-masalah terkait kehormatan atau harga diri bagi orang Madura, seperti perselingkuhan dan harkat martabat atau kehormatan keluarga. Meski mayoritas suku Madura beragama Islam namun secara individual banyak yang masih memegang tradisi carok.

4. Haji Tujuan Akhir

Budaya Suku Madura lainnya yakni haji sebagai tujuan akhir. Suku Madura dikenal hemat dan ulet dalam berusaha, bekerja, atau berdagang. Meski gajinya kecil namun mereka menyisihkan sedikit penghasilannya untuk simpanan naik haji.

Predikat haji di Madura masih menjadi kebanggaan tersendiri. Bahkan mereka lebih mengutamakan Lebaran Haji dibanding Lebaran Idul Fitri. Suku Madura tidak akan pulang kampung pada Lebaran Idul Fitri. Mereka akan pulang kampung pada Lebaran Haji.

5. Toktok

Tradisi Toktok adalah kompetisi aduan sapi. Dua sapi saling berhadapan dan saling seruduk. Sapi yang diadu biasanya sapi jantan. Kedua sapi beradu kekuatan hingga salah satu menyerah bahkan lari dari lawannya.

Aduan Toktok ini harus didampingi wasit. Namun tidak sembarang orang bisa menjadi wasit. Sebab hal itu akan membahayakan orang yang sedang menonton.

6. Rokat

Rokat adalah upacara petik laut yang biasa disebut Rokat Tase. Tradisi ini merupakan ungkapan rasa syukur atas karunia dan nikmat yang diberikan oleh Tuhan Tradisi ini juga dipercaya dapat memberikan keselamatan dan kelancaran rezeki.

Tradisi rokat dimulai dengan acara pembacaan istighosah dan tahlil bersama masyarakat dengan dipimpin pemuka agama. Setelah itu, masyarakat menghanyutkan sesaji ke laut sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan. Isi dari sesaji itu adalah tumpeng, ketan berwarna-warni, dan ikan-ikan.

7. Mondok

Mayoritas suku Madura beragama Islam. Madura memiliki ratusan pondok pesantren Islam. Sudah menjadi kebiasaan suku Madura untuk menyekolahkan anak-anaknya ke pondok pesantren. Suku Madura beranggapan ilmu agama lebih penting daripada ilmu dunia. Mereka menyebutnya dengan istilah mondok daripada menyekolahkan anak-anak ke sekolah-sekolah umum.

Bahkan suku Madura terbiasa melepas anak-anak untuk mondok sejak usia kecil. Anak-anak mondok tidak hanya di sekitaran pulau Madura tetapi hingga ke wilayah-wilayah Jawa Timur berbasis pondok pesantren Islam.

8. Patuh pada Kiai

Kebudayaan suku Madura lainnya yakni patuh pada kiai. Kebiasaan mondok dan keteguhan pada ajaran Islam membuat suku Madura tunduk dan patuh pada kiai. Kiai merupakan sosok yang sangat dihormati oleh orang suku Madura. Bahkan ada pepatah, sejahat-jahatnya orang Madura, mereka akan tetap patuh dan tidak berani melawan kiai dan guru.


Page 3

Jakarta -

Suku Madura termasuk salah satu yang terbesar di Indonesia. Mereka memiliki banyak kesenian dan kebudayaan yang sudah sejak lama.

Orang Madura sudah menyebar tinggal di Indonesia. Bahkan ada yang di luar negeri. Suku Madura mayoritas tinggal di bagian timur Jawa Timur. Jumlah yang paling banyak yakni di Situbondo, Bondowoso, sebelah timur Probolinggo, utara Lumajang, dan utara Jember. Ada juga yang tinggal di wilayah yang disebut Tapal Kuda yakni dari Pasuruan sampai utara Banyuwangi.

Berikut 8 kebudayaan suku Madura yang perlu diketahui:

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

1. Karapan Sapi

Karapan Sapi adalah budaya suku Madura yang digelar setiap tahun pada bulan Agustus atau September. Pada perlombaan ini, sepasang sapi menarik semacam kereta dari kayu dipacu dalam lomba adu cepat melawan pasangan-pasangan sapi lain. Trek pacuan tersebut biasanya sekitar 100 meter.

Lomba pacuan dapat berlangsung sekitar sepuluh detik sampai satu menit. Beberapa kota di Madura menyelenggarakan karapan sapi pada bulan Agustus dan September setiap tahun. Final pertandingan itu pada akhir September atau Oktober di eks Kota Karesidenan, Pamekasan untuk memperebutkan piala bergilir presiden. Kini piala itu berganti nama menjadi piala gubernur.


2. Clurit

Suku Madura memiliki senjata tradisional khas yang disebut clurit. Bentuk Clurit mirip dengan arit di suku Jawa yang biasa digunakan untuk bertani dan berkebun. Bedanya, clurit dari Madura lebih ramping dengan lingkar lengkung yang lebih tipis. Ujung clurit juga lebih lancip. Gagang clurit terbuat dari besi atau kayu.

3. Carok

Budaya suku Madura berikutnya yakni tradisi carok. Carok adalah duel sampai mati dengan menggunakan senjata tajam yakni celurit. Orang Madura memiliki watak keras dan mengedepankan harga diri. Karena itu, masalah diselesaikan dengan cara kekerasan.

Carok biasanya terjadi menyangkut masalah-masalah terkait kehormatan atau harga diri bagi orang Madura, seperti perselingkuhan dan harkat martabat atau kehormatan keluarga. Meski mayoritas suku Madura beragama Islam namun secara individual banyak yang masih memegang tradisi carok.

4. Haji Tujuan Akhir

Budaya Suku Madura lainnya yakni haji sebagai tujuan akhir. Suku Madura dikenal hemat dan ulet dalam berusaha, bekerja, atau berdagang. Meski gajinya kecil namun mereka menyisihkan sedikit penghasilannya untuk simpanan naik haji.

Predikat haji di Madura masih menjadi kebanggaan tersendiri. Bahkan mereka lebih mengutamakan Lebaran Haji dibanding Lebaran Idul Fitri. Suku Madura tidak akan pulang kampung pada Lebaran Idul Fitri. Mereka akan pulang kampung pada Lebaran Haji.

5. Toktok

Tradisi Toktok adalah kompetisi aduan sapi. Dua sapi saling berhadapan dan saling seruduk. Sapi yang diadu biasanya sapi jantan. Kedua sapi beradu kekuatan hingga salah satu menyerah bahkan lari dari lawannya.

Aduan Toktok ini harus didampingi wasit. Namun tidak sembarang orang bisa menjadi wasit. Sebab hal itu akan membahayakan orang yang sedang menonton.

6. Rokat

Rokat adalah upacara petik laut yang biasa disebut Rokat Tase. Tradisi ini merupakan ungkapan rasa syukur atas karunia dan nikmat yang diberikan oleh Tuhan Tradisi ini juga dipercaya dapat memberikan keselamatan dan kelancaran rezeki.

Tradisi rokat dimulai dengan acara pembacaan istighosah dan tahlil bersama masyarakat dengan dipimpin pemuka agama. Setelah itu, masyarakat menghanyutkan sesaji ke laut sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan. Isi dari sesaji itu adalah tumpeng, ketan berwarna-warni, dan ikan-ikan.

7. Mondok

Mayoritas suku Madura beragama Islam. Madura memiliki ratusan pondok pesantren Islam. Sudah menjadi kebiasaan suku Madura untuk menyekolahkan anak-anaknya ke pondok pesantren. Suku Madura beranggapan ilmu agama lebih penting daripada ilmu dunia. Mereka menyebutnya dengan istilah mondok daripada menyekolahkan anak-anak ke sekolah-sekolah umum.

Bahkan suku Madura terbiasa melepas anak-anak untuk mondok sejak usia kecil. Anak-anak mondok tidak hanya di sekitaran pulau Madura tetapi hingga ke wilayah-wilayah Jawa Timur berbasis pondok pesantren Islam.

8. Patuh pada Kiai

Kebudayaan suku Madura lainnya yakni patuh pada kiai. Kebiasaan mondok dan keteguhan pada ajaran Islam membuat suku Madura tunduk dan patuh pada kiai. Kiai merupakan sosok yang sangat dihormati oleh orang suku Madura. Bahkan ada pepatah, sejahat-jahatnya orang Madura, mereka akan tetap patuh dan tidak berani melawan kiai dan guru.