Bagaimana caramu berzikir setelah salat berjamaah

Sejumlah ulama memiliki pandangan tentang dzikir berjamaah.

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Dzikir merupakan aktivitas yang mulia. Dengan berdzikir secara khusyuk maka seorang hamba akan memperoleh ketenangan hati. Berdzikir bisa dilakukan kapan saja. Setelah shalat wajib, shalat sunah, atau di kala pagi dan malam hari.

Belakangan, marak fenomena dzikir berjamaah. Sekelompok orang menggelar dzikir secara bersama-sama. Lokasinya bisa di masjid atau di tempat-tempat umum. Lalu, bagaimanakah hukum pelaksanaannya?

Menurut Prof Kamal Bughlah, dalam kajiannya yang berjudul Hukmu al-Jahr wa al-Ijtima’ ‘ala adz-Dzikr, polemik dzikir seperti ini pernah mengemuka di kalangan para salaf. Di masa kini, pembahasannya pun tetap menarik perhatian para ulama. Para ulama berselisih pandang menyikapi hukum dzikir berjamaah.

Komite Tetap Kajian dan Fatwa Arab Saudi berpendapat bahwa dzikir berjamaah hukumnya haram dan termasuk bidah. Pendapat itu dikeluarkan oleh lembaga yang dipimpin oleh Syekh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz dengan anggota Syekh Bakar Abu Zaid, Abdul Aziz Alussyekh, Shalih al-Fauzan, dan Abdullah bin Ghadyan.

Pandangan ini juga merupakan opsi yang dipilih oleh Asosiasi Ulama Senior Arab Saudi. Menurut mereka, aktivitas semacam itu tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah. Seperti hadis Bukhari Muslim yang diriwayatkan dari Aisyah, “Maka segala apa yang tidak pernah diteladankan oleh Rasul, hukumnya tertolak”. Artinya, tidak boleh dilakukan.

Dzikir yang dicontohkan oleh Rasul ialah dzikir individual dengan bersuara usai shalat lima waktu. Ini seperti hadis riwayat Bukhari Muslim dari Ibn Abbas. Sekalipun pada dasarnya bacaan-bacaan yang dikeluarkan saat berdzikir berjamaah pernah diteladankan Rasul tetapi cara penyampaiannya tidak dibenarkan. Ini dianggap bidah. Sebab, dzikir yang disunahkan bersifat individual, bukan berjamaah.

Kelompok ini menukil fatwa yang disampaikan oleh Imam Syathibi dan Ibnu Taimiyyah. Menurut Syatibi, kegiatan semacam ini tidak pernah sekalipun terlaksana semasa Rasulullah hidup. Karena itu, Ibnu Taimiyah juga menegaskan, Rasul dan para sahabatnya tidak berdzikir berjamaah, baik ketika shalat Shubuh, Ashar, atau shalat lainnya. Usai shalat, justru waktu itu dipergunakan oleh Rasulullah untuk menyampaikan nasihat dan pelajaran agama.

Sedangkan, kubu yang kedua, kata Prof Kamal, tidak sependapat dengan pihak pertama. Menurut mereka, tak ada larangan pelaksanaan dzikir berjamaah. Bahkan, para salaf menganjurkannya. Imam Malik dalam Muwatha, memperbolehkan dzikir yang dibaca secara berjamaah.

Ibnu Qudamah yang bermazhab Hambali juga demikian. Ini seperti terdapat di kitab al-Mughni. Pernyataan serupa juga terdapat di kitab al-Umm karangan Imam Syafi’i. Mazhab Hanafi juga berpandangan bahwa hukum dzikir berjamaah boleh. Ini seperti dinukilkan dari al-Bahr ar-Raiq dan Durar al-Ahkam.

Karenanya, Imam Nawawi menegaskan, dzikir berjamaah dengan bersuara tidak dilarang, bahkan disunahkan. Menurut Mazhab Syafi’i, bahkan lebih utama. Ini juga merupakan salah satu pendapat imam Ahmad dan Malik, seperti dinukilkan oleh Ibnu Hajar.

Salah satu dasar yang dijadikan dalil ialah hadis riwayat Abu Hurairah dan Abu Sa’id al-Khudri yang diriwayatkan oleh sejumlah imam, yaitu Muslim, Ibnu Majah, Ahmad, Turmudzi, Ibnu Majah, dan Abi Syaibah, serta al-Baihaqi. Hadis itu menegaskan, tidaklah berkumpul suatu kaum duduk bersama lalu berdzikir kepada Allah, kecuali mereka akan dilindungi oleh para malaikat.

Atas dasar inilah, Imam Suyuthi menyanggah pendapat mereka yang menolak dan melarang dzikir bersuara atau berjamaah. Pendapatnya itu tertuang dalam risalah kecil yang berjudul Natijat al-Fikri fi al-Jahri bi adz-Dzikri.

Syekh Abdul Haq ad-Dahlawi dalam kitabnya Taushil al-Murid ila al-Murad, bi Bayan Ahkam al-Ahzab wal-Awrad memaparkan argumentasi diperbolehkannya dzikir berjamaah secara mendetail dan lengkap. Dalam kitab berbahasa Persia yang telah dialihbahasakan ke bahasa Arab itu, ia berkesimpulan bahwa dzikir bersuara dan berkumpul untuk melakukannya bersama di suatu majelis atau masjid boleh dan ada dasarnya.

Syekh Abdul Fattah Abu Ghaddah mengatakan, sejumlah ulama memang melarang dzikir dengan suara keras, baik yang dilaksanakan secara individual atau kolektif. Namun, menurutnya, pendapat yang benar justru menyatakan sebaliknya.

Dzikir berjamaah dengan bersuara diperbolehkan dengan syarat-syarat tertentu. Hal ini seperti dijelaskan Imam al-Aknawi al-Hindi. Syarat yang dimaksud, misalnya tidak boleh berlebihan dan menimbulkan kebisingan serta hendaknya tidak memicu aksi pamer (riya).

Selain itu, Syekh Abu Ghaddah menambahkan dugaan bahwa Ibnu Taimiyah melarang dzikir berjamaah tak sepenuhnya benar. Dalam Majmu’ al-Fatawa Ibnu Taimiyah membantah seseorang yang menolak dzikir berjamaah dengan rentetan ritual, seperti pembacaan Alquran, shalawat atas Nabi, tahlil, tasbih, dan tahmid, atau takbir.

Menurut Ibnu Taimiyah, aktivitas berdzikir dan mendengarkan lantunan ayat suci Alquran dengan berjamaah merupakan kegiatan positif. Ini termasuk amalan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dan bentuk ibadah yang paling utama. Hanya saja, ia menggarisbawahi agar ini tidak dilakukan rutin tiap waktu. Sebab, untuk menghindari persepsi dan asumsi sebagian orang bahwa kegiatan tersebut adalah sunah yang dianjurkan. 

Bagaimana caramu berzikir setelah salat berjamaah

Bagaimana caramu berzikir setelah salat berjamaah

Sejak dahulu kalau saya mengimami shalat pasti saya tutup dengan doa bersama. Saya memang belum tahu hadits berkenaan dengan doa bersama setelah shalat. Tetapi karena sedari dulu amaliyah orang NU ya seperti itu, maka saya ikuti saja dan saya yakin itu benar. Belakangan amaliyah saya ini dipermasalahkan. Kata mereka Nabi SAW tak pernah melakukan doa bersama setiap selesai shalat fardlu. Mohon penjelasannya.<>
Jawaban

Penanya yang budiman, semoga dirahmati Allah swt. Sebelum masuk pada pembasan doa bersama, maka kami akan mengetengahkan secara singkat  mengenai dzikir bersama, dimana sebenarnya masalah ini sudah dibahas para ulama terdahulu. Sebagaimana yang kita ketuahi bahwa bahwa berdzikir bisa dilakukan dengan sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama. Dalam shalat berjamaah sebaiknya dilakukan bersama-sama. Imam membaca dzikir dengan keras dan makmum mengikutinya. Hal ini didasarkan keumuman hadits:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ وَأَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ أَنَّهُمَا شَهِدَا عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: لَا يَقْعُدُ قَوْمٌ يَذْكُرُونَ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ إِلَّا حَفَّتْهُمُ الْمَلَائِكَةُ، وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ، وَنَزَلَتْ عَلَيْهِمِ السَّكِينَةُ، وَذَكَرَهُمُ اللهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ (رواه مسلم

 “Dari Abi Hurairah ra dan Abi Said al-Khudri ra bahwa keduanya telah menyaksikan Nabi saw beliau bersabda: ‘Tidaklah berkumpul suatu kaum sambil berdzikir kepada Allah ‘azza wa jalla kecuali para malaikat mengelilingi mereka, rahmat menyelimuti mereka, dan ketenangan hati turun kepada mereka, dan Allah menyebut (memuji) mereka di hadapan makhluk yang ada di sisi-Nya” (H.R. Muslim)

Di sisi lain memang beberapa hadits shahih yang tampak memiliki maksud berbeda. Di satu sisi terdapat hadits yang menunjukkan bahwa membaca dzikir dengan suara keras setelah sahalat fardlu sudah dilakukan para sahabat pada masa Nabi saw. Hal ini sebagaiman dikemukakan oleh Ibnu Abbas ra:

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ : أَنَّ رَفْعَ الصَّوْتِ بِالذِّكْرِ حِينَ يَنْصَرِفُ النَّاسُ مِنَ الْمَكْتُوبَةِ، كَانَ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (رواه البخاري ومسلم

“Dari Ibnu Abbas ra ia berkata: ‘Bahwa mengerasakan suara dalam berdzikir ketika orang-orang selesai shalat maktubah itu sudah ada pada masa Nabi saw” (H.R. Bukhari-Muslim) 

Namun terdapat juga hadits lain yang berkebalikan, yang menunjukkan adanya anjuran untuk memelankan suara ketika berdzikir, sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari:


ارْبَعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ، فَإِنَّكُمْ لاَ تَدْعُونَ أَصَمَّ وَلاَ غَائِبًا، وَلَكِنْ تَدْعُونَ سَمِيعًا بَصِيرًا (رواه البخاري

“Ringankanlan atas diri kalian (jangan mengerasakan suara secara berlebihan) karena susunggunya kalian tidak berdoa kepada Dzat yang tidak mendengar dan tidak kepada yang ghaib, akan tetapi kalian berdoa kepada Dzat Yang Maha Mendengar dan Maha Melihat” (H.R. Bukhari)

Dari kedua hadits tersebut dapat dipahami bahwa mengeraskan suara dalam berdzikir dan memelannkannya sama-sama memiliki landasan yang shahih. Maka dalam konteks ini Imam an-Nawawi berusaha untuk menjembatani keduanya dengan cara memberikan anjuran kepada orang yang berdzikir untuk menyesuakan dengan situasi dan kondisi. Berikut ini adalah penjelasan Imam an-Nawawi yang dikemukan oleh penulis kitab Ruh al-Bayan.

 وَقَدْ جَمَعَ النَّوَوِيُّ بَيْنَ الْأَحَادِيثِ الوَارِدَةِ فِى اسْتِحَبَابِ الجَهْرِ بِالذِّكْرِ وَالوَارِدَةِ فِى اسْتِحَبَابِ الإِسْرَارِ بِهِ بِأَنَّ الْإِخْفَاءَ أَفْضَلُ حَيْثُ خَافَ الرِّيَاءَ أَوْ تَأَذَّى المُصَلُّونَ أَوْ النَّائِمُونَ وَالْجَهْرُ أَفْضَلُ فِى غَيْرِ ذَلِكَ لِأَنَّ الْعَمَلَ فِيهِ أَكْثَرُ وَلِأَنَ فَائِدَتَهُ تَتَعَدَّى إِلَى السَّامِعِينَ وَلِأَنَّهُ يُوقِظُ قَلْبَ الذَّاكِرِ وَيَجْمَعُ هَمَّهُ إِلَى الفِكْرِ وَيَصْرِفُ سَمْعَهُ إِلَيْهِ وَيَطْرِدُ النَّوْمَ وَيَزِيدَ فِى النَّشَاطِ (أبو الفداء إسماعيل حقي، روح البيان، بيروت-دار الفكر، ج، 3، ص. 306

“Imam an-Nawawi memadukan antara hadits-hadits yang menganjurkan (mustahab) mengeraskan suara dalam berdzikir dan hadits-hadits yang menganjurkan memelankan suara dalam berdzikir; bahwa memelankan suara dalam berdzikir itu lebih utama sekiranya dapat menutupi riya dan mengganggu orang yang shalat atau orang yang sedang tidur. Sedangkan mengeraskan suara dalam berdzikir itu lebih utama pada selain dua kondisi tersebut karena: pebuatan yang dilakukan lebih banyak, faidah dari berdzikir dengan suara keras itu bisa memberikan pengaruh yang mendalam kepada pendengarnya, bisa mengingatkan hati orang yang berdzikir, memusatkan perhatiannya untuk melakukan perenungan terhadap dzikir tersebut, mengarahkan pendenganrannya kepada dzikir terebut, menghilankan kantuk dan menambah semangatnya”. (Abu al-Fida` Ismail Haqqi, Ruh al-Bayan, Bairut-Dar al-Fikr, juz, 3, h. 306)

Sedang mengenai doa bersama, yang dimaksudkan dalam konteks ini adalah setelah imam selesai shalat bersama-sama dengan makmum melakukan dzikir kemudian imam melakukan doa yang diamini oleh makmunya. Hal ini jelas diperbolehkan, dan di antara dalil yang memperbolehkannya adalah hadits berikut ini:

عَنْ حَبِيْبِ بْنِ مَسْلَمَةَ الْفِهْرِيِّ وَكَانَ مُجَابَ الدَّعْوَةِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم يَقُوْلُ: لاَ يَجْتَمِعُ قَوْمٌ مُسْلِمُوْنَ فَيَدْعُوْ بَعْضُهُمْ وَيُؤَمِّنُ بَعْضُهُمْ إِلاَّ اسْتَجَابَ اللهُ دُعَاءَهُمْ. رواه الطبراني

“Dari Habib bin Maslamah al-Fihri ra –ia adalah seorang yang dikabulkan doanya-, berkata: Saya mendengar Rasulullah saw bersabda: Tidaklah berkumpul suatu kaum muslim yang sebagian mereka berdoa, dan sebagian lainnya mengamininya, kecuali Allah mengabulkan doa mereka.” (HR. al-Thabarani)

Mahbub Ma’afi Ramdlan

Kumpulan Khutbah Jumat Bulan Safar