Judul
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck
Tanggal terbit
Maret - 2019
Lokasi Stok
Gudang Penerbit
DESCRIPTION
Zainuddin, seorang pemuda yang berdarah Minang dari ayah dan berdarah Bugis dari ibu--dengan penuh harapan dan anggan akan sambutan gembira dari keluarga ayahnya--dari tanah kelahirannya, Mengkasar, pergi ke Padang Panjang, kampung halaman sang ayah. Namun, apa yang diangankannya tidak terjadi. Di kampung halaman dan oleh keluarganya dia dianggap orang asing. Ketidaknyamanan hidup di kampung halamannya terobati karena perkenalannya dengan Hayati. Mereka saling jatuh cinta dalam keikhlasan dan kesucian jiwa.
Zainuddin harus menarima penolakan pahit dari keluarga Hayati ketika ia meminang Hayati karena perbedaan adat, kedudukan, dan ekonomi. Hayati menikah dengan Aziz, seorang pemuda Minang tulen keturunan terhormat, beradat berlembaga, dan kaya, tetapi sifatnya tidak mencerminkan seorang bangsawan yang terhormat dan berbudi luhur.
Untuk mengobati luka hati yang hampir membuat dirinya bunuh diri, Zainuddin bersama sahabatnya pergi ke Tanah Jawa. Siapa sangka luka hati yang hampir membuat dirinya bunuh diri, Zainuddin bersama sahabatnya pergi ke Tanah Jawa. Siapa sangka luka hati yang dicurahkan dalam karya-karyanya mendapat apresiasi luar biasa. Zainuddin menjadi terkenal dan kaya raya.
Ketika masa itulah, Hayati kembali hadir dalam hidupnya. Kesucian cinta Zainuddin kepada Hayati diujia. Apa yang terjadi pada Kapal Van der Wijck menjawab semua tanya atas cinta mereka.
Goodreads Review Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck
WHY CHOOSE US?
TERLENGKAP + DISCOUNTS
Nikmati koleksi Buku Fiksi terlengkap ditambah discount spesial.
FAST SHIPPING
Pesanan Anda segera Kami proses setelah pembayaran lunas. Dikirim melalui TIKI, JNE, POS, SICEPAT.
BERKUALITAS DAN TERPERCAYA
Semua barang terjamin kualitasnya dan terpercaya oleh ratusan ribu pembeli sejak 2006. Berikut
Testimonial dari Pengguna Jasa Bukukita.com
LOWEST PRICE
Kami selalu memberikan harga terbaik, penawaran khusus seperti edisi tanda-tangan dan promo lainnya
Karya Prof. Dr. Hamka lainnya:
Buku sejenis lainnya
Buku terbitan Gema Insani lainnya:
Tenggelamnja Kapal Van der Wijck (EYD: Tenggelamnya Kapal Van der Wijck) adalah sebuah novel yang ditulis oleh Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau lebih dikenal dengan nama Hamka. Novel ini mengisahkan persoalan norma budaya yang berlanjut di Minangkabau dan perbedaan latar belakangan sosial yang menghalangi hubungan cinta sepasang kekasih sampai selesai dengan kematian. Novel ini pertama kali ditulis oleh Hamka sebagai kisah bersambung dalam sebuah majalah yang dipimpinnya, Pedoman Masyarakat pada tahun 1938. Dalam novel ini, Hamka mengkritik beberapa tradisi yang dilakukan oleh masyarakat pada masa itu terutama mengenai kawin paksa. Kritikus sastra Indonesia Bakri Siregar menyebut Van der Wijck sebagai karya terbaik Hamka, meskipun pada tahun 1962 novel ini dituding sebagai plagiasi dari karya Jean-Baptiste Alphonse Karr berjudul Sous les Tilleuls (1832). Diterbitkan sebagai novel pada tahun 1939, Tenggelamnya Kapal Van der Wijck terus mengalami cetak ulang sampai masa sekarang. Novel ini juga diterbitkan dalam bahasa Melayu sejak tahun 1963 dan telah menjadi bahan bacaan wajib bagi siswa sekolah di Indonesia dan Malaysia. Daftar inti
Latar belakanganHaji Abdul Malik Karim Amrullah, atau lebih dikenal dengan singkatan Hamka, adalah ulama asal Minangkabau yang dibesarkan dalam kalangan keluarga yang taat beragama. Ia memandang tradisi yang mempunyai dalam masyarakat di sekitarnya sebagai penghambat kemajuan agama, sebagaimana pandangan ayahnya, Abdul Karim Amrullah.[1][2] Setelah memainkan perjalanan ke Jawa dan Mekkah sejak berusia 16 tahun untuk menimba ilmu, ia memainkan pekerjaan sebagai guru agama di Deli, Sumatera Utara, lalu di Makassar, Sulawesi Selatan.[3] Dalam perjalanan ini, terutama masa di Timur Tengah, Hamka banyak membaca karya dari pandai dan penulis Islam, termasuk karya penulis asal Mesir Mustafa Lutfi al-Manfaluti sampai karya sastrawan Eropa yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.[4][5] Pada tahun 1935, Hamka meninggalkan Makassar untuk pergi ke Medan. Di kota itu, ia menerima permintaan untuk menjadi pemimpin redaksi majalah Pedoman Masjarakat, yang dalam majalah ini untuk pertama kalinya nama pena Hamka diperkenalkan.[2] Di sela-sela kesibukannya, Hamka menulis Van der Wijck; karya yang diilhami sebagian dari tenggelamnya sebuah kapal pada tahun 1936.[6] PlotPerdebatan mengenai harta warisan selang Pendekar Sutan dengan mamaknya berujung pada kematian. Kesudahan suatu peristiwa membunuh mamaknya, Pendekar Sutan diasingkan dari Batipuh ke Cilacap selama dua belas tahun. Setelah lepas sama sekali, Pendekar Sutan memilih menetap di Makassar dan menikah dengan Daeng Habibah. Akan tetapi, setelah memperoleh seorang anak bernama Zainuddin, Daeng Habibah meninggal dan, tidak lama setelah itu, Zainuddin menjadi yatim piatu. Ketika beranjak remaja, Zainuddin menanti izin kepada pengasuhnya, Mak Base untuk beranjak ke Minangkabau; ia telah lama ingin menjumpai tanah asal ayahnya di Batipuh. Namun, kedatangan Zainuddin tidak mendapatkan sambutan adil di tengah-tengah bentuk masyarakat yang bernasabkan kepada ibu itu. Ia dianggap tidak mempunyai pertalian darah lagi dengan keluarganya di Minangkabau karena, meskipun berayah Minang, ibunya bersumber dari Bugis. Akibatnya, ia merasa terasing dan melewati surat-surat ia kerap mencurahkan kesedihannya kepada Hayati, perempuan keturunan bangsawan Minang yang prihatin terhadapnya. Setelah Zainuddin dan Hayati sama-sama mulai jatuh cinta, Zainuddin memutuskan pindah ke Padang Panjang karena mamak Hayati menantinya untuk keluar dari Batipuh. Sebelum berpisah, Hayati sempat berjanji kepada Zainuddin untuk selalu setia. Sewaktu Hayati bepergian ke Padang Panjang karena ingin menjumpai Zainuddin, Hayati sempat menginap di rumah sahabatnya, Khadijah. Namun, sekembali dari Padang Panjang, Hayati dihadapkan oleh permintaan keluarganya yang telah sepakat untuk menerima pinangan Azis, kakak Khadijah; Aziz, yang murni keturunan Minang dan bersumber dari keluarga terpandang, lebih disukai keluarga Hayati daripada Zainuddin. Meskipun sedang mencintai Zainuddin, Hayati yang belakang sekalinya terpaksa menerima dinikahkan dengan Aziz. Mengetahui Hayati telah menikah dan mengkhianati akadnya, Zainuddin yang sempat berputus asa pergi ke Jawa bersama kenalannya Muluk, tinggal pertama kali di Batavia sebelum yang belakang sekalinya pindah ke Surabaya. Di perantauan, Zainuddin menjadi penulis yang terkenal. Pada masa yang sama, Aziz juga pindah ke Surabaya bersama Hayati karena gagasan pekerjaan, tetapi rumah tangga mereka yang belakang sekalinya menjadi berantakan. Setelah Aziz dipecat, mereka menumpang ke rumah Zainuddin, tetapi Aziz lalu bunuh diri dan dalam sepucuk surat ia berpesan supaya Zainuddin menjaga Hayati. Namun, Zainuddin tidak memaafkan kesalahan Hayati. Hayati yang belakang sekalinya disuruh pulang ke Batipuh dengan menaiki kapal Van der Wijck. Di tengah-tengah perjalanan, kapal yang dinaiki Hayati tenggelam, dan setelah Zainuddin mendengar berita itu ia langsung menuju sebuah rumah sakit di Tuban. Sebelum kapal tenggelam, Muluk yang menyesali sikap Zainuddin memberi tahu Zainuddin bahwa Hayati sebetulnya sedang mencintainya. Namun tidak lama setelah Zainuddin datang, Hayati meninggal. Sepeninggal Hayati, Zainuddin menjadi sakit-sakitan sampai yang belakang sekalinya meninggal. Jasadnya dimakamkan di tidak jauh pusara Hayati. TemaSeperti novel Hamka sebelumnya, Di Bawah Lindungan Ka'bah, Van der Wijck ditulis untuk mengkritik beberapa tradisi dalam norma budaya Minang yang berlanjut masa itu, seperti perlakuan terhadap orang berketurunan blasteran dan peran perempuan dalam masyarakat; hal ini dimunculkan dengan usaha Hayati menjadi istri yang sempurna biarpun Aziz tidak menghargainya.[7][8] Hamka beranggapan bahwa beberapa tradisi norma budaya tersebut tidak sesuai dengan dasar-dasar Islam ataupun budaya yang sehat.[7] Dalam karyanya yang lain, Hamka terus mengkritik norma budaya.[9] Rilis dan penerimaanVan der Wijck pertama kali diterbitkan sebagai kisah bersambung dalam majalah Islam mingguan Hamka di Medan, Pedoman Masjarakat pada tahun 1938.[10] Menurut Yunan Nasution, salah satu karyawan majalah tersebut, ketika majalah itu dikirimkan ke Kutaraja, Aceh (kini Banda Aceh), banyak pembaca yang telah menunggu di stasiun kereta api supaya bisa membaca bab selanjutnya secepat mungkin. Hamka juga menerima surat dari beberapa pembaca, yang beranggapan bahwa novel itu mencerminkan kehidupan mereka. Namun, beberapa orang Muslim konservatif menolak Van der Wijck; mereka menyatakan bahwa seorang ulama harusnya tidak mengarang kisah tentang percintaan.[6] Setelah mendapat sambutan yang hangat itu, Hamka memutuskan untuk menerbitkan Van der Wijck sebagai novel dengan usaha penerbitan milik kenalannya, M. Syarkawi; dengan memakai penerbit swasta Hamka tidak dikenakan sensor seperti yang berlanjut di Balai Pustaka. Cetakan kedua juga dengan penerbit Syarkawi. Lima cetakan selanjutnya, mulai pada tahun 1951, dengan Balai Pustaka. Cetakan kedelapan pada tahun 1961, diterbitkan oleh Penerbit Nusantara di Jakarta; sampai tahun 1962, novel ini telah dicetak lebih dari 80 ribu eksemplar. Cetakan setelah itu belakang diterbitkan oleh Bulan Bintang.[10][11] Novel Hamka ini juga pernah diterbitkan di Malaysia beberapa kali.[6] Kritikus sastra Indonesia beraliran sosialis, Bakri Siregar menyebut Van der Wijck sebagai karya terbaik Hamka.[3] Kritikus lain, Maman S. Mahayana, berpendapat bahwa novel ini mempunyai karakterisasi yang adil dan penuh ketegangan; Maman beranggapan bahwa ini mungkin karena novel ini awalnya diterbitkan sebagai kisah bersambug.[12] Tuduhan plagiasiPada bulan September 1962, Abdullan S.P.—nama samaran dari Pramoedya Ananta Toer—yang memuat tulisannya ke dalam koran Bintang Timur menyebutkan bahwa novel Van der Wijck diplagiasi dari Sous les Tilleuls (1832) karya Jean-Baptiste Alphonse Karr, melewati terjemahan berbahasa Arab oleh Mustafa Lutfi al-Manfaluti; sebenarnya desas-desus plagiasi sudah lama mempunyai.[13][14] Hal ini menjadi polemik luas dalam pers Indonesia.[15] Sebagian akbar orang yang menuduh Hamka bersumber dari Lekra, sebuah organisasi sastra sayap kiri yang berafiliasi dengan PKI.[a] Sementara itu, penulis di luar sayap kiri melindungi Hamka.[13][16] Beberapa kritikus menemukakan beberapa kesamaan selang dua buku tersebut, adil dari sisi alur maupun teknik penceritaan.[17] Pandai dokumentasi sastra H.B. Jassin, yang membandingkan kedua karya itu dengan memakai terjemahan Sous les Tilleuls berbicara Indonesia yang diberi judul Magdalena, menulis bahwa novel ini tidaklah mungkin hasil plagiasi, sebab metode Hamka mendeskripsikan tempat itu sangat mendalam dan sesuai dengan gaya bahasanya dalam tulisan sebelumnya.[18] Jassin juga menegaskan bahwa novel Van der Wijck membahas masalah norma budaya Minang, yang tidak mungkin ditemukan dalam sebuah karya sastra luar.[7] Akan tetapi, Bakri Siregar beranggapan bahwa mempunyai banyak kesamaan selang Zainuddin dan Steve, serta Hayati dan Magdalena, yang menandai keadaan plagiasi.[3] Kritikus sastra asal Belanda, A. Teeuw menyatakan bahwa tanpa berpendapat kalau kesamaan yang terkandung dalam novel itu dilakukan secara sadar, memang mempunyai banyak hal yang mirip di selang kedua karya itu, tetapi Van der Wijck sesungguhnya mempunyai tema yang murni dari Indonesia.[14] Keterangan
RujukanCatatan kaki
Kategori:
Kategori tersembunyi:
Sumber : p2kp.kurikulum.org, wiki.edunitas.com, id.wikipedia.org, discussion.web.id, dan sebagainya. |