Apakah perbedaan dalam menyanyikan lagu halo-halo bandung dan ibu pertiwi jelaskan

Nahum Situmorang (kiri) pencipta lagu "Gyugun Laskar Rakyat" dan Ismail Marzuki (kanan) yang diakui sebagai pencipta lagu "Halo-Halo Bandung."

Kota Bandung hangus dilalap api. Tentara republik membakar markas dan asrama-asramanya serta bangunan-bangunan penting. Banyak warga juga ikutan membakar sendiri rumah mereka dibantu para laskar. Segenap rakyat Bandung tidak sudi menyerahkan kota mereka begitu saja kepada tentara Sekutu. Begitulah situasi kota Bandung di masa genting revolusi, Maret 1946, yang kemudian dikenal sebagai “Bandung Lautan Api”.

“Peristiwa ini yang oleh komponis Ismail Marzuki kemudian diabadikan dalam lagu ‘Halo, halo Bandung’,” tulis Pramoedya Ananta Toer, dkk dalam Kronik Revolusi Jilid 2 (1946).

Lagu “Halo-Halo Bandung” mengusung spirit heroisme. Ia kerap dinyayikan dengan tempo mars. Liriknya sederhana tapi penuh semangat, terutama pada bagian akhir yang mengenang perjuangan rakyat Bandung mempertahankan kemerdekaan, sebagai berikut:

Baca juga: Sebelum Bandung Jadi Lautan Api

Sudah lama beta

Tidak berjumpa dengan kau

Sekarang telah menjadi lautan api

Mari, Bung, rebut kembali!

Mula partitur lagu ini tersua dalam buku nyanyian bertajuk 10 Lagu Indonesia karya Ismail Marzuki terbitan 1950. Di situ disebutkan lagu “Halo-Halo Bandung” bertempo 4/4, musik dan syairnya atas nama Ismail Mz. Dengan demikian, Ismail Marzuki menjadi pemegang hak cipta atas lagu ini. Ismail Marzuki memang dikenal sebagai seniman pencipta lagu yang telah berkarya sejak zaman kolonial. Dia lahir di Batavia pada 11 Mei 1914 dan wafat di kota yang sama, 25 Mei 1958 –tepat hari ini 64 tahun yang lalu.

Menurut Eulis Zuraidah, istri Ismail, kala terjadi Bandung Lautan Api tahun 1946, Ismail berada di Bandung untuk mengunjungi mertuanya yang sakit sambil sekaligus mengungsi. Saat terjadi kerusuhan, tampak api menyala-nyala di sebagian kota, mirip lautan api yang ganas menyilaukan.

“Dari situasi itulah Ismail memperoleh ilham untuk menciptakan ‘Halo-Halo Bandung’,” kata Eulis dalam Sinar Harapan, 15 November 1975 seperti dikutip Nino Leksono dalam Seabad Ismail Marzuki: Senandung Melintas Zaman.

Baca juga: Komponis dari Betawi

Namun, lagu “Halo-Halo Bandung” belakangan dikritisi orisinalitasnya oleh sejumlah pihak. Ismail Marzuki diragukan sebagai pencipta asli lagu tersebut. Pada 1950-an beredar kabar bahwa “Halo-Halo Bandung” adalah lagu ciptaan Tobing.

Menurut Haryadi Suadi dalam Djiwa Manis Indoeng Disajang Jilid 1, yang mula-mula mengklaim lagu tersebut ciptaan Tobing ialah Soerjono alias Pak Kasur, seorang komponis lagu anak terkemuka. Dalam artikel majalah Minggu Pagi, 30 Januari 1955, Pak Kasur mengatakan lagu “Halo-Halo Bandung” ciptaan Tobing memenangkan sayembara sebagai lagu pengiring pertunjukan sandiwaranya di masa revolusi. Klaim senada juga diungkapkan musikolog Y.A. Dungga dalam bukunya Musik di Indonesia terbitan Balai Pustaka, 1952. Dungga menyebut lagu “Halo-Halo Bandung” digubah Tobing tapi dalam sebuah buku nyanyian disebut gubahan Ismail Mz. 

Sumber informasi yang terbit lebih awal bahkan menyatakan hal yang sama. Artikel harian Republik, 9 September 1946, berjudul “Hallo-Hallo Bandung; Kesan dari Front” sebagaimana ditelusuri Haryadi menyatakan sebagai berikut: “Di tengah sawah, di dalam waroeng, di sectie post, di atas truk, di pantjoeran selaloe terdengar lagoe Hallo-Hallo Bandung tjiptaan pahlawan moeda jaitoe sdr. Tobing.”

Baca juga: Kisah di Balik Bandung Lautan Api

Polemik soal pencipta lagu “Halo-Halo Bandung” juga pernah dilontarkan sastrawan Remy Sylado dalam suatu seminar tentang para tokoh sejarah Betawi pada 2013. Remy dalam makalahnya mencatat, “pencipta ‘Halo-Halo Bandung’ adalah Lumban Tobing, seorang prajurit Siliwangi yang hijrah di Yogyakarta, dan bersama dengan peletonnya yang terdiri dari halak Batak dan Kawanua (orang Minahasa) pulang ke Bandung sambil menyanyikan lagu ini.”  

Lumban Tobing, kata Remy, memanfaat judul “Halo, Halo Bandung” dari lagu populer yang dinyanyikan oleh Willy Derby, penyanyi Belanda yang kesohor di Bandung pada 1923. Menurut Remy, versi “Halo-Halo Bandung” yang diaku sebagai ciptaan Ismail Marzuki didasarkan pada versi asli Lumban Tobing tentang kegigihan prajurit Siliwangi yang terdiri dari suku-suku luar Jawa untuk menegakkan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.

Tobing atau Lumban Tobing sebagaimana disebut-sebut sebagai pencipta asli lagu “Halo-Halo Bandung” sejatinya bernama Simon Lumban Tobing. Sebelum menjadi pejuang, dikisahkan dalam majalah Bona ni Pinasa, No.11, Juli 1990, dia merupakan mahasiswa, anak kepala nagari Tarutung yang berkuliah di Bandung (kini ITB). Menilik melodi dan iramanya, lagu “Halo-Halo Bandung” diadaptasi dari lagu karya komponis Tapanuli Nahum Situmorang berjudul “Gyugun Laskar Rakyat”. Lagu itu diciptakan Nahum tahun 1944 untuk mendukung propaganda Jepang dan sangat populer di Tarutung. Begini liriknya:

Gyugun laskar rakyat

Laskar tanah air

Bersedia selalu

Dengan darah dan nyawa

Membinasakan musuh

Sampai hancur cair

Kemenangan akhir pasti di pihak kita

“Nah, untuk mengobarkan semangat perjuangan, bisa jadi lirik lagu ‘Gyugun Laskar Rakyat digubah jadi ‘Halo-Halo Bandung’. Lagu tersebut sudah populer pada tahun 1944. Sedang peristiwa Bandung Lautan Api terjadi pada tahun 1946,” tulis Bona ni Pinasa. Andai itu benar, maka Ismail Marzuki menyadur lagu “Halo-Halo Bandung” dari karya komponis lain.

Baca juga: Gugurnya Mayor Bahrin Yoga

Simon Lumban Tobing sendiri kemudian menjadi kepala staf Batalion Pelopor I Divisi Siliwangi berpangkat mayor. Namun, ujung hidupnya berakhir nahas. Pada akhir 1948, Mayor Simon Lumban Tobing bersama dua pengawalnya gugur akibat pembunuhan yang dilakukan laskar Darul Islam di sekitar Garut. Sebagai wujud penghormatan, nama Mayor Simon Lumban Tobing diabadikan menjadi nama salah satu jalan di kota Tasikmalaya.     

KOMPAS.com - Pada setiap bencana atau seperti masa-masa pandemi virus corona seperti saat ini, lagu nasional "Ibu pertiwi" banyak dinyanyikan oleh masyarakat Indonesia.

Salah satu yang populer adalah video lagu "Ibu Pertiwi" yang dinyanyikan oleh Shana Shannon yang sudah ditonton lebih dari 6 juta kali.

Lagu tersebut menggambarkan kondisi Tanah Air yang sedang dilanda bencana atau musibah. Hal itu dapat dilihat dari lirik-liriknya. Terdapat kata-kata "bersusah hati", "ibu sedang lara" dan "merintih dan berdoa".

Banyak dari masyarakat hafal lagu ini sebab biasanya dikenalkan sejak taman kanak-kanak. Namun mungkin tidak banyak yang tahu pencipta lagu ini.

Baca juga: Hari Kartini, Video Ibu Pertiwi Semangati Guru dan Siswa Belajar dari Rumah

Ismail Marzuki atau Kamsidi Samsudin?

Sejumlah orang menyebut lagu ini diciptakan oleh Ismail Marzuki. Namun ada juga sumber yang mengatakan lagu ini diciptakan komponis asal Solo Kamsidi Samsudin. Seperti ditulis dalam buku "Kumpulan Lagu Wajib Nasional, Tradisional, & Anak Populer".

"Ada sumber yang mengatakan pencipta lagu Ibu Pertiwi adalah komponis Kamsidi Samsuddin pada tahun 1908," disebutkan dalam buku yang ditulis Hani Widiatmoko dan Dicky Maulana di halaman 21 itu.

Sementara akun twitter @KatolikG pada 30 Oktober 2019 mencuit tentang lagu "Ibu pertiwi".

"Banyak orang mengira lagu "kulihat ibu pertiwi" adalah lagu nasional asli Indonesia. Padahal itu lagu jiplakan. Lagu aslinya adalah "What a friend we have in Jesus" lirik berupa puisi ditulis oleh Joseph M. Scriven th 1855," cuit dia yang dalam bio-nya mengaku tidak mewakili pandangan gereja katolik manapun.

Baca juga: Jubing dan Gitar Pagi Putih-nya

Direkam 1966

Apakah perbedaan dalam menyanyikan lagu halo-halo bandung dan ibu pertiwi jelaskan
screenshoot Tangkapan layar unggahan gitaris Jubing Kristianto

Gitaris Jubing Kristianto dalam unggahan di instagramnya 29 April 2020 lalu menyebutkan lagu "Ibu Pertiwi" kemungkinan pertama kali direkam di Indonesia tahun 1966 oleh grup band Dara Puspita.

Disebutkan dalam sampul piringan hitam tidak disebutkan nama penciptanya. Kemudian tahun 1974 dalam sebuah kaset album rekaman lagu-lagu anak "Dakochan" lagu "Ibu Pertiwi" juga dinyanyikan, namun lagi-lagi tanpa nama pencipta.

"Lagu ini bukan lagu Indonesia. Judul aslinya adalah "What A Friend We Have in Jesus" yg diciptakan Charles Converse tahun 1868 berdasar puisi ciptaan Joseph Scriven," tulis Jubing.

Rekaman pertama di dunia untuk lagu ini dilakukan tahun 1928 oleh penyanyi Washington Phillips.

"Siapa yang menulis lirik "Ibu Pertiwi" belum diketahui pasti sampai sekarang. Tapi kita tahu, lagunya adalah karya Charles Converse," lanjut dia.

Baca juga: Iwan Fals, Once, dan Fiersa Besari Nyanyikan Ibu Pertiwi untuk Bumi Manusia

Dr CS Hutasoit dan Iwan Darsono dalam surat pembaca di Harian Kompas, Kamis (14/5/2020) juga mengoreksi tentang pengarang lagu "Ibu Pertiwi".

Darsono mengatakan, lagu ”Ibu Pertiwi” tidak hanya mirip (beberapa bar) dengan "What a Friend We Have Jesus", tetapi benar-benar persis keseluruhannya.

"Mungkin zaman dulu tidak ada sarana untuk meluruskan sejarah, tetapi sekarang semua orang bisa mengakses informasi ke seluruh penjuru dunia. Kita perlu lebih teliti dan hati-hati, jangan sampai generasi muda penerus bangsa tersesat mengikuti sejarah yang tak benar," kata dia.

Dinyanyikan Jemaat HKBP

Hutasoit mengatakan, lagu "What a Friend We Have Jesus" telah dinyanyikan Jemaat HKBP (Huria Kristen Batak Protestan) sejak lama setelah zending Jerman mengabarkan Injil di Tanah Batak.

Dalam Buku Ende (buku nyanyian Gereja HKBP No 219) dijelaskan bahwa lagu itu diciptakan oleh Charles Crozat Converse (1832-1918) dan syairnya oleh Joseph Medlicott Sortiver (1820-1886).

"Sesudah ”Kamsidi” muncul ”Ismail Marzuki”, sementara pengarang dan pencipta lagu asli telah meninggal lebih dari 100 tahun lalu. Apakah boleh seseorang mengambil alih ciptaan orang lain, termasuk lagu, tanpa menyebutkan sumber aslinya? Saya kira ini tidak etis," ujar dia.

Lagu "Ibu Pertiwi" apabila dicermati bermelodi 100 persen sama dengan ”Ise do Ale-alenta” yang tersua di Buku Ende nomor 219 dan ”Yesus Kawan Sejati” yang tersua di Kidung Jemaat nomor 453.

Kedua buku nyanyian gereja itu menyebut lagunya diciptakan Charles C Converse. Buku Ende menyebut diciptakan tahun 1918, sementara Kidung Jemaat menyebut tahun 1868.

Lirik tentang Yesus sebagai kawan sejati itu ditulis dalam bahasa Inggris oleh Joseph M Scriven pada 1855.

Baca juga: Saat Lagu Nyanyian Kode Dibawakan Artis Jepang sebagai Penyemangat Melawan Corona

Puisi untuk ibu

Dikutip dari Christianity.com, Joseph M Scriven dilahirkan di Irlandia pada tahun 1820, dan menempuh pendidikan di Trinity College, Dublin.

Dia lalu bertunangan dan bersiap untuk menikah. Kemudian tragedi menimpa. Tunangannya tenggelam pada malam sebelum pernikahan mereka.

Setelha itu ia bermigrasi ke Kanada, tempat ia mengajar dan mengajar untuk mencari nafkah.

Sekali lagi dia bertunangan, dengan Eliza Roche. Namun sekali lagi tragedi menimpa. Sesaat sebelum pasangan itu menikah, gadis itu jatuh sakit dan meninggal.

Setelah hampir depresi, dia bergabung dengan Plymouth Brethren setempat dan membantu anggota lansia mereka. Hal itu membuatnya lebih sadar akan penderitaan orang miskin dan lemah.

Joseph menulis nyanyian pujiannya yang terkenal pada tahun 1855 untuk menghibur ibunya yang masih tinggal di Irlandia.

Tulisan tentang lagu itu ditemukan secara tidak sengaja sesaat sebelum kematiannya. Ira Sankey menambahkan nada pada kata-kata itu.

Baca juga: [KLARIFIKASI] Lagu Corona Karya Bimbo Disebut Sudah Ada Sejak 30 Tahun Lalu

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.