Apakah Indonesia lebih menerapkan Model UN atau OECD

P3B ( Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda ) atau yang biasa disebut sebagai Tax Treaty merupakan perjanjian pajak antara dua negara yang mengatur hal-hal yang berkaitan dengan pembagian hak pemajakan atas penghasilan yang diperoleh/diterima oleh penduduk dari salah satu atau kedua pihak negara dengan tujuan untuk meminimalisir terjadinya pengenaan pajak berganda dan untuk menarik investasi modal asing ke dalam negeri.

Jakarta - P3B (Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda) atau yang biasa disebut sebagai Tax Treaty merupakan perjanjian pajak antara dua negara yang mengatur hal-hal yang berkaitan dengan pembagian hak pemajakan atas penghasilan yang diperoleh/diterima oleh penduduk dari salah satu atau kedua pihak negara dengan tujuan untuk meminimalisir terjadinya pengenaan pajak berganda dan untuk menarik investasi modal asing ke dalam negeri. P3B digunakan untuk menentukan alokasi dari hak pemajakan suatu transaksi yang terjadi diantara negara sumber dan negara domisili. Dimana negara sumber adalah negara dengan tempat sumber penghasilan berasal dan negara domisili adalah negara dengan tempat wajib pajak tinggal ataupun menetap. 

Adapun tujuan-tujuan yang dimiliki P3B seperti mencegah pengelakan pajak, memberikan kepastian hukum, sebagai alat pertukaran informasi, penyelesaian sengketa dalam P3B, non diskriminasi, dan sebagai bantuan dalam penagihan pajak.

Dalam prosesnya, P3B ini memerlukan Prosedur Persetujuan Bersama (Mutual Agreement Procedure) yang dilakukan oleh Direktur Jenderal Pajak atau Dirjen Pajak dan otoritas pajak negara atau juga yurisdiksi mitra P3B. Permintaan persetujuan ini dapat diajukan oleh wajib pajak dalam batas waktu pelaksanaan persetujuan. Selain itu DJP mempunyai kuasa untuk meneliti permintaan pelaksanaan persetujuan untuk dapat menentukan bisa atau tidaknya untuk dilaksanakan prosedur persetujuan tersebut. Namun, ketika persetujuan tersebut sudah mendapatkan hasil persetujuan bersama setelah surat ketetapan pajak diterbitkan tetapi tidak diajukan keberatan atau tidak diajukan permohonan pengurangan atau pun pembatalan surat ketetapan pajak yang benar, maka DJP berhak untuk melakukan pembetulan atas surat ketetapan pajak tersebut sesuai dengan ketentuannya. 

Dalam perpajakan Internasional, Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda ini menjadi sumber hukum yang selalu digunakan dalam setiap transaksinya. Aspek-aspek perpajakannya pun juga mengikuti ketentuan-ketentuan yang ada pada P3B sesuai dengan transaksi yang bersangkutan. Maka dari itu setiap negara yang terlibat dalam proses pembuatan P3B ini pun harus mendasari adanya model perjanjian yang diakui secara internasional. Untuk itu model perjanjian tersebut dibagi menjadi 2 jenis , yaitu Model OECN (Organization for Economic Cooperation and Development ) dan Model UN (United Nation). 

Dalam model OECD ini mempunyai tujuan untuk meningkatkan perdagangan antara negara-negara yang menandatangani P3B dengan cara menghilangkan pajak berganda internasional serta pada model ini hak pemajakan diberikan lebih banyak kepada negara domisili. Anggota model OECD ini terdiri dari negara maju, yang umumnya di Negara Eropa seperti Inggris, Perancis, Jerman, Jepang, Australia, Amerika Serikat, Kanada, dan 19 negara maju lainnya. 

Sedangkan dalam Model UN ini mempunyai tujuan pada P3B yang lebih meluas, yaitu bertujuan untuk meningkatkan investasi asing sebagai sarana untuk pertumbuhan ekonomi dan sosial dari negara-negara berkembang. Berlawanan dengan Model OECD, pada model UN ini lebih memberikan hak pemajakan kepada negara sumber atau negara yang berpenghasilan. Anggota Model UN ini terdiri dari ahli perpajakan negara maju dan perwakilan dari negara yang sedang membangun seperti, Asia, Amerika Latin dan Afrika, Indonesia, India, Turki dan 14 negara lainnya. 

Kedua model ini menjadi acuan untuk digunakan oleh negara yang akan melakukan transaksi luar negeri dengan melibatkan perjanjian ini, di Indonesia sendiri juga membentuk dan mengembangkan modelnya sendiri yang diberi nama dengan Model Indonesia. Dimana dalam Model Indonesia ini merupakan penggabungan dan pengembangan dari Model OECD dan Model UN.

Apakah Indonesia lebih menerapkan Model UN atau OECD

Nur ain Isqodrin, SE., Ak., M.Acc Isqodrin.wprdpress.com

Apakah Indonesia lebih menerapkan Model UN atau OECD

Nur ain Isqodrin, SE., Ak., M.Acc Isqodrin.wordpress.com

Apakah Indonesia lebih menerapkan Model UN atau OECD

Nur ain Isqodrin, SE., Ak., M.Acc Isqodrin.wordpress.com

Apakah Indonesia lebih menerapkan Model UN atau OECD

Nur ain Isqodrin, SE., Ak., M.Acc Isqodrin.wordpress.com

Apakah Indonesia lebih menerapkan Model UN atau OECD

WITHHOLDING PPH PASAL 22 & 23. Nur ain Isqodrin, SE., Ak., M.Acc

Apakah Indonesia lebih menerapkan Model UN atau OECD

Bab 5 PERBANDINGAN TAX TREATY DALAM MODEL OECD, UN, DAN MODEL INDONESIA

Apakah Indonesia lebih menerapkan Model UN atau OECD

Sistem Informasi Geografis (AK ) MODEL DATA SPASIAL

Apakah Indonesia lebih menerapkan Model UN atau OECD

Model 4. Model 1. Model 2. Model 5. Model 3. Model 6

Apakah Indonesia lebih menerapkan Model UN atau OECD

Asset pricing model selection: Indonesian Stock Exchange

Apakah Indonesia lebih menerapkan Model UN atau OECD

Asset pricing model selection: Indonesian Stock Exchange

Apakah Indonesia lebih menerapkan Model UN atau OECD

Model 1. Model 2. Model 3

Apakah Indonesia lebih menerapkan Model UN atau OECD

MODEL-MODEL PEMBELAJARAN INOVATIF

Apakah Indonesia lebih menerapkan Model UN atau OECD

Model-model Evaluasi Pendidikan

Apakah Indonesia lebih menerapkan Model UN atau OECD

MODEL MODEL PENGEMBANGAN KURIKULUM

Determinasi OECD Model Convention Dan United Nation Convention Dalam Penghindaran Pajak Berganda Di Indonesia

Subjek pajak luar negeri berpotensi dikenakan pajak berganda baik itu di negara penghasil maupun negara penerima, sehingga mendorong terjadinya pengelakan pajak dan berimplikasi pada citra buruk investasi dalam negeri.

Dalam sistem pengenaan pajak di Indonesia mengenai subjek pajak dalam negeri dan subjek pajak luar negeri. Subjek pajak dalam negeri terdiri dari orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia; badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia. Sedangkan subjek pajak luar negeri dibagi menjadi orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia maupun badan yang tidak didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia.

Terhadap masing-masing subjek pajak akan dikenai pemungutan pajak tunggal. Akan tetapi berbeda halnya dengan subjek pajak luar negeri yang memungkinkan adanya penerapan pajak berganda yang dilakukan oleh fiskus (pemerintah).

Hal ini mendorong pelaku usaha yang melekat fungsinya sebagai Wajib Pajak untuk mengeluarkan biaya beban perusahaan yang lebih besar sebagai akibat pengenaan pajak berganda.

Alasan demikian membawa inisiasi bagi fiskus untuk menerapkan Tax Treaty atau Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B). P3B adalah pengenaan pajak lebih dari satu kali oleh dua negara atau lebih atas suatu penghasilan yang sama. 

Tax treaty berfungsi untuk:

  1. Meningkatkan arus investasi dari negara pembuat perjanjian karena menghilangkan atau mengurangi hambatan pajak antar negara.
  2. Melindungi investor atas investasi yang dilakukan di negara perjanjian berlangsung.
  3. Menumbuhkan perekonomian domestik sebagai dampak peningkatan arus investasi
  4. Memberikan kepastian hukum bagi Wajib Pajak dan Fiskus, dan lain-lain.

Dengan adanya P3B ini bukan dimaknai sama dengan penghindaran pajak. Sebab, Wajib Pajak Luar Negeri berpotensi mendapat beban pajak ganda, sehingga salah satu pemungutan pajak akan ditiadakan dan kemudian Wajib Pajak hanya dikenakan pemungutan pajak tunggal.

Indonesia telah melakukan perjanjian bilateral dengan beberapa negara sehubungan dengan Tax Treaty atau P3B ini. Contohnya adalah Republik Demokratik Rakyat Aljazair dengan Indonesia mengenai The Avoidance of Double Taxation and The Prevention of Fiscal Evasion with Respect to Taxes on Income and on Capital.

Negara lainnya adalah Indonesia dengan Pemerintah Kerajaan Belanda yang efektif diberlakukan pada tahun 2004. 

Tercatat saat ini terdapat 67 (enam puluh tujuh) Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda Dan Pencegahan Pengelakan Pajak Atas Penghasilan Dan Atas Kekayaan. 

Pengenaan Tax Treaty pada dasarnya berhubungan dengan dua stimulan yang besar, antara OECD Model Convention dan United Nation Model Convention.

OECD Model Convention lebih menitikberatkan pada kapital terutama pada aspek negara ekspor dan negara pengimpor yang kemudian berkorelasi terhadap negara penghasil (pajak) dengan negara pemungut pajak (negara penerima). Dengan demikian aspek mitigasi dan eliminasi terhadap pajak berganda dilakukan dengan pembebanan pajak lebih tinggi bagi negara tempat tinggal Wajib Pajak atau sering kali disebut negara penerima. Akhirnya negara-negara berkembang membentuk model treaty sendiri di bawah naungan United Nation.

Secara prinsip OECD Model Convention lebih berorientasi pada kepentingan negara maju (kapital) dengan hak pemajakan lebih besar di negara penerima penghasilan. Sedangkan UN Model menitikberatkan pada hak pemajakan lebih besar di negara sumber penghasilan.

Perbedaan OECD Model Convention dan UN Model secara teoritis

Kedua model ini memiliki karakteristik yang berbeda satu sama lain. Pertama, dalam perolehan laba usaha yang pada konteks OECD Model menekankan pada laba usaha yang didapatkan diberlakukan terhadap masing-masing negara. Akan tetapi dikecualikan terhadap laba yang diterima dalam usaha tetap yang dapat dikenakan pajak oleh negara lain. Sedangkan pada UN Model laba usaha yang didapatkan hanya di masing-masing negara namun dikecualikan terhadap bentuk usaha tetap.

Kedua, pada model UN Nation mengandung pembatasan hak pada negara penghasil pajak. Hal ini terdapat pada ketentuan Pasal 12 dari OECD Model Convention dengan Pasal 12 UN Model Convention yang tidak  menghalangi royalti yang dibayarkan Wajib Pajak dari negara penghasil kepada masyarakat negara lain. Selain itu UN Model juga memberikan negara penghasil untuk meningkatkan hak atas perpajakan melebihi pendapatan bisnis dari negara kedudukan tempat tinggal. 

Menurut Hakim Pengadilan Pajak Republik Indonesia Andre Irwanda, S.H.,S.E.,Ak.,MBA.,M.H.,CIA.,CA, pada model OECD memberikan dividen dikenakan tarif tidak melebihi dari 5% dari jumlah bruto jika penerima dividen (beneficial owner) memiliki kepemilikan paling sedikit 25% dari modal dan 15% dari jumlah bruto dengan kepemilikan lainnya. Sedangkan pada UN Model dividen dikenakan tarif sangat bergantung pada kesepakatan bilateral yang disepakati. Kemudian diperbandingkan dengan jumlah bruto jika penerima dividen (beneficial owner) memiliki kepemilikan paling sedikit 10% dari modal, sebagaimana disampaikan dalam webinar ICTL Universitas Gadjah Mada pada Jumat, 15 Oktober melalui akun Youtube Kanal Pengetahuan.

Lanjutnya, mengenai Bunga pada OECD Model dikenakan tarif tidak melebihi 10% dari jumlah bruto sedangkan pada UN Model adalah tergantung pada kesepakatan bilateral. Dengan demikian pada penerapan UN Model lebih menekankan pada aspek perjanjian bilateral yang disepakati oleh negara pihak.

Daya laku tax treaty di Indonesia

Tax treaty merupakan salah satu bentuk perjanjian Internasional sehingga terkait dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. Tax treaty ini bersifat lex-specialis yang berlaku hanya kepada wajib pajak dari negara party dari tax treaty.

Penduduk sebagai Wajib Pajak ini ditentukan oleh pejabat pemerintahan yang berwenang yang kemudian dibuktikan dengan Surat Keterangan Domisili sehingga menjadi bukti otentik status penerima penghasilan.

Surat Keterangan Domisili ini memiliki dimensi ruang dan waktu. Hal ini berimplikasi pada penduduk di negaranya, misalnya penduduk  Hongkong sekalipun kewarganegaraannya adalah China namun tidak terikat pada Tax Treaty Indonesia dengan China.

Berdimensi waktu dimaksudkan, pada Surat Keterangan Domisili itu harus memuat tanggal keberlakuan. Sebab, apabila didalam surat tidak dimasukkan tanggal keberlakuan maka terhadap transaksi yang menimbulkan pemajakkan ketentuan tax treatynya tidak dapat diberlakukan.  

Dengan demikian Tax treaty-nya baru akan berlaku sepanjang Wajib Pajak tersebut dapat membuktikan bahwa Surat Keterangan Domisilinya yang tidak mencantumkan tanggal keberlakuan ini salah dan segera berkoordinasi dengan otoritas pajak negara penghasil sehingga tax treaty dapat diberlakukan sebagaimana asas presumptio iustae causa.

Asas Presumptio Iustae Causa yang menyatakan bahwa setiap keputusan tata usaha negara (KTUN) yang dikeluarkan harus dianggap benar menurut hukum, karenanya dapat dilaksanakan lebih dahulu selama belum dibuktikan sebaliknya dan dinyatakan oleh hakim. 

DAS