Apa yang dimaksud dengan desentralisasi dan sentralisasi dalam otonomi daerah

19 Nopember 2016 / Pembicara Kegiatan Mahasiswa

Apa yang dimaksud dengan desentralisasi dan sentralisasi dalam otonomi daerah

Otonomi Daerah yang diatur dalam Pasal 18 (2) & (5) UUD 1945 memberikan kewenangan kepada daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri pemerintahannya. Otonomi Daerah juga dipertegas dengan UU No. 232014 yang secara khusus mengatur mengenai Pemerintahan Daerah. 

Otonomi Daerah memiliki tiga tujuan utama, yaitu (1) kesejahteraan masyarakat, (2) daya saing daerah, dan (3) peningkatan efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan daerah. Tiga hal ini merupakan tujuan Otonomi Daerah yang sebelumnya sulit dilaksanakan akibat sentralisasi.

Pada Orde Lama pemerintahan Ir. Soekarno, Indonesia menerapkan sentralisasi yang semua urusan pemerintahan masih terpusat di pemerintah pusat. Namun diberlakukannya sentralisasi di era Orde Lama memiliki tujuan untuk menyatukan dan mengeratkan NKRI, mengingat pada awal Indonesia merdeka masih terdapat beberapa daerah yang hendak emmerdekakan diri.

Pada era Orde Baru pemerintahan Jend. Purn. Soeharto, Indoensia juga masih menerapkan sentralisasi. Penerapan sentralisasi pada masa itu bertujuan untuk menjaga stabilitas politik dan ekonomi nasional. Namun pada perjalanannya implementasi penerapan sentralisasi di era Orde Baru tidak sesuai dengan semnangat masyarakat dan malah terjadi abuse of power, sehingga terjadi evaluasi besar-besaran terhadap sistem sentralisasi.

Pada awal Reformasi, sentralisasi dirubah menjadi desentralisasi dengan diundangkannya UU pelopor utama desentralisasi yaitu UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah, kedua UU tersebut dilahirkan pada massa Presiden Habibie.

Otonomi Daerah yang berjalan di era Reformasi memberikan kewenangan kepada daeah dalam bentuk desentralisasi (penyerahan wewenang) kepada Kabupaten dan Kota, dan memberikan kewenangan Dekonsentrasi (pelimpaha wewenang) sekaligus desentralisasi pada Provinsi. Sehingga Provinsi masihlah perpanjangan tangan dari pemerintah pusat.

Otonomi daerah terlaksana akibat adanya disharmoni antara kebijakan pusat terhadap daerah, karena pusat dianggap tidak begitu mengetahui apa kebutuhan daerah, dan yang paling mengerti kebutuhan daerah adalah daerah itu sendiri. Sehingga daerah diberikan kewenangannya oleh pusat untuk mengatur dan mengurus sendiri wilayahnya.

ilamana Anda membahas Otonomi Daerah maka Anda tidak lepas dari desentralisasi. Istilah desentralisasi dan otonomi daerah dalam bahasan sistem penyelenggaraan pemerintahan sering digunakan secara campur aduk. Kedua istilah ini secara akademik bisa kita bedakan, namun secara praktis dalam penyelenggaraan pemerintahan tidak dapat kita pisahkan sehingga tidak mungkin masalah otonomi daerah dibahas tanpa melihat konsep desentralisasi.

Konsep desentralisasi sering dibahas dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. Desentralisasi bukan merupakan sistem yang berdiri sendiri, melainkan merupakan rangkaian kesatuan dari suatu sistem yang lebih besar. Desentralisasi bukan merupakan alternatif dari sentralisasi karena tidak dilawankan dan karenanya tidak bersifat dikotomis. Desentralisasi dan sentralisasi merupakan subsistem dalam kerangka sistem negara. Akan tetapi, pengertian desentralisasi kerap kali dikacaukan dengan istilah; dekonsentralisasi, devolusi, desentralisasi; politik, teritorial, administratif, jabatan, fungsional, otonomi, dan tugas berbantuan.

Berbagai definisi tentang desentralisasi dan otonomi daerah diutarakan oleh para pakar berdasarkan sudut pandang masing-masing sehingga agak sulit mencari definisi yang tepat dan relevan. Kendatipun demikian perlu diutarakan beberapa batasan-batasan yang diutarakan oleh para pakar ataupun pendapat lembaga.

United Nations memberikan batasan desentralisasi sebagai berikut:

Decentralizations referss to the transfer of authority away from the national capital whether by deconsentration (i.e. delegation) to field offices or by devolution to local authorities or local bodies.1)

1) United nations, Technical assistant programe, Decentralization for National and Local Development, Departement of economic ang Social Affair, Division for Public Administration,New York: United Nasions,1962,hlm 3.

Batasan tersebut hanya menjelaskan proses kewenangan diserahkan pusat kepada daerah, yaitu melalui deconsentration atau devolution, tidak menjelaskan luasnya kewenangan. Sejalan dengan itu Bryant (1987) berpendapat bahwa ada dua bentuk desentralisasi, yaitu yang bersifat administratif dan politik. Desentralisasi yang bersifat administratif yaitu pendelegasian wewenang pelaksanaan yang diberikan kepada pejabat pusat di tingkat lokal, sedangkan desentralisasi yang bersifat politik, yaitu pendelegasian wewenang dalam pembuatan keputusan dan kontrol tertentu terhadap sumber daya yang diberikan kepada badan- badan  pemerintah regional dan lokal. Konsep desentralisasi menurut Bryant, menekankan kepada salah satu cara mengembangkan kapasitas lokal, dapat kita aplikasikan dalam rangka mengembangkan pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia.

Sejalan dengan Bryant, Rondinelli (1988) secara lebih luas memaparkan konsep desentralisasi. Ia membedakan empat bentuk desentralisasi, yaitu Deconcentration, delegation to semi-outonomous and prasstatal agencies, devolution to local goverment, and non government institutions. Menurut Rondinelli, desentralisasi dalam bentuk deconcentration, pada hakikatnya hanya merupakan pembagian kewenangan dan tanggung  jawab administratif antar departemen pusat di lapangan. Ia membedakan dua tipe dekonsentrasi, yaitu field administration dan local administration. Dalam field administration pejabat di lapangan diberikan ke leluasaan untuk mengambil keputusan, seperti merencanakan, membuat keputusan-keputusan rutin dan menyesuaikan pelaksanaan kebijaksanaan  dengan kondisi setempat. Kesemuanya ini dilakukan atas petunjuk departemen pusat.

Dalam administrasi lokal ada dua tipe menurut Rondinelli, yaitu integrated local administration dan unintegrated local administration. Integrated local administration adalah salah satu bentuk dekonsentrasi, di mana tenaga dan staf dari departemen pusat ditempatkan di daerah berada langsung di bawah perintah dan supervisi eksekutif di daerah, tetapi diangkat dan bertanggung jawab kepada pemerintah pusat. Dalam unintegrated local administration, tenaga dan staf departemen pusat yang berada di daerah dan kepala eksekutif wilayah masing-masing berdiri sendiri.

Rondinelli memberikan pengertian delegation to semi-autonomous adalah suatu pelimpahan pengambilan keputusan dan kewenangan manajerial untuk melakukan tugas-tugas khusus kepada suatu organisasi yang tidak secara langsung berada di bawah pengawasan pemerintah pusat. Bentuk ketiga dari desentralisasi yang diutarakan Rondinelli ialah devolution (devolusi). Konsekuensi dari devolusi ini adalah pemerintah pusat membentuk unit-unit pemerintahan di luar pemerintahan pusat, dengan menyerahkan sebagian fungsi tertentu untuk dilaksanakan secara mandiri.

Bentuk keempat dari konsep desentralisasi menurut Rondinelli ialah privatisasi (transfer of function from government to nongovernment institutions). Privatisasi adalah tindakan pemberian kewenangan dari pemerintah kepada badan-badan sukarela, swasta, dan swadaya masyarakat, tetapi dapat pula peleburan badan-badan pemerintah menjadi swasta.

kewenangan dalam perencanaan administrasi kepada daerah. Hal ini karena pertama, hasil yang tidak memuaskan akibat perencanaan pembangunan dan kontrol administrasi secara terpusat yang berjalan antara tahun 1950-1960. Kedua, perlu dikembangkan cara-cara baru dalam mengelola program, proyek serta administrasi pembangunan yang mencakup strategi pertumbuhan dan pemerataan yang dijalankan selama tahun 1970-an. Ketiga, kebutuhan masyarakat yang semakin kompleks, kegiatan pemerintahan yang semakin meluas sehingga semakin sulit untuk mencapai efisiensi dan efektivitas apabila kegiatan pembangunan dikelola secara terpusat. Dengan demikian, konsep desentralisasi menurut Rondinelli ada kemiripan dengan konsep yang sedang dikembangkan di Indonesia.

R.Tresna yang berorientasi versi kontinental membagi desentralisasi menjadi dua, yaitu dekonsentrasi atau desentralisasi jabatan (ambtelijke decentralisasie) dan desentralisasi ketatanegaraan (staatkundige  decentralisasi). Dekonsentrasi adalah pemberian (pemasrahan) kekuasaan dalam kepegawaian untuk kelancaran tugas semata. Sedangkan desentralisasi ketatanegaraan merupakan pemberian kekuasaan yang mengatur bagi daerah dalam lingkungannya untuk mewujudkan asas demokrasi pemerintahan negara. Lebih lanjut Tresna menyatakan bahwa desentralisasi mempunyai dua wajah, yaitu “Autonomie dan Medebewind atau Zelfbestuur”. Pendapat Rondinelli hampir sama dengan Koesoemahatmadja (1979) yang membagi desentralisasi menjadi dua, yaitu dekonsentrasi dan desentralisasi ketatanegaraan. Dekonsentrasi menurut Koesoemahatmadja adalah pelimpahan kekuasaan dari alat perlengkapan negara yang lebih atas /tinggi kepada bawahannya guna melancarkan pelaksanaan tugas pemerintahan di mana rakyat tidak diikutsertakan, sedangkan desentralisasi ketatanegaraan atau juga disebut desentralisasi politik adalah pelimpahan kekuasaan perundangan dan pemerintahan (regelende en bestuurendebevoegheid) kepada daerah-daerah otonom dalam lingkungannya. Dalam konteks ini rakyat dengan menggunakan saluran tertentu (perwakilan ) turut serta dalam pemerintahan.

Desentralisasi ketatanegaraan atau desentralisasi politik ini dibagi lagi menjadi dua, yaitu desentralisasi teritorial (territoriale decentralisatie) dan desentralisasi fungsional (functionele decentralisatie) Desentralisasi teritorial yaitu pelimpahan kekuasaan untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerah masing-masing (otonom), sedangkan desentralisasi fungsional yaitu pelimpahan kekuasaan untuk mengatur dan mengurus sesuatu atau beberapa kepentingan tertentu. Pendapat Tresna ini tidak berbeda dengan Koesoemahatmadja yang membagi desentralisasi teritorial menjadi dua yaitu otonomi (autonomie) dan Medebewind atau Zelfbestuur Otonomi berarti pengundangan sendiri, Akan tetapi menurut perkembangan sejarahnya di Indonesia, otonomi itu selain berarti perundangan (regeling), juga berarti pemerintahan (bestuur) Dengan diberikan kekuasaan perundangan dan pemerintahan kepada daerah/badan otonom seperti provinsi, kabupaten/kota maka daerah otonomi dengan inisiatif sendiri akan mengurus rumah tangganya dengan jalan membuat peraturan daerah yang tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dasar dan undang-undang lainnya yang tingkatannya lebih tinggi. Dengan demikian, kurang tepat jika otonomi dan medebewind adalah bentuk atau macam dari desentralisasi. Akan tetapi, lebih tepat apabila dikatakan otonomi dan medebewind tersebut manifestasi atau perwujudan dianutnya desentralisasi teritorial sebagai suatu sistem dalam pemerintahan. Dengan mengutip pendapat Logemann dalam Het staatsrecht der zelfregrende gemeenschappen.

Ateng Syafrudin berpendapat bahwa otonomi bermakna kebebasan atau kemandirian (zelfstandigheid) tetapi bukan kemerdekaan (onafhankelijkheid). Di dalamnya  terkandung dua aspek utama, yaitu pertama, pemberian tugas dan kewenangan untuk menyelesaikan suatu urusan. Kedua, pemberian kepercayaan dan wewenang untuk memikirkan dan menetapkan sendiri cara-cara penyelesaian tugas tersebut. Dengan demikian, otonomi dapat diartikan sebagai kesempatan untuk menggunakan prakarsa sendiri atas segala macam nilai yang dikuasai untuk mengurus kepentingan umum (penduduk). Kebebasan yang terbatas atau kemandirian itu merupakan wujud pemberian kesempatan yang harus dipertanggung jawabkan. Koesoemahatmadja bahkan lebih jauh mengartikan medebewind atau zelfbestuur sebagai pemberian kemungkinan kepada pemerintah pusat/pemerintah daerah yang tingkatannya lebih atas, untuk meminta bantuan kepada pemerintah daerah yang tingkatannya lebih rendah untuk menyelenggarakan tugas atau urusan rumah tangga (daerah yang tingkatannya lebih atas tersebut). Istilah zelfbestuur adalah terjemahan dari selfgovernment yang di Inggris diartikan sebagai segala kegiatan pemerintahan di tiap bagian dari Inggris yang dilakukan oleh wakil-wakil dari pemerintah dan di Belanda zelfbestuur diartikan sebagai pembantu penyelenggaraan kepentingan-kepentingan dari pusat atau daerah yang tingkatannya lebih tinggi oleh daerah yang tingkatannya lebih rendah.

Dalam penyelenggaraan medebewind, urusan-urusan yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah masih tetap merupakan urusan pemerintah pusat atau daerah yang lebih tinggi. Urusan ini tidak beralih menjadi urusan daerah yang dimintai bantuannya. Konsep tugas pembantuan yang dianut oleh Indonesia adalah penugasan (taak) dengan kewajiban mempertanggung jawabkan pelaksanaannya kepada yang menugaskan.

Jadi, perwujudan desentralisasi pada tingkat daerah adalah “otonom daerah” sistem Suatu negara bangsa menganut desentralisasi dan sentralisasi tidak dilawankan dan karenanya tidak bersifat dikotomis, melainkan merupakan sub-sub sistem dalam kerangka organisasi negara. Karenanya pula, suatu negara bangsa merupakan genusnya, sedangkan sentralisasi, desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan merupakan spesiesnya. Masalahnya, bagaimana mencari keseimbangan di antara spesies tersebut.

Paul S. Maro, 1990:673-693). Bintoro Tjokroamidjojo (1976) menegaskan bahwa desentralisasi sering kali disebut sebagai pemberian otonomi. Dengan kata lain, desentralisasi merupakan pengotonomian yakni proses pemberian otonomi kepada masyarakat dalam wilayah tertentu. Hubungan desentralisasi dan otonomi daerah tergambar dalam pernyataan Gerald S. Maryanov (1958) bahwa desentralisasi dan otonomi daerah merupakan dua sisi dari satu keping mata uang. Dilihat dari sudut pandang pemerintah pusat yang berlangsung adalah penyelenggaraan desentralisasi dalam negara kesatuan Indonesia, sedangkan dilihat dari sudut pandang pemerintah daerah yang terjadi adalah otonomi daerah. Dalam praktik kedua istilah tersebut  kerap kali ditukar pakaikan (P. Walker III, 1967). Dengan mengacu pada berbagai pendapat para pakar dan rumusan dalam undang-undang mengenai pengertian otonomi daerah maka dalam tulisan  ini yang dimaksudkan dengan otonomi daerah adalah Pemerintahan oleh, dari, dan untuk rakyat di bagian wilayah suatu negara bangsa melalui lembaga- lembaga pemerintah formal yang berada di luar pemerintah pusat.

Ditinjau dari sudut pandang pengambilan keputusan maka kebijakan pemerintah dalam pengertian otonomi tersebut mencakup kebijakan pengambilan keputusan politik dan keputusan administrasi.Jenis keputusan pertama disebut sebagai allocative decision dan keputusan kedua disebut sebagai decision of implementatio (Michael Faltas,198: 5-6) . Perbedaan kedua jenis keputusan ini diutarakan oleh Faltas sebagai berikut:

Those decisions that allocatve, they commit public funds, the coercive power of governmental regulation and other public values, to outhoritatvely choseb ends. Once these allocation have been made , a further set of decision have to be taken , decisions of imlementation about how and where resources have to be used, who would qualify for sevices resulting from the alloction and whether the allocated resources have been properly used.

Keputusan politik adalah keputusan kebijaksanaan sedangkan keputusan administratif adalah keputusan pelaksanaan kebijaksanaan administrasi dalam bentuk wewenang dalam mengambil keputusan administrasi dan keuangan untuk menggali sumber daya keuangan dan membelanjakan untuk tugas-tugas rutin dan pembangunan. Oleh karena itu, pendapat orang yang menyatakan bahwa otonomi daerah bukan otonomi politik tidak sejalan dengan pengertian otonomi daerah tersebut. Kendatipun diberikan wewenang keputusan politik, namun ada pembatasnya. Dalam Pasal 18 UUD RI 1945 telah diberikan pembatas bagi besarnya otonomi daerah di Indonesia, yaitu daerah otonom tidak akan berupa staat. Oleh karena itu, dalam otonomi daerah tidak mencakup kekuasaan untuk membuat UU (dalam arti formal) dan kekuasaan yudikatif yang menjadi wewenang lembaga peradilan di bawah Mahkamah Agung. Selain itu, sejumlah kekuasaan yang mempunyai makna strategis bagi persatuan dan kesatuan bangsa tidak tercakup dalam otonomi daerah antara lain pertahanan dan keamanan,hubungan luar negeri, moneter, dan pemerintahan umum. Otonomi daerah sebagai pemerintahan sendiri oleh rakyat dalam wilayah nasional mengandung arti pengakuan atas kemandirian masyarakat setempat yang diberikan otonomi dalam kebijaksanaan, perencanaan, dan pelaksanaan pembangunan (Moh. Hatta,1957). Namun, dengan adanya kemandirian dalam berotonomi tidak akan menutup berlangsungnya bimbingan dan pengawasan oleh pemerintah pusat kepada masyarakat yang berotonomi dalam lingkup organisasi negara. Menurut Harold F.Alderfer,1964 dan Brant C. Smith, 1985 menyatakan bahwa dalam kenyataannya dewasa ini, semua negara baik negara federal maupun negara kesatuan tidak terdapat otonomi penuh dalam arti kebebasan penuh tanpa campur tangan pemerintah pusat. Campur tangan pemerintah pusat diperlukan dalam bentuk bimbingan dan pengawasan dalam organisasi negara.

Luas otonomi dalam masing-masing aktivitas, tergantung kepada kebijakan desentralisasi yang sesuai dengan konfigurasi sosial politik negara yang bersangkutan. Dalam sejarah perkembangan pemerintahan Republik Indonesia, tidak pernah terjadi pemberian otonomi kepada daerah sepenuhnya kepada empat bidang tugas pemerintahan seperti yang di kemukakan dalam teori Van Vollenhoven, yaitu bestuur, politie, rechtspraak dan regeling. Selama ini pemerintah daerah lebih banyak diberikan hak otonomi dalam bidang tugas membentuk perundang-undangan sendiri (zelfwetgeving) seperti peraturan daerah (perda) dan keputusan daerah serta hak melaksanakan sendiri (zelfuitvoering). Tugas kepolisian terbatas pada usaha-usaha agar peraturan daerah ditaati masyarakat daerah bersangkutan Tugas pengadilan sama sekali tidak dimiliki oleh daerah, dan kalaupun ada berkenan dengan sengketa administrasi antar daerah, sebab urusan peradilan tidak termasuk urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah. Oleh karena itu, pemberian otonomi kepada daerah tidak dalam pengertian kemerdekaan untuk menjalankan kekuasaan pemerintahan sepenuhnya ,akan tetapi dalam pengertian otonomi terbatas dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.  

Apa yang dimaksud dengan desentralisasi dan sentralisasi dalam otonomi daerah

Gambar 8.1.

Diagram Hubungan Desentralisasi dan Dekonsentrasi dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah

Prinsip yang terkandung dalam Negara Kesatuan adalah pemerintah pusat berwenang melakukan campur tangan dalam persoalan-persoalan daerah sepanjang hal itu menyangkut hajat hidup masyarakat di daerah itu. Jadi, tidak semua urusan diserahkan kepada daerah untuk menjadi urusan rumah tangganya sendiri, tetapi ada sebagian urusan yang dikecualikan yaitu pertahanan dan keamanan, peradilan, moneter, luar negeri. Atas dasar itu Amrah Muslimin mengelompokkan asas pemerintahan menjadi tiga varian desentralisasi, yaitu desentralisasi politik, desentralisasi fungsional, dan desentralisasi kebudayaan.

Untuk memperjelas pemahaman Anda tentang hubungan. Desentralisasi dan dekonsentrasi dalam pelaksanaan otonomi daerah maka Anda dapat melihatnya pada Gambar 8.1.