Apa saja yang dilakukan khalifah Ali bin Abi Thalib dalam menghadapi lawan-lawan politiknya jelaskan

ZAINUDIN, Z (2018) SISTEM PEMERINTAHAN ISLAM PADA ERA KHALIFAH ALI BIN ABI THALIB DALAM PERSPEKTIF FIQIH SIYASAH. Undergraduate thesis, UIN Raden Intan Lampung.

Apa saja yang dilakukan khalifah Ali bin Abi Thalib dalam menghadapi lawan-lawan politiknya jelaskan

Apa saja yang dilakukan khalifah Ali bin Abi Thalib dalam menghadapi lawan-lawan politiknya jelaskan

PDF
Download (1MB) | Preview

Abstract

Ali bin Abi Thalib adalah khalifah keempat dan terakhir dari suatu dinasti yang ada dalam sejarah Islam atau yang lebih dikenal dengan dinasti Khulafa al-Rasyidin. Ali adalah sepupu dan menantu Nabi. Ali adalah putra Abi Thalib bin Abdul Muthalib. Pemilihan beliau sebagai khalifah menggantikan Usman yang wafat pada tahun 35 H, melalui cara yang berbeda dari pemilihan khalifah sebelumnya. Selama masa pemerintahannya yang kurang dari 5 tahun, beliau menghadapi berbagai pergolakan. Tidak ada masa sedikitpun dalam pemerintahannya yang dapat dikatakan stabil. Beliau menghadapi berbagai tantangan yang dilancarkan oleh Thalhah cs, Mu’awiyah, dan Khawarij yang mengakibatkan terjadinya perang. Peperangaan yang pecah beberapa kali pada masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib menjadi sangat penting dalam catatan sejarah Islam, sebab peristiwa itu memperlihatkan sesuatu yang baru, dan menarik untuk ditelusuri sebab di antara beberapa khalifah pendahulunya belum pernah ada yang turun langsung di medan perang selain beliau dan sekaligus menjadi panglimanya, hanya saja sejarah mencatat bahwa peristiwa itu justru terjadi antar sesama saudara muslim. Berdasarkan uraian diatas maka masalah yang dapat dirumuskan yaitu: Bagaimana sistem pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib dan Bagaimana sistem pemerintahan Khalifah Ali Bin Abi Thalib menurut perpektif fiqih siyasah. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah Untuk memahami secara mendalam tentang sistem pemerintahan yang terjadi pada masa Khalifah Ali bin Abi Thalib. Serta untuk memahami secara mendalam tentang sistem pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib menurut perspektif fiqih siyasah. Sedangkan kegunaan penelitian ini adalah untuk menambah ilmu pengetahuan tentang fiqih siyasah yang lebih mendalam, umumnya bagi kawan-kawan mahasiswa jurusan siyasah dan khususnya bagi penulis sendiri. Dan adapun jenis atau metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini yaitu kajian pustaka, dimana data-data yang didapat merupakan data yang bersumber dari buku-buku dan jurnal-jurnal yang berhubungan dengan skripsi ini, dengan acuan pada fiqih siyasah dengan cara membaca dan menelaah. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa di masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib tidaklah semulus pemerintahan khalifah sebelumnya, dikarenakan banyaknya tekanan-tekanan politik yang di lakukan oleh para sesama muslim, salah satunya yaitu perang Jamal, dimana perang ini terjadi antara pasukan yang di pimpin oleh Khalifah Ali dengan pasukan yang di pimpin oleh Aisah istri Nabi sendiri, dan perang antara pasukan Ali dengan pasukan Muawiyah perang ini disebut juga dengan perang siffin, yang di akhiri dengan perjanjian antara muawiyah dengan Ali yang di balut oleh politik pemerintahan muawiyah.

Actions (login required)

Apa saja yang dilakukan khalifah Ali bin Abi Thalib dalam menghadapi lawan-lawan politiknya jelaskan
View Item

Hepi Andi Bastoni

Sampul buku Wajah Politik Muawiyah bin Abi Sufyan.

Rep: Ahmad Islamy Jamil Red: Indah Wulandari

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Konflik politik dan perebutan kekuasaan kerap kita jumpai dalam catatan peradaban manusia. Tidak terkecuali dalam sejarah peradaban Islam.

Bahkan, gejala semacam itu sudah ada sejak era para sahabat yang merupakan generasi terbaik sepanjang perjalanan dunia Islam.

Perseteruan politik antara Ali bin Abi Thalib RA dan Muawiyah bin Abi Sufyan pada pengujung periode pemerintahan Khulafa Rasyidun menimbulkan sejumlah perang saudara. Di antaranya yang paling terkenal adalah Pertempuran Shiffin yang terjadi pada 37 Hijriah atau hanya berselang 25 tahun pascawafatnya Rasulullah SAW.

Catatan tersebut menunjukkan, konflik berdarah yang melibatkan sesama Muslim sudah ditemukan pada masa-masa permulaan Islam. Benih-benih perpecahan di kalangan umat Islam pada era sahabat semakin berkembang sejak terbunuhnya Khalifah Utsman bin Affan RA di tangan kaum pemberontak pada 17 Juni 656 (18 Dzulhijjah 35 H).

Ali yang kemudian dipilih menjadi khalifah pengganti Utsman, menghadapi situasi negara yang tidak stabil lantaran adanya perlawanan dari beberapa kelompok, termasuk dari Muawiyah yang ketika itu menjabat sebagai gubernur Syam (Suriah).

Muawiyah yang masih memiliki hubungan kekerabatan dengan Utsman, menginginkan supaya pembunuh Utsman diadili. Namun, Muawiyah menganggap Ali tidak memiliki niat untuk melakukan hal tersebut, sehingga gubernur Suriah itu pun memberontak terhadap sang khalifah.

Menanggapi pemberontakan Muawiyah, langkah pertama yang diambil Ali adalah mencoba menyelesaikan masalah secara damai, yakni dengan mengirimkan utusannya ke Suriah.

“Proses negosiasi tersebut tidak membuahkan hasil, sehingga Ali pun memutuskan untuk memadamkan pemberontakan Muawiyah lewat  jalan perang,” tulis pengamat sejarah Islam asal India, Akramulla Syed, dalam artikelnya, The Battle of Islam at Siffin.

Untuk menghadapi Muawiyah, Khalifah Ali mengirim pasukan sebanyak 90 ribu tentara ke Syam yang dibagi menjadi tujuh unit. Sementara, Muawiyah yang didukung oleh 120 ribu prajurit juga membagi pasukannya menjadi tujuh kelompok.

Ketika pasukan Ali dan Muawiyah bertemu di wilayah Shiffin, kedua pihak langsung mengambil posisi siaga. Namun, sebelum berperang, kedua kubu terlebih dulu mengirim utusannya masing-masing untuk melakukan perundingan, dengan harapan pertempuran bisa dihindari.

Ibnu Katsir dalam al-Bidayah wa an-Nihayah menyebutkan, Abu Muslim al-Khaulani beserta beberapa orang mendatangi Muawiyah dan mengatakan, “Apakah engkau menentang Ali?”

Muawiyah lantas menjawab, “Tidak, demi Allah. Sesungguhnya aku benar-benar mengetahui bahwa dia lebih utama dariku dan lebih berhak memegang khilafah daripada aku. Akan tetapi, seperti yang kalian ketahui Utsman terbunuh dalam keadaan terzalimi, sedangkan aku adalah sepupunya yang berhak meminta keadilan. Katakan kepada Ali, serahkan para pembunuh Utsman kepadaku dan aku akan tunduk kepadanya.”

Namun, Ali tetap tidak mau mengabulkan permintaan Muawiyah tersebut atas pertimbangan kemaslahatan.


Negosiasi kembali menemui jalan buntu, sehingga perang pun tak terelakkan lagi. Kontak senjata yang paling sengit antara kubu Ali dan Muawiyah berlangsung di tebing Sungai Furat selama tiga hari, yakni dari 26-28 Juli 657 (9-11 Safar 37 H).

Pertempuran inilah yang di kemudian hari dikenal dengan Perang Shiffin.Sejumlah sahabat yang memimpin pasukan di pihak Ali antara lain adalah Malik al-Ashtar, Abdullah Ibnu Abbas, Ammar bin Yasir, dan Khuzaimah bin Tsabit. Sementara, pasukan Muawiyah diperkuat oleh Amr bin Ash dan Walid bin Uqbah. (Bersambung)

  • ali bin abi thalib
  • muawiyah bin abi sufyan

Apa saja yang dilakukan khalifah Ali bin Abi Thalib dalam menghadapi lawan-lawan politiknya jelaskan

Muawiyah menolak berbaiat kepada Ali bin Abi Thalib.

NET

Muawiyah menolak berbaiat kepada Ali bin Abi Thalib. Ilustrasi Ali bin Abi Thalib.

Rep: Imas Damayanti Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Sepeninggal Khalifah Utsman bin Affan yang wafat terbunuh, suksesi kepemimpinan khalifah berlangsung rumit. Hal itu disebabkan kondisi politik yang cukup mencekam atas berbagai rumor dan fitnah yang beredar kala itu.

Baca Juga

Sayyidina Ali bin Abi Thalib kemudian ditunjuk menggantikan Sayyidina Utsman bin Affan yang tewas dibunuh sesama Muslim, meski belum diketahui siapa pembunuhnya secara pasti. Pembunuhan yang terjadi di saat berlangsungnya revolusi sosial itu seolah dibebankan kepada Ali sebagai penggantinya.

Dalam kitab Ali bin Abi Thalib karya Ali Audah, Sayyidina Ali naik menjadi khalifah bukan karena ambisi pribadinya. Beliau menggantikan Sayyidina Utsman lantaran didesak dari berbagai kalangan. Desakan tersebut membuat Ali makin menanggung hal yang berat dengan ditambah adanya kekacauan politik dan semangat kesukuan jahiliah yang sempit.

Namun begitu, sepupu Sayyidina Utsman bin Affan, Muawiyah bin Abu Sufyan menolak keras pembaiatan terhadap kepemimpinan Sayyidina Ali. Muawiyyah yang cukup ambisius dan merasa berhak menggantikan Utsman sebagai khalifah, terkesan mempolitisasi kematian Utsman bin Affan.

Muawiyah dan sebagian Bani Umayyah menolak mengakui dan membaiat Ali sebelum tuntutannya terpenuhi. Antara lain menangkap dan menghukum para pembunuh Utsman bin Affan. 

Menurut Ali Audah, sebenarnya Muawiyah sudah sangat tahu usaha Ali bin Abi Thalib untuk mencari tahu siapa pembunuh Sayyidina Utsman bin Affan. Namun tuntutannya terus didesak sedemikian rupa.

Dalam suasana umat yang sedang berada di dalam ujian berat kala itu, kata dia, harusnya sesama Muslim hendak saling berkorban demi persatuan dan persaudaraan. Hal itu misalnya pernah terjadi di masa Umar bin Khattab.

Di mana ketika musim kemarau berkepanjangan menimpa Hijaz dan warganya terjebak dalam kelaparan, Sayyidina Umar bin Khattab hanya makan roti kering dan terus mengupayakan yang terbaik bagi warganya. Di sisi lain, umat Muslim di masa itu pun tetap bersatu untuk berjalan bersama-sama melalui kesulitan.

Ali Audah juga mempertanyakan mengapa di saat kondisi politik yang tak menentu, justru dia mengejek dan melakukan pembangkangan kepada Ali bin Abi Thalib? Padahal, sudah sekian lama Sayyidina Ali bin Abi Thalib mengirimkannya surat untuk meminta dibaiat.

Nahasnya, surat Khalifah keempat dalam Islam itu surtanya dibalas setelah tiga bulan kemudian dengan berisi surat kosong. Menengok perjalanan hidup serta kebijakan pada masa Khalifah Ustman bin Affan, sesungguhnya beliau sudah berpegang teguh pada ajaran Rasulullah dan meneladani kedua khalifah sebelumnya.

Namun orang-orang yang berada di sekitarnya yang sedarah dan sekabilah selalu mengerumuninya. Mereka berambisi besar menginginkan kedudukan dan mencari kesejahteraan untuk dirinya. 

Sayyidina Utsman merupakan seorang yang wara’, begitu istiqamah dan berhati-hati sekali untuk menghindari dosa sekecil apapun. Kendati demikian sifatnya yang sangat pemalu, santun, lemah lembut, justru dimanfaatkan   kebanyakan mereka yang tak pernah bergaul dan tak banyak bergaul dengan Nabi Muhammad SAW. Hati dan perhitungan mereka hanya dipenuhi oleh hitung-hitungan politik dan kepentingan pribadi.

Sadar atau tidak, menurut Ali Audah, mereka telah menyeret Sayyidina Utsman ke dalam petaka. Tak lepas dari pengaruh ini juga, pada akhir pemerintahannya hukum Islam mengalami kelemahan untuk pertama kalinya. Dan ini berimbas di kemudian hari pada masa pemerintahan Sayyidina Ali.

Muawiyah dan pejabat-pejabat yang berada di dalam golongannya, sebagaimana dijabarkan, tidak mengikuti dari dekat bagaimana perkembangan politik di Madinah selama masa pemerintahan Utsman sampai kemudian beliau terbunuh. Sebab, Muawiyah sudah menetap di Damsyik dan setelah Utsman menjadi khalifah ia ditetapkan sebagai wakilnya untuk wilayah Syam.

Apa saja yang dilakukan khalifah Ali bin Abi Thalib dalam menghadapi lawan-lawan politiknya jelaskan