Apa kaitan Nasakom dan peranan PKI di masa Demokrasi Terpimpin

Apa kaitan Nasakom dan peranan PKI di masa Demokrasi Terpimpin

Apa kaitan Nasakom dan peranan PKI di masa Demokrasi Terpimpin
Lihat Foto

kemdikbud.go.id

Dampak Demokrasi Terpimpin di berbagai bidang

KOMPAS.com - Perkembangan politik Indonesia pada masa Demokrasi Terpimpin (1957-1965) sangatlah kompleks dan dinamis. 

Sistem pemerintahan indonesia yang digunakan pada masa demokrasi terpimpin pada tahun 1959 adalah sistem presidensial.

Perkembangan politik pada masa ini sangat didominasi oleh kepribadian Soekarno.

Pada Februari 1956, Soekarno mengusulkan konsep Nasakom (Nasionalis Agamis dan Komunis) sebagai pilar pilar politik utama Demokrasi Terpimpin.

Konsep politik Nasakom berusaha menyatukan tiga ideologi utama partai politik yang saling bertentangan demi kemajuan pembangunan Indonesia.

Pasca diterapkannya Demokrasi Terpimpin, April 1957 Soekarno mengumumkan pembentukan Kabinet Karya dengan perdana menteri dari pihak non-partai yaitu, Djuanda.

Sedangkan kursi wakil perdana menteri diduduki oleh Hardi (PNI), Idham Khalid (NU) dan Johannes Leimena (Partai Kristen).

Baca juga: Kebijakan Ekonomi pada Masa Demokrasi Terpimpin

Dengan terbentuknya sistem pemerintahan baru tersebut, PKI dan tentara mengambil langkah-langkah untuk memperkuat posisi mereka. PKI merupakan salah satu partai yang bersinar pada masa Demokrasi Terpimpin.

Dilansir dari buku Sejarah Indonesia Modern: 1200-2004 (2008) karya M.C Ricklefs, pada pemilihan anggota dewan-dewan provinsi yang diselenggarakan pada semester kedua tahun 1957, PKI memperoleh keuntungan yang sangat besar.

Di Jawa, perolehan suara PKI 37,2 persen lebih tingi daripada jumlah suara yang diperoleh pada tahun 1955.

Perolehan suara dari 4 partai besar masa demokrasi terpimpin di Jawa Tengah dan Jawa Timur pada Pemilu Daerah Juli 1957 adalah PKI 34 persen, NU 29 persen, PNI 26 persen, dan Masyumi 11 persen.

Baca juga: Politik Demokrasi Terpimpin: Peta Kekuatan Politik Nasional

Strategi politik

Keberhasilan PKI dalam Pemilu Daerah 1957 tidak terlepas dari strategi politik ‘’kedekatan’’ pada Soekarno.

Dilansir dari buku Partai, Kebijakan dan Demokrasi (2000) karya Hans Dieter Klingemann dkk, PKI berusaha mendapatkan citra partai nasionalis dan pancasilais dengan cara mendukung kebijakan Soekarno.

PKI memanfaatkan konsep Nasakom yang diajukan Soekarno untuk mendapatkan posisi dalam pemerintahan. PKI paham benar mencari celah politik dari Demokrasi Terpimpin melalui sosok Soekarno.

Pada awal 1960an Indonesia bergerak menuju radikalisme yang menguntungkan PKI untuk semakin berkembang. Pihak tentara mengambil tindakan dengan membatasi PKI pada akhir 1960.

Baca juga: Dampak Demokrasi Terpimpin di Berbagai Bidang

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Apa kaitan Nasakom dan peranan PKI di masa Demokrasi Terpimpin

Apa kaitan Nasakom dan peranan PKI di masa Demokrasi Terpimpin
Lihat Foto

Departemen Penerangan Republik Indonesia

Nasakom Bersatu-Nasakom Djiwaku!, amanat Presiden Soekarno pada rapat raksasa pembukaan Mubes Tani Seluruh Indonesia di tahun 1965.

KOMPAS.com - Nasakom adalah konsep politik yang dicetuskan oleh Presiden Soekarno.

Kepanjangan dari Nasakom adalah Nasionalisme, Agama, dan Komunisme. 

Konsep ini berlaku di Indonesia dari 1959, masa Demokrasi Terpimpin, hingga Orde Baru, tahun 1966.

Gagasan Soekarno mengenai Nasakom ini merupakan upaya untuk menyatukan perbedaan ideologi politik.

Baca juga: Penerapan Demokrasi Terpimpin

Latar Belakang Nasakom

Gagasan Nasakom sebenarnya sudah dipikirikan Soekarno sejak 1927, jauh sebelum Indonesia merdeka.

Soekarno menulis rangkaian artikel berjudul "Nasionalisme, Islam, dan Marxisme" dalam majalah Indonesia Moeda.

Kemudian, tahun 1956, ia menyampaikan gagasan ini. 

Ia mengkritik sistem Demokrasi Parlementer yang dianggap tidak cocok untuk diterapkan di Indonesia.

Menurut Soekarno, Demokrasi Parlementer melindungi sistem kapitalisme.

Sebab parlemen dikuasai oleh kaum borjuis. Sehingga menurutnya sistem ini tidak bisa memakmurkan rakyat.

Selain itu, Soekarno juga menganggap bahwa Demokrasi Parlementer dapat membahayakan pemerintahan.

Oleh sebab itu, bulan Februari 1956, Soekarno mengusulkan konsep baru yang disebut Nasakom dengan didasari oleh tiga pilar utama.

Tiga pilar tersebut adalah Nasionalisme, Agama, dan Komunisme.

Ketiga pilar ini dimaksudkan untuk memenuhi tuntutan tiga faksi utama dalam politik Indonesia yaitu tentara, kelompok Islam, dan komunis. 

Melalui dukungan dari militer, bulan Februari 1956, ia menyatakan berlakunya Demokrasi Terpimpin dan mengusukan kabinet yang akan mewakili semua partai politik penting.

Baca juga: PKI: Asal-usul, Pemilu, Pemberontakan, Tokoh, dan Pembubaran

Pelaksanaan Nasakom

Usai Nasakom terbentuk, Soekarno semakin gencar mengkampanyekan konsep Nasakom-nya. 

Soekarno menyatukan tiga kekuatan politik dengan tujuan untuk memperkuat posisinya.

Tiga partai politik yang menjadi faksi utama dalam perpolitikan Indonesia saat itu adalah:

  1. Partai Nasional Indonesia yang berhaluan nasionalis
  2. Masyumi dan Nahdlatul Ulama yang berhaluan agama
  3. Partai Komunis Indonesia (PKI) yang berhaluan komunis

Soekarno bahkan mengampanyekan konsep Nasakom hingga ke forum internasional. Sebab saat itu, negara-negara pemenang Perang Dunia II saling bertentangan ideologi.

Dalam Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tanggal 30 September 1960 di New York, Soekarno menyampaikan pidato berjudul "To Build the World a New".

Melalui pidato tersebut, Soekarno menyampaikan konsep Nasakom yang ia buat.

Selanjutnya, dalam Sidang Panca Tunggal Seluruh Indonesia di Istana Negara, Jakarta, tanggal 23 Oktober 1965, Soekarno kembali menegaskan pentingnya Nasakom.

Baca juga: PBB: Sejarah, Tujuan, dan Tugasnya

Akhir Nasakom

Soekarno sangat gencar memperluas gagasan Nasakom miliknya. Namun, sekeras apapun ia mempertahan konsep Nakasom nya, gagasan ini akhirnya kandas.

Kandasnya Nasakom diakibatkan oleh luruhnya pamor PKI akibat Gerakan 30 September.

Selain itu, berakhirnya Nasakom juga diakibatkan oleh adanya peralihan kekuasaan dari Orde Lama ke Orde Baru, di mana pemimpin baru Indonesia, Soeharto, sangat anti-komunis. 

Dengan demikian, gagasan Nasakom pun berakhir.

Referensi: 

  • Ricklefs, M.C. (1991). A History of Modern Indonesia since c. 1300. MacMillan. 
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

tirto.id - Konsep Nasionalisme, Agama, dan Komunisme (Nasakom) dicetuskan oleh Sukarno. Rumusan ini mewakili tiga pilar utama yang menjadi kekuatan politik bangsa Indonesia, sejak era pergerakan nasional hingga pasca-kemerdekaan.

Beberapa waktu lalu, Hanum Rais sempat menyinggung mengenai Nasakom melalui akun media sosialnya. Putri Ketua Dewan Kehormatan Partai Amanat Nasional (PAN) ini mengomentari pemberitaan tentang Partai Solidaritas Indonesia (PSI) dengan istilah tersebut. "Partai NasaKom. Bukan Nasional Komunis lho. Tapi Partai Nasib Satu Koma," cuit Hanum di Twitter, Kamis (24/4/2019).

Nasakom sendiri menjadi ciri khas era Demokrasi Terpimpin yang berlangsung pada 1959 hingga 1965. Namun, gagasan ini ternyata sudah dipikirkan oleh Sukarno jauh sebelum itu, yakni pada 1926. Dalam artikelnya di surat kabar Soeoleh Indonesia Moeda, Sukarno menulis:

“Dengan jalan yang kurang sempurna, kita mencoba membuktikan bahwa paham Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme itu dalam negeri jajahan pada beberapa bagian menutupi satu sama lain,” tulis Sukarno.

“Nasionalisme, Islam, dan Marxisme, inilah asas-asas yang dipegang teguh oleh pergerakan-pergerakan rakyat di seluruh Asia. Inilah faham-faham yang menjadi rohnya pergerakan-pergerakan di Asia. Rohnya pula pergerakan-pergerakan di Indonesia kita ini,” lanjutnya.

Apa kaitan Nasakom dan peranan PKI di masa Demokrasi Terpimpin

Sukarno muda menilai ada tiga aliran politik yang menjadi pilar pergerakan nasional dalam kehidupan bangsa pada zaman kolonial Hindia Belanda kala itu. Pertama adalah kelompok nasionalis yang diwakili Indische Partij (IP), kedua golongan muslimin yang mewujud dalam Sarekat Islam (SI), dan ketiga Partai Komunis Indonesia (PKI) dengan ideologi marxisme.

Baca juga: Orang PKI Menuding Tjokroaminoto Korupsi

Dwitunggal Pecah Kongsi

Tiga dekade berselang, tepatnya 1956 atau 11 tahun setelah Indonesia merdeka, Bung Karno mengumandangkan kembali gagasan yang pernah dilontarkannya pada 1926 itu. Ia mengkritik sistem Demokrasi Parlementer yang dianggapnya tidak cocok diterapkan di Indonesia.

Dikutip dari buku Demokrasi untuk Indonesia: Pemikiran Politik Bung Hatta (2010) karya Zulfikri Suleman, Demokrasi Parlementer melindungi sistem kapitalisme –karena menurut Sukarno, parlemen dikuasai oleh kaum borjuis– dan oleh karenanya tidak akan bisa memakmurkan rakyat.

Tak hanya itu, Bung Karno juga menganggap sistem Demokrasi Parlementer juga bisa membahayakan pemerintahan.

“Di dalam Demokrasi Parlementer, tiap-tiap orang bisa menjadi raja, tiap-tiap orang bisa memilih, tiap-tiap orang bisa dipilih, tiap-tiap orang bisa memupuk kekuasaan untuk menjatuhkan menteri-menteri dari singgasananya,” sebutnya.

Maka, pada Februari 1956, Sukarno mengusulkan konsep baru yang disebutnya Demokrasi Terpimpin dengan berpondasi kepada tiga pilar utama: Nasakom.

Rosihan Anwar dalam In Memoriam: Mengenang yang Wafat (2002) mengungkapkan, konsep Demokrasi Terpimpin dan Nasakom ditentang oleh Mohammad Hatta, sang wakil presiden. Menurut Rosihan, Nasakom berarti bekerja sama dengan PKI dan Hatta kurang cocok dengan itu.

Baca juga: Sukarno-Hatta: Dwitunggal yang Tanggal

Bagi Hatta, Demokrasi Terpimpin membuat kekuasaan negara kian terpusat kepada sosok presiden, dan itulah yang memang terjadi. Syafii Maarif dalam Demokrasi dan Nasionalisme: Pengalaman Indonesia (1996) menyebut, Hatta mundur dari kursi wakil presiden karena Sukarno semakin otoriter.

Dwitunggal pun akhirnya tanggal. Dua sosok proklamator berpisah jalan. Hatta menepi, Sukarno semakin kokoh di puncak kekuasaan.

Taktik Politik Sukarno

Sepeninggal Hatta, Sukarno semakin leluasa mengkampanyekan konsep Nasakom-nya. Dengan sistem Demokrasi Terpimpin, Bung Karno menyatukan tiga kekuatan politik dengan tujuan untuk semakin memperkuat posisinya.

Nasakom memang menjadi tiga faksi utama dalam perpolitikan Indonesia kala itu. Ada partai-partai politik berhaluan nasionalis terutama Partai Nasional Indonesia (PNI) besutan Sukarno, termasuk kalangan militer, ada kelompok Islam macam Masyumi dan Nahdlatul Ulama (NU), serta golongan kiri yang dimotori PKI.

Tak berhenti di situ. Sukarno bahkan menyatakan bahwa Nasakom merupakan perwujudan Pancasila dan UUD 1945 dalam politik. Dalam pidatonya pada peringatan hari kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus 1961, sang penguasa berucap lantang:

“Siapa yang setuju kepada Pancasila, harus setuju kepada Nasakom; siapa yang tidak setuju kepada Nasakom, sebenarnya tidak setuju kepada Pancasila,” seru Sukarno dikutip dari buku Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia (2004) yang ditulis oleh Jan S. Aritonang.

Sukarno melanjutkan, “Sekarang saya tambah: Siapa setuju kepada Undang-Undang Dasar 1945, harus setuju kepada Nasakom; Siapa tidak setuju kepada Nasakom, sebenarnya tidak setuju kepada Undang-Undang Dasar 1945.”

Apa kaitan Nasakom dan peranan PKI di masa Demokrasi Terpimpin

Kampanye Nasakom bahkan dibawa Bung Karno hingga ke forum internasional. Dalam Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 30 September 1960 di New York, Amerika Serikat, Sukarno menyampaikan pidato bertajuk “To Build The World a New”.

“Sukarno menawarkan sebuah konsep tata dunia yang baru. Sukarno ketika itu merangkum konsepsi politiknya sebagai Nasakom: Nasionalisme, Agama, Komunisme,” sebut Bernhard Dahm, periset senior yang telah banyak meneliti tentang sejarah Asia Tenggara dan Indonesia, dalam wawancara dengan dw.com.

“Pemahaman Komunisme di sini adalah sebagai Sosialisme, karena dasar pemikirannya adalah prinsip keadilan sosial, yang juga menjadi dasar pemikiran politik Karl Marx,” imbuh profesor berdarah Jerman kelahiran Sumatera ini.

“Jadi, Sukarno yakin bahwa perbedaan dan perpecahan dunia dalam persaingan ideologis saat itu bisa dijawab dengan menghormati nasionalisme, agama dan prinsip sosialisme,” tambah Dahm.

Baca juga: Hasan Basry Dimurkai Sukarno karena Membekukan PKI

Selanjutnya, dalam Sidang Panca Tunggal Seluruh Indonesia yang digelar di Istana Negara, Jakarta, tanggal 23 Oktober 1965, Sukarno lagi-lagi menegaskan tentang pentingnya Nasakom.

“Ik ben nasionalist, ik ben islamiet, socialist. Tiga in one. Three in one [... ] Aku adalah perasan daripada Nasakom,” kata Bung Karno. Ini disampaikan Sukarno bahkan ketika pengaruhnya mulai luruh dan pamor PKI hancur akibat Gerakan 30 September (G30S) 1965.

Tapi, sekuat apapun Bung Karno mempertahankan Nasakom-nya, rumusan ini akhirnya kandas juga seiring peralihan kekuasaan dari Orde Lama ke Orde Baru pimpinan Soeharto yang sangat anti-komunis.

Baca juga artikel terkait SEJARAH NASAKOM atau tulisan menarik lainnya Iswara N Raditya
(tirto.id - isw/nrn)


Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Nuran Wibisono

Subscribe for updates Unsubscribe from updates