Suami pergi tanpa pamit istri

BANYUWANGINETWORK.COM - Seorang istri yang ditinggal oleh suaminya tanpa pamit konsultasi pada Buya Yahya.

Suami itu sudah pergi meninggal istrinya selama enam bulan.

Padahal, dua sudah memiliki dua anak. Sang istri berupaya terus menanti, namun suami tak kunjung datang.

Baca Juga: Hukum Operasi Kemaluan Wanita Agar Kembali Perawan, Buya Yahya: Jangan Ceritakan Kepada Siapapun

Sang istri gusar dan bingung dengan status pernikahannya. Apakah cerai dengan sendirinya atau sudah bisa menikah lagi?

Mendapat pertanyaan itu, Buya Yahya menjelaskan bahwa seorang istri yang ditinggalkan suami seberapa lama pun, jika sang suami belum menjatuhkan cerai maka tidak akan terceraikan.
Maka dia tetap menjadi istri yang sah bagi suaminya.

Baca Juga: Buya Yahya Ungkap Hukum Anak yang Menolak Jika Dijodohkan Orang Tuanya, Termasuk Durhaka Jika Alasannya Ini

Jika sudah tidak ada kesabaran dalam penantian, tentu tidak bisa menceraikan dengan diri sendiri.
"Akan tetapi ibu harus mengangkat permasalahan ke hakim atau Pengadilan Agama (untuk gugat cerai)," kata Buya Yahya dikutip BanyuwangiNetwork.com dari laman buyayahya.org.

Jika hakim telah melihat dan mempelajari permasalahan sudah memenuhi ketentuan syariat untuk dicerai, maka hakim bisa menjatuhkan cerai.

Terkini

Skip to content

  • Kajian MP3
  • Radio Rodja
  • Radio Muslim
  • Wesal TV Live

BAGAIMANA HUKUM SUAMI MENINGGALKAN ISTRI TANPA PAMIT Pertanyaan. Assalamu’alaikum. Maaf saya mau bertanya. Dalam Islam perempuan yang meninggalkan rumah tanpa ijin suaminya, maka perempuan itu berdosa, lalu bagaimana hukum suami yang meninggalkan istri selama 1 hari 1 malam tanpa pamit juga tidak kasih kabar? jazakumullah khairan. Wassalamu’alaikum. Jawaban. Wa’alaikum salam warahmatullahi wabarakatuh. Dalam keluarga, memang […]
Baca selengkapnya

JAKARTA, iNews.id – Bagaimana hukum istri keluar rumah tanpa izin suami menurut Islam? Pertanyaan seputar hal tersebut memang kerap diperdebatkan oleh sebagian umat muslim.

Banyak yang menyatakan bahwa hal itu termasuk bentuk pembangkangan seorang istri terhadap sang suami. Namun tak jarang ada yang memperbolehkan seorang istri keluar rumah tanpa izin suami dengan alasan yang jelas tanpa mendatangkan mudharat. Lantas, bagaimana hukum yang sebenarnya menurut syari’at Islam? 

Hukum Istri Keluar Rumah Tanpa Izin Suami Menurut Islam

Dilansir dari laman NU, hukum istri keluar rumah tanpa seizin suami menurut syari’at Islam ternyata tidak diperbolehkan.
Terlebih jika dapat mendatangkan mudharat, maka tindakan tersebut bisa digolongkan sebagai bentuk pembangkangan seorang istri terhadap suami atau nusyuz.

Hal ini didasarkan pada kitab al-Fiqh al-Manhaji yang menjelaskan bahwa istri bisa dianggap nusyuz apabila keluar rumah atau bepergian tanpa seizin suami, tidak membukakan pintu bagi suami yang hendak masuk, dan menolak ajakan suami untuk berhubungan badan tanpa uzur yang jelas, seperti sakit atau menstruasi.

Meskipun demikian, istri tidak harus terus menerus meminta izin ketika hendak keluar rumah dimana jika diyakini bahwa suami pasti rela, maka hal itu bisa dianggap sebagai izin.

Lalu, bagaimana hukum istri yang keluar rumah tanpa izin suami karena hendak menjenguk orang tuanya?

Dalam kitab Fathul Qadir telah dijelaskan bahwa ketika orang tua si istri, baik muslim maupun non muslim menderita penyakit kronis dan membutuhkan bantuan perawatan sedangkan sang suami melarangnya untuk keluar rumah, maka istri berhak membangkang larangan sang suami tersebut. 

Hukum tersebut juga diperkuat dengan pendapat Ibnu Nujaim yang menyatakan, “istri boleh keluar rumah untuk menjenguk kedua orang tuanya dan mahramnya. Maka menurut pendapat sahih yang difatwakan adalah kebolehan bagi istri untuk menjenguk kedua orang tuanya setiap hari Jumat baik dengan seizin suaminya atau tidak, dan kebolehan untuk mengunjungi mahramnya setahun sekali baik seizin suami atau tidak.”

Editor : Komaruddin Bagja

Halaman : 1 2




Suami pergi tanpa pamit istri

Pertanyaan :

السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته

Saya mau bertanya.
Seorang wanita kan wajib hukumnya untuk pamit dg suaminya ketika mau keluar rumah. Lalu bagaimana dengan suami? Wajib atau tidak dia pamit dg istrinya ketika dia mau keluar rumah? Atau memberi kabar istrinya tentang kegiatannya
Syukron
(Dari Hamba Alloh Anggota Grup WA Bimbingan Islam)

Jawaban :

وعليكم السلام ورحمة الله وبر كاته

Suami “tidak wajib” pamit atau izin kepada istri, namun secara adab semestinya seorang suami tetap minta izin kepada istrinya. Adapun tentang mengabari kepada istri apapun tentang kegiatannya maka ini tidak perlu, dan sikap istri yang senantiasa “mewawancarai” suaminya adalah salah satu pangkal masalah dan cekcok dalam rumah tangga. Penjelasan detail bisa dibaca dipenjelasan berikut

Bismillah
Sebuah mahligai rumah tangga tidak pernah lepas dari berbagai macam problematika keluarga yang cenderung menumpuk dan mengkristal, baik datangnya dari pihak suami maupun istri. Penumpukan problem ini bisa menjadi bom waktu yang suatu saat meledak meluluhlantakkan rumah tangga.

Karena itu, usaha maksimal untuk menjinakkan bom permasalahan menjadi sebuah keniscayaan, agar kita tidak mendengar ucapan seseorang , “Aku lebih bahagia saat bujang, daripada keadaanku sekarang setelah menikah”.

Untuk mencairkan permasalahan dan menjinakkannya, diperlukan keterbukaan dan komunikasi intensif dari suami istri, jangan biarkan komunikasi dan keterbukaan suami istri membeku yang akan menyebabkan suami istri menutup diri, tidak terbuka menyampaikan masalahnya kepada pasangannya. Dengan adanya komunikasi suami istri, niscaya akan tercipta keluarga yang harmonis dan beralaskan cinta sejati. Cinta yang bersemi dalam hati, berkembang dalam kata, dan terurai dalam laku.

Komunikasi suami istri dan keterbukaan dalam hidup berumah tangga sangatlah penting, bagaimana tidak? Bukankah hakikat pernikahan adalah sebuah ikatan kerja sama, saling menerima dan memberi, dan saling memberikan hak-hak dan kewajiban-kewajiban? Bukankah ini semua tidak mungkin terlaksana kecuali dengan komunikasi dan keterbukaan suami istri?

Di antara bukti-bukti komunikasi suami istri yang telah dicontohkan oleh para salaf sangatlah banyak. Jika kita membaca sejarah, niscaya kita dapatkan bagaimana para istri mendukung suami dan berdiskusi dengannya.

Sejarah tidak pernah melupakan sikap Khadijah istri Rasulullah, ketika beliau mendapati Rasulullah – shollallohu ‘alaihi wa sallam – takut dan gemetar saat wahyu datang kepadanya kali pertama, dia tidak mengetahui bahwa yang datang kepadanya itu wahyu dari Allah, Rasulullah – shollallohu ‘alaihi wa sallam – saat itu berkata, “Aku takut pada diriku sendiri”, kemudian Khadijah menenangkannya, menghiburnya seraya berkata, “Demi Allah, Dia tidak akan menyengsarakanmu, kamu selalu menyambung tali silaturahmi, menyantuni anak yatim, membantu fakir miskin, memuliakan tamu, membantu orang-orang yang tertimpa musibah” (Muttafaqun Alaih)

Jikalau Khadijah tidak membantu suaminya yaitu Rasulullah – shollallohu ‘alaihi wa sallam – untuk berbuat baik, niscaya Khadijah tidak berkata apa yang dia katakan, Khadijah membekali suaminya makanan dan minuman ketika menyendiri di gua Hira bermunajat kepada Allah.

Kemudian, Khadijah juga sebaik-baik pembantu bagi Rasulullah setelah diutus menjadi Nabi dalam menghadapi musuh-musuh beliau, sebaik-baik penolong, dan sebaik-baik orang yang membantu Rasulullah – shollallohu ‘alaihi wa sallam – untuk tegar dalam memegang kebenaran. Khadijah memberikan hartanya ketika beliau – shollallohu ‘alaihi wa sallam – diboikot orang-orang Quraisy, setia mendampingi beliau ketika orang-orang meninggalkannya, dan membenarkannya ketika orang-orang mendustakannya. Oleh karena itu, Allah memberi kabar gembira kepadanya dengan surga, Rasulullah – shollallohu ‘alaihi wa sallam – bersabda, “Berilah kabar gembira kepada Khadijah dengan sebuah rumah di surga dari permata, tidak ada keributan dan kelelahan”. (Riwayat Turmudzi, dishahihkan oleh al Albani)

Demikian pula sikap istri-istri Nabi lainnya, istri-istri para sahabat, dan istri-istri para salafus shalih, mereka mendampingi suami-suami mereka di parit kebenaran, ikut memikul beban suami, dan ikut berjerih payah untuk menolong agama Allah.

Betapa indah rumah tangga yang dibangun di atas pondasi ketaatan kepada Allah Rabb semesta alam, betapa indah ketika istri membantu suaminya dengan diskusi dan dialog dalam ketaatan dan tidak membantunya dalam kemaksiatan, betapa indah ketika istri menaati suaminya dalam agama Allah. Para istri sekarang ini, harus banyak bercermin kepada istri para salaf, ingatlah ketika salah seorang dari mereka berkata kepada suaminya ketika menghantarkan suaminya yang hendak pergi kerja, dia berkara kepada suaminya:

“Bertakwalah kepada Allah dalam menjaga kami, jangan beri makan kami dari yang haram, kami bisa sabar karena lapar di dunia dan kami tidak bisa tahan panasnya api neraka di hari kiamat.” (Mafatih Sa’adah Zaujiyah)

Inilah sepenggal contoh bagaimana komunikasi suami istri yang telah dilakukan oleh para salaf. Akan tetapi, apakah keterbukaan suami istri dan komunikasi melazimkan sang istri harus mengetahui semua persoalan suami? Apakah sang istri harus mengkorek semua hal yang dilakukan suami saat pergi atau kerja di luar rumah atau di luar kota?

Untuk menjawab pertanyaan ini, kita harus mengenal persoalan-persoalan rumah tangga yang harus diketahui istri dan persoalan-persoalan rumah tangga yang tidak harus diketahui istri.

PERSOALAN RUMAH TANGGA, HARUS DIKETAHUI ISTRI

Perkara-perkara berkaitan langsung dengan rumah tangga seperti kebutuhan biologis, permasalahan yang sedang menghadang keluarga, perkembangan dan kondisi anak, dan perencanaan-perencanaan penting bagi keluarga untuk ke depannya seperti keuangan, pendidikan anak, dan lain-lain.

Perkara-perkara tersebut adalah perkara yang harus diketahui, saling dipahami, dan saling dimusyawarahkan oleh pasutri. Mereka berdua harus bisa memahami dan menghargai beratnya tanggung jawab yang dipikul di pundak mereka. Karena pernikahan itu, membutuhkan dua pasangan yang memiliki kecocokan dan yang telah matang pemikirannya. Bukan pasangan yang bermental anak kecil, karena hakikat pernikahan adalah membina keluarga dan penunaian tanggung jawab yang tidak ringan.

Betapa banyak pernikahan yang berakhir dengan kegagalan, karena kedua pasangan tidak memiliki tanggung jawab, masing-masing pasangan hanya ingin mencari ganti atas kekurangan yang selama ini dia rasakan sebelum menikah, mereka bermental anak kecil, tidak menghargai beratnya tanggung jawab yang dipikul oleh pundak mereka.

Dalam sebuah hadits disebutkan,
“Ketahuilah, setiap diri dari kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggung jawaban atas apa yang dia pimpin, seorang lelaki adalah pemimpin bagi keluarganya dan dia bertanggung jawab atas keluarganya, seorang istri bertanggung jawab atas rumah suaminya dan anak-anaknya, dan dia akan dimintai pertanggung jawaban atas mereka.” (Muttafaqun ‘Alaih)

PERSOALAN-PERSOALAN YANG TIDAK WAJIB DIKETAHUI ISTRI

Persoalan-persoalan khusus suami yang tidak berkaitan dengan urusan rumah tangga, seperti perincian urusan kerja suami dan aktivitas seperti dakwah dan lainnya yang tidak mengganggu dan tidak mengusik ketenangan dan ketenteraman rumah tangga, dan tidak mengurangi kewajibannya dia dalam memenuhi hak-hak istri, sang istri tidak berkewajiban mengetahui dan mengorek atau mewancarai dengan seabrek pertanyaan kepada suami.

Tidak wajibnya bagi sang istri mengetahui persoalan-persoalan itu, bukan berarti istri tidak boleh mengetahuinya sama sekali. Akan tetapi, sang suami harus bisa melihat kondisi istrinya, apakah sang istri bisa membantunya mencari solusi atau tidak? Jika bisa, maka tidak ada halangan bagi suami untuk mengajak istri berdiskusi dalam persoalan-persoalan khususnya. Demikian pula sang istri, dia harus bisa memahami kondisi suami yang sedang terhimpit persoalan atau tidak, kemudian dia berusaha meringankan beban dan persoalan yang sedang menghimpit suami.

Coba diperhatikan, bagaimana Rasulullah mengajak diskusi istrinya Ummu Salamah – rodhiyallohu ‘anha – saat para sahabat tidak mengindahkan perintahnya ketika beliau – shollallohu ‘alaihi wa sallam – memerintahkan mereka untuk menyembelih hewan dan mencukur rambut setelah perjanjian Hudaibiyah. Ummu Salamah pun berkata kepada Rasulullah – shollallohu ‘alaihi wa sallam – , “Wahai Nabi Allah, apakah engkau senang hal ini? Sekarang temui mereka dan jangan ajak bicara mereka meskipun sepatah kata hingga engkau menyembelih hewan sembelihanmu dan engkau memanggil orang yang mencukur rambutmu.” Lalu Rasulullah menemui para sahabat, tidak mengajak bicara mereka dan beliau menyembelih hewan sembelihannya dan mencukur rambutnya, akhirnya para sahabat pun mengikuti apa yang dilakukan Rasulullah – shollallohu ‘alaihi wa sallam -. (Irwa’ul Ghalil)

Ibnu Hajar berkomentar, “Hadits ini menunjukkan keutamaan musyawarah, perkataan jika dibarengi perbuatan itu lebih berbekas daripada perkataan saja, dan bolehnya mengajak istri bermusyawarah”.

PANGKAL MALAPETAKA RUMAH TANGGA

Telah disebutkan bahwa istri tidak harus mengetahui semua persoalan suami, Karena itu, iika ada wanita yang selalu mengawasi gerak-gerik suaminya karena ketidakpercayaannya, maka pernikahan seseorang tidak akan berjalan mulus, bahkan yang muncul adalah kegelisahan, kecurigaan, tidak pernah merasa tenteram, dan sebagainya. Pada akhirnya, pasutri akan saling menyalahkan dan menuduh, semuanya terlahir dari sikap suka berprasangka buruk. Karenanya, salah satu unsur pokok dalam membina rumah tangga adalah rasa saling percaya dan tidak saling berprasangka buruk.

Seorang istri harus memahami keinginan pasangan, yaitu dengan memenuhi kecenderungan, keinginan, kesenangan pasangan tanpa celaan atau tindakan perlawanan terhadap keinginan pasangan, selama dalam koridor syariat. Karena suami terkadang membutuhkan waktu sejenak untuk menyendiri atau sekadar berkumpul dengan teman-temannya. Ini adalah kebutuhan alami setiap lelaki, tidak ada perbedaan antara satu lelaki dengan lainnya, para ahli psikolog menyatakan bahwa seorang suami terkadang lebih mengutamakan berada jauh sementara dari istri, hingga timbul rasa kangen kepada istrinya.

Oleh karena itu, wahai para istri, janganlah kamu menjadi batu penghalang jalan suamimu untuk memenuhi keinginannya dan kesenangannya selama dalam batasan syariat. Janganlah kamu belenggu kebebasan suamimu dengan banyak tanya dan wawancara rumit, agar suamimu tidak merasa terbelenggu sehingga benci hidup denganmu, karena seorang suami tidak suka sikap seperti itu, tidak suka merasa dirinya terbelenggu, tidak suka kalau istrinya selalu ingin bersamanya setiap saat, atau tidak suka kalau istrinya selalu curiga dengan pertanyaan-pertanyaan tiada habisnya.

Allahu a’lam..
Wabillahit taufiq…

Konsultasi Bimbingan Islam
Ustadz Rosyid Abu Rosyidah

Apakah suami bisa pergi tanpa izin istri?

Meskipun suami adalah kepala rumah tangga, namun bukan berarti suami dapat bertindak semaunya. Oleh sebab itu, kepergian suami tanpa izin istri tersebut tidak diperbolehkan karena dapat membuat istri khawatir.

Apa hukum suami mengabaikan istri?

Mengabaikan kebutuhan seksual istri Istri memiliki hak untuk mendapatkan nafkah batin dari suami, begitu pula sebaliknya. Jadi jika suami sengaja mengabaikan hak istri ini, ia termasuk telah berdosa.

Apa hukum suami tidak pulang ke rumah?

Dalam Islam, suami yang pergi meninggalkan rumah dalam keadaan bertengkar dianggap sebagai perbuatan yang mubah atau boleh dilakukan.

Berapa lama suami meninggalkan istri hingga jatuh talak?

Hal ini dikarenakan pada dasarnya ada hak istri yang harus dipenuhi, para ulama bahkan menetapkan batas waktu seorang suami boleh meninggalkan istri adalah maksimal enam bulan. Jika ternyata suami sudah lebih dari enam bulan meninggalkan istrinya, maka istri punya hak untuk menggugat suami ke pengadilan.