Sikap yang beranggapan bahwa agamanya sendiri lebih baik daripada agama orang lain

Komarudin Hidayat menyebutkan ada lima tipologi sikap keberagamaan, yakni “ekslusivisme”, inklusivisme, pluralisme, eklektivisme dan universalisme”. Masing-masing dari kelima tipologi ini tidak berarti saling terlepas dan terputus satu sama lainnya dan tidak pula permanen, tetapi lebih tepat dikatakan sebagai sebuah kecenderungan menonjol, mengingat setiap agama maupun sikap keberagamaan senantiasa memiliki potensi untuk melahirkan kelima sikap di atas.

Eksklusivisme

Sikap eksklusivisme melahirkan pandangan bahwa ajaran yang paling benar hanyalah ajaran agama sendiri, sedangkan agama lain sesat dan wajib dikikis, atau pemeluknya dikonversi, sebab agama dan penganutnya terkutuk dalam pandangan Tuhan. Sikap ini, menurut Frans Magnius (2006) merupakan pandangan yang dominan dari zaman ke zaman, dan terus dianut hingga dewasa ini. Bagi agama Kristen, inti pandangan eksklusivisme adalah bahwa Yesus adalah satusatunya jalan yang syah untuk keselamatan.

“Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorangpun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku” (Yohanes 14:6).

Juga, dalam ayat lain (Kisah Para Rasul 4.12) disebutkan:

“Dan keselamatan tidak ada di dalam siapapun juga selain di dalam Dia, sebab di bawah kolong langit ini tidak ada nama lain yang diberikan kepada manusia yang olehnya kita dapat diselamatkan.”

Namun begitu, Nurcholis Madjid menambahkan, sikap eksklusif, yakni merasa agama sendiri paling baik dan benar, sementara yang lain tidak masuk hitungan, tidaklah selamanya salah dalam beragama. Dalam pengertiannya sebagai sikap agnostik, tidak toleran dan mau menang sendiri, eksklusifisme tentu tidak dibenarkan oleh etika agama manapun di dunia. Tetapi, jika yang dimaksud dengan eksklusif adalah berkenaan dengan kualitas, mutu, atau keunggulan suatu produk atau ajaran agama dengan dukungan bukti-bukti dan argumen yang fair, maka setiap manusia sesungguhnya mencari agama yang eksklusif dalam arti excellent tersebut, sesuai dengan selera dan keyakinanya.

Inklusivisme

Inklusivisme merujuk pada sikap dan pandangan keberagamaan seseorang bahwa di luar agama yang dipeluknya juga terdapat kebenaran, meskipun tidak seutuh atau sesempurna agama anutannya. Di sini masih didapatkan toleransi teologis dan iman. Menurut Nurcholish Madjid, sikap inklusif memandang agama-agama lain sebagai bentuk implisit dari agama kita. Paradigma ini, membaca agama orang lain dengan kacamata sendiri.

Sikap inklusivistik memuat kualitas keluhuran budi dan kemuliaan tertentu. Anda dapat mengikuti jalan anda sendiri tanpa perlu mengutuk yang lain. Ibadah anda dapat menjadi konkrit dan pandangan anda dapat menjadi universal. Tetapi, pada sisi lain, sikap inklusivitas pun membawa beberapa kesulitan: Pertama, ia juga menimbulkan bahaya kesombongan, karena hanya andalah yang mempunyai privilege (hak istimewa) atas penglihatan yang meliputi semua dan sikap toleran; andalah yang menentukan bagi yang lain tempat yang harus mereka ambil dalam alam semesta. Kedua, jika sikap ini menerima ekspresi ‘kebenaran agama’ yang beraneka ragam sehingga dapat merengkuh sistem-sistem pemikiran yang paling berlawanan sekalipun, maka ia terpaksa menjadikan kebenaran bersifat relatif murni. Kebenaran dalam arti ini tidak mungkin mempunyai isi intelektual yang independen, karena berbeda atau berlainan dengan orang lain.

Pluralisme atau Paralelisme

Sikap teologis pluralisme atau paralelisme bisa terekspresikan dalam macam-macam rumusan, misalnya: “agama-agama lain adalah jalan yang sama-sama sah untuk mencapai kebenaran yang Sama”; “agama-agama lain berbicara secara berbeda, tetapi merupakan Kebenaran-kebenaran yang sama sah”; atau “setiap agama mengekspresikan bagian penting sebuah kebenaran”.

Paradigma ini percaya bahwa setiap agama mempunyai jalan keselamatan sendiri. Karena itu, klaim kristiani bahwa ia adalah satu-satunya jalan (eksklusif), atau yang melengkapi atau mengisi jalan yang lain (inklusif), harus ditolak demi alasan-alasan teologis dan fenomenologis. Menurut Komarudin Hidayat, sikap pluralisme lebih moderat dari sikap inklusivisme, atau bahkan dari eksklusivisme. Ia berpandangan bahwa secara teologis pluralitas agama dipandang sebagai suatu realitas niscaya yang masing-masing berdiri sejajar (paralel) sehingga semangat misionaris atas dakwah dianggap tidak relevan.

Eklektisisme

Eklektisisme adalah suatu sikap keberagamaan yang berusaha memilih dan mempertemukan berbagai segi ajaran agama yang dipandang baik dan cocok untuk dirinya sehingga format akhir dari sebuah agama menjadi semacam mosaik yang bersifat eklektik (tersusun dari berbagai macam sumber).

Sikap keberagamaan seperti ini muncul akibat ketidakberdayaan ajaran satu agama dan melihat ada kekuatan ajaran agama lain. Kelompok ini muncul biasanya dari mereka yang kecewa dengan berbagai janji muluk para tokoh agama yang hanya mementingkan kebenaran ajarannya sendiri padahal pada di sisi lain agamanya tak mampu menyelesaikan berbagai persoalan hidup umatnya.

Kelompok manusia yang senang mencari-cari ajaran dari berbagai agama untuk kemudian disatukan dalam satu wadah biasanya ditemukan dalam masyarakat global yang pada akhirnya mereka akan menciptakan sebuah agama baru yang berbeda dari agama yang dipeluk sebelumnya. Orang-orang yang memiliki sikap beragama seperti ini lemah terhadap ajaran agamanya sendiri dan menganggap agama sebagai tidak berbeda dari ilmu pengetahuan biasa.

Universalisme

Universalisme beranggapan bahwa pada dasarnya semua agama adalah satu dan sama. Hanya saja, karena faktor historis-antropologis, agama lalu tampil dalam format yang plural. Menurut Raimundo Panikkar dalam Frans Magnius (2006), jika suatu perjumpaan agama terjadi, baik dalam fakta yang nyata maupun dalam suatu dialog yang disadari, maka orang membutuhkan metafora dasar untuk mengutarakan masalah-masalah yang berbeda. Dan dalam teori yang dikemukakan oleh W.C. Smith dalam Casram (2016), ada beberapa tahapan dalam hubungan antar agama yang akhirnya memunculkan dialog harmonis antar umat beragama. Tahapan-tahapan ini dianalogkan dalam bentuk: I, You dan We. “I” menunjukkan eksklusif. “You”, menunjukkan inklusif, dan “we” menunjukkan keterbukaan.

Para penganut agama memberikan tanggapan atau respon terhadap doktrin agamanya. Dalam memberikan respon ini, para penganut agama setidaknya memiliki tiga kecenderungan yang bisa teramati. Menurut Komarudin Hidayat, ketiga kecenderungan itu, yang menurutnya bukan sebagai suatu pemisahan, adalah kecenderungan “mistis” (solitary), “profetik-ideologis” (solidarity), dan “humanis-fungsional”.

Respon keberagamaan mistis, antara lain, ditandai dengan penekanannya pada penghayatan individual terhadap kehadiran Tuhan. Dalam tradisi mistik, puncak kebahagiaan hidup adalah apabila seseorang telah berhasil menghilangkan segala kotoran hati, pikiran, dan perilaku sehingga antara dia dan Tuhan terjalin hubungan yang intim yang dijalin dengan cinta kasih.

Kecenderungan profetis ideologis ditandai antara lain dengan penekanannya pada misi sosial keagamaan dengan menggalang solidaritas dan kekuatan. Oleh karenanya, kegiatan penyebaran agama dengan tujuan menambah pengikut dinilai memiliki keutamaan teologis dan memperkuat kekuatan ideologis.

Yang ketiga, humanis fungsional, adalah kecenderungan beragama dengan titik tekan pada penghayatan nilai-nilai kemanusiaan yang dianjurkan oleh agama. Pada tipe ini, apa yang disebut kebijakan hidup beragama adalah bila seseorang telah beriman pada Tuhan dan lalu berbuat baik terhadap sesamanya. Sikap toleran dan eklektisisme pemikiran beragama merupakan salah satu ciri tipe ini.

Kecenderungan keberagamaan di atas hanyalah merupakan respon aksentuasi dan tidak identik dengan totalitas doktrin agama itu sendiri. Partisipasi dan pelaksanaan seseorang atas agama biasanya bersifat parsial, dibatasi oleh kemampuan, pilihan, serta kuat lemahnya komitmen iman seseorang. Namun demikian, dalam konteks hidup bermasyarakat dan bernegara, tipologi keberagamaan ketiga, yang menekankan orientasi kemanusiaan, perlu mendapat apresiasi dan penekanan. Hikmah hidup keberagamaan haruslah bermuara pada komitmen untuk menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan tanpa harus dihambat oleh sentimen kelompok keagamaan.

KESIMPULAN

Masyarakat multikultural terpola oleh keragaman budaya dan agama. Di dalam perjalanannya agama-agama yang muncul dalam masyarakat multikultural kemudian dipahami oleh umatnya, ada yang memahaminya secara rasional an sich dan ada pula yang memahaminya secara irrasional atau mistis. Dampak heterogenitas agama ini bisa memunculkan konflik di antara umat berbeda agama, sehingga sikap toleransi dalam beragama sangat dibutuhkan untuk menciptakan keseimbangan dan kohesi sosial dalam keberagaman tersebut.

Kendati demikian, toleransi beragama tidak berarti bahwa seseorang yang sudah memiliki keyakinan yang utuh lantas kemudian berpindah atau merubah keyakinannya untuk mengikuti dan berbaur dengan keyakinan agama lainnya (sinkretisisme); tidak pula dimaksudkan untuk mengakui kebenaran semua agama/kepercayaan.

Dalam hal ini, Islam, baik secara teologis maupun historis adalah agama yang sarat akan pesan-pesan akhlaq toleransi dan kerukunan antarumat beragama. Islam tidak membedakan antara umat agama samawi dan ardi atau non-samawi, semua diperlakukan sama sebagai manusia yang diikat oleh tali persaudaraan universal sebagai makhluk Allah Swt dan berasal dari satu jalur keturunan anak cucu Nabi Adam As. Pesan-pesan akhlaq toleransi Islami ini bukan hanya sebagai khazanah teoretis belaka, namun betul-betul diimplementasikan sepanjang sejarah peradaban kehidupan manusia.

Ditulis oleh:

Nama : M. Rajabul Gufron

Alamat : Pringgarata, Lombok Tengah, NTB

Pekerjaan : Awardee Beasiswa Pendidikan Indonesia LPDP 2016

Kontak : +6287864022666

Email/Blog : / http://tabekwalar.blogspot.co.id/


Page 2

DAFTAR PUSTAKA

Ali Mukti A. 1972. Keesaan Tuhan dalam Al-Qur‘an. Jogjakarta: Yayasan Nida Alkitab. 2006. Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Asshiddiqie Jimly. 2015. “Toleransi dan Intoleransi Beragama di Indonesia Pasca Reformasi”. Makalah: Catatan Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH. Casram. Membangun Sikap Toleransi Beragama dalam Masyarakat Plural (Bandung: Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya, 2016), 187-198 Hidayat Komarudin. 2003. Menafsirkan Kehendak Tuhan. Jakarta: Paramadina Ibnu Katsir. 2005 Lubaabut Tafsir min Ibni Katsiir: Terjemahan Jilid I. Jamrah Suryan A. Toleransi Antar Umat Beragama: Perspektif Islam (Riau: Jurnal Ushuluddin Vol. XXIII No. 2 Juli-Desember 2015), 185-200 Madjid Nurcholis. 1992. Islam Doktrin dan Peradaban. Jakarta: Paramadina ______________. “Pluralisme Agama di Indonesia”. Jurnal: Ulumul Qur’an, No. 3 tahun 1995 Magnius Frans S. 2006. Menalar Tuhan. Kansius: Yogyakarta Natsir M. Mencari Modus Vivendi Antar Umat Beragama di Indonesia. Jakarta: Media Dakwah Quraish Shihab.1992. Membumikan Al-Qur‘an, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung: Mizan Yasir Muhammad. “Makna Toleransi dalam Al-Qur’an”. Jurnal: Ushuluddin, Vol. XXII No. 2, Juli tahun 2014 Yunus Muhammad. 2011. Tafsir Qur’an Karim. Ciputat: Muhammad Yunus Wa Dzurriyah

Zar Sirajuddin. Kerukunan Hidup Umat Beragama dalam Perspektif Islam (Padang: Jurnal Toleransi, Vol. V, No. 2, Juli-Desember 2013), 71-74