Siapa yang pertama kali merumuskan Khittah Muhammadiyah?

Siapa yang pertama kali merumuskan Khittah Muhammadiyah?
Siapa yang pertama kali merumuskan Khittah Muhammadiyah?

Muhammadiyah

Haedar Nashir dalam Memahami Ideologi Muhammadiyah (2016) menyatakan bahwa konsep ideologi adalah “sistem keyakinan, cita-cita, dan perjuangan Muhammadiyah sebagai gerakan Islam dalam mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.” Tidak hanya terkait dengan seperangkat paham, pemikiran atau pandangan hidup, namun juga mencakup tentang teori dan strategi perjuangan untuk mewujudkan paham tersebut dalam kehidupan. Strategi perjuangan inilah yang dikenal dengan Khittah Perjuangan Muhammadiyah.

Istilah khittah berasal dari akar kata khaththa, yang bermakna: menulis dan merencanakan. Khittah juga berarti garis atau jalan. Jadi, khittah adalah garis besar atau jalan perjuangan. Dalam konteks Muhammadiyah, khittah merupakan seperangkat rumusan, teori, metode, sistem, strategi, dan taktik perjuangan Muhammadiyah.

Muhammadiyah memilih strategi perjuangan dakwah non-politik praktis. Muhammadiyah menekankan pada pembinaan masyarakat. Khittah dimaksudkan agar Muhammadiyah tetap istiqomah dalam mengemban fungsi dakwah dan tajdidnya sebagai gerakan Islam yang berkiprah dalam lapangan kemasyarakatan. Garis perjuangan di wilayah kultural ini digariskan dengan Khittah Palembang yang lahir pada Muktamar 1956, Khittah Ponorogo 1969, Khittah Ujung Pandang 1971, Khittah Surabaya 1978, dan Khittah Denpasar 2002.

Strategi perjuangan ini termasuk dalam ranah ijtihad serta menjadi bagian dari urusan muamalah duniawiyah. Dakwah kemasyarakatan non-politik praktis merupakan perjuangan yang mulia, penting, dan strategis, bagi kepentingan agama dan bangsa. Muhammadiyah dapat memerankan perjuangan kebangsaan melalui banyak saluran, dalam menjalankan fungsi-fungsi strategisnya sebagai organisasi kemasyarakatan. Penyatuan antara partai politik dan organisasi dakwah justru menimbulkan banyak mudharat (Haedar Nashir: 2016).

Khittah Denpasar 2002 menyatakan bahwa peran dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dapat dilakukan melalui dua strategi dan lapangan perjuangan. Pertama, melalui kegiatan politik yang berorientasi pada perjuangan kekuasaan/kenegaraan (real politics, politik praktis). Kedua, melalui kegiatan kemasyarakatan yang bersifat pembinaan atau pemberdayaan masyarakat maupun kegiatan politik tidak langsung (high politics) yang bersifat mempengaruhi kebijakan negara dengan perjuangan moral (moral force) untuk mewujudkan kehidupan yang lebih baik di tingkat masyarakat dan negara sebagaimana dilakukan oleh kelompok kepentingan (interest groups).

Khittah Ujung Pandang 1971 menghasilkan rumusan penting, semisal: “Muhammadiyah adalah Gerakan Da’wah Islam yang beramal dalam segala bidang kehidupan manusia dan masyarakat, tidak mempunyai hubungan organisatoris dengan dan tidak merupakan afiliasi dari sesuatu partai politik atau organisasi apapun.” Poin lainnya memberi kebebasan bagi anggota Muhammadiyah sesuai dengan hak asasinya untuk tidak memasuki atau memasuki organisasi lain, sepanjang tidak menyimpang dari AD/ART, dan ketentuan yang berlaku di Muhammadiyah.

Khittah Denpasar 2002 memberikan kebebasan kepada warga persyarikatan untuk menggunakan hak pilihnya dalam kehidupan politik sesuai dengan hati nurani masing-masing. “Penggunaan hak pilih tersebut harus sesuai dengan tangguang jawab sebagai warga negara yag dilaksanakan secara rasional dan kritis, sejalan dengan misi dan kepentingan Muhammadiayah, demi kemaslahatan bangsa dan negara.” (muhammad ridha basri)

KHITTAH PERJUANGAN MUHAMMADIYAH

PENGERTIAN

Khittah artinya garis besar perjuangan. khittah itu mengandung konsepsi (pemikiran) perjuangan yang merupakan tuntunan, pedoman, dan arah perjuangan. hal tersebut mempunyai arti penting karena menjadi landasan berpikir dan amal usaha bagi semua pimpinan dan anggota muhammadiyah. garis-garis besar perjuangan muhammadiyah tersebut tidak boleh bertentangan dengan asas dan tujuan serta program yang telah disusun.

MAKSUD DAN TUJUAN

Sebagai tuntunan, sebagai pedoman dan arahan untuk berjuang bagi anggota maupun pimpinanMuhammadiyah.Sedangkan Fungsi khittah tersebutSebagai landasan berpikir bagi semua pimpinan dan anggota Muhammadiyah dan yang menjadi landasan berpikir bagi setiap amal usaha muhammadiyah.

PERKEMBANGAN KHITTAH MUHAMMADIYAH

Isi khittah harus sesuai dengan tujuan Muhammadiyah, khittah itu disusun sesuai dengan perkembangan zaman.Berikut akan diuraikan perkembangan khittah muhammadiyah :

1. Khittah Muhammadiyah 1938-1940

Khittah perjuangan Muhammadiyah yang pertama adalah berhasil merumuskan suatu langkah perjuangan yang kemudian dikenal dengan nama “Langkah dua belas”

Langkah 12 ini  adalah suatu khittah yang disusun  pada masa KH. Mas Mansyur menjadi ketua PP Muhammadiyah yang ke-4 pada tahun  1936-1942. 

Langkah 12 berisikan buah pikiran dan perenungan KH Mas Mansyur setelah menelaah kembali situasi Muhammadiyah sebagai gerakan Islam dan perjuangannya disaat beliau memimpin Muhammadiyah. Beliau melihat keadaan Muhammadiyah makin melemah terutama dalam bidang aqidah. Hal ini diantaranya diakibatkan oleh kondisi masyarakat Indonesia yang menderita lahir dan batin, moral dan iman agamanya ditekan sedemikian rupa oleh penjajah. Untuk menjaga ummat Muhammadiyah dari pengaruh pendangkalan aqidah tadi serta untuk menggerakkan kembali muhammadiyah agar lebih dinamis dan berbobot, maka disusunlah “langkah dua belas”

Awal mula langkah dua belas ini merupakan materi pengajian malam selasa yang rutin dibawakan oleh KH Mas Mansyur dalam acara kursus kepemimpinan bersama majelis-majelis di Yogyakarta.

Adapun isinya sebagai berikut:

a. Memperdalam Masuknya Iman.

Hendaklah iman itu ditablighkan, disiarkan dengan selebar-lebarnya, yakni diberi riwayatnya dan diberi dalil buktinya, dipengaruhkan dan digembirakan, sampai iman itu mendarah daging, masuk di tulang sumsum dan mendalam di hati sanubari kita, sekutu-sekutu Muham-madiyah seumumnya.

b. Memperluas Faham Agama

Hendaklah faham agama yagn sesungguhnya itu dibentangkan dengan arti yang seluas-luasnya, boleh diujikan dan diperbandingkan, sehingga kita sekutu-sekutu Muhammadiyah mengerti perluasan Agama Islam, itulah yang paling benar, ringan dan berguna, maka, mendahulukanlah pekerjaan keagamaan itu.

c. Memperbuahkan Budi Pekerti.

Hendaklah diterangkan dengan jelas tentang akhlaq yang terpuji dan akhlaq yang tercela serta diperbahaskannya tentang memakainya akhlaq yang mahmudah dan menjauhkannya akhlaq yang madzmumah itu, sehingga menjadi amalan kita, ya seorang sekutu Muhammadiyah, kita berbudi pekerti yang baik lagi berjasa.

d. Menuntun Amalan Intiqad (self correctie).

Hendaklah senantiasa melakukan perbaikan diri kita sendiri (self correctie), segala usaha dan pekerjaan kita, kecuali diperbesarkan, supaya diperbaikilah juga. Buah penyelidikan perbaikan itu dimusyawarahkan di tempat yang tentu, dengan dasar mendatangkan maslahat dan menjauhkan madlarat, sedang yang kedua ini didahulukan dari yang pertama.

e. Menguatkan Persatuan.

Hendaklah menjadikan tujuan kita juga, akan menguatkan persatuan organisasi dan mengokohkan pergaulan persaudaraan kita serta mempersamakan hak-hak dan memerdekakan lahirnya pikiran-pikiran kita.

f. Menegakkan Keadilan.

Hendaklah keadilan itu dijalankan semestinya, walaupun akan mengenai badan sendiri, dan ketetapan yang sudah seadil-adilnya itu dibela dan dipertahankan di mana juga.

g. Melakukan Kebijaksanaan.

Dalam gerak kita tidaklah melupakan hikmah, hikmah hendaklah disendikan kepada Kitabullah dan Sunnaturrasulillah. Kebijaksanaan yang menyalahi ke-dua pegangan kita itu, mestilah kita buang, karena itu bukan kebijaksanaan yang sesungguhnya. Dalam pada itu, dengan tidak mengurangi segala gerakan kemuhammadiyahan, maka pada tahun 1838-1940 H. Muhammadiyah mengemukakan pekerjaan akan:

h. Menguatkan Majlis Tanwir.

Sebab majlis ini nyata-nyata berpengaruh besar dalam kalangan kita Muhammadiyah dan sudah menjadi tangan kanan yang bertenaga disisi Hoofdbestuur (PP) Muhammadiyah, maka sewajibnyalah kita perteguhkan dengan diatur yang sebaik-baiknya.

i. Mengadakan Konperensi Bagian.

Untuk mengadakan garis yang tentu dalam langkah-langkah bagian kita, maka hendaklah kita berikhtiar mengadakan Konperensi bagian, umpama: Konperensi Bagian: Penyiaran Agama seluruh Indonesia dan lain-lain sebagainya.

j. Mempermusyawaratkan Putusan.

Agar dapat keringanan dan dipermudahkan pekerjaan, maka hendaklah setiap ada keputusan yang mengenai kepala Majlis (Bagian), dimusyawarahkanlah dengan yang bersangkutan itu lebih dahulu, sehingga dapatlah mentanfidzkan dengan cara menghasilkannya dengan segera.

 k. Mengawaskan Gerakan Dalam

Pemandangan kita hendaklah kita tajamkan akan mengawasi gerak kita yang ada di dalam Muhammadiyah, yang sudah lalu, yang masih langsung dan yang bertambah (yang akan datang/berkembang).

l. Mempersambungkan Gerakan Luar.

Kita berdaya-upaya akan memperhubungkan diri kepada iuran (ekstern), lain-lain persyarikatan dan pergerakan di Indonesia, dengan dasar Silaturahim, tolong-menolong dalam segala kebaikan, yang tidak mengubah asasnya masing-masing, terutama perhubungan kepada persyarikatan dan pemimpin Islam. 

2. Khittah Palembang 1956-1959

  • Menjiwai pribadi anggota dan pimpinan Muhammadiyah dengan memperdalam dan mempertebal tauhid, menyempurnakan ibadah dengan khusyu’ dan tawadlu’, mempertinggi akhlak, memperluas ilmu pengetahuan, dan menggerakkan Muham-madiyah dengan penuh keyakinan dan rasa tanggung jawab.Melaksanakan uswatun hasanah.
  • Mengutuhkan organisasi dan merapikan administrasi.
  •  Memperbanyak dan mempertinggi mutu anak.
  •  Mempertinggi mutu anggota dan membentuk kader.
  • Memperoleh ukhuwah sesama muslim dengan mengadakan badan ishlah untuk menganti­sipasi bila terjadi keretakan dan perselisihan.
  • Menuntun penghidupan anggota.

3. Khittah Ponorogo 1969 

Kelahiran Parmusi merupakan buah dari Khittah Ponorogo (1969). Dalam rumusan Khittah tahun 1969 ini disebutkan bahwa dakwah Islam amar ma’ruf nahi munkar dilakukan melalui dua saluran: politik kenegaraan dan kemasyarakatan. Muhammadiyah sendiri memposisikan diri sebagaigerakan Islam amar ma’ruf nahi munkar dalam bidang kemasyarakatan. Sayangnya, partai parmusi ini gagal sehingga khittah ponorogo kemudian “dinasakh” meminjam istilah Haedar nashir lewat khittah ujung pandang.

4. Khittah Ujung Pandang 1971 

  • Muhammadiyah adalah Gerakan Da’wah Islam yang beramal dalam segala bidang kehidupan manusia dan masyarakat.
  • Setiap anggota Muhammadiyah sesuai dengan hak asasinya dapat tidak memasuki atau memasuki organisasi lain, sepanjang tidak menyimpang dari ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam Persyarikatan Muham­madiyah.
  • Untuk lebih memantapkan muhammadiyah sebagai gerakan da’wah islam setelah pemilu tahun 1971, muhammadiyah melakukan amar ma’ruf nahi munkar secara konstruktif dan positif terhadap partai muslimin Indonesia.
  • Untuk lebih meningkatkan partisipasi muhammadiyah dalam pelaksanaan pembangunan nasional.

5. Khittah Surabaya 1978 (penyempurnaan dari khittah ponorogo 1969)

  • Muhammadiyah adalah Gerakan Da’wah Islam yang beramal dalam segala bidang kehidupan manusia dan masyarakat, tidak mempunyai hubungan organisatoris dengan dan tidak merupakan afiliasi dari sesuatu partai politik atau organisasi apapun.
  • Setiap anggota Muhammadiyah sesuai dengan hak asasinya dapat tidak memasuki atau memasuki organisasi lain, sepanjang tidak menyimpang dari Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga, dan ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam Persyarikatan Muham­madiyah.

6. Khittah Denpasar 2002

Dalam Posisi yang demikian maka sebagaimana khittah Denpasar, muhammadiyah dengan tetap berada dalam kerangka gerakan dakwah dan tajdid yang menjadi fokus dan orientasi utama gerakannya dapat mengembangkan fungsi kelompok kepentingan atau sebagai gerakan social civil-society dalam memainkan peran berbangsa dan bernegara.