Siapa yang menyebut pki adalah korban di ilc

Jakarta - Pemerintah memastikan tidak melarang masyarakat untuk menonton film G30S/PKI. Menteri Koordinator bidang Politik Hukum dan Keamanan Mahfud Md mengatakan, tidak ada yang melarang ataupun mewajibkan pemutaran film tersebut.

Dia menyebut jika memakai hukum Islam, hukum menonton film G30S/PKI adalah mubah. "Pemerintah tidak 'melarang' atau pun 'mewajibkan' untuk nonton film G30S/PKI tersebut. Kalau pakai istilah hukum Islam 'mubah.' Silakan saja," kata Mahfud lewat akun Twitter @mohmahfudmd.

Film G30S/PKI dibuat pada tahun 1984. Pemerintahan Orde Baru sempat mewajibkan para pelajar dan masyarakat menonton film tersebut setiap tanggal 30 September. Namun kemudian di masa Presiden BJ Habibie, Menteri Penerangan ketika itu Yunus Yosfiah tidak mewajibkan menonton film G30S/PKI.

Berikut latar belakang, tujuan, dan kronologi film G30S/PKI

1. Latar belakang film G30S/PKI

Dikutip dari situs IMDb, film berjudul Pengkhianatan G30S/PKI ini memang menggunakan latar belakang peristiwa sejarah tersebut. Film menceritakan penculikan hingga pembunuhan para perwira tinggi Angkatan Darat, seorang ajudan, dan pengawal yang terjadi pada 30 September 1965. Penyiksaan yang dialami para korban juga ikut ditampilkan dalam film berdurasi 271 menit tersebut.

2. Tujuan film G30S/PKI

Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo sempat menyinggung tujuan pemutaran film G30S/PKI. Pernyataan ini muncul saat membantah info larangan pemutaran kembali film dengan latar belakang peristiwa sejarah tersebut.

"Namanya sejarah, agar masyarakat dan generasi muda mengetahui bahwa pernah ada gerakan tersebut," ujar Tjahjo dikutip dari situs Kementerian Dalam Negeri.

Peristiwa G30S/PKI dinilai sebagai bagian dari sejarah, terlepas pro kontra yang ada. Tjahjo saat itu mempersilahkan kembali pemutaran film dan membantah adanya pelarangan. Pada era Orde Baru, film Pengkhianatan G30S/PKI diputar di televisi tiap tanggal 30 September.

3. Kronologi film G30S/PKI

Kronologi penculikan hingga kematian korban G30S/PKI tergambar dalam film yang disutradarai Arifin C. Noer. Arifin juga bertindak sebagai penulis bersama Nugroho Notosusanto yang pernah menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.

Dikutip dari Sumber Belajar Kemendikbud, berikut kronologi G30S/PKI yang patut diperhatikan:

1. Gerakan 30 September 1965 dikendalikan Letkol Untung dari Komando Batalion I resimen Cakrabirawa

2. Letkol Untung menunjuk Lettu Dul Arief sebagai ketua pelaksanaan penculikkan

3. Pasukan bergerak mulai pukul 03.00, selanjutnya korban penculikan dan pembunuhan dimasukkan ke dalam lubang di kawasan Pondok Gede

4. Peristiwa G30S/PKI menyebar hingga Jawa Tengah dan DI Yogyakarta

5. PKI kemudian menguasai gedung Radio Republik Indonesia dan mengumumkan Dekrit no.1, yang menyatakan G30S/PKI adalah upaya penyelamatan negara dari Dewan Jenderal. Dewan tersebut dikatakan hendak mengambil alih negara.

Para korban pada peristiwa G30S/PKI adalah Letjen Ahmad Yani, Mayjen R Soeprapto, Mayjen MT Harjono, Mayjen S Parman, Brigjen DI Panjaitan dan Brigjen Sutoyo Siswomiharjo. Korban lain adalah Lettu Pierre Tendean, Brigadir Polisi KS Tubun, Kolonel Katamso dan Letkol Sugiono. (row/erd)

PinterPolitik.com

Setiap menjelang tanggal 30 September, isu kebangkitan Partai Komunis Indonesia (PKI) selalu mengisi ruang-ruang diskursus publik, pun begitu dengan tahun ini. Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) yang berisi tokoh-tokoh tenar seperti Refly Harun, Gatot Nurmantyo, Din Syamsuddin, dan Said Didu bahkan turut menempatkan potensi kebangkitan PKI dalam delapan poin tuntutannya.

Tanggal 30 September memang begitu bersejarah. Itulah hari di mana PKI membunuh tujuh jenderal yang kini dikenal sebagai pahlawan revolusi. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (TAP MPRS) Nomor XXV/MPRS/1966 Tahun 1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia dan Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Faham atau Ajaran Komunis/Marxisme-Leninisme – kemudian dirumuskan guna memberikan aturan hukum tetap dan mengikat agar peristiwa serupa tidak terulang.

Kendati telah terdapat aturan hukum yang memberikan posisi tegas, menariknya perdebatan tentang PKI masih terus hidup sampai saat ini, bahkan menciptakan pembelahan opini. Di satu sisi, PKI jelas disebut telah melakukan pemberontakan dan usaha kudeta. Namun, di sisi lain, tidak sedikit yang menilai PKI hanyalah korban dari rencana kudeta yang dilakukan oleh Soeharto.

Semalam, di acara Indonesia Lawyers Club (ILC), dipilih tajuk yang sekiranya mengundang perdebatan, yakni “Ideologi PKI masih hidup?”. Sebuah pernyataan penting dikemukakan oleh Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Bidang Luar Negeri, Fadli Zon dalam acara tersebut. Tegasnya, persoalan PKI sebenarnya sudah tidak memiliki kontroversi ataupun perdebatan karena fakta sejarah dan aturan hukum telah menetapkan bahwa PKI beserta ideologinya adalah berbahaya dan dilarang.

Oleh karenanya, menjadi kurang relevan sekiranya untuk kembali mengungkit perihal apakah PKI merupakan korban dari kudeta Soeharto, apalagi menyebut ideologi PKI sebenarnya adalah Pancasila seperti yang diungkapkan oleh Sukmawati Soekarnoputri.

Akan tetapi, dengan fakta masih terbelahnya opini tentang PKI di tengah masyarakat, mengapa sederet fakta sejarah dan aturan hukum yang telah ada tetap menyisakan perdebatan tersebut?

Sentimen atas Rezim Soeharto?

Dalam sebuah wawancara di CNN, Francis Fukuyama memberikan jawaban menarik perihal mengapa masyarakat mengikuti arahan dari pemerintahnya. Menurut Fukuyama, letak jawabannya bukan pada bentuk pemerintahan, yakni demokrasi atau otoriter, melainkan pada sesuatu yang intangible (tak berwujud), yakni trust atau kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahnya.

Berbeda dengan di Amerika Serikat (AS) yang memiliki sejarah panjang kecurigaan terhadap pemerintahan, di negara-negara Asia, seperti Tiongkok yang menganut Konfusius, trust masyarakat begitu tinggi sehingga arahan dari pemerintah lebih mudah untuk didengar dan dijalankan.

Baca juga :  Anies Diserang Operasi Intelijen?

Konteks tersebut juga disinggung oleh Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP), Donny Gahral Adian dalam acara ILC pada 5 Februari 2019 lalu. Menurut Donny, dengan fakta Indonesia telah mengalami rezim yang begitu otoriter di bawah kepemimpinan Soeharto selama 32 tahun, itu membuat masyarakat mengalami trauma politik dan surplus kecurigaan terhadap kekuasaan.

Alina Tugend dalam tulisannya Praise Is Fleeting, but Brickbats We Recall memberikan afirmasi atas pernyataan Donny. Mengutip temuan Profesor Psikologi Sosial dari Florida State University, Roy F. Baumeister, Tugend menyebutkan bahwa manusia secara alamiah memang lebih mengingat kenangan buruk daripada kenangan baik.

Menurut Profesor Baumeister, hal tersebut merupakan bagian dari adaptasi manusia dalam bertahan hidup karena mengingat pengalaman buruk dapat memperbesar peluang manusia dalam menghindari bahaya.

Oleh karenanya, kenangan historis atas rezim otoriter tersebut yang membuat masyarakat sampai saat ini begitu curiga terhadap kekuasaan, apalagi yang berhubungan dengan rezim Soeharto. Konteks tersebut yang tampaknya menjadi jawaban mengapa fakta sejarah pemberontakan ataupun aturan hukum seperti yang ditegaskan Fadli Zon tidak menjadi variabel yang mengakhiri perdebatan atas PKI.

Pasalnya, sampai saat ini tidak sedikit pihak yang menyebutkan bahwa PKI hanyalah propaganda Soeharto untuk merebut kekuasaan dari Soekarno. Robert Cribb dalam tulisannya Indonesia 1965: the Attempted Coup and the Rise of Suharto, misalnya, memaparkan berbagai kecurigaan, seperti mengapa Soeharto dapat bereaksi dengan begitu cepat atas peristiwa 30 September?

Pun begitu dengan film G30S/PKI yang saat ini tengah menjadi topik perdebatan panas karena disebut hanya sebagai propaganda rezim Orde Baru untuk tetap memupuk kebencian terhadap PKI beserta ideologinya.

Namun, tentunya jawaban atas hal ini begitu sulit untuk dijustifikasi karena ranahnya pada persoalan psikologis. Akan tetapi, jika benar terdapat alasan psikologis di balik sikap skeptis atas pemberontakan PKI, mungkinkah terdapat alasan psikologis juga di balik derasnya kutukan terhadap PKI?

Bukan Benturan Ideologi?

Fukuyama dalam bukunya The End of History and the Last Man (1992), menyebutkan bahwa sejarah perkembangan ideologi-politik umat manusia akan berakhir dengan kemenangan kapitalisme dan demokrasi liberal. Dalam tesisnya, Fukuyama melihat terdapat konsensus luar biasa berkenaan dengan legitimasi demokrasi liberal sebagai sistem pemerintahan telah muncul di seluruh dunia, setelah sistem ini mengalahkan ideologi-ideologi pesaingnya, seperti monarki, fasisme, dan komunisme. 

Kendati tesis tersebut banyak dikritik oleh berbagai pihak, khususnya terkait adanya trend kemunduran sistem politik demokrasi sejak tahun 2000-an, dalam bukunya Identity: The Demand for Dignity and the Politics of Resentment (2018), Fukuyama terlihat memberikan penegasan tesis.

Baca juga :  Operasi Intelijen di Balik Pilpres 2024

Meskipun mengakui kemunduran trend demokrasi ataupun adanya pembusukan lembaga-lembaga demokrasi dunia, dengan mengutip filsafat sejarah Georg Wilhelm Friedrich Hegel, Fukuyama menegaskan bahwa di akhir sejarah, liberalisme tetap akan menjadi pemenang atas perseteruan ideologi yang ada.

Menariknya, sejak awal The End of History and the Last Man diterbitkan, Samuel Huntington dalam bukunya The Clash of Civilization and the Remaking of World Order (1996) telah memberikan bantahan atas tesis tersebut. Dengan tegas, Huntington menyebutkan bahwa di masa depan, pertengkaran ideologi seperti yang dibayangkan Fukuyama akan digantikan oleh pertengkaran peradaban.

Konflik abad ke-20 antara demokrasi liberal dengan Marxis-Leninisme, misalnya, bahkan disebut Huntington hanyalah sebuah fenomena historis yang bersifat sementara dan superfisial jika dibandingkan dengan hubungan konfliktual antara Islam dengan Kristen yang telah berlangsung selama berabad-abad.

Berikut adalah pembagian peradaban menurut Huntington: “Dunia” Barat, Rusia dan negara-negara tetangga terdekatnya, Tiongkok di tengah peradaban dunia, dan Islam yang tidak ingin lagi terikat peradaban lainnya, khususnya dengan Barat.

Jika tesis Huntington benar adanya, yakni benturan yang ada tidak lagi masalah ideologi, melainkan peradaban, maka judul acara ILC semalam, “Ideologi PKI masih hidup?” tampaknya kurang begitu esensial.

Jika ditelisik secara saksama, adanya kutukan keras atas PKI, sebenarnya adalah trauma yang memupuk di kalangan kelompok Islam karena PKI adalah dalang dari pembantaian kiai dan santri di tahun 1948. Pun begitu dengan PKI yang dinilai tidak mengakui agama dalam ideologinya. Merujuk pada besarnya peran kelompok Islam dalam kemerdekaan ataupun cita-cita untuk mendirikan negara berbasis Islam, tidak diakuinya agama jelas merupakan suatu hal yang tidak dapat ditolerir.

Seperti yang disebutkan oleh Huntington, benturan antara negara-negara Islam dengan Barat sebenarnya bukanlah perkara perang ideologi, seperti menolak liberalisme, melainkan karena adanya kebangkitan kembali Islam pada akhir abad ke-20 yang telah memberikan keyakinan-keyakinan baru di kalangan umat Islam terhadap watak, nilai-nilai, dan keluruhan peradabannya.

Mengacu pada Huntington, persoalan PKI sebenarnya kurang tepat disebut sebagai persoalan ideologi, karena masalah berakar dari resistensi kelompok-kelompok Islam atas nilai-nilai yang diyakininya. Ini misalnya terlihat dari kelompok Islam yang paling vokal dalam menyerukan gerakan anti-PKI sampai saat ini.

Akan tetapi, di luar persoalan apakah masalah PKI adalah benturan ideologi atau peradaban, masalah ini sepertinya akan terus diproduksi setiap tahunnya karena pemerintah masih terlihat “lepas tangan” dalam menjernihkan sejarah. Terlebih lagi, dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah terlihat memiliki jarak dengan kelompok-kelompok Islam yang notabene merupakan pihak yang paling bersuara atas isu ini.

Kita nantikan saja bagaimana kelanjutan perdebatan atas isu ini. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (R53)