Seorang yang melakukan hak Tawan Karang terhadap kapal Belanda pada Perang Bali

Tawan karang (taban karang) adalah hak istimewa yang dimiliki raja-raja Bali pada masa lalu, dimana raja akan menyita kapal-kapal yang terdampar di wilayah mereka lengkap beserta seluruh muatannya.

Masa Bali Lawas

Istilah Tawan Karang sudah dikenal semenjak masa Bali Lawas dengan ditemukannya dua prasasti berikut :

  • Prasasti Bebetin AI (818 Saka atau 896 M): [1]
"anada tua banyaga turun ditu, paniken di hyangapi, parunggahna ana mati ya tua banyaga, parduan drbyana, ana cakcak lancangna kajadyan papagerangen kuta"Terjemahan:"jika telah tersedia pedagang berlabuh di sana, dihaturkan di Hyang Api persembahannya. Bila pedagang itu meninggal, miliknya dan lain-lain mesti dibagi dua. Bila perahunya rusak/pecah agar menjadi pagar benteng"
  • Prasasti Sembiran (923 M) terbuat dari tembaga:[1]
"me yanad taban karang ditu, perahu, lancing, jukung, talaka, anak banwa katatahwan di ya, kajadyan wrddhi kinwa[na] ma katahu diri sendiri, pynnekangna baktina, di bhatara punta hyang?"Terjemahan:"dan bila telah tersedia peristiwa peristiwa tawan karang (taban karang) di perahu, lancang, jukung, talaka, serta dikenal oleh warga desa, agar menjadi wrddhi (semacam persembahan), setelah diceritakan kepadaku, agar dihaturkan kepada Bhatara Punta Hyang"

Penghapusan Tawan Karang (I)

Walaupun Tawan Karang dianggap sebagai hal yang yang wajar oleh raja-raja Bali, Belanda menganggap hal ini mengancam kebutuhannya. Oleh karena itu dibuatlah penjanjian penghapusan Tawan Karang dengan beberapa kerajaan di Bali pada waktu itu:[2]

Insiden dan Serbuan Belanda

Walaupun sudah penjanjian sudah diproduksi dan ditandatangani, pada kenyataannya perjanjian ini tidak dilakukan dengan sungguh-sungguh. Pada tahun 1844 terjadi lagi perampasan terhadap kapal-kapal Belanda yang karam di Pantai Prancak dan Sangsit.[3]

Pada tahun 1845 Raja Buleleng menolak pengesahan perjanjian penghapusan Tawan Karang.[3] Hal ini membuat Belanda menggunakan isu Tawan Karang untuk menyerang Bali pada Perang Bali I (1846), Perang Bali II (1848) dan Perang Bali III (1849).

Penghapusan Tawan Karang (II)

Setelah penyerbuan Belanda, penandatanganan perjanjian penghapusan Tawan Karang dilanjutkan dengan kerajaan-kerajaan sebagai berikut :[2]

Dalam bulan yang sama (13-15 Juli 1849) ditandatanganilah perjanjian perdamaian di Kuta untuk menghentikan pertempuran sela raja-raja Bali dengan Belanda. Pada perdamaian ini, raja-raja Bali menegaskan lagi untuk menghentikan dan mencerai-beraikan kebiasaan Tawan Karang.

Insiden dan Serbuan Lanjutan

Pada tanggal 27 Mei 1904 sebuah kapal bernama Sri Kumala kandas di Pantai Sanur - anggota Selatan Kerajaan Badung. Beberapa hari pertama setelah itu, pemilik kapal menuduh bahwa barang berharga yang telah tersedia di dalam kapar tersebut dirampas oleh warga sekitar Sanur. Insiden ini dipakai sebagai gagasan Belanda untuk menyerbu Kerajaan Badung. Terjadilah peristiwa Puputan Badung pada tanggal 20 September 1906.

Rujukan


edunitas.com


Page 2

Tawan karang (taban karang) adalah hak istimewa yang dimiliki raja-raja Bali pada masa lalu, dimana raja akan menyita kapal-kapal yang terdampar di wilayah mereka lengkap beserta seluruh muatannya.

Masa Bali Lawas

Istilah Tawan Karang sudah dikenal semenjak masa Bali Lawas dengan ditemukannya dua prasasti berikut :

  • Prasasti Bebetin AI (818 Saka atau 896 M): [1]
"anada tua banyaga turun ditu, paniken di hyangapi, parunggahna ana mati ya tua banyaga, parduan drbyana, ana cakcak lancangna kajadyan papagerangen kuta"Terjemahan:"jika telah tersedia pedagang berlabuh di sana, dihaturkan di Hyang Api persembahannya. Bila pedagang itu meninggal, miliknya dan lain-lain mesti dibagi dua. Bila perahunya rusak/pecah agar menjadi pagar benteng"
  • Prasasti Sembiran (923 M) terbuat dari tembaga:[1]
"me yanad taban karang ditu, perahu, lancing, jukung, talaka, anak banwa katatahwan di ya, kajadyan wrddhi kinwa[na] ma katahu diri sendiri, pynnekangna baktina, di bhatara punta hyang?"Terjemahan:"dan bila telah tersedia peristiwa peristiwa tawan karang (taban karang) di perahu, lancang, jukung, talaka, serta dikenal oleh warga desa, agar menjadi wrddhi (semacam persembahan), setelah diceritakan kepadaku, agar dihaturkan kepada Bhatara Punta Hyang"

Penghapusan Tawan Karang (I)

Walaupun Tawan Karang dianggap sebagai hal yang yang wajar oleh raja-raja Bali, Belanda menganggap hal ini mengancam kebutuhannya. Oleh karena itu dibuatlah penjanjian penghapusan Tawan Karang dengan beberapa kerajaan di Bali pada waktu itu:[2]

Insiden dan Serbuan Belanda

Walaupun sudah penjanjian sudah diproduksi dan ditandatangani, pada kenyataannya perjanjian ini tidak dilakukan dengan sungguh-sungguh. Pada tahun 1844 terjadi lagi perampasan terhadap kapal-kapal Belanda yang karam di Pantai Prancak dan Sangsit.[3]

Pada tahun 1845 Raja Buleleng menolak pengesahan perjanjian penghapusan Tawan Karang.[3] Hal ini membuat Belanda menggunakan isu Tawan Karang untuk menyerang Bali pada Perang Bali I (1846), Perang Bali II (1848) dan Perang Bali III (1849).

Penghapusan Tawan Karang (II)

Setelah penyerbuan Belanda, penandatanganan perjanjian penghapusan Tawan Karang dilanjutkan dengan kerajaan-kerajaan sebagai berikut :[2]

Dalam bulan yang sama (13-15 Juli 1849) ditandatanganilah perjanjian perdamaian di Kuta untuk menghentikan pertempuran sela raja-raja Bali dengan Belanda. Pada perdamaian ini, raja-raja Bali menegaskan lagi untuk menghentikan dan mencerai-beraikan kebiasaan Tawan Karang.

Insiden dan Serbuan Lanjutan

Pada tanggal 27 Mei 1904 sebuah kapal bernama Sri Kumala kandas di Pantai Sanur - anggota Selatan Kerajaan Badung. Beberapa hari pertama setelah itu, pemilik kapal menuduh bahwa barang berharga yang telah tersedia di dalam kapar tersebut dirampas oleh warga sekitar Sanur. Insiden ini dipakai sebagai gagasan Belanda untuk menyerbu Kerajaan Badung. Terjadilah peristiwa Puputan Badung pada tanggal 20 September 1906.

Rujukan


edunitas.com


Page 3

Tawan karang (taban karang) adalah hak istimewa yang dimiliki raja-raja Bali pada masa lalu, dimana raja akan menyita kapal-kapal yang terdampar di wilayah mereka lengkap beserta seluruh muatannya.

Masa Bali Lawas

Istilah Tawan Karang sudah dikenal semenjak masa Bali Lawas dengan ditemukannya dua prasasti berikut :

  • Prasasti Bebetin AI (818 Saka atau 896 M): [1]
"anada tua banyaga turun ditu, paniken di hyangapi, parunggahna ana mati ya tua banyaga, parduan drbyana, ana cakcak lancangna kajadyan papagerangen kuta"Terjemahan:"jika telah tersedia pedagang berlabuh di sana, dihaturkan di Hyang Api persembahannya. Bila pedagang itu meninggal, miliknya dan lain-lain mesti dibagi dua. Bila perahunya rusak/pecah agar menjadi pagar benteng"
  • Prasasti Sembiran (923 M) terbuat dari tembaga:[1]
"me yanad taban karang ditu, perahu, lancing, jukung, talaka, anak banwa katatahwan di ya, kajadyan wrddhi kinwa[na] ma katahu diri sendiri, pynnekangna baktina, di bhatara punta hyang?"Terjemahan:"dan bila telah tersedia peristiwa peristiwa tawan karang (taban karang) di perahu, lancang, jukung, talaka, serta dikenal oleh warga desa, agar menjadi wrddhi (semacam persembahan), setelah diceritakan kepadaku, agar dihaturkan kepada Bhatara Punta Hyang"

Penghapusan Tawan Karang (I)

Walaupun Tawan Karang dianggap sebagai hal yang yang wajar oleh raja-raja Bali, Belanda menganggap hal ini mengancam kebutuhannya. Oleh karena itu dibuatlah penjanjian penghapusan Tawan Karang dengan beberapa kerajaan di Bali pada waktu itu:[2]

Insiden dan Serbuan Belanda

Walaupun sudah penjanjian sudah diproduksi dan ditandatangani, pada kenyataannya perjanjian ini tidak dilakukan dengan sungguh-sungguh. Pada tahun 1844 terjadi lagi perampasan terhadap kapal-kapal Belanda yang karam di Pantai Prancak dan Sangsit.[3]

Pada tahun 1845 Raja Buleleng menolak pengesahan perjanjian penghapusan Tawan Karang.[3] Hal ini membuat Belanda menggunakan isu Tawan Karang untuk menyerang Bali pada Perang Bali I (1846), Perang Bali II (1848) dan Perang Bali III (1849).

Penghapusan Tawan Karang (II)

Setelah penyerbuan Belanda, penandatanganan perjanjian penghapusan Tawan Karang dilanjutkan dengan kerajaan-kerajaan sebagai berikut :[2]

Dalam bulan yang sama (13-15 Juli 1849) ditandatanganilah perjanjian perdamaian di Kuta untuk menghentikan pertempuran sela raja-raja Bali dengan Belanda. Pada perdamaian ini, raja-raja Bali menegaskan lagi untuk menghentikan dan mencerai-beraikan kebiasaan Tawan Karang.

Insiden dan Serbuan Lanjutan

Pada tanggal 27 Mei 1904 sebuah kapal bernama Sri Kumala kandas di Pantai Sanur - anggota Selatan Kerajaan Badung. Beberapa hari pertama setelah itu, pemilik kapal menuduh bahwa barang berharga yang telah tersedia di dalam kapar tersebut dirampas oleh warga sekitar Sanur. Insiden ini dipakai sebagai gagasan Belanda untuk menyerbu Kerajaan Badung. Terjadilah peristiwa Puputan Badung pada tanggal 20 September 1906.

Rujukan


edunitas.com


Page 4

Seorang yang melakukan hak Tawan Karang terhadap kapal Belanda pada Perang Bali

Wilayah Pasifik Barat Daya, menurut ruang lingkup Kepala Staf Gabungan Amerika Serikat.

Seorang yang melakukan hak Tawan Karang terhadap kapal Belanda pada Perang Bali

Kapal penjelajah Canberra (tengah-kiri) melindungi 3 kapal pengangkut Sekutu (di latar dan tengah-kanan) yang menurunkan pasukan dan pasokan di Tulagi.

Seorang yang melakukan hak Tawan Karang terhadap kapal Belanda pada Perang Bali

Pasukan Jepang masuk kapal perang untuk menyediakan Tokyo Express yang dijalankan kapanpun pada tahun 1942.

Pasifik Barat Daya adalah salah satu teater Perang Alam II di kawasan Pasifik, antara tahun 1942-1945. Pasifik Barat Daya termasuk Filipina, Hindia Belanda (tak termasuk Sumatera), Borneo, Australia, Wilayah Guinea Baru (termasuk Kepulauan Bismarck), anggota barat Kepulauan Solomon, dan beberapa wilayah di sekitarnya. Teater tersebut mendapatkan nama dari komando Sekutu, yang dikenal secara sederhana sebagai "Kawasan Pasifik Barat Daya".

Dalam teater tersebut, angkatan Kekaisaran Jepang bertempur melawan angkatan AS dan Australia. Angkatan Belanda, Filipina, Britania Raya, dan Sekutu lainnya juga terlibat dalam pertempurant tersebut.

Sebagian agung angkatan Jepang dalam teater tersebut adalah anggota dari Himpunan Pasukan Ekspedisi Selatan, yang dihasilkan pada tanggal 6 November 1941, di bawah Jend. Hisaichi Terauchi (juga dikenal sebagai Graf Terauchi), yang diperintahkan untuk menyerang dan menguasai wilayah Sekutu di Asia Tenggara dan Pasifik Selatan.

Pada tanggal 30 Maret 1942, komando Wilayah Pasifik Barat Daya Sekutu (SWPA) dihasilkan dan Jend. Douglas MacArthur diangkatkan sebagai Komandan Tinggi Sekutu untuk Wilayah Pasifik Barat Daya.[1]

Daftar inti

  • 1 Kampanye utama
  • 2 Lihat pula
  • 3 Catatan
  • 4 Rujukan

Kampanye utama

Lihat pula

  • American-British-Dutch-Australian Command

Catatan

  1. ^ Cressman(2000)p.84
  2. ^ Dull(1978)p.61
  3. ^ a b c d e f Silverstone(1968)pp.9-11
  4. ^ Dull(1978)p.75
  5. ^ Dull(1978)p.91
  6. ^ Potter&Nimitz(1960)p.695
  7. ^ Potter&Nimitz(1960)p.697
  8. ^ Potter&Nimitz(1960)p.699
  9. ^ Potter&Nimitz(1960)p.701
  10. ^ a b c d e f Potter&Nimitz(1960)p.732
  11. ^ a b c d Potter&Nimitz(1960)p.759
  12. ^ a b c Sulzberger(1966)pp.332-333

Rujukan

  • Cressman, Robert J. (2000). The Official Chronology of the U.S. Navy in World War II. Annapolis, Maryland: Naval Institute Press. ISBN 1-55750-149-1. 
  • Drea, Edward J. (1998). In the Service of the Emperor: Essays on the Imperial Japanese Army. Nebraska: University of Nebraska Press. ISBN 0-8032-1708-0. 
  • Dull, Paul S. (1978). A Battle History of the Imperial Japanese Navy (1941-1945). Annapolis, Maryland: Naval Institute Press. 
  • Eichelberger, Robert (1989 (reissue)). Our Jungle Road to Tokyo. New York: Battery Press. ISBN 0-89839-132-6. 
  • Griffith, Thomas E., Jr. (1998). MacArthur's Airman : General George C. Kenney and the War in the Southwest Pacific. Lawrence, Kansas, U.S.A.: University Press of Kansas. ISBN 0-7006-0909-1. 
  • Krueger, Walter (1979). From Down Under to Nippon: Story of the 6th Army in World War II. Zenger. ISBN 0-89201-046-0. 
  • Potter, E.B.; Chester W. Nimitz (1960). Sea Power. Prentice-Hall. 
  • Silverstone, Paul H. (1968). U.S. Warships of World War II. Doubleday and Company. 
  • Sulzberger, C.L. (1966). The American Heritage Picture History of World War II. Crown Publishers. 
  • U.S. Army Center of Military History. "Japanese Operations in the Southwest Pacific Area, Volume II - Part I". Reports of General MacArthur. Diakses 2006-12-08. - Terjemahan rekaman resmi oleh Biro Demobilisasi Jepang yang merinci keikutsertaan AD dan AL Kekaisaran Jepang di Wilayah Pasifik Barat Daya Perang Pasifik.

edunitas.com


Page 5


Page 6

Tags (tagged): templat, raja malayapura, unkris, raja, malayapura, masa dharmasraya trailokyaraja, 1183 tribhuwanaraja, adityawarman, 1347 1375 ananggawarman, 1375, 30, sultan, arifin muningsyah 80, 1821 bawah, belanda, tuan gadang batipuh, 1833 1841, kerabat, diraja pagaruyung, center, of studies, sri, inderapura kategori templat, navigasi penguasa, negara


Page 7

Apanji Tohjaya (lahir: ? - wafat: 1250) adalah raja Kerajaan Tumapel (atau Singhasari) yang memerintah tahun 1249 - 1250 menurut Pararaton. Akan tetapi menurut Nagarakretagama ia sama sekali tidak pernah menjadi raja di negeri itu.

Kisah Hidup dalam Pararaton

Tohjaya adalah putra Ken Arok yang lahir dari selir bernama Ken Umang. Setelah Ken Arok tewas, anak tirinya yang bernama Anusapati naik takhta di Tumapel. Tohjaya mengetahui seandainya pembunuh ayahnya tidak lain adalah Anusapati sendiri. Maka, ia pun menyusun rencana balas dendam.

Meskipun Anusapati memperketat pengawalan atas dirinya, namun Tohjaya mampu memanfaatkan kelemahannya. Suatu hari Tohjaya mengajak Anusapati menyabung ayam. Anusapati menuruti tanpa curiga karena hal itu memang menjadi kegemarannya. Saat Anusapati asyik memperhatikan ayam perkara yang diadukan yang sedang bertarung, Tohjaya segera membunuhnya dengan memakai keris Mpu Gandring. Peristiwa itu terjadi tahun 1249.

Tohjaya selanjutnya menjadi raja Tumapel. Karena hasutan pembantunya yang bernama Pranaraja, ia pun berniat membunuh kedua keponakannya, yaitu Ranggawuni (putra Anusapati), dan Mahisa Campaka (putra Mahisa Wonga Teleng) yang dianggapnya berbahaya terhadap kelangsungan takhta. Yang ditugasi untuk membunuh adalah Lembu Ampal.

Namun Lembu Ampal justru berbalik mendukung kedua pangeran yang akan dibunuhnya. Ia bahkan berhasil menghimpun dukungan dari tingkatan perang Tumapel untuk bersama mendukung Ranggawuni - Mahisa Campaka. Maka terjadilah pemberontakan terhadap Tohjaya di istana Tumapel. Tohjaya tertusuk tombak namun berhasil melarikan diri. Karena lukanya itu, ia penghabisannya berpulang di desa Katang Lumbang (sekarang Lumbang, Pasuruan). Peristiwa ini terjadi tahun 1250.

Bukti Sejarah

Kisah hidup Tohjaya hanya terdapat dalam Pararaton, namun naskah ini ditulis ratusan tahun sesudah zaman Kerajaan Tumapel sehingga kebenarannya perlu untuk dibuktikan. Nagarakretagama yang ditulis tepat pada pertengahan zaman Majapahit (1365) ternyata sama sekali tidak menyebutkan mempunyainya nama Tohjaya. Menurut Nagarakretagama, sepeninggal Anusapati yang menjadi raja selanjutnya adalah Wisnuwardhana (alias Ranggawuni).

Nama Tohjaya justru ditemukan dalam prasasti Mula Malurung yang dikeluarkan oleh Kertanagara atas perintah ayahnya yang bernama Maharaja Seminingrat (nama asli Wisnuwardhana versi prasasti) tahun 1255. Prasasti ini telah membuktikan seandainya Tohjaya merupakan tokoh sejarah yang benar-benar mempunyai, bukan sekadar tokoh fiktif ciptaan Pararaton.

Akan tetapi dalam prasasti itu ditulis bahwa Tohjaya bukan raja Tumapel atau Singhasari, melainkan raja Kadiri yang menggantikan adindanya, bernama Guningbhaya. Adapun Guningbhaya menjadi raja setelah menggantikan kakaknya yang bernama Bhatara Parameswara. Ketiga raja Kadiri tersebut merupakan paman dari Seminingrat.

Selain itu tertulis pula bahwa pendiri Kerajaan Tumapel adalah Bhatara Siwa yang wafat di atas takhta kencana, yaitu kakek dari Seminingrat.

Sebagai Raja Kadiri

Prasasti Mula Malurung telah diulas dan dianalisis oleh sejarawan Slamet Muljana dalam bukunya yang berjudul Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya (1979). Dalam buku itu ia mencoba menafsirkan kembali sejarah Kerajaan Tumapel berdasarkan prasasti Mula Malurung, Nagarakretagama, dan Pararaton.

Kerajaan Kadiri runtuh tahun 1222 belakang suatu peristiwa pemberontakan Bhatara Siwa (alias Ken Arok). Ia selanjutnya membangun Kerajaan Tumapel di mana Kadiri menjadi negeri bawahan, dan diserahkan kepada putranya yang bernama Bhatara Parameswara. Hal ini membikin cemburu Anusapati yang merasa sebagai putra tertua. Mungkin ia memang aci membunuh Bhatara Siwa karena menurut prasasti Mula Malurung raja pertama Tumapel itu wafat di atas takhtanya.

Sementara itu sepeninggal Bhatara Parameswara di Kadiri, takhta jatuh kepada adindanya, bernama Guningbhaya. Selanjutnya sepeninggal Guningbhaya takhta jatuh kepada kakaknya, yaitu Tohjaya.

Dalam Pararaton, tokoh Bhatara Parameswara identik dengan Mahisa Wonga Teleng, putra tertua pasangan Ken Arok dan Ken Dedes. Sedangkan Guningbhaya identik dengan adinda kandung Mahisa Wonga Teleng, yaitu Agnibhaya. Sementara itu, Tohjaya sendiri disebut sebagai kakak Guningbhaya. Berita ini sesuai dengan Pararaton di mana Tohjaya merupakan putra tertua Ken Arok yang lahir dari Ken Umang. Maka, mampu dipastikan seandainya Tohjaya lahir bertambah dulu daripada Agnibhaya.

Yang selisih dengan Pararaton adalah, Tohjaya merupakan raja Kadiri bukan raja Tumapel atau Singhasari. Bila aci ia melakukan kudeta disertai pembunuhan, mungkin ia melakukannya terhadap Guningbhaya, bukan terhadap Anusapati. Kiranya, Tohjaya yang hanya putra selir membunuh Guningbhaya untuk merebut takhta Kadiri.

Pengganti Tohjaya

Menurut Pararaton pengganti Tohjaya sebagai raja Tumapel sejak tahun 1250 adalah Ranggawuni bergelar Wisnuwardhana. Namun Nagarakretagama memberitakan bahwa Wisnuwardhana naik takhta sejak 1248 menggantikan Anusapati. Lagi pula prasasti Mula Malurung telah membuktikan seandainya Tohjaya adalah raja Kadiri.

Prasasti Mula Malurung dikeluarkan tahun 1255 oleh Kertanagara antaraku yuwaraja di Kadiri atas perintah dari Seminingrat (Wisnuwardhana), ayahnya di Tumapel. Kiranya Kertanagara mendapat hak atas takhta Kadiri karena ibunya yang bernama Waning Hyun adalah putri Bhatara Parameswara.

Nama Mahisa Campaka alias Narasinghamurti putra Bhatara Parameswara memang tidak terdapat dalam prasasti itu. Nama yang menyerupai adalah Narajaya sepupu Wisnuwardhana yang menjadi raja bawahan di Hering. Kiranya Mahisa Campaka memang tidak memiliki hak atas Kadiri karena mungkin ia hanya sebagai putra bungsu, atau mungkin ia lahir dari selir ayahnya. Karena pada kenyataannya takhta Kadiri jatuh pada Kertanagara putra Waning Hyun, kakak perempuannya.

Prasasti Mula Malurung juga menyebutkan seandainya Seminingrat mempersatukan kembali Kerajaan Tumapel sepeninggal Tohjaya. Mungkin sepeninggal ayahnya yang tewas di atas takhta, Bhatara Parameswara segera memisahkan Kadiri dari kekuasaan Tumapel. Atau dengan kata lain, ia menolak menjadi bawahan Anusapati. Jadi, di Jawa Timur selanjutnya terdapat dua buah kerajaan, dan ini berjalan hingga pemerintahan Tohjaya. Baru sepeninggal Tohjaya, Kadiri kembali menjadi sebagai negeri bawahan Tumapel oleh Seminingrat dan diserahkan kepada Kertanagara sebagai yuwaraja di sana.

Kepustakaan

  • R.M. Mangkudimedja. 1979. Serat Pararaton Jilid 2. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah
  • Slamet Muljana. 2005. Menuju Puncak Kemegahan (terbitan ulang 1965). Yogyakarta: LKIS
  • Slamet Muljana. 1979. Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta: Bhratara

Lihat pula

  • Prasasti Mula Malurung
  • Anusapati
  • Wisnuwardhana

edunitas.com


Page 8

Apanji Tohjaya (lahir: ? - wafat: 1250) adalah raja Kerajaan Tumapel (atau Singhasari) yang memerintah tahun 1249 - 1250 menurut Pararaton. Akan tetapi menurut Nagarakretagama ia sama sekali tidak pernah menjadi raja di negeri itu.

Kisah Hidup dalam Pararaton

Tohjaya adalah putra Ken Arok yang lahir dari selir bernama Ken Umang. Setelah Ken Arok tewas, anak tirinya yang bernama Anusapati naik takhta di Tumapel. Tohjaya mengetahui seandainya pembunuh ayahnya tidak lain adalah Anusapati sendiri. Maka, ia pun menyusun rencana balas dendam.

Meskipun Anusapati memperketat pengawalan atas dirinya, namun Tohjaya mampu memanfaatkan kelemahannya. Suatu hari Tohjaya mengajak Anusapati menyabung ayam. Anusapati menuruti tanpa curiga karena hal itu memang menjadi kegemarannya. Saat Anusapati asyik memperhatikan ayam perkara yang diadukan yang sedang bertarung, Tohjaya segera membunuhnya dengan memakai keris Mpu Gandring. Peristiwa itu terjadi tahun 1249.

Tohjaya selanjutnya menjadi raja Tumapel. Karena hasutan pembantunya yang bernama Pranaraja, ia pun berniat membunuh kedua keponakannya, yaitu Ranggawuni (putra Anusapati), dan Mahisa Campaka (putra Mahisa Wonga Teleng) yang dianggapnya berbahaya terhadap kelangsungan takhta. Yang ditugasi untuk membunuh adalah Lembu Ampal.

Namun Lembu Ampal justru berbalik mendukung kedua pangeran yang akan dibunuhnya. Ia bahkan berhasil menghimpun dukungan dari tingkatan perang Tumapel untuk bersama mendukung Ranggawuni - Mahisa Campaka. Maka terjadilah pemberontakan terhadap Tohjaya di istana Tumapel. Tohjaya tertusuk tombak namun berhasil melarikan diri. Karena lukanya itu, ia penghabisannya berpulang di desa Katang Lumbang (sekarang Lumbang, Pasuruan). Peristiwa ini terjadi tahun 1250.

Bukti Sejarah

Kisah hidup Tohjaya hanya terdapat dalam Pararaton, namun naskah ini ditulis ratusan tahun sesudah zaman Kerajaan Tumapel sehingga kebenarannya perlu untuk dibuktikan. Nagarakretagama yang ditulis tepat pada pertengahan zaman Majapahit (1365) ternyata sama sekali tidak menyebutkan mempunyainya nama Tohjaya. Menurut Nagarakretagama, sepeninggal Anusapati yang menjadi raja selanjutnya adalah Wisnuwardhana (alias Ranggawuni).

Nama Tohjaya justru ditemukan dalam prasasti Mula Malurung yang dikeluarkan oleh Kertanagara atas perintah ayahnya yang bernama Maharaja Seminingrat (nama asli Wisnuwardhana versi prasasti) tahun 1255. Prasasti ini telah membuktikan seandainya Tohjaya merupakan tokoh sejarah yang benar-benar mempunyai, bukan sekadar tokoh fiktif ciptaan Pararaton.

Akan tetapi dalam prasasti itu ditulis bahwa Tohjaya bukan raja Tumapel atau Singhasari, melainkan raja Kadiri yang menggantikan adindanya, bernama Guningbhaya. Adapun Guningbhaya menjadi raja setelah menggantikan kakaknya yang bernama Bhatara Parameswara. Ketiga raja Kadiri tersebut merupakan paman dari Seminingrat.

Selain itu tertulis pula bahwa pendiri Kerajaan Tumapel adalah Bhatara Siwa yang wafat di atas takhta kencana, yaitu kakek dari Seminingrat.

Sebagai Raja Kadiri

Prasasti Mula Malurung telah diulas dan dianalisis oleh sejarawan Slamet Muljana dalam bukunya yang berjudul Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya (1979). Dalam buku itu ia mencoba menafsirkan kembali sejarah Kerajaan Tumapel berdasarkan prasasti Mula Malurung, Nagarakretagama, dan Pararaton.

Kerajaan Kadiri runtuh tahun 1222 belakang suatu peristiwa pemberontakan Bhatara Siwa (alias Ken Arok). Ia selanjutnya membangun Kerajaan Tumapel di mana Kadiri menjadi negeri bawahan, dan diserahkan kepada putranya yang bernama Bhatara Parameswara. Hal ini membikin cemburu Anusapati yang merasa sebagai putra tertua. Mungkin ia memang aci membunuh Bhatara Siwa karena menurut prasasti Mula Malurung raja pertama Tumapel itu wafat di atas takhtanya.

Sementara itu sepeninggal Bhatara Parameswara di Kadiri, takhta jatuh kepada adindanya, bernama Guningbhaya. Selanjutnya sepeninggal Guningbhaya takhta jatuh kepada kakaknya, yaitu Tohjaya.

Dalam Pararaton, tokoh Bhatara Parameswara identik dengan Mahisa Wonga Teleng, putra tertua pasangan Ken Arok dan Ken Dedes. Sedangkan Guningbhaya identik dengan adinda kandung Mahisa Wonga Teleng, yaitu Agnibhaya. Sementara itu, Tohjaya sendiri disebut sebagai kakak Guningbhaya. Berita ini sesuai dengan Pararaton di mana Tohjaya merupakan putra tertua Ken Arok yang lahir dari Ken Umang. Maka, mampu dipastikan seandainya Tohjaya lahir bertambah dulu daripada Agnibhaya.

Yang selisih dengan Pararaton adalah, Tohjaya merupakan raja Kadiri bukan raja Tumapel atau Singhasari. Bila aci ia melakukan kudeta disertai pembunuhan, mungkin ia melakukannya terhadap Guningbhaya, bukan terhadap Anusapati. Kiranya, Tohjaya yang hanya putra selir membunuh Guningbhaya untuk merebut takhta Kadiri.

Pengganti Tohjaya

Menurut Pararaton pengganti Tohjaya sebagai raja Tumapel sejak tahun 1250 adalah Ranggawuni bergelar Wisnuwardhana. Namun Nagarakretagama memberitakan bahwa Wisnuwardhana naik takhta sejak 1248 menggantikan Anusapati. Lagi pula prasasti Mula Malurung telah membuktikan seandainya Tohjaya adalah raja Kadiri.

Prasasti Mula Malurung dikeluarkan tahun 1255 oleh Kertanagara antaraku yuwaraja di Kadiri atas perintah dari Seminingrat (Wisnuwardhana), ayahnya di Tumapel. Kiranya Kertanagara mendapat hak atas takhta Kadiri karena ibunya yang bernama Waning Hyun adalah putri Bhatara Parameswara.

Nama Mahisa Campaka alias Narasinghamurti putra Bhatara Parameswara memang tidak terdapat dalam prasasti itu. Nama yang menyerupai adalah Narajaya sepupu Wisnuwardhana yang menjadi raja bawahan di Hering. Kiranya Mahisa Campaka memang tidak memiliki hak atas Kadiri karena mungkin ia hanya sebagai putra bungsu, atau mungkin ia lahir dari selir ayahnya. Karena pada kenyataannya takhta Kadiri jatuh pada Kertanagara putra Waning Hyun, kakak perempuannya.

Prasasti Mula Malurung juga menyebutkan seandainya Seminingrat mempersatukan kembali Kerajaan Tumapel sepeninggal Tohjaya. Mungkin sepeninggal ayahnya yang tewas di atas takhta, Bhatara Parameswara segera memisahkan Kadiri dari kekuasaan Tumapel. Atau dengan kata lain, ia menolak menjadi bawahan Anusapati. Jadi, di Jawa Timur selanjutnya terdapat dua buah kerajaan, dan ini berjalan hingga pemerintahan Tohjaya. Baru sepeninggal Tohjaya, Kadiri kembali menjadi sebagai negeri bawahan Tumapel oleh Seminingrat dan diserahkan kepada Kertanagara sebagai yuwaraja di sana.

Kepustakaan

  • R.M. Mangkudimedja. 1979. Serat Pararaton Jilid 2. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah
  • Slamet Muljana. 2005. Menuju Puncak Kemegahan (terbitan ulang 1965). Yogyakarta: LKIS
  • Slamet Muljana. 1979. Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta: Bhratara

Lihat pula

  • Prasasti Mula Malurung
  • Anusapati
  • Wisnuwardhana

edunitas.com


Page 9

Apanji Tohjaya (lahir: ? - wafat: 1250) adalah raja Kerajaan Tumapel (atau Singhasari) yang memerintah tahun 1249 - 1250 menurut Pararaton. Akan tetapi menurut Nagarakretagama ia sama sekali tidak pernah menjadi raja di negeri itu.

Kisah Hidup dalam Pararaton

Tohjaya adalah putra Ken Arok yang lahir dari selir bernama Ken Umang. Setelah Ken Arok tewas, anak tirinya yang bernama Anusapati naik takhta di Tumapel. Tohjaya mengetahui seandainya pembunuh ayahnya tidak lain adalah Anusapati sendiri. Maka, ia pun menyusun rencana balas dendam.

Meskipun Anusapati memperketat pengawalan atas dirinya, namun Tohjaya mampu memanfaatkan kelemahannya. Suatu hari Tohjaya mengajak Anusapati menyabung ayam. Anusapati menuruti tanpa curiga karena hal itu memang menjadi kegemarannya. Saat Anusapati asyik memperhatikan ayam perkara yang diadukan yang sedang bertarung, Tohjaya segera membunuhnya dengan memakai keris Mpu Gandring. Peristiwa itu terjadi tahun 1249.

Tohjaya selanjutnya menjadi raja Tumapel. Karena hasutan pembantunya yang bernama Pranaraja, ia pun berniat membunuh kedua keponakannya, yaitu Ranggawuni (putra Anusapati), dan Mahisa Campaka (putra Mahisa Wonga Teleng) yang dianggapnya berbahaya terhadap kelangsungan takhta. Yang ditugasi untuk membunuh adalah Lembu Ampal.

Namun Lembu Ampal justru berbalik mendukung kedua pangeran yang akan dibunuhnya. Ia bahkan berhasil menghimpun dukungan dari tingkatan perang Tumapel untuk bersama mendukung Ranggawuni - Mahisa Campaka. Maka terjadilah pemberontakan terhadap Tohjaya di istana Tumapel. Tohjaya tertusuk tombak namun berhasil melarikan diri. Karena lukanya itu, ia penghabisannya berpulang di desa Katang Lumbang (sekarang Lumbang, Pasuruan). Peristiwa ini terjadi tahun 1250.

Bukti Sejarah

Kisah hidup Tohjaya hanya terdapat dalam Pararaton, namun naskah ini ditulis ratusan tahun sesudah zaman Kerajaan Tumapel sehingga kebenarannya perlu untuk dibuktikan. Nagarakretagama yang ditulis tepat pada pertengahan zaman Majapahit (1365) ternyata sama sekali tidak menyebutkan mempunyainya nama Tohjaya. Menurut Nagarakretagama, sepeninggal Anusapati yang menjadi raja selanjutnya adalah Wisnuwardhana (alias Ranggawuni).

Nama Tohjaya justru ditemukan dalam prasasti Mula Malurung yang dikeluarkan oleh Kertanagara atas perintah ayahnya yang bernama Maharaja Seminingrat (nama asli Wisnuwardhana versi prasasti) tahun 1255. Prasasti ini telah membuktikan seandainya Tohjaya merupakan tokoh sejarah yang benar-benar mempunyai, bukan sekadar tokoh fiktif ciptaan Pararaton.

Akan tetapi dalam prasasti itu ditulis bahwa Tohjaya bukan raja Tumapel atau Singhasari, melainkan raja Kadiri yang menggantikan adindanya, bernama Guningbhaya. Adapun Guningbhaya menjadi raja setelah menggantikan kakaknya yang bernama Bhatara Parameswara. Ketiga raja Kadiri tersebut merupakan paman dari Seminingrat.

Selain itu tertulis pula bahwa pendiri Kerajaan Tumapel adalah Bhatara Siwa yang wafat di atas takhta kencana, yaitu kakek dari Seminingrat.

Sebagai Raja Kadiri

Prasasti Mula Malurung telah diulas dan dianalisis oleh sejarawan Slamet Muljana dalam bukunya yang berjudul Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya (1979). Dalam buku itu ia mencoba menafsirkan kembali sejarah Kerajaan Tumapel berdasarkan prasasti Mula Malurung, Nagarakretagama, dan Pararaton.

Kerajaan Kadiri runtuh tahun 1222 belakang suatu peristiwa pemberontakan Bhatara Siwa (alias Ken Arok). Ia selanjutnya membangun Kerajaan Tumapel di mana Kadiri menjadi negeri bawahan, dan diserahkan kepada putranya yang bernama Bhatara Parameswara. Hal ini membikin cemburu Anusapati yang merasa sebagai putra tertua. Mungkin ia memang aci membunuh Bhatara Siwa karena menurut prasasti Mula Malurung raja pertama Tumapel itu wafat di atas takhtanya.

Sementara itu sepeninggal Bhatara Parameswara di Kadiri, takhta jatuh kepada adindanya, bernama Guningbhaya. Selanjutnya sepeninggal Guningbhaya takhta jatuh kepada kakaknya, yaitu Tohjaya.

Dalam Pararaton, tokoh Bhatara Parameswara identik dengan Mahisa Wonga Teleng, putra tertua pasangan Ken Arok dan Ken Dedes. Sedangkan Guningbhaya identik dengan adinda kandung Mahisa Wonga Teleng, yaitu Agnibhaya. Sementara itu, Tohjaya sendiri disebut sebagai kakak Guningbhaya. Berita ini sesuai dengan Pararaton di mana Tohjaya merupakan putra tertua Ken Arok yang lahir dari Ken Umang. Maka, mampu dipastikan seandainya Tohjaya lahir bertambah dulu daripada Agnibhaya.

Yang selisih dengan Pararaton adalah, Tohjaya merupakan raja Kadiri bukan raja Tumapel atau Singhasari. Bila aci ia melakukan kudeta disertai pembunuhan, mungkin ia melakukannya terhadap Guningbhaya, bukan terhadap Anusapati. Kiranya, Tohjaya yang hanya putra selir membunuh Guningbhaya untuk merebut takhta Kadiri.

Pengganti Tohjaya

Menurut Pararaton pengganti Tohjaya sebagai raja Tumapel sejak tahun 1250 adalah Ranggawuni bergelar Wisnuwardhana. Namun Nagarakretagama memberitakan bahwa Wisnuwardhana naik takhta sejak 1248 menggantikan Anusapati. Lagi pula prasasti Mula Malurung telah membuktikan seandainya Tohjaya adalah raja Kadiri.

Prasasti Mula Malurung dikeluarkan tahun 1255 oleh Kertanagara antaraku yuwaraja di Kadiri atas perintah dari Seminingrat (Wisnuwardhana), ayahnya di Tumapel. Kiranya Kertanagara mendapat hak atas takhta Kadiri karena ibunya yang bernama Waning Hyun adalah putri Bhatara Parameswara.

Nama Mahisa Campaka alias Narasinghamurti putra Bhatara Parameswara memang tidak terdapat dalam prasasti itu. Nama yang menyerupai adalah Narajaya sepupu Wisnuwardhana yang menjadi raja bawahan di Hering. Kiranya Mahisa Campaka memang tidak memiliki hak atas Kadiri karena mungkin ia hanya sebagai putra bungsu, atau mungkin ia lahir dari selir ayahnya. Karena pada kenyataannya takhta Kadiri jatuh pada Kertanagara putra Waning Hyun, kakak perempuannya.

Prasasti Mula Malurung juga menyebutkan seandainya Seminingrat mempersatukan kembali Kerajaan Tumapel sepeninggal Tohjaya. Mungkin sepeninggal ayahnya yang tewas di atas takhta, Bhatara Parameswara segera memisahkan Kadiri dari kekuasaan Tumapel. Atau dengan kata lain, ia menolak menjadi bawahan Anusapati. Jadi, di Jawa Timur selanjutnya terdapat dua buah kerajaan, dan ini berjalan hingga pemerintahan Tohjaya. Baru sepeninggal Tohjaya, Kadiri kembali menjadi sebagai negeri bawahan Tumapel oleh Seminingrat dan diserahkan kepada Kertanagara sebagai yuwaraja di sana.

Kepustakaan

  • R.M. Mangkudimedja. 1979. Serat Pararaton Jilid 2. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah
  • Slamet Muljana. 2005. Menuju Puncak Kemegahan (terbitan ulang 1965). Yogyakarta: LKIS
  • Slamet Muljana. 1979. Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta: Bhratara

Lihat pula

  • Prasasti Mula Malurung
  • Anusapati
  • Wisnuwardhana

edunitas.com


Page 10

Apanji Tohjaya (lahir: ? - wafat: 1250) adalah raja Kerajaan Tumapel (atau Singhasari) yang memerintah tahun 1249 - 1250 menurut Pararaton. Akan tetapi menurut Nagarakretagama ia sama sekali tidak pernah menjadi raja di negeri itu.

Kisah Hidup dalam Pararaton

Tohjaya adalah putra Ken Arok yang lahir dari selir bernama Ken Umang. Setelah Ken Arok tewas, anak tirinya yang bernama Anusapati naik takhta di Tumapel. Tohjaya mengetahui seandainya pembunuh ayahnya tidak lain adalah Anusapati sendiri. Maka, ia pun menyusun rencana balas dendam.

Meskipun Anusapati memperketat pengawalan atas dirinya, namun Tohjaya mampu memanfaatkan kelemahannya. Suatu hari Tohjaya mengajak Anusapati menyabung ayam. Anusapati menuruti tanpa curiga karena hal itu memang menjadi kegemarannya. Saat Anusapati asyik memperhatikan ayam perkara yang diadukan yang sedang bertarung, Tohjaya segera membunuhnya dengan memakai keris Mpu Gandring. Peristiwa itu terjadi tahun 1249.

Tohjaya selanjutnya menjadi raja Tumapel. Karena hasutan pembantunya yang bernama Pranaraja, ia pun berniat membunuh kedua keponakannya, yaitu Ranggawuni (putra Anusapati), dan Mahisa Campaka (putra Mahisa Wonga Teleng) yang dianggapnya berbahaya terhadap kelangsungan takhta. Yang ditugasi untuk membunuh adalah Lembu Ampal.

Namun Lembu Ampal justru berbalik mendukung kedua pangeran yang akan dibunuhnya. Ia bahkan berhasil menghimpun dukungan dari tingkatan perang Tumapel untuk bersama mendukung Ranggawuni - Mahisa Campaka. Maka terjadilah pemberontakan terhadap Tohjaya di istana Tumapel. Tohjaya tertusuk tombak namun berhasil melarikan diri. Karena lukanya itu, ia penghabisannya berpulang di desa Katang Lumbang (sekarang Lumbang, Pasuruan). Peristiwa ini terjadi tahun 1250.

Bukti Sejarah

Kisah hidup Tohjaya hanya terdapat dalam Pararaton, namun naskah ini ditulis ratusan tahun sesudah zaman Kerajaan Tumapel sehingga kebenarannya perlu untuk dibuktikan. Nagarakretagama yang ditulis tepat pada pertengahan zaman Majapahit (1365) ternyata sama sekali tidak menyebutkan mempunyainya nama Tohjaya. Menurut Nagarakretagama, sepeninggal Anusapati yang menjadi raja selanjutnya adalah Wisnuwardhana (alias Ranggawuni).

Nama Tohjaya justru ditemukan dalam prasasti Mula Malurung yang dikeluarkan oleh Kertanagara atas perintah ayahnya yang bernama Maharaja Seminingrat (nama asli Wisnuwardhana versi prasasti) tahun 1255. Prasasti ini telah membuktikan seandainya Tohjaya merupakan tokoh sejarah yang benar-benar mempunyai, bukan sekadar tokoh fiktif ciptaan Pararaton.

Akan tetapi dalam prasasti itu ditulis bahwa Tohjaya bukan raja Tumapel atau Singhasari, melainkan raja Kadiri yang menggantikan adindanya, bernama Guningbhaya. Adapun Guningbhaya menjadi raja setelah menggantikan kakaknya yang bernama Bhatara Parameswara. Ketiga raja Kadiri tersebut merupakan paman dari Seminingrat.

Selain itu tertulis pula bahwa pendiri Kerajaan Tumapel adalah Bhatara Siwa yang wafat di atas takhta kencana, yaitu kakek dari Seminingrat.

Sebagai Raja Kadiri

Prasasti Mula Malurung telah diulas dan dianalisis oleh sejarawan Slamet Muljana dalam bukunya yang berjudul Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya (1979). Dalam buku itu ia mencoba menafsirkan kembali sejarah Kerajaan Tumapel berdasarkan prasasti Mula Malurung, Nagarakretagama, dan Pararaton.

Kerajaan Kadiri runtuh tahun 1222 belakang suatu peristiwa pemberontakan Bhatara Siwa (alias Ken Arok). Ia selanjutnya membangun Kerajaan Tumapel di mana Kadiri menjadi negeri bawahan, dan diserahkan kepada putranya yang bernama Bhatara Parameswara. Hal ini membikin cemburu Anusapati yang merasa sebagai putra tertua. Mungkin ia memang aci membunuh Bhatara Siwa karena menurut prasasti Mula Malurung raja pertama Tumapel itu wafat di atas takhtanya.

Sementara itu sepeninggal Bhatara Parameswara di Kadiri, takhta jatuh kepada adindanya, bernama Guningbhaya. Selanjutnya sepeninggal Guningbhaya takhta jatuh kepada kakaknya, yaitu Tohjaya.

Dalam Pararaton, tokoh Bhatara Parameswara identik dengan Mahisa Wonga Teleng, putra tertua pasangan Ken Arok dan Ken Dedes. Sedangkan Guningbhaya identik dengan adinda kandung Mahisa Wonga Teleng, yaitu Agnibhaya. Sementara itu, Tohjaya sendiri disebut sebagai kakak Guningbhaya. Berita ini sesuai dengan Pararaton di mana Tohjaya merupakan putra tertua Ken Arok yang lahir dari Ken Umang. Maka, mampu dipastikan seandainya Tohjaya lahir bertambah dulu daripada Agnibhaya.

Yang selisih dengan Pararaton adalah, Tohjaya merupakan raja Kadiri bukan raja Tumapel atau Singhasari. Bila aci ia melakukan kudeta disertai pembunuhan, mungkin ia melakukannya terhadap Guningbhaya, bukan terhadap Anusapati. Kiranya, Tohjaya yang hanya putra selir membunuh Guningbhaya untuk merebut takhta Kadiri.

Pengganti Tohjaya

Menurut Pararaton pengganti Tohjaya sebagai raja Tumapel sejak tahun 1250 adalah Ranggawuni bergelar Wisnuwardhana. Namun Nagarakretagama memberitakan bahwa Wisnuwardhana naik takhta sejak 1248 menggantikan Anusapati. Lagi pula prasasti Mula Malurung telah membuktikan seandainya Tohjaya adalah raja Kadiri.

Prasasti Mula Malurung dikeluarkan tahun 1255 oleh Kertanagara antaraku yuwaraja di Kadiri atas perintah dari Seminingrat (Wisnuwardhana), ayahnya di Tumapel. Kiranya Kertanagara mendapat hak atas takhta Kadiri karena ibunya yang bernama Waning Hyun adalah putri Bhatara Parameswara.

Nama Mahisa Campaka alias Narasinghamurti putra Bhatara Parameswara memang tidak terdapat dalam prasasti itu. Nama yang menyerupai adalah Narajaya sepupu Wisnuwardhana yang menjadi raja bawahan di Hering. Kiranya Mahisa Campaka memang tidak memiliki hak atas Kadiri karena mungkin ia hanya sebagai putra bungsu, atau mungkin ia lahir dari selir ayahnya. Karena pada kenyataannya takhta Kadiri jatuh pada Kertanagara putra Waning Hyun, kakak perempuannya.

Prasasti Mula Malurung juga menyebutkan seandainya Seminingrat mempersatukan kembali Kerajaan Tumapel sepeninggal Tohjaya. Mungkin sepeninggal ayahnya yang tewas di atas takhta, Bhatara Parameswara segera memisahkan Kadiri dari kekuasaan Tumapel. Atau dengan kata lain, ia menolak menjadi bawahan Anusapati. Jadi, di Jawa Timur selanjutnya terdapat dua buah kerajaan, dan ini berjalan hingga pemerintahan Tohjaya. Baru sepeninggal Tohjaya, Kadiri kembali menjadi sebagai negeri bawahan Tumapel oleh Seminingrat dan diserahkan kepada Kertanagara sebagai yuwaraja di sana.

Kepustakaan

  • R.M. Mangkudimedja. 1979. Serat Pararaton Jilid 2. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah
  • Slamet Muljana. 2005. Menuju Puncak Kemegahan (terbitan ulang 1965). Yogyakarta: LKIS
  • Slamet Muljana. 1979. Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta: Bhratara

Lihat pula

  • Prasasti Mula Malurung
  • Anusapati
  • Wisnuwardhana

edunitas.com


Page 11

Tags (tagged): templat, raja malayapura, unkris, raja, malayapura, masa dharmasraya trailokyaraja, 1183 tribhuwanaraja, adityawarman, 1347 1375 ananggawarman, 1375, 30, sultan, arifin muningsyah 80, 1821 bawah, belanda, tuan gadang batipuh, 1833 1841, kerabat, diraja pagaruyung, pusat, ilmu pengetahuan, sri, inderapura kategori templat, navigasi penguasa, negara


Page 12


Page 13


Page 14


Page 15


Page 16

Tags (tagged): templat, raja malayapura, unkris, raja, malayapura, masa dharmasraya trailokyaraja, 1183 tribhuwanaraja, adityawarman, 1347 1375 ananggawarman, 1375, 30, sultan, arifin muningsyah 80, 1821 bawah, belanda, tuan gadang batipuh, 1833 1841, kerabat, diraja pagaruyung, center, of studies, sri, inderapura kategori templat, navigasi penguasa, negara


Page 17


Page 18


Page 19

Tags (tagged): templat, raja malayapura, unkris, raja, malayapura, masa dharmasraya trailokyaraja, 1183 tribhuwanaraja, adityawarman, 1347 1375 ananggawarman, 1375, 30, sultan, arifin muningsyah 80, 1821 bawah, belanda, tuan gadang batipuh, 1833 1841, kerabat, diraja pagaruyung, pusat, ilmu pengetahuan, sri, inderapura kategori templat, navigasi penguasa, negara


Page 20


Page 21