09 July 2018 14:42
Jakarta, CNBC Indonesia - Perbankan tanah air sedang dihadapkan pada berbagai masalah. Salah satunya, kenaikan 7-Day Reverse Repo Rate (7-DRRR). Pada Mei-Juni lalu, Bank Indonesia (BI) sudah menaikkan suku bunga acuan ini sebanyak 75 basis points (bps).Kenaikan bunga acuan ini akan memengaruhi bisnis perbankan. 7-DRR akan berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi. Padahal pertumbuhan ekonomi sangat mempengaruhi permintaan kredit. Kenaikan 7-DRR mendorong bank menaikkan bunga deposito dan bunga kredit.Ketika pertumbuhan ekonomi lemah maka permintaan kredit akan melemah. Kenaikan bunga kredit juga akan membuat bank menghadapi kenaikan rasio kredit bermasalah atau non performing loan (NPL).
ADVERTISEMENT SCROLL TO RESUME CONTENT Masalah lain, pengelolaan likuiditas. Bila melihat rasio intermediasi perbankan atau loan to deposit ratio (LDR) hampir semua besar papan atas menghadapi likuiditas yang ketat. Rata-rata LDR perbankan sudah mencapai 92%. Artinya, likuiditas yang bisa dikelola perbankan tinggal 8% dari total dana pihak ketiga (DPK). Dari bank umum kegiatan usaha (BUKU) IV atau bermodal inti di atas Rp 35 triliun, hanya Bank BCA dan Bank BNI yang memiliki likuiditas memadai. Berdasarkan laporan bulan Mei 2018, LDR BCA mencapai 69,81% dan LDR BNI 86,52%.Bank yang punya LDR tinggi atau sedang berjuang mengelola likuiditas adalah Bank Mandiri yang memiliki LDR Mei sebesar 92,61%, LDR Bank BRI 96,1%, LDR Bank CIMB Niaga 94,01%, LDR Bank Danamon 96,41%, LDR Bank Panin 98,84% dan LDR BTN 104,01%.Sebelum Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengatakan bank tidak memiliki masalah pada likuiditas. Alasannya, BI akan menaikkan suku bunga acuan yang membuat imbal hasil meningkat.Kenaikan suku bunga acuan akan membuat bunga deposito naik sehingga masyarakat mau mengendapkan dana di bank. Bank juga masih memiliki likuiditas yang disimpan di BI. Hingga Juni 2018 dana yang mengendap di BI mencapai Rp 306,22 triliun.Bank juga masih bisa mengumpulkan dana dari pasar modal untuk membiayai kredit. Namun, saat ini bank harus menawarkan kupon yang tinggi karena 7-DRRR sudah naik 75 bps.Berikut rasio intermediasi atau LDR perbankan besar di Indonesia. (NEXT)
Terpopuler Page 2 09 July 2018 14:42
Bank MandiriKredit Rp 642,91 triliunDPK Rp 694,18 triliunLDR 92,61%. Bank BNI
ADVERTISEMENT SCROLL TO RESUME CONTENT Kredit Rp 421,39 triliunDPK Rp 603,66 triliunLDR 86,52%.Bank BCA Kredit Rp 486.509 triliunDPK Rp 694,18 triliunLDR 69,81%.Bank BRI Kredit Rp 752,14 triliunDPK Rp 782,7 triliunLDR 96,1%.Bank CIMB Niaga Kredit Rp 179,37 triliunDPK Rp 190,81 triliunLDR 94,01%.(*Berdasarkan Laporan Publikasi Bank per Mei 2018)
Terpopuler Page 3 09 July 2018 14:42
Bank BTNKredit Rp 209,23 triliunDPK Rp 190,81 triliunLDR 104,01%. Bank Danamon
ADVERTISEMENT SCROLL TO RESUME CONTENT Kredit Rp 98,46 triliunDPK Rp 102,12 triliunLDR 96,41%.Bank Panin Kredit Rp 132,47 triliunDPK Rp 134,02 triliunLDR 98,84%.Bank OCBC NISP Kredit Rp 113,02 triliunDPK Rp 120,39 triliunLDR 93,88%.
(*Berdasarkan Laporan Publikasi Bank per Mei 2018) (roy/dru)
HALAMAN :
Terpopuler
Kredit bermasalah adalah pemberian suatu fasilitas kredit yang mengandung risiko kemacetan. Akibatnya, kredit tidak dapat ditagih, sehingga menimbulkan kerugian. Menurut Ikatan Bankir Indonesia (2015:91). Ada beberapa pengertian kredit bermasalah, yakni:
Kemudian juga terdapat faktor penyebab yang mempengaruhi terjadinya kredit bermasalah atau non performing loan. Menurut Ismail (2010:83), dalam penyaluran kredit, tidak selamanya kredit yang diberikan bank kepada debitur akan berjalan dengan lancar sesuai dengan yang diharapkan di dalam perjanjian kredit. Secara umum ada dua faktor utama yang menyebabkan kredit bermasalah, yaitu faktor internal bank dan faktor eksternal bank
2. Faktor Eksternal
10 Jun 2020, 11:31 WIB - Oleh: Webinar LPS, BCA, dan Bisnis Indonesia, Rabu (10/6 Bisnis.com, JAKARTA – Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Halim Alamsyah menyebutkan ada tiga risiko yang dihadapi perbankan akibat penyebaran pandemi Covid-19. “Kondisi ini membuat perbankan menghadapi tiga risiko besar yakni kredit macet, risiko pasar, dan risiko likuiditas,” kata Halim dalam acara Live Webinar Perbankan bersama LPS dan Bank Central Asia (BCA) yang digelar Bisnis, Rabu (10/6/2020). Dia menjelaskan, Covid-19 mengakibatkan gangguan di sisi permintaan dan supply. Maraknya jumlah PHK, turunnya pendapatan membuat konsumsi jadi menurun. Begitu juga di sisi pasokan, penghentian aktivitas bisnis, gangguan pada supply chain dan kerugian karena penurunan penjualan membuat perusahaan mau tak mau melakukan efisiensi. Di sisi lain, sentimen investor juga terpengaruh baik di pasar ekuisitas, pasar obligasi dan pasar valuta. Kepercayaan deposan pun jadi ikut terganggu. Kepanikan yang terjadi di banyak negara pada masa awal pandemi membuat banyak pemilik dana yang menarik dananya dan menyimpan di aset yang lebih aman. Alhasil, perbankan menghadapi risiko kredit macet. Risiko pasar juga membuat perbankan perlu melakukan pencadangan yang akan memberatkan neracanya, membuat profitabilitas lebih rendah, serta terganggunya permodalan. Selain itu masih ada risiko likuiditas akibat naiknya biaya dana. Lebih lanjut, Halim mengatakan pemerintah bersama OJK dan LPS mengambil bauran kebijakan untuk memitigasi potensi gangguan Covid-19 ke sektor keuangan. “OJK mengambil langkah bagaimana mengurangi risiko kredit, bagaimana agar beban tidak terlalu berat. BI juga banyak melakukan langkah menanggulangi risiko likuiditas.” Dia menyinggung beberapa langkah kebijakan yang diambil Bank Indonesia, baik moneter maupun makroprudensial, mulai dari penurunan suku bunga acuan dalam beberapa tahap menjadi saat ini 4,25%, stabilisasi nilai tukar rupiah, pasar uang dan valas, pelonggaran likuiditas lewat relaksasi GWM, serta kebijakan di sistem pembayaran. BI melakukan kebijakan quantative easing (QE) melalui pembelian surat berharga negara dari pasar sekunder, term repo perbankan, serta melalui penurunan GWM rupiah. “BI menambah lagi quantitative easing dengan injeksi likuiditas ke perbankan dalam jumlah bersa sehingga secara total mencapai sekitar Rp503,8 triliun.” Adapun untuk otoritas jasa keuangan melakukan pengaturan dan pengawasan perbankan, pasar keuangan dan IKNB. OJK juga menjaga fundamental usaha sektor riil, dan menjaga stabilitas pasar keuangan antara lain lewat pelarangan short selling, asymmetric auto rejection, peniadaan perdagangan di sesi pre-opening, buyback saham tanpa melalui RUPS. Sementara itu, LPS juga membuat sejumlah kebijakan antara lain dengan menurunkan tingkat bunga penjaminan (TBP) selama tiga kali dengan total kumulatif 75 bps untuk rupiah serta 25 bps untuk valas. Saat ini TBP untuk bank umum rupiah dan valas sebesar 5,5,% dan 1,5% serta TBP untuk BPR 8%. Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News Simak berita lainnya seputar topik artikel ini, di sini : perbankan, covid-19 Simak Video Pilihan di Bawah Ini : |