Pandangan masyarakat terhadap perbedaan gender

Gender adalah pembedaan peran, atribut, sifat, sikap dan perilaku yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Dan peran gender terbagi menjadi peran produktif, peran reproduksi serta peran sosial kemasyarakatan.

Kata gender dapat diartikan sebagai peran yang dibentuk oleh masyarakat serta perilaku yang tertanam lewat proses sosialisasi yang berhubungan dengan jenis kelamin perempuan dan laki-laki. Ada perbedaan secara biologis antara perempuan dan laki-laki-namun kebudayaan menafsirkan perbedaan biologis ini menjadi seperangkat tuntutan sosial tentang kepantasan dalam berperilaku, dan pada gilirannya hak-hak, sumber daya, dan kuasa. Kendati tuntutan ini bervariasi di setiap masyarakat, tapi terdapat beberapa kemiripan yang mencolok. Misalnya, hampir semua kelompok masyarakat menyerahkan tanggung jawab perawatan anak pada perempuan, sedangkan tugas kemiliteran diberikan pada laki-laki. Sebagaimana halnya ras, etnik, dan kelas, gender adalah sebuah kategori sosial yang sangat menentukan jalan hidup seseorang dan partisipasinya dalam masyarakat dan ekonomi. Tidak semua masyarakat mengalami diskriminasi berdasarkan ras atau etnis, namun semua masyarakat mengalami diskriminasi berdasarkan gender-dalam bentuk kesenjangan dan perbedaan-dalam tingkatan yang berbeda-beda. Seringkali dibutuhkan waktu cukup lama untuk mengubah ketidakadilan ini. Suasana ketidakadilan ini terkadang bisa berubah secara drastis karena kebijakan dan perubahan sosial-ekonomi.

Pengertian kesetaraan gender merujuk kepada suatu keadaan setara antara laki-laki dan perempuan dalam pemenuhan hak dan kewajiban.

Diskriminasi berdasarkan gender masih terjadi pada seluruh aspek kehidupan, di seluruh dunia. Ini adalah fakta meskipun ada kemajuan yang cukup pesat dalam kesetaraan gender dewasa ini. Sifat dan tingkat diskriminasi sangat bervariasi di berbagai negara atau wilayah. Tidak ada satu wilayah pun di negara dunia ketiga di mana perempuan telah menikmati kesetaraan dalam hak-hak hukum, sosial dan ekonomi. Kesenjangan gender dalam kesempatan dan kendali atas sumber daya, ekonomi, kekuasaan, dan partisipasi politik terjadi di mana-mana. Perempuan dan anak perempuan menanggung beban paling berat akibat ketidaksetaraan yang terjadi, namun pada dasarnya ketidaksetaraan itu merugikan semua orang. Oleh sebab itu, kesetaraan gender merupakan persoalan pokok suatu tujuan pembangunan yang memiliki nilai tersendiri.

Kesetaraan gender akan memperkuat kemampuan negara untuk berkembang, mengurangi kemiskinan, dan memerintah secara efektif. Dengan demikian mempromosikan kesetaraan gender adalah bagian utama dari strategi pembangunan dalam rangka untuk memberdayakan masyarakat (semua orang)-perempuan dan laki-laki-untuk mengentaskan diri dari kemiskinan dan meningkatkan taraf hidup mereka.

Pembangunan ekonomi membuka banyak jalan untuk meningkatkan kesetaraan gender dalam jangka panjang.

Agenda Tujuan Pembangunan Berkelanjutan memiliki makna yang penting karena setelah diadopsi maka akan dijadikan acuan secara global dan nasional sehingga agenda pembangunan menjadi lebih fokus. Setiap butir tujuan tersebut menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM) dan untuk mencapai kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, baik tua mau-pun muda.

Apakah bias gender masih relevan pada zaman saat ini? Bias merupakan kondisi yang memihak atau merugikan. Sedangkan gender merupakan sifat yang melekat pada laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksikan secara sosial maupun budaya. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), Indeks Pembangunan Manusia (IPM) menurut provinsi dan jenis kelamin di Indonesia tahun 2018 menujukan bahwa pria 75, 43% dan wanita 68,63%. Data tersebut menunjukkan bahwa akses hasil pembangunan pada wanita masih lebih rendah dibandingkan pria dalam memperoleh pendapatan, kesehatan, pendidikan, dan sebagainya.Hal tersebut memicu adanya bias gender atau suatu kondisi yang memihak dan merugikan salah satu jenis kelamin. 

Pada karakteristik gender sendiri terkait kepada membedakan Maskulinitas dan Feminitas. Maskulinitas yaitu laki-laki dianggap kuat, rasional, dan tegas, maka sering kali dalam masyarakat terdapat bias gender bahwa pria dianggap tabu apabila mengerjakan pekerjaan rumah seperti memasak, membersihkan rumah, dan mengurus anak. Sedangkan Feminitas yaitu wanita dikenal lemah lembut, emosional, keibuan, afektif, dan irasional yang seringkali terjadi bias gender seperti wanita diragukan kemampuannya  untuk menduduki suatu jabatan dalam pekerjaan. Dampak dari bias gender adalah diskriminasi gender serta kekerasaan dan pelecehan seksual. Bias gender dapat dicegah dengan mendidik dan mengasuh anak secara adil, selain itu juga dengan mengedukasi seks serta karakter anak sejak dini. Dengan mengurangi adanya bias gender, maka akan mendorong kesetaraan guna mewujudkan pembangunan yang adil dan setara bagi pria dan wanita.

By. Azzahra Nawangwulan (@azzahranaw) - ilustator / Retno Dhamayanti (@rdhamaya) - narator/ Arelya Febriane (@arelya_) - layouter

Pandangan masyarakat terhadap perbedaan gender

Oleh : itsram | | Source : ITS Online

Potret Kartini (sumber: suaramuslim.net)

Kampus ITS, Opini — “Tuntutan” bagi perempuan untuk bisa melakukan pekerjaan domestik seperti mencuci dan memasak masih sering kita jumpai di Indonesia. Tak hanya itu, ketika ada di antara mereka yang tidak memiliki kemampuan tersebut, sudah pasti cibiran menjadi suatu hal yang tak terhindarkan. Lantas, apakah hal tersebut merupakan suatu hal yang benar? Jika tidak, mengapa hal tersebut masih kental tertanam di dalam masyarakat, khususnya Indonesia?

Menilik Perjuangan Feminisme Kartini

Menilik sejarah, Indonesia pernah memiliki pejuang emansipasi wanita yang bahkan keteladanannya dalam memperjuangkan kesamaan kedudukan antara perempuan dengan laki-laki menempatkan tanggal lahirnya sebagai salah satu hari besar nasional. Tokoh tersebut tidak lain dan tidak bukan ialah RA Kartini. Sosok yang sudah sangat akrab di telinga kita tersebut bahkan juga diabadikan dalam sebuah lagu berjudul “Ibu Kita Kartini”.

Dilatarbelakangi oleh pembatasan perempuan untuk memperoleh pendidikan formal di masa lalu, Kartini mulai melakukan perjuangannya mengkampanyekan kesetaraan gender melalui tulisan-tulisannya. Beberapa kali hasil tulisannya pun dimuat dalam sebuah majalah Belanda De Hollandsche Lelie. Sejak saat itu, sebuah gagasan baru mengenai persamaan hak bagi wanita pribumi mampu mengubah pandangan masyarakat luas. Alhasil hingga kini gerakan persamaan kedudukan ini terus digalakkan.

Meskipun telah digaungkan oleh Kartini dan diikuti gerakan-gerakan wanita modern, nyatanya hingga detik ini praktik budaya patriarki masih ada dan berkembang di tatanan masyarakat Indonesia. Hal tersebut tampak dari hubungan laki-laki dan perempuan yang masih terlihat timpang, dimana kaum perempuan masih diposisikan sebagai bagian dari laki-laki, dimarginalkan, hingga didiskriminasi. Hal ini menyebabkan terbelenggunya kebebasan perempuan dan mengganggu hak-hak perempuan.

Ilustrasi patriarki yang membelenggu perempuan. (sumber conatusnews.com)

Langgengnya Patriarki dan Stigma Perempuan dengan Pekerjaan Domestik

Pekerjaan yang ada dalam rumah tangga sangatlah beragam mulai mengatur keuangan memasak, kepiawaian belanja dengan menyesuaikan selera masing-masing anggota keluarga, menjaga kebersihan dan keasrian lingkungan rumah, mendidik anak, serta keperluan lain. Semua hal itu menjadi sebuah hal yang mutlak dikuasai oleh perempuan. Sedangkan untuk laki-laki, mereka hanya dituntut untuk bekerja mencari nafkah. Laki-laki yang mana pemimpin keluarga merasa bukanlah kewajibannya melakukan pekerjaan rumah.

Jika melihat sejarahnya memang peran perempuan sejak dahulu lebih dominan pada pekerjaan domestik sedangkan laki-laki lah yang keluar rumah mencari pundi-pundi uang. Hal ini merupakan hal yang wajar jika memang ada pembagian tugas yang disepakati. Namun dalam prakteknya banyak perempuan yang dituntut bekerja untuk menambah penghasilan suami sembari menanggung beban pekerjaan rumah. Namun bagaimanapun juga, hal ini tidak berarti laki-laki tidak perlu memiliki kemampuan dalam melakukan pekerjaan domestik.

Ilustrasi kesetaraan kedudukan dan hak antara laki-laki dan perempuan. (sumber: freepik.com)

Kesetaraan Gender dalam Al-Qur’an dan Hukum

Banyak yang berkata bahwa agama menjadi salah satu faktor budaya patriarki ini kental tertanam pada kehidupan manusia. Namun, apakah patriarki merupakan hal yang benar menurut agama?

Sebagaimana tertuang dalam Al-Quran Surah Al-Baqarah ayat 30 yang menyebutkan “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Khalifah pada surat tersebut bermakna menggantikan Allah dalam menegakkan kehendak-Nya. Al-Zamakhsyarî menafsirkan makna khalifah pada surah ini tidak hanya berarti Adam (mewakili laki-laki).

Senada dengan argumen tersebut, Quraish Shihab dalam Tafsir al-Mishbah menyebutkan bahwa yang dimaksud makhluk yang diberi tugas adalah Adam dan anak cucunya. Al-Quran sendiri pun tidak memberi petunjuk bahwa khalifah hanya ditujukan kepada kaum laki-laki. Dalam ajaran Islam, terdapat empat sifat yang harus dimiliki seseorang dalam melaksanakan kepemimpinan, yakni berkata dan berbuat yang benar, dapat dipercaya, cerdas, dan tidak menyembunyikan sesuatu.

Selain itu, seorang pemimpin juga harus penuh rasa sabar dan tabah, membawa masyarakatnya kepada tujuan yang sesuai dengan petunjuk Allah, membudayakan kebaikan, taat beribadah, optimis, dan kuat serta terpercaya. Dari beberapa kriteria tersebut, maka konsep kepemimpinan dalam Islam dapat dilakukan oleh siapapun baik laki-laki maupun perempuan yang memiliki kapasitas dan kapabilitas.

Banyak ulama yang menjadikan firman Allah dalam Surah An-Nisa ayat 34 yang mengatakan bahwa laki-laki adalah pemimpin perempuan. Ayat ini diartikan perempuan berada dalam posisi yang dipimpin dan penafsiran klasik ini sering dijadikan argumen penguatan supremasi laki-laki atas perempuan. Laki-laki memiliki kekuasaan lebih besar dan status lebih tinggi dari pada perempuan, sehingga pola kekuasaan dan status ini berpengaruh secara universal dalam menentukan kebijakan dan aturan yang berlaku di tengah kehidupan bermasyarakat.

Mawlana Utsmani menanggapi penafsiran ini berpendapat bahwa seandainya Allah bermaksud menegaskan superioritas laki-laki atas perempuan, Allah akan menggunakan ungkapan yang lebih jelas seperti “karena Dia (Allah) telah melebihkan laki-laki atas mereka perempuan”. Sehingga Surah An-Nisa ayat 34 tidak bisa dijadikan landasan superioritas laki-laki. Dalam Al-Quran juga dicontohkan bagaimana perempuan memimpin sebuah negara.

Dalam Al-Quran Surah An-Naml ayat 23, Allah berfirman “Sesungguhnya aku menjumpai seorang wanita yang memerintah mereka, dan dia dianugerahi segala sesuatu serta mempunyai singgahsana yang besar.” Perempuan yang dimaksud tak lain adalah ratu yang memerintah kaum Saba yang dikenal dalam sejarah dengan nama Balqis. Dalam kepemimpinannya, Balqis sanggup membawa rakyatnya kepada kemakmuran dan ketentraman. Ayat ini mempertegas pula posisi wanita mampu menjadi pemimpin ketika memang memiliki kapasitas dan kapabilitas.

Selain dalam A-Quran, isu kesetaraan hak antara laki-laki dan perempuan juga telah diformalkan di Indonesia salah satunya pada Undang-Undang Hak Asasi Manusia Nomor 39 Pasal 15, yang berbunyi “Setiap orang berhak memperjuangkan hak pengembangan dirinya, baik secara pribadi maupun kolektif, untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya”. Akhirnya, selain dari sisi hukum, praktek mengenai cara membangun tradisi kehidupan yang tidak bias gender perlu digalakkan.

Sebagai negara republik, perlu ditumbuhkan budaya demokratis dalam segala aspek akan menjamin keharmonisan diantara sesama. Dengan begitu pikiran dan perbuatan yang patriarkis dapat perlahan dihilangkan.

Ditulis oleh:

Gita Rama Mahardhika
Mahasiswa S-1 Departemen Perencanaan Wilayah dan Kota
Angkatan 2018
Reporter ITS Online