Oleh. Purwalodra
Menjadi seorang suami, sekaligus menjadi seorang ayah dari tiga orang anak, merupakan tanggungjawab yang tidak bisa dibilang mudah. Apalagi aku juga masih memiliki Ibu yang melahirkan dan membesarkanku. Dan, juga menjadi seorang kakak paling tua, dari tiga orang adik-adik, meskipun semuanya sudah berkeluarga. Mereka semua menjadi bagian dari peran-peranku sebagai anak, kakak, suami dan ayah. Peran ganda yang melekat pada diriku ini memiliki konsekuensi yang besar, baik secara individual maupun secara kolektif. Ketika aku berperan tidak sewajarnya dan tidak sesuai dengan posisiku dalam peran tersebut, sudah pasti skenario kehidupan akan melahirkan berbagai kisah yang tidak diinginkan. Namun, aku ingin memainkan peran-peran tersebut sesuai dengan drama kehidupan yang benar dan lurus. Dan, kepentinganku hanya satu saja, agar semua berjalan sesuai harmonisasi waktu dan kepentingan mereka yang benar dan lurus pula.
Menyeimbangkan semua peran di atas, mungkin perlu keahlian ato pengalaman hidup. Namun buatku, keahlian dan pengalaman hanya melengkapi saja, tidak menjadi penentu arah kehidupan. Keseimbangan yang terbangun setidaknya membutuhkan pengendalian diri, namun sekuat-kuatnya manusia menyeimbang-kan diri, biasanya akan terpeleset juga. Dalam hal ini, juga tidak ada rumus yang canggih, bahkan semuanya mengalir dan sederhana-sederhana aja. Tidak perlu menggunakan anggaran khusus atau strategi yang hebat, cukup saling mawas diri dan berguru pada diri sendiri.
Kesadaranku untuk tetap memainkan peran ganda dalam satu babak kehidupan ini, boleh dibilang merupakan kerja cerdas, yang mau-tidak-mau, harus menjadi bagian dari jalan hidupku. Hal inilah yang kemudian membawaku ke dalam sebuah pandangan (perspektif) bahwa aku perlu mengetahui siapa diriku sebenarnya, dan apa yang bisa kulakukan dari pran-peran tersebut ?. Meskipun, aku belum mau mengetahui keberadaanku di alam ini sebagai apa dan akan menuju ke mana ?. Tapi paling nggak aku bisa tahu dan mengenal siapa diriku sekarang.
Mungkin masih bisa dianggap penting, atau mungkin juga tidak, ketika himpitan kehidupan duniawi begitu mencekam, desakan keinginan semakin menghantui, dan kebutuhan atas pemuasan hidup menjadi tujuan sehari-hari, kita kemudian mempertanyakan kembali siapa diri kita ?. Karena apapun yang kita lakukan, apapun yang kita cari dan temukan, menjadi tidak bermakna, ketika kita tidak pernah tahu siapa kita dan apa yang menjadi peran-peran kita di semesta raya ini. Kita menjadi terombang-ambing oleh arus kehidupan yang semakin tak ramah, jiwa kita tergerus oleh ilusi-ilusi yang jelas-jelas menipu, dan kemudian kita tenggelam dalam lumpur hitam kemunafikan.
Dalam kegalauan jiwa, aku selalu teringat kisah Nabi Yunus yang begitu terkejut ketika tiba-tiba mendapati dirinya dalam perut ikan, yang kemudian tersadarkan ketika dirinya berada jauh dari kebenaran, dan kemudian mampu memahami siapa dirinya dalam perannya sebagai Nabi dan Rasul Allah di muka bumi ini. Meskipun, ikan itu membawanya ke dasar lautan dan lautan membawanya ke kegelapan malam. Maka Nabi Yunus pun, berada dalam tiga kegelapan : kegelapan di dalam perut ikan, kegelapan di dasar lautan, dan kegelapan malam. Dalam tiga kegelapan inilah Nabi Yunus kemudian tercerahkan dan mampu mengenal siapa dirinya, serta peran-peran yang bisa dilakukan untuk kedamaian dan kebahagiaan hidup ummatnya di dunia.
Dalam tiga kegelapan inilah, Nabi Yunus melantunkan do'anya yang diabadikan dalam QS. Al-Anbiya' : 87, "Laa ilaaha illa anta. Subhaanaka, innii kuntu minaz zhaalimiin." Yang artinya : "Tiada Tuhan melainkan Engkau (ya Allah)! Maha Suci Engkau (daripada melakukan aniaya, tolongkanlah daku)! Sesungguhnya aku adalah dari orang-orang yang menganiaya diri sendiri". Do'a inilah yang menjadikan Nabi Yunus keluar dari tiga kegelapan dan mampu kembali berperan sebagai sang utusan Allah Swt, Yang Maha Benar dan Maha Bijaksana.
Nah, ketika aku kembali pada diriku sendiri, dan mencermati apa saja yang menjadi sumber kegelapan dalam hidup ini. Maka setitik cahayapun muncul menerangi gambaran jiwaku yang saat ini berada dalam penjara fisik (jasad), penjara fikiran, dan penjara emosi. Ketiga penjara inilah yang menjadi tiga kegelapanku saat ini, yang mesti kuatasi untuk menemukan, siapa diri sejatiku !!?. Wallahu A'lamu Bishshawwab.
Bekasi, 06 Oktober 2014.
Lihat Filsafat Selengkapnya
Page 2
Oleh. Purwalodra
Menjadi seorang suami, sekaligus menjadi seorang ayah dari tiga orang anak, merupakan tanggungjawab yang tidak bisa dibilang mudah. Apalagi aku juga masih memiliki Ibu yang melahirkan dan membesarkanku. Dan, juga menjadi seorang kakak paling tua, dari tiga orang adik-adik, meskipun semuanya sudah berkeluarga. Mereka semua menjadi bagian dari peran-peranku sebagai anak, kakak, suami dan ayah. Peran ganda yang melekat pada diriku ini memiliki konsekuensi yang besar, baik secara individual maupun secara kolektif. Ketika aku berperan tidak sewajarnya dan tidak sesuai dengan posisiku dalam peran tersebut, sudah pasti skenario kehidupan akan melahirkan berbagai kisah yang tidak diinginkan. Namun, aku ingin memainkan peran-peran tersebut sesuai dengan drama kehidupan yang benar dan lurus. Dan, kepentinganku hanya satu saja, agar semua berjalan sesuai harmonisasi waktu dan kepentingan mereka yang benar dan lurus pula.
Menyeimbangkan semua peran di atas, mungkin perlu keahlian ato pengalaman hidup. Namun buatku, keahlian dan pengalaman hanya melengkapi saja, tidak menjadi penentu arah kehidupan. Keseimbangan yang terbangun setidaknya membutuhkan pengendalian diri, namun sekuat-kuatnya manusia menyeimbang-kan diri, biasanya akan terpeleset juga. Dalam hal ini, juga tidak ada rumus yang canggih, bahkan semuanya mengalir dan sederhana-sederhana aja. Tidak perlu menggunakan anggaran khusus atau strategi yang hebat, cukup saling mawas diri dan berguru pada diri sendiri.
Kesadaranku untuk tetap memainkan peran ganda dalam satu babak kehidupan ini, boleh dibilang merupakan kerja cerdas, yang mau-tidak-mau, harus menjadi bagian dari jalan hidupku. Hal inilah yang kemudian membawaku ke dalam sebuah pandangan (perspektif) bahwa aku perlu mengetahui siapa diriku sebenarnya, dan apa yang bisa kulakukan dari pran-peran tersebut ?. Meskipun, aku belum mau mengetahui keberadaanku di alam ini sebagai apa dan akan menuju ke mana ?. Tapi paling nggak aku bisa tahu dan mengenal siapa diriku sekarang.
Mungkin masih bisa dianggap penting, atau mungkin juga tidak, ketika himpitan kehidupan duniawi begitu mencekam, desakan keinginan semakin menghantui, dan kebutuhan atas pemuasan hidup menjadi tujuan sehari-hari, kita kemudian mempertanyakan kembali siapa diri kita ?. Karena apapun yang kita lakukan, apapun yang kita cari dan temukan, menjadi tidak bermakna, ketika kita tidak pernah tahu siapa kita dan apa yang menjadi peran-peran kita di semesta raya ini. Kita menjadi terombang-ambing oleh arus kehidupan yang semakin tak ramah, jiwa kita tergerus oleh ilusi-ilusi yang jelas-jelas menipu, dan kemudian kita tenggelam dalam lumpur hitam kemunafikan.
Dalam kegalauan jiwa, aku selalu teringat kisah Nabi Yunus yang begitu terkejut ketika tiba-tiba mendapati dirinya dalam perut ikan, yang kemudian tersadarkan ketika dirinya berada jauh dari kebenaran, dan kemudian mampu memahami siapa dirinya dalam perannya sebagai Nabi dan Rasul Allah di muka bumi ini. Meskipun, ikan itu membawanya ke dasar lautan dan lautan membawanya ke kegelapan malam. Maka Nabi Yunus pun, berada dalam tiga kegelapan : kegelapan di dalam perut ikan, kegelapan di dasar lautan, dan kegelapan malam. Dalam tiga kegelapan inilah Nabi Yunus kemudian tercerahkan dan mampu mengenal siapa dirinya, serta peran-peran yang bisa dilakukan untuk kedamaian dan kebahagiaan hidup ummatnya di dunia.
Dalam tiga kegelapan inilah, Nabi Yunus melantunkan do'anya yang diabadikan dalam QS. Al-Anbiya' : 87, "Laa ilaaha illa anta. Subhaanaka, innii kuntu minaz zhaalimiin." Yang artinya : "Tiada Tuhan melainkan Engkau (ya Allah)! Maha Suci Engkau (daripada melakukan aniaya, tolongkanlah daku)! Sesungguhnya aku adalah dari orang-orang yang menganiaya diri sendiri". Do'a inilah yang menjadikan Nabi Yunus keluar dari tiga kegelapan dan mampu kembali berperan sebagai sang utusan Allah Swt, Yang Maha Benar dan Maha Bijaksana.
Nah, ketika aku kembali pada diriku sendiri, dan mencermati apa saja yang menjadi sumber kegelapan dalam hidup ini. Maka setitik cahayapun muncul menerangi gambaran jiwaku yang saat ini berada dalam penjara fisik (jasad), penjara fikiran, dan penjara emosi. Ketiga penjara inilah yang menjadi tiga kegelapanku saat ini, yang mesti kuatasi untuk menemukan, siapa diri sejatiku !!?. Wallahu A'lamu Bishshawwab.
Bekasi, 06 Oktober 2014.
Lihat Filsafat Selengkapnya
Page 3
Oleh. Purwalodra
Menjadi seorang suami, sekaligus menjadi seorang ayah dari tiga orang anak, merupakan tanggungjawab yang tidak bisa dibilang mudah. Apalagi aku juga masih memiliki Ibu yang melahirkan dan membesarkanku. Dan, juga menjadi seorang kakak paling tua, dari tiga orang adik-adik, meskipun semuanya sudah berkeluarga. Mereka semua menjadi bagian dari peran-peranku sebagai anak, kakak, suami dan ayah. Peran ganda yang melekat pada diriku ini memiliki konsekuensi yang besar, baik secara individual maupun secara kolektif. Ketika aku berperan tidak sewajarnya dan tidak sesuai dengan posisiku dalam peran tersebut, sudah pasti skenario kehidupan akan melahirkan berbagai kisah yang tidak diinginkan. Namun, aku ingin memainkan peran-peran tersebut sesuai dengan drama kehidupan yang benar dan lurus. Dan, kepentinganku hanya satu saja, agar semua berjalan sesuai harmonisasi waktu dan kepentingan mereka yang benar dan lurus pula.
Menyeimbangkan semua peran di atas, mungkin perlu keahlian ato pengalaman hidup. Namun buatku, keahlian dan pengalaman hanya melengkapi saja, tidak menjadi penentu arah kehidupan. Keseimbangan yang terbangun setidaknya membutuhkan pengendalian diri, namun sekuat-kuatnya manusia menyeimbang-kan diri, biasanya akan terpeleset juga. Dalam hal ini, juga tidak ada rumus yang canggih, bahkan semuanya mengalir dan sederhana-sederhana aja. Tidak perlu menggunakan anggaran khusus atau strategi yang hebat, cukup saling mawas diri dan berguru pada diri sendiri.
Kesadaranku untuk tetap memainkan peran ganda dalam satu babak kehidupan ini, boleh dibilang merupakan kerja cerdas, yang mau-tidak-mau, harus menjadi bagian dari jalan hidupku. Hal inilah yang kemudian membawaku ke dalam sebuah pandangan (perspektif) bahwa aku perlu mengetahui siapa diriku sebenarnya, dan apa yang bisa kulakukan dari pran-peran tersebut ?. Meskipun, aku belum mau mengetahui keberadaanku di alam ini sebagai apa dan akan menuju ke mana ?. Tapi paling nggak aku bisa tahu dan mengenal siapa diriku sekarang.
Mungkin masih bisa dianggap penting, atau mungkin juga tidak, ketika himpitan kehidupan duniawi begitu mencekam, desakan keinginan semakin menghantui, dan kebutuhan atas pemuasan hidup menjadi tujuan sehari-hari, kita kemudian mempertanyakan kembali siapa diri kita ?. Karena apapun yang kita lakukan, apapun yang kita cari dan temukan, menjadi tidak bermakna, ketika kita tidak pernah tahu siapa kita dan apa yang menjadi peran-peran kita di semesta raya ini. Kita menjadi terombang-ambing oleh arus kehidupan yang semakin tak ramah, jiwa kita tergerus oleh ilusi-ilusi yang jelas-jelas menipu, dan kemudian kita tenggelam dalam lumpur hitam kemunafikan.
Dalam kegalauan jiwa, aku selalu teringat kisah Nabi Yunus yang begitu terkejut ketika tiba-tiba mendapati dirinya dalam perut ikan, yang kemudian tersadarkan ketika dirinya berada jauh dari kebenaran, dan kemudian mampu memahami siapa dirinya dalam perannya sebagai Nabi dan Rasul Allah di muka bumi ini. Meskipun, ikan itu membawanya ke dasar lautan dan lautan membawanya ke kegelapan malam. Maka Nabi Yunus pun, berada dalam tiga kegelapan : kegelapan di dalam perut ikan, kegelapan di dasar lautan, dan kegelapan malam. Dalam tiga kegelapan inilah Nabi Yunus kemudian tercerahkan dan mampu mengenal siapa dirinya, serta peran-peran yang bisa dilakukan untuk kedamaian dan kebahagiaan hidup ummatnya di dunia.
Dalam tiga kegelapan inilah, Nabi Yunus melantunkan do'anya yang diabadikan dalam QS. Al-Anbiya' : 87, "Laa ilaaha illa anta. Subhaanaka, innii kuntu minaz zhaalimiin." Yang artinya : "Tiada Tuhan melainkan Engkau (ya Allah)! Maha Suci Engkau (daripada melakukan aniaya, tolongkanlah daku)! Sesungguhnya aku adalah dari orang-orang yang menganiaya diri sendiri". Do'a inilah yang menjadikan Nabi Yunus keluar dari tiga kegelapan dan mampu kembali berperan sebagai sang utusan Allah Swt, Yang Maha Benar dan Maha Bijaksana.
Nah, ketika aku kembali pada diriku sendiri, dan mencermati apa saja yang menjadi sumber kegelapan dalam hidup ini. Maka setitik cahayapun muncul menerangi gambaran jiwaku yang saat ini berada dalam penjara fisik (jasad), penjara fikiran, dan penjara emosi. Ketiga penjara inilah yang menjadi tiga kegelapanku saat ini, yang mesti kuatasi untuk menemukan, siapa diri sejatiku !!?. Wallahu A'lamu Bishshawwab.
Bekasi, 06 Oktober 2014.
Lihat Filsafat Selengkapnya