Nabi yang mengalami kehidupan dalam tiga kegelapan adalah

B. Kisah Keteladan Nabi Yunus a.s. Nabi Yunus a.s. adalah salah satu nabi yang mengalami kehidupan dalam tiga kegelapan, yaitu kegelapan di dalam perut ikan, kegelapan di lautan, dan kegelapan malam. Nabi Yunus a.s. adalah pembawa ajaran tauhid. Beliau menyesali tindakannya karena meninggalkan umat yang tidak mau bersujud kepada Allah Swt., Tuhan Yang Maha Esa. Beliau berdoa dengan nada penyesalan di dalam perut ikan, seperti telah dijelaskan di dalam Q.S. al-'Anbiy±':87 yaitu: Artinya: ”Tidak ada Tuhan selain Engkau, Mahasuci Engkau. Sungguh, aku termasuk orang-orang yang zalim.” (Q.S. al-Anbiy±' 21:87) Nabi Yunus bin Matta diutus oleh Allah Swt. untuk berdakwah kepada penduduk ”Ninawa” di wilayah Maushil, Irak. Penduduk kampung ”Ninawa” berpaling dari jalan Allah Swt. dan menyembah berhala. Oleh sebab itu, Allah Swt. ingin memberi petunjuk kepada mereka dan mengembalikan mereka ke jalan yang lurus. Allah Swt. mengutus Nabi Yunus a.s. untuk mengajak mereka beriman dan meninggalkan sesembahan selain Allah Swt. Seruan Nabi Yunus a.s. untuk menyembah Allah Swt. ditolak penduduk ”Ninawa”. Mereka tetap memilih menyembah berhala. Mereka lebih memilih kekafiran dan kesesatan daripada keimanan. Mereka mendustakan Nabi Yunus a.s. mengolok-olok, dan menghinanya. Setelah lama menghadapi mereka, Nabi Yunus a.s. pun marah kepada kaumnya dan tidak berharap lagi keimanan mereka. Allah Swt. pun mewahyukan kepada Nabi Yunus a.s. untuk membimbing kaumnya. Allah Swt. memberi tahu bahwa akan mengazab umat Nabi Yunus setelah berlalu tiga hari. Lalu, Nabi Yunus menyampaikan perihal azab itu kepada kaumnya, kemudian ia pergi meninggalkan mereka. Kaum Nabi Yunus a.s. telah mengetahui azab Allah Swt. akan datang. Mereka melihat Nabi Yunus a.s. telah pergi meninggalkannya. Dengan demikian, mereka yakin azab akan turun. Maka, mereka segera bertaubat kepada Allah Swt., dan menyesali sikap mereka selama ini. Ketika itu, mereka berdoa memohon ampun kepada Allah Swt. agar azab itu diangkat dari mereka. Allah Swt. menjauhi azab itu dari mereka karena kesungguhan doanya. Allah Swt. berfirman di dalam Q.S. Yμnus/10:98. Buku Siswa Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti | 103

Oleh. Purwalodra

Menjadi seorang suami, sekaligus menjadi seorang ayah dari tiga orang anak, merupakan tanggungjawab yang tidak bisa dibilang mudah. Apalagi aku juga masih memiliki Ibu yang melahirkan dan membesarkanku. Dan, juga menjadi seorang kakak paling tua, dari tiga orang adik-adik, meskipun semuanya sudah berkeluarga. Mereka semua menjadi bagian dari peran-peranku sebagai anak, kakak, suami dan ayah. Peran ganda yang melekat pada diriku ini memiliki konsekuensi yang besar, baik secara individual maupun secara kolektif. Ketika aku berperan tidak sewajarnya dan tidak sesuai dengan posisiku dalam peran tersebut, sudah pasti skenario kehidupan akan melahirkan berbagai kisah yang tidak diinginkan. Namun, aku ingin memainkan peran-peran tersebut sesuai dengan drama kehidupan yang benar dan lurus. Dan, kepentinganku hanya satu saja, agar semua berjalan sesuai harmonisasi waktu dan kepentingan mereka yang benar dan lurus pula.

Menyeimbangkan semua peran di atas, mungkin perlu keahlian ato pengalaman hidup. Namun buatku, keahlian dan pengalaman hanya melengkapi saja, tidak menjadi penentu arah kehidupan. Keseimbangan yang terbangun setidaknya membutuhkan pengendalian diri, namun sekuat-kuatnya manusia menyeimbang-kan diri, biasanya akan terpeleset juga. Dalam hal ini, juga tidak ada rumus yang canggih, bahkan semuanya mengalir dan sederhana-sederhana aja. Tidak perlu menggunakan anggaran khusus atau strategi yang hebat, cukup saling mawas diri dan berguru pada diri sendiri.

Kesadaranku untuk tetap memainkan peran ganda dalam satu babak kehidupan ini, boleh dibilang merupakan kerja cerdas, yang mau-tidak-mau, harus menjadi bagian dari jalan hidupku. Hal  inilah yang kemudian membawaku ke dalam sebuah pandangan (perspektif) bahwa aku perlu mengetahui siapa diriku sebenarnya, dan apa yang bisa kulakukan dari pran-peran tersebut ?. Meskipun, aku belum mau mengetahui keberadaanku di alam ini sebagai apa dan akan menuju ke mana ?. Tapi paling nggak aku bisa tahu dan mengenal siapa diriku sekarang.

Mungkin masih bisa dianggap penting, atau mungkin juga tidak, ketika himpitan kehidupan duniawi begitu mencekam, desakan keinginan semakin menghantui, dan kebutuhan atas pemuasan hidup menjadi tujuan sehari-hari, kita kemudian mempertanyakan kembali siapa diri kita ?. Karena apapun yang kita lakukan, apapun yang kita cari dan temukan, menjadi tidak bermakna, ketika kita tidak pernah tahu siapa kita dan apa yang menjadi peran-peran kita di semesta raya ini. Kita menjadi terombang-ambing oleh arus kehidupan yang semakin tak ramah, jiwa kita tergerus oleh ilusi-ilusi yang jelas-jelas menipu, dan kemudian kita tenggelam dalam lumpur hitam kemunafikan.

Dalam kegalauan jiwa, aku selalu teringat kisah Nabi Yunus yang begitu terkejut ketika tiba-tiba mendapati dirinya dalam perut ikan, yang kemudian tersadarkan ketika dirinya berada jauh dari kebenaran, dan kemudian mampu memahami siapa dirinya dalam perannya sebagai Nabi dan Rasul Allah di muka bumi ini. Meskipun, ikan itu membawanya ke dasar lautan dan lautan membawanya ke kegelapan malam. Maka Nabi Yunus pun, berada dalam tiga kegelapan : kegelapan di dalam perut ikan, kegelapan di dasar lautan, dan kegelapan malam. Dalam tiga kegelapan inilah Nabi Yunus kemudian tercerahkan dan mampu mengenal siapa dirinya, serta peran-peran yang bisa dilakukan untuk kedamaian dan kebahagiaan hidup ummatnya di dunia.

Dalam tiga kegelapan inilah, Nabi Yunus melantunkan do'anya yang diabadikan dalam QS. Al-Anbiya' : 87, "Laa ilaaha illa anta. Subhaanaka, innii kuntu minaz zhaalimiin." Yang artinya : "Tiada Tuhan melainkan Engkau (ya Allah)! Maha Suci Engkau (daripada melakukan aniaya, tolongkanlah daku)! Sesungguhnya aku adalah dari orang-orang yang menganiaya diri sendiri". Do'a inilah yang menjadikan Nabi Yunus keluar dari tiga kegelapan dan mampu kembali berperan sebagai sang utusan Allah Swt, Yang Maha Benar dan Maha Bijaksana.

Nah, ketika aku kembali pada diriku sendiri, dan mencermati apa saja yang menjadi sumber kegelapan dalam hidup ini. Maka setitik cahayapun muncul menerangi gambaran jiwaku yang saat ini berada dalam penjara fisik (jasad), penjara fikiran, dan penjara emosi. Ketiga penjara inilah yang menjadi tiga kegelapanku saat ini, yang mesti kuatasi untuk menemukan, siapa diri sejatiku !!?. Wallahu A'lamu Bishshawwab.

Bekasi, 06 Oktober 2014.


Lihat Filsafat Selengkapnya

Page 2

Oleh. Purwalodra

Menjadi seorang suami, sekaligus menjadi seorang ayah dari tiga orang anak, merupakan tanggungjawab yang tidak bisa dibilang mudah. Apalagi aku juga masih memiliki Ibu yang melahirkan dan membesarkanku. Dan, juga menjadi seorang kakak paling tua, dari tiga orang adik-adik, meskipun semuanya sudah berkeluarga. Mereka semua menjadi bagian dari peran-peranku sebagai anak, kakak, suami dan ayah. Peran ganda yang melekat pada diriku ini memiliki konsekuensi yang besar, baik secara individual maupun secara kolektif. Ketika aku berperan tidak sewajarnya dan tidak sesuai dengan posisiku dalam peran tersebut, sudah pasti skenario kehidupan akan melahirkan berbagai kisah yang tidak diinginkan. Namun, aku ingin memainkan peran-peran tersebut sesuai dengan drama kehidupan yang benar dan lurus. Dan, kepentinganku hanya satu saja, agar semua berjalan sesuai harmonisasi waktu dan kepentingan mereka yang benar dan lurus pula.

Menyeimbangkan semua peran di atas, mungkin perlu keahlian ato pengalaman hidup. Namun buatku, keahlian dan pengalaman hanya melengkapi saja, tidak menjadi penentu arah kehidupan. Keseimbangan yang terbangun setidaknya membutuhkan pengendalian diri, namun sekuat-kuatnya manusia menyeimbang-kan diri, biasanya akan terpeleset juga. Dalam hal ini, juga tidak ada rumus yang canggih, bahkan semuanya mengalir dan sederhana-sederhana aja. Tidak perlu menggunakan anggaran khusus atau strategi yang hebat, cukup saling mawas diri dan berguru pada diri sendiri.

Kesadaranku untuk tetap memainkan peran ganda dalam satu babak kehidupan ini, boleh dibilang merupakan kerja cerdas, yang mau-tidak-mau, harus menjadi bagian dari jalan hidupku. Hal  inilah yang kemudian membawaku ke dalam sebuah pandangan (perspektif) bahwa aku perlu mengetahui siapa diriku sebenarnya, dan apa yang bisa kulakukan dari pran-peran tersebut ?. Meskipun, aku belum mau mengetahui keberadaanku di alam ini sebagai apa dan akan menuju ke mana ?. Tapi paling nggak aku bisa tahu dan mengenal siapa diriku sekarang.

Mungkin masih bisa dianggap penting, atau mungkin juga tidak, ketika himpitan kehidupan duniawi begitu mencekam, desakan keinginan semakin menghantui, dan kebutuhan atas pemuasan hidup menjadi tujuan sehari-hari, kita kemudian mempertanyakan kembali siapa diri kita ?. Karena apapun yang kita lakukan, apapun yang kita cari dan temukan, menjadi tidak bermakna, ketika kita tidak pernah tahu siapa kita dan apa yang menjadi peran-peran kita di semesta raya ini. Kita menjadi terombang-ambing oleh arus kehidupan yang semakin tak ramah, jiwa kita tergerus oleh ilusi-ilusi yang jelas-jelas menipu, dan kemudian kita tenggelam dalam lumpur hitam kemunafikan.

Dalam kegalauan jiwa, aku selalu teringat kisah Nabi Yunus yang begitu terkejut ketika tiba-tiba mendapati dirinya dalam perut ikan, yang kemudian tersadarkan ketika dirinya berada jauh dari kebenaran, dan kemudian mampu memahami siapa dirinya dalam perannya sebagai Nabi dan Rasul Allah di muka bumi ini. Meskipun, ikan itu membawanya ke dasar lautan dan lautan membawanya ke kegelapan malam. Maka Nabi Yunus pun, berada dalam tiga kegelapan : kegelapan di dalam perut ikan, kegelapan di dasar lautan, dan kegelapan malam. Dalam tiga kegelapan inilah Nabi Yunus kemudian tercerahkan dan mampu mengenal siapa dirinya, serta peran-peran yang bisa dilakukan untuk kedamaian dan kebahagiaan hidup ummatnya di dunia.

Dalam tiga kegelapan inilah, Nabi Yunus melantunkan do'anya yang diabadikan dalam QS. Al-Anbiya' : 87, "Laa ilaaha illa anta. Subhaanaka, innii kuntu minaz zhaalimiin." Yang artinya : "Tiada Tuhan melainkan Engkau (ya Allah)! Maha Suci Engkau (daripada melakukan aniaya, tolongkanlah daku)! Sesungguhnya aku adalah dari orang-orang yang menganiaya diri sendiri". Do'a inilah yang menjadikan Nabi Yunus keluar dari tiga kegelapan dan mampu kembali berperan sebagai sang utusan Allah Swt, Yang Maha Benar dan Maha Bijaksana.

Nah, ketika aku kembali pada diriku sendiri, dan mencermati apa saja yang menjadi sumber kegelapan dalam hidup ini. Maka setitik cahayapun muncul menerangi gambaran jiwaku yang saat ini berada dalam penjara fisik (jasad), penjara fikiran, dan penjara emosi. Ketiga penjara inilah yang menjadi tiga kegelapanku saat ini, yang mesti kuatasi untuk menemukan, siapa diri sejatiku !!?. Wallahu A'lamu Bishshawwab.

Bekasi, 06 Oktober 2014.


Lihat Filsafat Selengkapnya

Page 3

Oleh. Purwalodra

Menjadi seorang suami, sekaligus menjadi seorang ayah dari tiga orang anak, merupakan tanggungjawab yang tidak bisa dibilang mudah. Apalagi aku juga masih memiliki Ibu yang melahirkan dan membesarkanku. Dan, juga menjadi seorang kakak paling tua, dari tiga orang adik-adik, meskipun semuanya sudah berkeluarga. Mereka semua menjadi bagian dari peran-peranku sebagai anak, kakak, suami dan ayah. Peran ganda yang melekat pada diriku ini memiliki konsekuensi yang besar, baik secara individual maupun secara kolektif. Ketika aku berperan tidak sewajarnya dan tidak sesuai dengan posisiku dalam peran tersebut, sudah pasti skenario kehidupan akan melahirkan berbagai kisah yang tidak diinginkan. Namun, aku ingin memainkan peran-peran tersebut sesuai dengan drama kehidupan yang benar dan lurus. Dan, kepentinganku hanya satu saja, agar semua berjalan sesuai harmonisasi waktu dan kepentingan mereka yang benar dan lurus pula.

Menyeimbangkan semua peran di atas, mungkin perlu keahlian ato pengalaman hidup. Namun buatku, keahlian dan pengalaman hanya melengkapi saja, tidak menjadi penentu arah kehidupan. Keseimbangan yang terbangun setidaknya membutuhkan pengendalian diri, namun sekuat-kuatnya manusia menyeimbang-kan diri, biasanya akan terpeleset juga. Dalam hal ini, juga tidak ada rumus yang canggih, bahkan semuanya mengalir dan sederhana-sederhana aja. Tidak perlu menggunakan anggaran khusus atau strategi yang hebat, cukup saling mawas diri dan berguru pada diri sendiri.

Kesadaranku untuk tetap memainkan peran ganda dalam satu babak kehidupan ini, boleh dibilang merupakan kerja cerdas, yang mau-tidak-mau, harus menjadi bagian dari jalan hidupku. Hal  inilah yang kemudian membawaku ke dalam sebuah pandangan (perspektif) bahwa aku perlu mengetahui siapa diriku sebenarnya, dan apa yang bisa kulakukan dari pran-peran tersebut ?. Meskipun, aku belum mau mengetahui keberadaanku di alam ini sebagai apa dan akan menuju ke mana ?. Tapi paling nggak aku bisa tahu dan mengenal siapa diriku sekarang.

Mungkin masih bisa dianggap penting, atau mungkin juga tidak, ketika himpitan kehidupan duniawi begitu mencekam, desakan keinginan semakin menghantui, dan kebutuhan atas pemuasan hidup menjadi tujuan sehari-hari, kita kemudian mempertanyakan kembali siapa diri kita ?. Karena apapun yang kita lakukan, apapun yang kita cari dan temukan, menjadi tidak bermakna, ketika kita tidak pernah tahu siapa kita dan apa yang menjadi peran-peran kita di semesta raya ini. Kita menjadi terombang-ambing oleh arus kehidupan yang semakin tak ramah, jiwa kita tergerus oleh ilusi-ilusi yang jelas-jelas menipu, dan kemudian kita tenggelam dalam lumpur hitam kemunafikan.

Dalam kegalauan jiwa, aku selalu teringat kisah Nabi Yunus yang begitu terkejut ketika tiba-tiba mendapati dirinya dalam perut ikan, yang kemudian tersadarkan ketika dirinya berada jauh dari kebenaran, dan kemudian mampu memahami siapa dirinya dalam perannya sebagai Nabi dan Rasul Allah di muka bumi ini. Meskipun, ikan itu membawanya ke dasar lautan dan lautan membawanya ke kegelapan malam. Maka Nabi Yunus pun, berada dalam tiga kegelapan : kegelapan di dalam perut ikan, kegelapan di dasar lautan, dan kegelapan malam. Dalam tiga kegelapan inilah Nabi Yunus kemudian tercerahkan dan mampu mengenal siapa dirinya, serta peran-peran yang bisa dilakukan untuk kedamaian dan kebahagiaan hidup ummatnya di dunia.

Dalam tiga kegelapan inilah, Nabi Yunus melantunkan do'anya yang diabadikan dalam QS. Al-Anbiya' : 87, "Laa ilaaha illa anta. Subhaanaka, innii kuntu minaz zhaalimiin." Yang artinya : "Tiada Tuhan melainkan Engkau (ya Allah)! Maha Suci Engkau (daripada melakukan aniaya, tolongkanlah daku)! Sesungguhnya aku adalah dari orang-orang yang menganiaya diri sendiri". Do'a inilah yang menjadikan Nabi Yunus keluar dari tiga kegelapan dan mampu kembali berperan sebagai sang utusan Allah Swt, Yang Maha Benar dan Maha Bijaksana.

Nah, ketika aku kembali pada diriku sendiri, dan mencermati apa saja yang menjadi sumber kegelapan dalam hidup ini. Maka setitik cahayapun muncul menerangi gambaran jiwaku yang saat ini berada dalam penjara fisik (jasad), penjara fikiran, dan penjara emosi. Ketiga penjara inilah yang menjadi tiga kegelapanku saat ini, yang mesti kuatasi untuk menemukan, siapa diri sejatiku !!?. Wallahu A'lamu Bishshawwab.

Bekasi, 06 Oktober 2014.


Lihat Filsafat Selengkapnya

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA