Cari soal sekolah lainnya
KOMPAS.com - Komisi Yudisial merupakan suatu lembaga yang memiliki sifat mandiri yang memiliki wewenang dalam mengusulkan pengangkatan hakim agung. Komisi Yudisial juga memiliki wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan suatu martabat, kehormatan, keluhuran, dan juga perilaku hakim. Dilansir dari situs resmi Komisi Yudisial Republik Indonesia, sebelum terbentuknya Komisi Yudisial, pembentukan lembaga pengawas peradilan yaitu Majelis Pertimbangan Penelitian Hakim (MPPH) dan Dewan Kehormatan Hakim (DKH). Melalui Amandemen Ketiga UUD 1945 pada tahun 2001 disepakati pembentukan Komisi Yudisial. Ketentuan Komisi Yudisial diatur dalam Pasal 24B UUD 1945. Maksud dasar yang menjadi semangat pembentukan Komisi Yudisial adalah keprihatinan mendalam mengenai kondisi peradilan yang muram dan keadilan di Indonesia yang tak kunjung tegak. Baca juga: Komisi Yudisial Berharap DPR Setujui Usulan 6 Calon Hakim Agung Tujuan Komisi YudisialTerbentuknya Komisi Yudisial memiliki tujuan sebagai berikut:
Komitmen Komisi YudisialTerdapat dua komitmen yang dipegang oleh Komisi Yudisial yaitu: Komitmen nilai Komisi Yudisial terbagi menjadi dua, sebagai berikut:
Komitmen moral yang dipegang Komisi Yudisial terbagi menjadi beberapa, di antaranya:
Baca juga: Komisi Yudisial: 13 Calon Hakim Agung Lolos Tahap Seleksi Kepribadian dan Kesehatan Wewenang Komisi YudisialSesuai pasal 13 Undang-undang No 18 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas UU No22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial, memiliki wewenang sebagai berikut:
Berdasarkan pasal 14 UU No 18 Tahun 2011, dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf A, yaitu mengusulkan pengangkatan hakim agung dan hakim ad hoc di Mahkamah Agung kepada DPR. Maka Komisi Yudisial memiliki tugas sebagai berikut:
Baca juga: Periksa Harta Calon Hakim MA, Komisi Yudisial Gandeng KPK hingga BPN Pasal 20 UU No 18 Tahun 2011, mengatur beberapa hal yaitu:
Dalam hal ini tugas Komisi Yudisial adalah:
Cari soal sekolah lainnya
SEJARAH KOMISI YUDISIAL Oleh: Ridho Afrianedy BAB I PENDAHULUAN Dalam teori pembagian kekuasaan dikenal sebuah istilah trias politika yaitu kekuasaan itu dibagi 3 ada kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif dan kekuasaan yudikatif. Dalam sistim negara kita lembaga legislatif adalah DPR (Dewan Perwakilan Rakyat), lembaga eksekutif adalah pemerintah dan lembaga yudikatif adalah lembaga kekuasaan kehakiman yaitu Mahkamah Agung beserta badan peradilan dibawahnya serta Mahkamah Konstitusi. Lembaga yudikatif dalam hal ini lembaga kekuasaan kehakiman merupakan ujung tombak dalam penegakkan hukum dinegara kita, oleh karena itu lembaga ini punya posisi strategis dalam tegaknya keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan, sehingga sering kita dengar negara kita adalah negara yang berdasarkan hukum, maka pengadilan merupakan pilar utama dalam penegakkan hukum itu sendiri terutama posisi hakim. Harapan dan keinginan besar semua pihak adalah supaya hakim bisa mengadili dan memutus setiap perkara yang diajukan kepadanya tanpa adanya intervensi dari pihak lain baik internal maupun eksternal. Sehingga keadilan yang diharapkan bisa terwujud dan tegak dalam negara kita. Seorang hakim itu harus mandiri, merdeka, profesional, akuntabel dan menjaga keluhuran, martabat dan wibawa hakim itu sendiri. Walaupun demikian masih saja ada oknum hakim yang tertangkap basah apakah karena kasus suap, narkoba dan lain sebagainya, sehingga dibutuhkan lembaga independen yang bertugas untuk menjaga dan menegakkan keluhuran martabat serta prilaku hakim agar hukum dan keadilan bisa tegak. Maka lahirlah lembaga Komisi Yudisial yang merupakan amanat dari Amandemen ke III Undang-Undang Dasar 1945 yang termaktub dalam Pasal 24 B dan telah disahkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.
BAB II PEMBAHASAN Rendahnya kepercayaan publik terhadap integritas peradilan semakin tinggi, hal ini menimbulkan rasa apatis dan tidak percaya terhadap dunia peradilan di Indonesia, sering kita mendengar bahkan dalam obrolan santai bahwa hakim itu bisa disuap, pihak itu menang karena dekat dengan hakim atau telah menyuap hakim, dan yang lebih parah kalau sudah masuk ranah peradilan maka siapkanlah uang sebanyak mungkin untuk menyuap hakim, jaksa, polisi dan lain-lain. Oleh karena itu, kebutuhan atas lembaga pengawas terhadap lembaga kekuasaan kehakiman sangat mendesak. Banyaknya suara miring tentang dunia peradilan di Indonesia tambah mencoreng dunia penegakkan hukum di Indonesia. Walaupun hakim sebagai wakil tuhan bebas dan merdeka dalam memutus perkara akan tetapi bau adanya permainan dalam sebuah perkara semakin kuat tercium. Maka dengan semangat penegakkan hukum pada tanggal 13 Agustus 2004 telah disahkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial yang merupakan amanat dari Amandemen ke III Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 24 B yang ayat 1 (satu) berbunyi Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Termaktubnya lembaga Komisi Yudisial dalam amandemen ke III Undang-Undang Dasar 1945 ini lahir berdasarkan rapat-rapat yang dilakukan oleh Panitia Ad Hoc I dan III Badan Pekerja MPR dalam kurun waktu tahun 1999 sampai dengan tahun 2002 dan beberapa alasan dibentuknya Komisi Yudisial karena adanya kebutuhan sebagai berikut[1]:
Dengan masuknya lembaga Komisi Yudisial dalam Undang-Undang Dasar 1945 menandakan begitu kuatnya posisi dan peran lembaga ini dalam mengawas lembaga kekuasaan kehakiman. Dan perlu diketahui, lembaga Komisi Yudisial dalam dunia peradilan diseluruh negara didunia telah diakui keberadaannya, bahkan 43 negara dari 197 negara yang menjadi anggota PBB telah memiliki lembaga Komisi Yudisial. Seiring berjalannya waktu, setelah lahirnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial maka Undang-undang ini telah direvisi dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Komisi Yudisial yang telah disahkan pada tanggal 9 Nopember 2011. Adapun perbedaan antara Undang-Undang yang lama dengan yang baru terletak pada wewenang dan tugas Komisi Yudisial. Sebagai perbandingannya Undang-Undang yang lama sebagai berikut[2]:
Adapun wewenang dan tugas Komisi Yudisial berdasarkan Undang-Undang yang baru sebagai berikut:
Dari penjelasan diatas dapat kita lihat perbandingan Undang-Undang yang lama dan Undang-Undang yang baru begitu mencolok. Ada beberapa kewenangan dan tugas yang ditambah serta diperluas ruang lingkup kerjanya, sehingga diharapkan Komisi Yudisial lebih maksimal dalam melakukan pengawasan serta seleksi calon hakim agung. Akan tetapi, pada tanggal 9 Januari tahun 2013, telah dibacakan putusan uji materi Undang-Undang Mahkamah Agung dan Undang-Undang Komisi Yudisial oleh Mahkamah Konstitusi dengan putusan Nomor 27/PUU-XI/2013 yang mana Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi menyatakan makna “dipilih” dan “pemilihan” dalam Pasal 8 ayat (2), (3), (4) Undang-Undang Mahkamah Agung bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “disetujui” dan “persetujuan” dan frasa “ tiga nama calon” dalam Pasal 8 ayat (3) Undang-Undang Mahkamah Agung dan Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Komisi Yudisial bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai 1 (satu) calon[3]. Putusan Mahkamah Konstitusi ini memangkas wewenang DPR yang selama ini memilih hakim agung yang diusulkan oleh Komisi Yudisial dan diganti dengan menyetujui atau menolak. Hal ini tidak lepas dari rumor-rumor yang beredar bahwa selama ini calon hakim agung harus mendapat restu atau punya posisi tawar menawar dengan komisi III di DPR. Apalagi banyak calon hakim agung yang punya integritas yang baik, profesional dan punya kompetensi yang tidak diragukan lagi malah tidak lulus fit and proper test di DPR, sehingga diharapkan dengan putusan ini calon hakim agung yang telah melalui proses seleksi yang ketat di Komisi Yudisial tidak lagi trauma dengan fit and proper test di Komisi III DPR karena sekarang DPR hanya menyetujui atau menolak calon hakim agung yang diusulkan Komisi Yudisial. Kemudian dalam hal pengawasan terhadap hakim-hakim, Komisi Yudisial telah bekerjasama dengan berbagai pihak, baik dengan LSM-LSM, kampus-kampus maupun organisasi kemasyarakatan untuk bisa menjadi perpanjangan tangan Komisi Yudisal dalam mengawasi kinerja para hakim di daerah-daerah, karena Komisi Yudisial belum memiliki kantor penghubung diseluruh provinsi, hanya beberapa saja dikota-kota besar. Sehingga Komisi Yudisial sangat mengharapkan peran serta unsur masyarakat untuk dalam penegakkan hukum terutama pengawasan terhadap kode etik dan pedoman perilaku hakim. Selain itu Komisi Yudisial telah bekerjasama dengan Mahkamah Agung dalam menyusun kode etik dan pedoman perilaku hakim dan lahirlah SKB (Surat Keputusan Bersama) yang ditandatangani oleh Ketua Mahkamah Agung dan Ketua Komisi Yudisial dengan nomor 047/KMA/SKB/IV/2009 dan 02/SKB/P.KY/IV/2009 pada tanggal 8 April 2009 di Jakarta. Dengan lahirnya Surat Keputusan Bersama ini bisa menimalisir terjadinya pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim oleh hakim itu sendiri. Dan bisa melaksanakan tugasnya dengan baik dan profesional. BAB III PENUTUP Dari pembahasan ini, penulis dapat simpulkan sebagai berikut:
DAFTAR PUSTAKA Buletin Komisi Yudisial, Jakarta, Edisi Oktober-Nopember 2011, Vol. VI No. 2 [1] Buletin Komisi Yudisial, Edisi Oktober-Nopember 2011, Vol. VI No. 2, halaman 49. |