Kita harus senantiasa bersikap gigih dan optimis hal ini dijelaskan dalam alquran

Jakarta, CNN Indonesia --

Iman adalah keyakinan yang diyakini di dalam hati, diucapkan dengan lisan, dan dilaksanakan dengan amal perbuatan. Salah satu di antara rukun iman umat Muslim adalah iman kepada qada dan qadar.

Jika kita melihat menurut bahasa, qada artinya adalah Ketetapan. Qada artinya ketetapan Allah SWT kepada setiap makhluk-Nya yang bersifat Azali.

Azali artinya ketetapan itu sudah ada sebelumnnya keberadaan atau kelahiran makhluk, sedangkan qadar artinya menurut bahasa berarti ukuran.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Sementara itu, qadar artinya terjadi penciptaan sesuai dengan ukuran atau timbangan yang telah ditentukan sebelumnya. Qada dan qadar dalam keseharian sering kita sebut dengan takdir.

Pengertian qada dan qadar menurut Al-Quran yang dihimpun dari berbagai ayat yaitu:

Arti Qada

Qada diartikan pada sejumlah istilah dalam Al-Quran, berikut di antaranya:

  • Qada berarti hukum atau keputusan terdapat (Q.S. Surat An- Nisa' ayat 65)
  • Qada berarti mewujudkan atau menjadikan (Q.S. Surat Fussilat ayat 12)
  • Qada berarti kehendak (Q.S. Surat Ali Imron ayat 47)
  • Qada berarti perintah (Q.S. Surat Al- Isra' ayat 23)

Arti Qadar

Qadar diartikan pada sejumlah istilah dalam Al-Quran, berikut di antaranya:

  • Qadar berarti mengatur atau menentukan sesuatu menurut batas-batasnya (Q.S. Surat Fussilat ayat 10)
  • Qadar berarti ukuran (Q.S. Surat Ar- Ra'du ayat 17)
  • Qadar berarti kekuasaan atau kemampuan (Q.S. Surat Al- Baqarah ayat 236)
  • Qadar berarti ketentuan atau kepastian (Q.S. Al- Mursalat ayat 23)
  • Qadar berarti perwujudan kehendak Allah swt terhadap semua makhluk-Nya dalam bentuk-bentuk batasan tertentu (Q.S. Al- Qomar ayat 49)

Kita harus senantiasa bersikap gigih dan optimis hal ini dijelaskan dalam alquran
Menjalani hidup dengan memahami hikmah beriman kepada Qada dan Qadar (Foto: ANTARA FOTO/WAHYU PUTRO A)

Hikmah Orang yang Beriman kepada Qada dan Qadar

Terdapat beberapa poin alasan dan hikmah yang bisa seorang Muslim petik dengan memahami qada dan qadar, berikut di antaranya:

1. Banyak Bersyukur dan Bersabar

Orang yang beriman kepada Qada dan Qadar, apabila mendapat keberuntungan, maka ia akan bersyukur, karena keberuntungan itu merupakan nikmat Allah yang harus disyukuri.

Sebaliknya apabila terkena musibah maka ia akan sabar, karena hal tersebut merupakan ujian. Firman Allah:

Artinya: "dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah( datangnya), dan bila ditimpa oleh kemudaratan, maka hanya kepada-Nyalah kamu meminta pertolongan." (QS. An-Nahl ayat 53)

2. Menjauhkan Diri dari Sifat Sombong dan Putus Asa

Orang yang tidak beriman kepada Qada dan Qadar, apabila memperoleh keberhasilan, ia menganggap keberhasilan itu adalah semata-mata karena hasil usahanya sendiri.

Ia pun merasa dirinya hebat. Apabila ia mengalami kegagalan, ia mudah berkeluh kesah dan berputus asa, karena ia menyadari bahwa kegagalan itu sebenarnya adalah ketentuan Allah. Firman Allah SWT:

Artinya: "Hai anak-anakku, pergilah kamu, maka carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir." (QS.Yusuf ayat 87)

Kita harus senantiasa bersikap gigih dan optimis hal ini dijelaskan dalam alquran
Memahami hikmah beriman kepada Qada dan Qadar bisa menghindari kita dari kesombongan (Foto: iStockphoto/JumpRapper)

3. Optimistis dan Giat Bekerja

Manusia tidak mengetahui takdir apa yang terjadi pada dirinya. Semua orang tentu menginginkan bernasib baik dan beruntung.

Keberuntungan itu tidak datang begitu saja, tetapi harus diusahakan. Oleh sebab itu, orang yang beriman kepada Qada dan Qadar senantiasa optimis dan giat bekerja untuk meraih kebahagiaan dan keberhasilan itu. Firman Allah :

Artinya : "Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan." (QS Al- Qashas ayat 77)

4. Jiwanya Tenang

Orang yang beriman kepada Qada dan Qadar senantiasa mengalami ketenangan jiwa dalam hidupnya, sebab ia selalu merasa senang dengan apa yang ditentukan Allah kepadanya.

Jika beruntung atau berhasil, ia bersyukur. Jika terkena musibah atau gagal, ia bersabar dan berusaha lagi. Allah SWT berfirman :

Artinya : "Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang tenang lagi diridhai-Nya.Maka masuklah ke dalam jamaah hamba-hamba-Ku, dan masuklah kedalam sorga-Ku." ( QS. Al-Fajr ayat 27-30)

Itulah pengertian sekaligus hikmah orang yang beriman pada Qada dan Qadar. Kedua hal tersebut harusnya menyadarkan manusia bahwa segala apa yang terjadi adalah kehendak Allah SWT.

(din/fjr)

[Gambas:Video CNN]

Kita harus senantiasa bersikap gigih dan optimis hal ini dijelaskan dalam alquran
MENGAPA harus pesimis? Itulah kalimat pertanyaan yang sering dinyatakan oleh guru saya, Pak AR Fachruddin (Allahu Yarhamhu), di beberapa kesempatan. Kalimat itulah yang hingga saat ini menjadi pijakan hidup saya, dan berkali-kali saya sampaikan kepada para jamaah pengajian saya di berbagai kesempatan. Sebagai seorang yang ‘mengaku’ beriman, kita harus selalu optimis!

Optimisme (Sikap Optimis) merupakan keyakinan diri dan salah satu sikap baik yang dianjurkan dalam Islam. Dengan sikap optimistis, seseorang akan bersemangat dalam menjalani kehidupan, baik demi kehidupan di dunia maupun kehidupan di akhirat kelak.

Allah Subhânahu Wa Ta’âla telah berfirman:

وَلَا تَهِنُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَنتُمُ الْأَعْلَوْنَ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ ”

Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman.” (QS Âli ‘Imrân [3]: 139)

Optimisme merupakan sikap yang harus dimiliki oleh setiap manusia, khususnya seorang Muslim. Karena dengan optimistis, seorang Muslim akan selalu berusaha semaksimal mungkin mencapai cita-cita dengan penuh keikhlasan karena Allah.

Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam pun – dalam hal ini — juga pernah bersabda:

الْمُؤْمِنُ الْقَوِيُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ وَفِي كُلٍّ خَيْرٌ احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلَا تَعْجَزْ وَإِنْ أَصَابَكَ شَيْءٌ فَلَا تَقُلْ لَوْ أَنِّي فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا وَلَكِنْ قُلْ قَدَرُ اللَّهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ “

Mukmin (orang yang beriman) yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada orang mukmin yang lemah. Pada diri masing-masing memang terdapat kebaikan. Capailah dengan sungguh-sungguh apa yang berguna bagimu, mohonlah pertolongan kepada Allah dan janganlah kamu menjadi orang yang lemah. Apabila kamu tertimpa suatu kemalangan, maka janganlah kamu mengatakan; ‘Seandainya tadi saya berbuat begini dan begitu, niscaya tidak akan menjadi begini dan begitu’. Tetapi katakanlah; ‘lni sudah takdir Allah dan apa yang dikehendaki-Nya pasti akan dilaksanakan-Nya. Karena sesungguhnya ungkapan kata ‘lau’ (seandainya) akan membukakan jalan bagi godaan setan.” (Hadits Riwayat Muslim dari Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhu, Shahîh Muslim, juz VIII, hal. 56, hadits no. 6945)

Dari ayat dan hadis tersebut di atas, kita harus yakin, mantap, dan tidak ragu atau bimbang jika memunyai keinginan yang kuat untuk melaksanakan segala cita-cita yang sesuai dengan jalan-Nya. Allah tidak menyukai orang-orang yang berputus asa atau lemah, karena sikap yang demikian itu berpeluang untuk “membuka pintu bujuk rayu setan.”

Akan tetapi, harus juga diingat, bahwa (sikap) optimistis tanpa perhitungan dan pertimbangan yang tepat, juga merupakan sebuah ‘kekonyolan’ (sesuatu yang tidak dapat dibenarkan), yang dalam beberapa hal sangat dibenci oleh Allah. Tetapi, pada prinsipnya, sikap pesimistis merupakan halangan utama bagi seseorang untuk menerima tantangan. Orang yang (bersikap) pesimistis hampir bisa dipastikan selalu merasa bahwa hidupnya penuh dengan kesulitan. Ia selalu merasa berada dalam ketidakberdayaan dalam menghadapi masa depan, Dan sikap seperti inilah sangat dibenci oleh Allah.

Ketika kita sudah yakin, bahwa apa yang kita perjuangkan dalam hidup ini adalah ‘benar’, maka kita tak boleh surut untuk memerjuangkannya sampai titik darah penghabisan. Dan, sebagai seorang yang mengaku beriman, kita tak boleh sekejap pun merasa bimbang dan ragu untuk berusaha meraihnya.

Allah SWT berfirman,

الْحَقُّ مِن رَّبِّكَ ۖ فَلَا تَكُونَنَّ مِنَ الْمُمْتَرِينَ ”

Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu janganlah sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu.” (QS al-Baqarah [2]: 147)

Optimisme – hingga kapan pun — sangat diperlukan dalam kehidupan kita sehari-hari, guna mencapai sebuah kesuksesan dan keberhasilan dalam hidup di dunia dan di akhirat.

Dengan adanya sikap optimistis dalam diri setiap Muslim, kinerja untuk beramal akan meningkat dan persoalan yang dihadapi insyâallâh dapat kita selesaikan dengan sebaik-baiknya. Sementara itu, kita harus yakin, bahwa doa, ikhtiar, dan tawakal harus senantiasa mengiringinya, kerena hanya dengan ‘ridha-Nya’, apa pun yang kita harapkan dapat terwujud.

Sebagai seorang yang mengaku beriman, kita harus selalu optimis dalam menghadapi segala macam persolan hidup kita. Dan, dalam hal ini, ‘Saya’, berkali-kali menegaskan dalam berbagai kesempatan, bahwa ‘ada’ enam hal yang bisa kita upayakan untuk dapat membangkitkan optimisme dalam kehidupan kita.

Pertama, temukan hal-hal positif dari pengalaman masa lalu. Kedua, tatalah kembali target yang hendak kita capai. Ketiga, pecahkan target besar menjadi target-target kecil yang segera dapat dilihat keberhasilannya. Keempat, bertawakal (berserah diri)-lah kepada Allah setelah melakukan ikhtiar (usaha). Kelima, ubahlah pandangan diri kita terhadap kegagalan. Keenam, yakinlah bahwa Allah SWT akan menolong dan memberi jalan keluar pada diri kita, dalam hal apa pun, kapan pun dan di mana pun.

Ibda’ bi nafsik.

Sumber : Tulisan Ust.Drs.H.Muhsin Haryanto.,M.Ag. (Alumni Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta, Dosen UMY, dan UNISA)