Kegiatan panen padi pada masyarakat sunda disebut juga

Kegiatan panen padi pada masyarakat sunda disebut juga
Tradisi Nyalin di Karawang. ©2021 Kanal YouTube Pelestari Seni Budaya Sajarah Tatar Sunda/editorial Merdeka.com

Merdeka.com - Sebagai salah satu wilayah di tanah Sunda, Kabupaten Karawang menyimpan berbagai tradisi dengan kearifan lokal yang masih dipegang teguh oleh sejumlah masyarakat. Salah satu tradisi Nyalin.

Tradisi Nyalin sendiri biasanya dipraktikkan oleh masyarakat setempat saat masa masa panen di sawah. Tradisi dilakukan untuk mempersiapkan proses penanaman padi berikutnya.

Seperti dilansir Merdeka dari karawangheritage.com pada Selasa (16/03), tradisi Nyalin berasal dari kata ‘Salin’ yang artinya mengganti. Dalam pelaksanaannya masyarakat akan memotong beberapa bagian padi yang terlihat baik. Mereka akan menyimpannya di dalam leuit atau lumbung untuk digunakan di masa tanam yang akan datang.

Lantas seperti apa prosesinya dan makna apa yang dibawa oleh tradisi masyarakat agraris di Kabupaten Karawang tersebut? Berikut informasinya.

2 dari 5 halaman

Kegiatan panen padi pada masyarakat sunda disebut juga

©2021 Kanal YouTube Pelestari Seni Budaya Sajarah Tatar Sunda/editorial Merdeka.com

Salah satu pesan yang dibawa dalam tradisi Nyalin atau masyarakat setempat biasa menyebutnya Ngala Indung Pare (mengambil bibit padi) adalah terdapatnya tata krama dari para petani yang akan mengambil padi sebagai ciptaan tuhan.

Menurut Abah Herman, selaku budayawan Karawang, dalam tradisi Nyalin terdapat sebuah prosesi etika. Di mana sebagai sesama makhluk Tuhan, manusia dengan alam sebisa mungkin harus saling menghormati ketika memanen padi.

“Ketika panen itu pada dasarnya kita mengambil hasil pertanian kita, dan Nyalin sendiri merupakan prosesi izin atau tata krama kita di alam agar kita bisa hati-hati memperlakukan tanaman (padi) karena telah memberi kehidupan kepada manusia” tuturnya, sebagaimana dilansir dari Youtube Tengok Indonesia.

3 dari 5 halaman

Abah juga menambahkan jika dalam tradisi agraris di Kabupaten Karawang perlu juga mempraktikkan etika pada saat prosesi penanaman. Laki-laki 61 tahun itu menjelaskan jika tradisi Nyalin juga berdampingan dengan tradisi Pupuhunan atau menanam padi.

Ia juga menyebut jika prosesi menanam juga memerlukan izin agar mendapat keberkahan serta dipermudah dalam proses pertumbuhan padi di sawah.

“Jadi sama dengan Nyalin, dalam Pupuhunan kita juga harus berizin terhadap Tuhan bahwa kita hendak bercocok tanam dan meminta rezeki di tanaman padi tersebut” ujarnya.

4 dari 5 halaman

Kegiatan panen padi pada masyarakat sunda disebut juga
©2021 Kanal YouTube Pelestari Seni Budaya Sajarah Tatar Sunda/editorial Merdeka.com

Dalam pelaksanaannya tradisi Nyalin biasanya dilaksanakan satu tahun sekali saat masa tanaman padi menguning. Biasanya sebelum melaksanakan prosesi tersebut para petani akan berkonsultasi terhadap Guguni alias yang punya hajat setempat agar prosesi bisa terlaksana dengan tepat.

Mereka juga akan menyiapkan beberapa kebutuhan upacara seperti Dawegan, Kemenyan, Pedupaan, Lisong/cerutu, Rurujakan, Makanan ringan (rengginang, opak, wajit dan lainnya), serta Sanggar (tempat menyimpan sesajen yang terbuat dari bambu).

Kemudian beberapa kebutuhan tambahan, seperti Kain putih, Daun Hoar, Daun Kawung, Daun Kanyere, Caruluk (buah kawung), Pohon Tebu, Ktupat, leupeut, tantang angin.

5 dari 5 halaman

Kegiatan panen padi pada masyarakat sunda disebut juga
©2021 Kanal YouTube Pelestari Seni Budaya Sajarah Tatar Sunda/editorial Merdeka.com

Saat prosesi mulai dilakukan, Guguni akan memakai pakaian serba putih sembari membakar kemenyan untuk memulai upacara.

Setelah itu prosesi akan dilanjutkan dengan membaca rajah, yang kemudian dilanjutkan memotong lima tangkai padi yang memiliki bulir sempurna menggunakan ani-ani sambil menahan napas.

Lima potong tangkai padi itu lantas dibungkus dengan kain putih dengan membuat motif kepang jadi dua untuk disimpan di dalam leuit atau lumbung sebagai persiapan tanam masa mendatang.

Prosesi tersebut akan dilaksanakan antara pukul 16.00 WIB sampai 17.00 WIB sore, dengan bertempat di area sawah yang akan dipanen.

[nrd]

Majikeun Pare merupakan salah satu kearifan lokal sunda dalam mengatur persedian pangan mereka Sesajian berupa kue dan kembang tujuh rupa, kelapa ijo, pisang dan bakaran kemenyan dalam ritual Majikeun Pare Para kokolot berdoa kepada Allah mengucap syukur atas hasil panen yang melimpah Satu tandan padi yang beratnya mencapai 10 kg dimasukkan satu persatu oleh para kokolot Para kokolot tengah bersiap melaksanakan ritual Majikeun Pare, yaitu ritual menggabungkan padi ke dalam lumbung Sebelum dimasukkan ke dalam lumbung, padi diarak dengan menggunakan rengkong dari Imah Bali menuju alun-alun Kampung Budaya Sindang Barang Majikeun Pare merupakan ritual puncak dalam tradisi Seren Taun di Kampung Budaya Sindang Barang

Masyarakat Sunda sejak dulu mempunyai hubungan yang sangat erat dengan pola kehidupan agraris. Bahkan semua hal yang berkaitan dengan pertanian menjadi sesuatu yang sakral yang harus diawali dengan berbagai ritual. Sebagai salah satu usaha untuk mempertahankan nilai-nilai tradisi dari pola kehidupan agraris masyarakat Sunda, Kampung Budaya Sindang Barang Bogor tiap tahun mengadakan perhelatan akbar Seren Taun, yaitu tradisi yang dilakukan untuk menyambut panen raya.

Kegiatan panen padi pada masyarakat sunda disebut juga

Menurut adat yang telah diwariskan oleh leluhur Kampung Budaya Sindang Barang dan juga tertulis di dalam pantun Bogor, ritual puncak dalam tradisi seren taun adalah ritual Majikeun Pare. Ritual ini ditandai dengan helaran dongdang, yaitu mengarak berbagai hasil bumi mulai dari Imah Bali menuju Alun-Alun Kampung Budaya Sindang Barang.

Hasil panen utama yang diarak dalam helaran dongdang adalah padi. Padi-padi tersebut digantungkan pada rengkong yang dibawa oleh para kokolot. Setelah arak-arakan sampai di Alun-Alun Kampung Budaya Sindang Barang, padi-padi ini kemudian dikumpulkan di depan leuit atau sebentuk rumah yang khusus digunakan sebagai lumbung padi. Para kokolot kemudian membentuk lingkaran, di tengahnya terdapat berbagai sesajian berupa satu buah kelapa hijau, sesisir pisang, kembang, tujuh jenis kue, dan tidak lupa bakaran kemenyan.

Seorang kokolot kemudian memimpin doa yang intinya mengucapkan syukur atas hasil panen yang berlimpah. Selain itu, tidak lupa mengharapkan berkah semoga tahun depan diberkahi dengan panen yang lebih baik. Setelah doa-doa diucapkan, barulah padi-padi yang menjadi hasil panen masyarakat Kampung Budaya Sindang Barang satu per satu digabungkan dan masukkan ke dalam leuit sebagai persediaan pangan untuk satu tahun ke depan. Prosesi menggabungkan padi inilah yang disebut dengan ritual Majikeun Pare ayah dan Pare Ambu.

Majikeun Pare merupakan salah satu kearifan lokal masyarakat Kampung Budaya Sindang Barang dalam usaha mengatur persediaan pangan mereka. Sehingga panen padi bisa dirasakan oleh semua masyarakat dan kesejahteraan tidak hanya menjadi milik segolongan orang. Dalam Majikeun Pare terselip nilai moral yang luhur dan mengajarkan bahwa kepentingan bersama berada di atas kepentingan pribadi, sebuah nilai yang makin terkikis di tengah masyarakat yang makin individualis.

Setelah ritual Majikeun Pare dilakukan, berbagai dongdang berisi hasil panen lainnya menjadi rebutan masyarakat. Mereka percaya, dengan mendapatkan secuil hasil panen dalam parebut dongdang, maka mereka akan mendapakan berkah dari Tuhan.

Informasi Selengkapnya

Kegiatan panen padi pada masyarakat sunda disebut juga

  • Kegiatan panen padi pada masyarakat sunda disebut juga

  • Kegiatan panen padi pada masyarakat sunda disebut juga

Sunda merupakan salah satu suku di Indonesia yang masih mempertahankan kebudayaannya hingga saat ini. Salah satu kebudayaan Sunda yang masih dilakukan oleh masyarakat Sunda adalah Seren Taun. Ini merupakan sebuah upacara adat yang dilakukan setelah panen padi. Upacara ini dilakukan tiap tahun secara rutin dan diikuti seluruh warga desa mulai dari anak-anak sampai orang dewasa semuanya ikut ambil bagian dalam upacara ini. Upacara adat ini berlangsung semarak di desa-desa adat Sunda.

Tradisi Upacara Adat Seren Taun ini sebenarnya merupakan salah satu bentuk rasa syukur dari masyarakat Sunda terhadap hasil panen yang telah didapat. Selain itu, upacara ini juga telah menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat sekitar, termasuk wisatawan lokal dan mancanegara. Setiap kali acara ini digelar, selalu banyak wisatawan yang datang berbondong-bondong untuk menyaksikan upacara adat ini.

Ada komunitas masyarakat yang masih tetap menjalankan tradisi Seren Taun ini. Di Kecamatan Cisolok Kabupaten Sukabumi yang masih menjalankan tradisi ini yakni di Desa Sirna Resmi. Di desa ini ada tiga komunitas masyarakat yang terbentuk pada kasepuhan. Tiga Kasepuhan tersebut adalah Ciptagelar, Sinaresmi dan Ciptamulya.  Upacara Seren Tahun bagi masyarakat di sini menjadi sebuah hajatan kampung karena hampir semua warga di desa ini terlibat dan merayakan tradisi yang sudah berlangsung secara turun temurun ini.

Istilah Seren Taun berasal dari kata Seren dan Tahun. Dalam bahasa Sunda, Seren berarti menyerahkan. Sedangkan kata Taun artinya Tahun. Dengan kata lain, Seren Taun merupakan prosesi serah terima dari panen tahun lalu untuk tahun mendatang. Upacara Adat Seren Taun dalam pandangan budaya Sunda tidak lain adalah sebagai sarana untuk mengucap syukur kepada Tuhan YME atas hasil panen yang sudah diperoleh. Tidak lupa, masyarakat di sini juga berdoa memohon agar panen di tahun mendatang lebih baik dari saat ini. Prosesi seserahan tersebut disimbolkan sebagai pemindahan padi menuju lumbung padi.

Dalam prosesi upacara adat ini terdapat prosesi mengangkut padi yang disebut dengan ngangkut pare. Dalam prosesi ini, padi dari sawah diangkut ke lumbung padi atau leuit menggunakan pikulan khusus yang dikenal dengan rengkong. Selama padi diangkut menuju ke lumbung, rombongan pengangkut akan diiringi dengan tabuhan musik tradisional.

Setiap desa adat memiliki dua lumbung padi. Lumbung utama terdiri dari leuit sijimat, indung, dan inten. Leuit sendiri artinya adalah lumbung padi. Sementara itu lumbung yang kecil dikenal sebagai leuit leutik. Leuit utama digunakan sebagai tempat penyimpanan padi ibu dan pare bapak. Padi ibu ditutup menggunakan kain putih sedangkan pare babak ditutup dengan kain hitam. Padi yang disimpan ini nantinya akan digunakan oleh warga setempat sebagai benih untuk musim tanam selanjutnya. Selain leuit-leuit di atas, ada pula Leuit pangiring. Leuit ini menjadi lumbung cadangan yang akan menampung padi yang tidak cukup disimpan di Leuit induk.

Di tiga kasepuhan, Seren Taun biasanya dimulai dengan mengambil air suci dari tujuh sumber mata air yang dikeramatkan. Air dari tujuh mata air tersebut kemudian disatukan di dalam satu wadah dan didoakan. Air ini dianggap bertuah dan memberi berkah. Setelah didoakan, air dicipratkan pada setiap orang hadir dalam dalam upacara adat untuk membawa berkah. Ritual selanjutnya adalah sedekah kue. Dalam ritual ini warga yang hadir berebut untuk mengambil kue yang ada di pikulan atau tampah. Kue ini dipercaya akan memberi berkah yang melimpah bagi yang berhasil mendapatkannya. Kemudian, ritual dilanjutkan dengan penyembelihan kerbau. Daging kerbau ini kemudian dibagikan pada warga yang kurang mampu dan dilanjutkan dengan acara makan tumpeng bersama.

Kegiatan Seren taun ini dilakukan di tiga Kasepuhan Sinaresmi, Ciptagelar dan Ciptamulya dengan tatacara dan susunan kegiatan yang hampir sama.


Disetujui Oleh admin WBTB Pada Tanggal 01-01-2018