Jepang berhasil menguasai beberapa kota besar di Tiongkok yaitu

Pertempuran Shanghai
Bidang dari Perang Tiongkok-Jepang Kedua
Jepang berhasil menguasai beberapa kota besar di Tiongkok yaitu

Sebuah kubu senapan mesin Tentara Revolusioner Nasional di dalam kota Shanghai.
Pihak yang terlibat
Tentara Revolusioner Nasional, Republik Tiongkok Tingkatan Laut Kekaisaran Jepang, Tingkatan Darat Kekaisaran Jepang, Kekaisaran Jepang
Komandan
Chiang Kai-shek Chen Cheng Zhang Zhizhong Hasegawa Kiyoshi
Jepang berhasil menguasai beberapa kota besar di Tiongkok yaitu
Heisuke Yanagawa
Jepang berhasil menguasai beberapa kota besar di Tiongkok yaitu
Iwane Matsui
Daya
600,000 pasukan dalam 75 divisi dan 9 brigade,
200 pesawat terbang
300,000 pasukan dalam 8 divisi dan 6 brigade,500 pesawat terbang,300 tank,

130 kapal laut

Show
Korban
~200,000~70,000[1]

Pertempuran Shanghai yaitu pertempuran pertama dari 22 pertempuran akbar selang Tentara Revolusioner Nasional, Republik Tiongkok dan Tentara Kekaisaran Jepang selama Perang Tiongkok-Jepang Kedua. Pertempuran ini yaitu salah satu yang paling akbar dan paling berdarah selama masa perang tersebut.

Sejak 1931, Tiongkok dan Jepang telah terlibat dalam konflik-konflik kecil tiada putus, seringkali dikenal sebagai ”insiden”, yang membikin Tiongkok kehilangan wilayah sepotong demi sepotong. Pada Agustus 1937, mengikuti Insiden Jembatan Marco Polo pada 7 Juli, dan invasi Jepang terhadap Tiongkok Utara, Generalissimo Chiang Kai-shek memutuskan bagi memimpin Tiongkok dalam perang total terhadap Jepang, meskipun tanpa deklarasi resmi. Perlawanan Tiongkok di Shanghai bertujuan mematahkan gerak maju Jepang yang cepat, memberikan banyak waktu yang dibutuhkan kepada pemerintah Tiongkok bagi memindahkan industri-industri vital ke lokasi yang semakin dalam, di mana pada masa yang sama berupaya mengambil simpati Daya Barat. Selama tiga bulan pertempuran sengit, Pasukan Tiongkok dan Jepang berperang di pusat kota Shanghai, kota-kota terpencil, dan pantai-pantai sepanjang pesisir Provinsi Jiangsu, lokasi Jepang memainkan pendaratan amfibi. Tentara Tiongkok hanya mengandalkan senjata-senjata kaliber kecil dalam melawan serangan gencar besar-besaran dari udara, laut, dan daya pemukul lapis baja Jepang.[2] Pada yang belakang sekalinya, Shanghai jatuh, dan Tiongkok kehilangan sebagian akbar pasukan terbaik mereka, serta gagal memperoleh intervensi internasional. Namun, perlawanan Tiongkok datang sebagai kejutan akbar terhadap penyerbu Jepang,[3] yang telah terindoktrinasi dengan ingatan superior secara budaya dan militer, dan secara dramatis menurunkan moral tentara Jepang. Kisah kepahlawanan mempertahankan Shanghai dan kisah selanjutnya tentang kekejaman tentara Jepang yang amat terkejut dengan perlawanan tersebut, menginspirasi bangungnya perlawanan nasionalisme Tiongkok dalam sebuah konflik brutal selama delapan tahun.

Di Tiongkok, Pertempuran Shanghai dikenal sebagai Pertempuran Songhu (Tionghoa: 淞滬會戰; pinyin: Sōnghù Huìzhàn). Kata Song bersumber dari Wusong (吳凇), nama lain Sungai Suzhou, sebuah sungai kecil yang mengalir melewati Shanghai. Hu (滬) yaitu singkatan bagi kota itu sendiri. Dalam beberapa sumber Jepang, pertempuran tersebut dikenal sebagai "Insiden Shanghai Kedua" (第二次上海事変, Dai-niji Shanhai jiken?), membedakannya dengan Insiden Shanghai Pertama pada 1932. Namun, Pertempuran Shanghai 1937 yaitu sebuah pertempuran skala penuh menandai awal perang mati-matian selang dua negara tersebut. Istilah “insiden” secara tradisional digunakan bagi memperhalus invasi Tiongkok oleh Jepang. Pertempuran dapat dibagi ke dalam tiga tahap, dan secara keseluruhan melibatkan hampir satu juta pasukan. Tahap pertama berjalan dari 13 Agustus sampai 22 Agustus, yaitu masa Tentara Revolusioner Nasional berupaya menghalau kehadiran Tentara Kekaisaran Jepang dari pusat kota Shanghai. Tahap kedua berjalan dari 23 Agustus sampai 26 Oktober, yaitu selama Jepang melancarkan pendaratan amfibi di pesisir Jiangsu dan kedua pihak berperang dari propertti ke propertti, dengan Jepang berupaya mendapat kendali terhadap kota dan daerah di sekitarnya. Tahap terakhir berjalan dari 27 Oktober sampai yang belakang sekali November, melibatkan mundurnya tentara Tiongkok dalam menghadapi manuver penjempitan Jepang, dan belakang pertempuran di perlintasan menuju ibukota Tiongkok, Nanjing.

Latar belakangan

Pertempuran Shanghai yaitu pertempuran akbar pertama dalam Perang Tiongkok-Jepang Kedua dan meningkatkan skala Insiden Jembatan Marco Polo dari perang lokal di Tiongkok Utara menjadi perang skala penuh yang akan melibatkan hampir semua wilayah Tiongkok. Mempunyai beberapa penyebab isi bagi peristiwa ini.

Gagasan strategis

Sejak pecahnya perang pada 7 Juli 1937, banyakan pertempuran berjalan di Tiongkok Utara dan sekitarnya dalam operasi-operasi yang dikenal sebagai Pertempuran Beiping-Tientsin. Awalnya, Tiongkok dan Jepang tidak ingin tembak-menembak skala kecil meningkat ke tingkat perang total. Jepang mengharapkan segera terjadi gencatan senjata dan mendapat teritori Tiongkok semakin jauh, sama seperti yang terjadi sebelumnya melewati Insiden Mukden (1931), Insiden 28 Januari (1932), Insiden Tembok Akbar (1933), dan melewati jual beli pemukiman di pertengahan 1930-an. Namun Generalissimo Chiang Kai-shek melihat Insiden Jembatan Marco Polo sebagai usaha paling berani Jepang yang akan memisahkan secara penuh provinsi-provinsi utara dari kontrol Tiongkok dan menyatukannya ke dalam negara boneka Manchukuo hasil pekerjaan Jepang. Pada masa bangungnya Front Bersatu Kedua yang dibuat setelah Insiden Xi'an, even ini memecah ”Titik Akhir” (最後關頭) toleransi Chiang terhadap serangan Jepang berdasarkan kebijakan ”perdamaian internal sebelum perlawanan eksternal”. Chiang memutuskan bagi memulai perang skala penuh dengan Jepang.

Jepang berhasil menguasai beberapa kota besar di Tiongkok yaitu

Sebuah bidang blokade jalanan Tiongkok yang dipertahankan oleh Divisi ke-87

Jepang berhasil menguasai beberapa kota besar di Tiongkok yaitu

Prajurit-prajurit Divisi ke-88 mempertahankan sebuah persimpangan di belakangan pertahanan kantung-kantung pasir

Chiang Kai-shek dan para penasihatnya percaya bahwa langkah logis selanjutnya dari tentara Jepang yaitu maju dari Tiongkok Utara, sepanjang Peiping-Hankou serta rel kereta api Peiping-Pukou, dan memotong ke Wuhan dan daerah-daerah di Tiongkok Tengah dan Timur. Gerak maju utara-selatan Jepang bermanfaat bahwa tentara Tiongkok wajib bertahan sepanjang sumbu horisontal, bagi berupaya mengurung gerak maju musuh melewati gerakan menjepit. Namun tentara Tiongkok sebenarnya tidak berdaya bagi manuver semacam itu, sementara Tentara Kekaisaran Jepang mempunyai superioritas dalam hal mutu di Tiongkok Utara, dan mobilitas dari satuan-satuan lapis baja dan artilerinya tidak tertandingi. Kehadiran militer Tiongkok di Tiongkok Utara sangat minim, sementara pemerintah pusat serta Kuomintang sendiri dilarang memainkan keaktifan politik di Provinsi Hebei sebagai bidang Kontrak He-Umezu. Selain itu, banyakan pekerjaan pertahanan Tiongkok yang kuat tidak dibangun di Tiongkok Utara, melainkan di Tiongkok Timur, sepanjang Delta Yangtze yang rendah. Juga penting bagi dicatat, Jepang dapat dengan gampang memainkan penguatan pasukan melewati Korea dan Manchukuo, ke Tiongkok Utara dengan transportasi yang efisien lewat jalur laut dan kereta api. Pergerakan pasukan Tiongkok beberapa kali terhalang karena kurangnya yang dikendarai bermotor dan jalur kereta api. Sebagian akbar pasukan Tiongkok sampai garis hadapan dengan berlanjut kaki. Hal ini membikin penguatan pasukan dari Tiongkok Selatan ke Tiongkok Utara sangat memakan waktu, dibandingkan dengan penguatan pasukan rivalnya dari kepulauan mereka. Konsekuensinya, pertempuran di Tiongkok Utara tidak mungkin dimainkan oleh pasukan Tiongkok.

Jika tentara Jepang berhasil memainkan gerak maju ke selatan, menginvasi Wuhan belakang bangung ke timur dengan memainkan tekanan terhadap Tiongkok Tengah dan Timur dan mengurung wilayah Shanghai-Nanjing, pertahanan Tiongkok wajib mundur ke arah pantai dalam sebuah skenario yang mirip dengan Pertempuran Dunkirk selang Jerman dan Perancis yang terjadi belakang. Tingkatan Laut Kekaisaran Jepang mempunyai supremasi total di laut-laut Tiongkok dan gerak mundur daya Tiongkok tersebut pasti akan binasa karena telah tidak mempunyai lagi lokasi bagi mundur. Berdasarkan kemungkinan terjadinya skenario ini, Chiang memutuskan membuka front kedua di Shanghai, dengan maksud menghadang gerak maju musuh ke Tiongkok Tengah dan Timur. Rencana Chiang yaitu memaksa Jepang mengubah arah gerak maju utara-selatannya menjadi timur ke barat. Dengan metode ini, pasukan Tiongkok akan mempunyai cukup ruang bagi mundur di barat daya dan mengumpulkan daya kembali sementara Shanghai, Nanjing, dan Wuhan jatuh ke Jepang. Rencana Tiongkok yaitu berperang sedapat mungkin bagi menunda gerak maju Jepang, dan waktu tunda dimanfaatkan bagi memindahkan pemerintahan dan industri-industri vital ke pedalaman. Ini yaitu dasar dari strategi menjual ”ruang bagi waktu.”

Gagasan politik

Opini publik dan patriotisme yaitu juga faktor kuat yang memengaruhi keputusan Chiang bagi menlangsungkan perang skala penuh terhadap Jepang. Sepanjang 1930-an, pemerintah pusat telah kehilangan dukungan publik yang sangat signifikan karena mengikat perdamaian dengan pemberontak Tiongkok komunis sebelum menyelenggarakan perang skala penuh melawan Jepang. Namun, setelah bangung dari resolusi perdamain Insiden Xian, Chiang Kai-shek sampai popularitas yang belum pernah terjadi sebelumnya karena ia tampak sebagai satu-satunya pemimpin nasional yang mempunyai kapabilitas dalam memimpin perang melawan Jepang. Tidak mungkin baginya bagi mundur karena akan menjadi malapetaka bagi karier politiknya.

Awalnya, Chiang percaya bahwa Tiongkok membutuhkan setidaknya beberapa tahun keadaan damai di dalam negeri dan bersatu mendirikan tentara nasional dan industri-industri yang cukup sehingga sejajar dalam hal daya bagi melawan Jepang. Chiang khawatir bahwa perang yang prematur akan menggagalkan rencananya, sehingga semakin memilih pertempuran-pertempuran berskala kecil, ”insiden-insiden” yang bersifat lokal yang yaitu karakteristik konflik Tiongkok-Jepang selama 1930-an. Di lain pihak, jika Chiang memutuskan bagi memainkan perlawanan total, ia berisiko kehilangan divisi-divisi yang baru dire-organisasi yang belum terlalu siap menghadapi musuh secara frontal, dan juga penghancuran total basis-basis industri Tiongkok yang baru saja berdiri. Pada dasarnya, bagi Chiang, berperang dalam skala penuh akan menyokong citranya di kalangan rakyat Tiongkok, namun akan merusak daya ungkit politiknya, yang bersandar pada daya militer, melawan kekuatan-kekuatan regional lainnya. Namun, mundur dan membikin banyakan kelonggaran akan membikinnya tampak tidak patriotik dan kehilangan dukungan publik, namun dapat mempertahankan kekuasaan militernya. Pertempuran Shanghai dan keputusan perang total akan menjadi perjudian akbar bagi Chiang.

Chiang juga tidak dapat mencegah lepas sama sekalinya Provinsi Zhejiang dan Jiangsu ke tangan Jepang. Nanjing (ibukota Republik Tiongkok masa itu), dan Shanghai terletak di Provinsi Jiangsu. Dua provinsi tersebut yaitu juga daya ekonomi dataran rendah Delta Yangtze, dan banyak kemajuan industri dan pendirian dasar-dasar politik "Dekade Nanjing" dibangun di sini. Daerah tersebut yaitu juga satu-satunya lokasi di Tiongkok dimana pemerintah pusat di bawah Chiang Kai-shek tidak mempunyai penentang politik, karena Tiongkok Utara telah berada di bawah pengaruh Jepang, dan provinsi lainnya berada di bawah kendali panglima perang yang sedang tersisa atau faksi militeristik Kuomintang lainnya. Berlaku Ciang wajib mempertahankan Shanghai dengan segala metode karena kota ini yaitu inti administrasi politik dan ekonominya.

Shanghai yaitu kota kosmopolitan serba mempunyai, lokasi penanaman modal serta aset dari banyak daya internasional, seperti Amerika Serikat, Britania Raya, dan Perancis. Secara tradisional, Daya Barat tidak ingin mengutuk serangan Jepang ke Tiongkok karena keadaan Eropa dan cara politik anti-Uni Soviet Jepang. Namun invasi Shanghai akan mendorong Barat memasuki perang dengan berdiri di pihak Tiongkok. Jelas bahwa perang ini akan mengakibatkan penawaran dan penjualan dengan harga murah investasi barat ke pihak Tiongkok. Sementara itu, Jepang tidak dapat melangsungkan perang melawan Amerika Serikat, daya ekonomi paling akbar, dan Britania Raya, daya kolonial paling akbar. Namun, pelanggaran terhadap appeasement dan isolasionisme komunitas internasional dan pengalaman sejak 1930-an menunjukkan bahwa sikap yang dibuat kelainan Jepang tidak mendasarkan diri pada kekuatan-kekuatan internasional, selain daripada beberapa kecaman yang tidak efektif dari Liga Bangsa-Bangsa.

Sebelumnya pada 1935, penasihat Chiang dari Jerman, Jendral Alexander von Falkenhausen, mengatakan padanya bahwa Kontrak Sembilan-Daya tidak semakin daripada selembar kertas dan tidak perlu terlalu berkeinginan bahwa komunitas internasional akan ikut campur tangan. Chiang dinasihatkan bahwa Tiongkok wajib bersiap bagi berperang sendirian setidaknya bagi dua tahun, mengesampingkan perubahan-perubahan keadaan internasional apapun.

Pengalaman masa lalu dan persiapan

Jepang berhasil menguasai beberapa kota besar di Tiongkok yaitu

Korps pemelihara perdamaian Tiongkok di pusat kota Shanghai

Chiang dan para penasihatnya persangkaan percaya diri dalam meningkatkan pertaruhan perang, sebab tentara Tiongkok pernah berperang dan memaksa Jepang bagi tidak bangung maju dalam Insiden 28 Januari 1932. Karena persetujuan gencatan senjata 1932, yang ditandatangani setelah insiden, melarang Tiongkok menaruh pasukan di dalam kota Shanghai, Tiongkok melatih garnisun-garnisun polisinya berbagai macam taktik militer yang tidak lazim bagi tugas-tugas kepolisian. Rencana pertahanan Shanghai dilindungi oleh Zhang Zhizhong, seorang veteran insiden 1932. Karena Tiongkok tidak mempunyai cukup artileri dan lapis baja, Zhang Zhizhong percaya bahwa tentara Tiongkok wajib mengandalkan superioritas kuantitas mereka, mengambil inisiatif, dan memaksa Jepang bagi mundur menuju pantai sebelum mereka sempat memainkan penggabungan.

Pada 1933, tiga daerah militer, Nanjing, Nanjing-Hangzhou, dan Nanjing-Shanghai, diciptakan bagi mengkoordinir pertahanan di Delta Yangtze. Pada 1934, dengan bantuan Jerman, konstruksi yang disebut sebagai "Garis Hindenburg Tiongkok" dimulai, dengan serangkaian pekerjaan fisik bagi memfasilitasi kedalaman pertahanan. Dua garis semacam itu, Garis Wufu (吳福線) selang Suzhou dan Fushan, dan Garis Xicheng (錫澄線) selang Wuxi dan Jiangyin, berada dalam jabatan bagi melindungi perlintasan menuju Nanjing, jika Shanghai jatuh ke tangan musuh. Pada musim semi 1937, beberapa bulan sebelum mulainya Perang Tiongkok-Jepang, garis-garis tersebut beres. Namun pelatihan personel yang dibutuhkan bagi mempertahankan jabatan dan meng-koordinasi pertahanan belumlah beres masa perang pecah.

Jabatan Jepang

Sejak perang pecah pada 7 Juli, Jepang memfokuskan diri pada operasi-operasi militer, utamanya di Tiongkok Utara, mencakup propinsi Hebei, Shanxi, dan Chahar. Invasi Jepang semakin jauh meningkatkan frekuensi protes anti-Jepang dan boykot terhadap produk-produknya yang berakibat serius terhadap perdagangan Jepang di Tiongkok. Efek tersebut sangat kuat terasa di Shanghai karena banyak kebutuhan komersial Jepang berada di kota tersebut.

Tingkatan Laut Kekaisaran Jepang telah mendesak bagi meningkatkan kehadiran pasukan dalam melindungi pabrik-pabrik dan masyarakat negara Jepang dari kemungkinan konfrontasi dengan Tiongkok, tetapi tingkatan darat secara konsisten menolak bagi memainkan pekerjaan sama sampai awal Agustus. Salah satu gagasannya yaitu bahwa tingkatan darat tidak berkeinginan aci di Tiongkok Timur dan Tengah, karena kekhawatiran bahwa sikap yang dibuat semacam itu akan membikin kekosongan di Tiongkok Utara dan Manchukuo, yang bersamaan batasnya langsung dengan Uni Sovyet. Jepang memandang Uni Sovyet sebagai ancaman militer utama di daratan Tiongkok dan tidak ingin mengalihkan perhatian dari Tiongkok Utara. Komando Tingkatan Darat Jepang juga tidak berkeinginan menghadirkan pasukan ke Tiongkok Tengah, karena hal itu dapat mengarahkan Jepang ke dalam konfrontasi dengan daya asing lain yang aci di wilayah tersebut. Komando Tingkatan Darat Jepang juga mempunyai opini yang sangat rendah tentang kemampuan berperang Tiongkok, dan percaya bahwa karena Tiongkok hampir selalu terperosok ke dalam perang saudara, Chiang Kai-shek akan memfokuskan diri pada persatuan nasional terlebih dahulu dan tidak akan mengambil risiko pasukannya berperang dengan tentara Jepang yang jauh semakin superior.

Oleh sebab itu, Jepang berkeinginan mengalahkan Tiongkok dan mengakhiri perang secepat mungkin, bagi menghindari gangguan terhadap rencananya melawan Uni Sovyet. Namun begitu, Komando Tingkatan Laut Jepang mendesak kehadiran pasukan di Tiongkok Tengah bagi menghancurkan pasukan Tiongkok yang mungkin dikirim ke Tiongkok Utara, lokasi perang dilokalisasi. Mengikuti Insiden Oyama 9 Agustus, konflik di Shanghai tampak tidak terhindarkan. Pada 10 Agustus, panglima tertinggi tingkatan laut, Mitsumasa Yonai, menyuarakan kehendaknya di dalam pertemuan kabinet dan berhadapan dengan oposisi dari jenderal-jenderal tingkatan darat, Ishiwara Kanji and Umezu Yoshijiro. Dua jendral tersebut menegaskan bahwa front Shanghai wajib menjadi tanggung jawab mutlak Tingkatan Laut Kekaisaran. Setelah beberapa negosiasi, Komando Tingkatan Darat menyetujui kehendak tingkatan laut dan mulai menghadirkan pasukan ke wilayah Shanghai pada 10 Agustus.

Militer Jepang yakin dapat mengatasi daya Tiongkok di Tiongkok Tengah dalam tiga hari dan mengakhiri keseluruhan perang dalam tiga bulan. Jepang mempunyai garnisun-garnisun di dalam kota sementara Tiongkok hanya diijinkan mempunyai sejumlah kecil garnisun polisi militer, yang dikenal sebagai Korps Penjaga Perdamaian (保安隊), dan sejumlah kubu pertahanan, sebagai kesudahan suatu peristiwa dari Persetujuan Gencatan Senjata Shanghai. Jepang mempunyai banyak pabrik dan gudang di dalam kota, dan banyakan darinya digunakan bagi keperluan militer. Markas akbar marinir Jepang berada di tidak jauh pabrik tekstil, dan mempunyai semakin dari delapan puluh lokasi menyilakan duduk meriam dan bungker dari berbagai macam macam di semua kota. Armada Ketiga Jepang juga mempunyai kapal-kapal yang berpatroli di sepanjang sungai-sungai yang melewati Shanghai, dan daerah-daerah di kota berada dalam jangkauan tembakan kapal-kapal tersebut. Secara keseluruhan, tentara Jepang sangat siap dalam menghadapi keunggulan banyak tentara Tiongkok, yang minim perlengkapan dan pelatihan.

Awal pertempuran

Insiden Oyama

Pada 9 Agustus, Letnan Satu Isao Oyama (大山勇夫) dari kesatuan marinir Jepang, berupaya masuk secara ilegal ke Bandara Hongqiao (虹橋機場), tetapi ditembak mati oleh Korps Penjaga Perdamaian Tiongkok yang berkedudukan di tidak jauh lapangan terbang militer. Sampai kini tidak diketahui apakah Oyama berinisiatif sendiri atau atas perintah dari atas. Namun, Insiden Oyama meningkatkan tensi di Shanghai. Pada 10 Agustus, konsul jenderal Jepang menanti maaf atas tingkah laku yang dibuat Oyama, karena jelas sebuah sikap yang dibuat intrusi ke teritori Tiongkok. Namun, ia tetap berkeras menuntut Tiongkok menarik mundur Korps Penjaga Perdamaian dan membongkar pertahanan mereka yang mempunyai di sekitar kota. Ia juga menegaskan bahwa penembakan perwira Jepang yaitu penghinaan terhadap Tingkatan Darat Jepang, dan keadaan akan meledak hanya dengan provokasi kecil. Insiden penembakan tersebut juga menyebabkan Jepang mengirimkan bala bantuan ke daerah Shanghai pada 10 Agustus. Bagi Tiongkok, Insiden Oyama hanyalah sebuah dalih lain bagi sikap yang dibuat serangan Jepang, tidak jauh lain dari banyak “insiden” pada 1930-an. Dalam merespon pergerakan pasukan Jepang, Chiang Kai-shek mulai menaruh pasukan-pasukan Tiongkok ke dalam daerah Shanghai pada 11 Agustus.

Usaha-usaha terakhir negosiasi

Pada 12 Agustus, perwakilan kekuatan-kekuatan akbar bersidang dan Jepang menginginkan kekuatan-kekuatan tersebut memaksa penarikan mundur pasukan Tiongkok dari Shanghai, tetapi mayor Yu Hung-chun memprotes bahwa Jepang telah melanggar persetujuan dengan invasi Tiongkok pada 7 Juli. Kekuatan-kekuatan akbar tidak berkeinginan berulangnya Insiden 28 Januari, yang sangat mengganggu keaktifan ekonomi asing di Shanghai. Di lain pihak, rakyat Tiongkok dengan segera menyambut hangat kehadiran pasukan Tiongkok di dalam kota. Di Nanjing, utusan Tiongkok dan Jepang bersua bagi terakhir kalinya sebagai usaha terakhir negosiasi. Jepang menginginkan Tiongkok menarik mundur semua Korps Penjaga Perdamaian dari Shanghai dan semua pasukan reguler dari sekitarannya. Tiongkok berkeras bahwa kehendak Jepang terhadap penarikan mundur secara sepihak yaitu tidak dapat diterima karena kedua negara telah berperang di Tiongkok Utara. Yang belakang sekalinya mayor Yu memperjelas bahwa pasukan Tiongkok tidak akan memulai serangan kecuali diserang terlebih dahulu. Jepang, di lain pihak, melimpahkan semua tanggung jawab kepada Tiongkok karena penempatan pasukan di sekitar Shanghai. Negosiasi telah tidak mungkin dan tidak mempunyai alternatif lain selain perluasan perang ke Tiongkok Tengah.

Fase pertama (13 – 22 Agustus)

Pertempuran kota

Jepang berhasil menguasai beberapa kota besar di Tiongkok yaitu

Distrik Zhabei yang terbakar

Jepang berhasil menguasai beberapa kota besar di Tiongkok yaitu

Sebelum Hotel Cathay Shanghai setelah pemboman oleh Tentara Revolusioner Nasional (Republik China)[4][5]

Sekitar pukul 9 pagi pada 13 Agustus, terjadi baku tembak kecil selang Korps Penjaga Perdamaian Tiongkok dan pasukan Jepang di distrik Shanghai: Zhabei, Wusong, dan Jiangwan. Sekitar pukul 3 sore tentara Jepang menyeberangi Jembatan Bazi (八字橋) di Distrik Zhabei dan menyerang berbagai sasaran dalam kota. Divisi ke-88 Tiongkok membalas dengan serangan mortir. Tembakan-tembakan sporadik berlanjut sampai pukul 4, ketika markas akbar Jepang memerintahkan kapal-kapal tingkatan laut Armada ke-3, yang diletakkan di Sungai Yangtze dan Huangpu bagi membuka tembakan terhadap jabatan Tiongkok di dalam kota. Pada larut malam hari itu Chiang Kai-shek memerintahkan Zhang Zhizhong bagi memulai ofensif Tiongkok pada keesokan harinya. Pada pagi 14 Agustus, tingkatan udara Tiongkok mulai membom berbagai sasaran Jepang dan daya daratnya memulai ofensif pada pukul 3 sore. Pada hari yang sama pemerintah Tiongkok mengumumkan Proklamasi Pertahanan Diri dan Perang Perlawanan (自衛抗戰聲明書), menjelaskan penyelesaian pemerintah terhadap serangan Jepang. Pertempuran Shanghai secara resmi dimulai.

Rencana awal Zhang Zhizhong yaitu mengejutkan Jepang dengan serangan berketetapan akbar dan menekan mereka sampai Sungai Huangpu, belakang memblokade pantai bagi mencegah kesempatan Jepang memainkan pendaratan bala bantuan di dermaga-dermaga Sungai Huangpu selang Yangshupu (楊樹浦) dan Hongkou (虹口). Divisi ke-88 Tiongkok menyerang markas akbar Jepang tidak jauh Zhabei, sementara Divisi ke-87 menyerang Pabrik Tekstil Kung-ta, dimana komando tingkatan laut Jepang berlokasi. Zhang memperkirakan ofensif ini akan beres dalam waktu 1 hari pertama. Namun operasi ini menjadi tidak teratur masa pasukan berperang tanpa gerak maju di luar Pemukiman Internasional Shanghai. Jepang belakang memperkuat kubunya dengan beton tebal dan mulai melawan howitzer 150mm, satu-satunya senjata berat milik Tiongkok. Pasukan Tiongkok hanya dapat maju di bawah perlindungan senapan mesin, mendekati letak meriam-meriam Jepang dan membunuh pasukan yang mempunyai di dalamnya hanya dengan granat tangan. Gerak maju Tiongkok sangat terkurangi dengan keterbatasan ini dan elemen kejutan lenyap dengan cepat.

Pada 16 Agustus, Zhang Zhizhong memerintahkan pasukannya bagi menduduki jalan-jalan di sekitar kubu-kubu Jepang daripada menyerang mereka secara frontal. Setiap kali sebuah perlintasan berhasil diduduki, pasukan Tiongkok segera mendirikan blokade kantung pasir dan mengatur tembakan supaya pasukan Jepang tidak dapat lolos. Taktik tersebut berhasil dan banyak kubu meriam serta pos terdepan Jepang dihancurkan hanya dalam waktu satu hari. Namun belakang Jepang menyebarkan tank-tanknya dan dapat memukul mundur pasukan Tiongkok yang mempunyai di jalan-jalan akbar. Seperti sebelumnya, pasukan Tiongkok kekurangan senjata berat bagi menghancurkan bunker-bunker pertahanan Jepang, sehingga pada 18 Agustus, serangan tersebut dibatalkan.

Pada 18 Agustus, Chen Cheng sampai garis hadapan bagi mendiskusikan keadaan dengan Zhang Zhizhong. Mereka memutuskan mengirim Divisi ke-36 yang baru saja tiba ke dalam pertempuran, dengan menyerang dermaga-dermaga Hueishan (匯山) di bidang utara Sungai Huangpu. Sementara itu, Divisi ke-87 memutus garis Jepang di Yangshupu, dan menekan ke dermaga-dermaga Hueishan bersama-sama dengan Divisi ke-36. Pada 22 Agustus, tank-tank Divisi ke-36 sampai dermaga, tetapi tidak dapat mempertahankan jabatan semakin lama. Pasukan Tiongkok tidak cukup terlatih dalam koordinasi taktik infantri-tank, dan tidak dapat mengikuti kecepatan tank. Tank-tank tersebut menjadi sasaran empuk artileri serta senjata anti-tank Jepang, dan menjadi tidak bermanfaat ketika memasuki pusat kota. Sedikit pasukan yang menyertai tank-tank tersebut menjadi terhalang dan belakang terjebak oleh blokade jalanan Jepang. Selanjutnya pasukan ini dihabisi dengan pelontar api dan tembakan intens senapan mesin Jepang. Masa pasukan Tiongkok hampir berhasil menekan pasukan Jepang ke arah Sungai Huangpu, laju korban tewas sangat tinggi. Pada 22 Agustus malam saja, Divisi ke-36 kehilangan semakin dari 90 perwira dan seribu personel.

Pada 22 Agustus, divisi Jepang ke-3, ke-8, dan ke-11 memainkan serangan amfibi di bawah perlindungan bombardment laut dan memainkan pendaratan di Chuanshakou (川沙口), Shizilin (獅子林), dan Baoshan (寶山), kota-kota pesisir timur laut sekitar 50 kilometer dari pusat kota Shanghai. Jepang mendarat di wilayah sub-urban timur laut Shanghai yang bermanfaat bahwa banyak pasukan Tiongkok di dalam kota, wajib diposisikan ulang ke daerah-daerah pesisir bagi menghadapi pendaratan. Dengan demikian garis hadapan menjadi diperpanjang dari metropolitan Shanghai sepanjang Sungai Huangpu sampai ke distrik-distrik pesisir di timur laut. Ofensif Tiongkok di pusat kota wajib tertahan, dan menjadi pertempuran statik dengan kedua belah pihak menderita banyak kerugian sementara jabatan garis hadapan tidak banyak berubah. Divisi-divisi Tiongkok dapat bertahan di Zhabei, Jiangwan, dan posisi-posisi pusat kota lainnya selama tiga bulan, sampai keadaan di lokasi lain membikinnya secara strategis tidak memungkinkan mempertahankan tempat-tempat ini semakin lanjut.

Operasi-operasi udara

Jepang berhasil menguasai beberapa kota besar di Tiongkok yaitu

Stasiun Shanghai Selatan setelah pemboman Jepang[6]: Bayi yang ketakutan ditemukan di bawah tumpukan reruntuhan dan diletakkan di atas peron oleh seorang pekerja penyelamat.[7]

Pada 14 Agustus, skuadron udara Tingkatan Udara Kekaisaran Jepang, Shikaya dan Kisarazu, yang berbasis di Taiwan, melancarkan serangan udara terhadap sasaran Tiongkok di Shanghai. Pemboman tersebut menyebabkan puluhan ribu masyarakat sipil tewas karena bom-bom jatuh di pusat-pusat populasi dan pusat-pusat transportasi akbar. Tingkatan Udara Republik Tiongkok yang sedang muda mencoba membalas. Grup Terbang ke-4, yang berpangkalan di Henan di bawah komando Kapten Gao Zhihang (高志航), menembak jatuh enam pesawat Jepang tanpa menderita kehilangan satu pun. Pada 1940 pemerintah mengumumkan tanggal 14 Agustus sebagai Hari Tingkatan Udara bagi meningkatkan moral penduduk Tiongkok. Daya udara Tiongkok juga membom berbagai sasaran di dalam kota dan kapal tingkatan laut Jepang. Dari 15 sampai 18 Agustus, daya udara Tiongkok berperang dengan tingkatan udara Jepang yang secara kuantitas semakin superior dalam sebuah pertempuran udara yang sengit, mengakibatkan dua skuadron udara Jepang dihancurkan. Namun, Tiongkok berperang di udara dengan mengerahkan semua pesawat tempurnya, dengan sebagian di selangnya yaitu pesawat tempur bekas yang dibeli dari negara-negara lain. Tiongkok tidak dapat memproduksi pesawat tempurnya sendiri dan kesukaran dalam hal suku cadang.[8] Di lain pihak, Jepang mempunyai industri penerbangan kuat yang dapat merancang, memproduksi, dan mengembangkan teknologi pesawat terbangnya sendiri dan secara efisien mengirimkannya ke medan perang. Setiap kehilangan pesawat terbang di pihak Jepang dapat dengan gampang ditukarkan, sementara Tiongkok tidak. Oleh sebab itu sangat tidak mungkin bagi Tiongkok bagi memenangkan pertempuran udara. Dalam kampanye Shanghai, Tiongkok menembak jatuh 85 pesawat terbang Jepang dan menenggelamkan 51 kapal. Tiongkok kehilangan 91 pesawat, banyak yang lebih kurang hampir setengah dari keseluruhan daya tingkatan udara Tiongkok.

Perkembangan lainnya

Jepang berhasil menguasai beberapa kota besar di Tiongkok yaitu

Pasukan Jepang di selang reruntuhan Shanghai

Pada 15 Agustus, Jepang membentuk Tentara Ekspedisi Shanghai, terdiri dari Divisi ke-3 dan ke-11 di bawah komando Jenderal Iwane Matsui. Pada 19 Agustus, Perdana Menteri Jepang Fumimaro Konoe mengumumkan bahwa konflik Tiongkok-Jepang hanya dapat dihabiskan dengan metode perang, mengabaikan usaha-usaha negosiasi dari negara-negara pihak ketiga. Konoe mengatakan bahwa rencana awal bagi melokalisasi ”penahanan pasukan musuh” di sekitar Shanghai telah bertambah luas menjadi perang total, dengan tujuan utama memaksa pemerintah Tiongkok bagi bekerjasama secara ekonomi dan politik. Pada 23 Agustus, Jepang memulai kampanye pemboman atas Nanjing, dan berbagai kota di Tiongkok Tengah. Tentara Ekspedisi Shanghai juga tiba pada hari itu.

Di awal perang, Zhang Zhizhong, sebagai komandan Tentara ke-5 dan daerah perang Nanjing-Shanghai, bertanggungjawab dalam memainkan operasi-operasi Tiongkok. Kegagalan dalam ofensif awal Tiongkok membikin cemas Chiang Kai-shek dan stafnya. Chiang mengkritik kegagalan Zhang dalam persiapan, khususnya usaha memperoleh senjata yang berdaya menembus bunker-bunker Jepang, sebelum mengirimkan gelombang-gelombang pasukan, yang mengakibatkan pada jatuhnya banyak korban di pihak divisi-divisi Tiongkok sejak awal pertempuran. Zhang juga dikritik karena terlalu percaya diri dan kegemarannya menyelenggarakan konferensi pers, adil bagi wartawan-wartawan dalam maupun luar negeri. Chiang Kai-shek dan stafnya, termasuk yang paling menonjol yaitu Chen Cheng dan Gu Zhutong, mulai mengambil alih komando dari Zhang Zhizhong. Chiang Kai-shek sendiri yang belakang sekalinya menjadi komandan daerah perang ke-3 yang mengawasi Shanghai. Kegagalan ofensif Tiongkok menunjukkan bahwa meskipun banyak tentara Tiongkok pada awalnya melampaui garnisun Jepang, tetapi tidak mampu meraih obyektifnya karena kurangnya senjata berat dan artileri. Selain itu armada Jepang bertebaran di mana-mana di perairan Shanghai dan meriam-meriam laut mereka membombardir posisi-posisi Tiongkok di dalam kota dengan keakuratan yang sangat tinggi. Dengan kondisi-kondisi seperti itu, serangan Jepang hampir pasti berhasil.

Fase Kedua (23 Agustus – 26 Oktober)

Periode paling berdarah dan paling sengit terjadi dari 23 Agustus, ketika Jepang mendaratkan gelombang-gelombang pasukannya, sampai 26 Oktober, ketika Tiongkok mundur dari metropolitan Shanghai. Selama periode ini, mayoritas pertempuran berjalan di sepanjang 40 kilometer dari metropolitan Shanghai sampai kota Liuhe (瀏河), yang berlokasi di timur laut kota di pesisir lokasi Jepang memainkan pendaratannya.

Pertahanan menghadapi pendaratan (23 Agustus – 10 September)

Jepang berhasil menguasai beberapa kota besar di Tiongkok yaitu

Pendaratan amfibi Jepang

Pada 23 Agustus, Tentara Ekspedisi Shanghai Jepang, pimpinan Iwane Matsui, mendarat di Liuhe, Wusong (吳淞), dan Chuanshakou. Chiang Kai-shek berkeinginan, kota-kota pesisir ini dapat dengan gampang didarati Jepang dan memerintahkan Chen Cheng memperkuat daerah tersebut dengan menaruh Tentara ke-18. Namun, Tiongkok tidak dapat menandingi daya tembak senjata-senjata Jepang. Jepang hampir selalu memulai serangan amfibinya dengan bombardir hebat pertahanan pesisir milik Tiongkok, adil dari laut maupun udara. Tidak diketahui apakah Tiongkok kehilangan semua garnisun selama bombardir semacam itu, sebab, pasukan Tiongkok akan segera mengatur diri bagi menghadapi pasukan Jepang yang baru saja memainkan pendaratan setelah pembombardiran.

Sampai dua hari pertama selanjutnya, pasukan Tiongkok dan Jepang berada dalam pertempuran sengit di sejumlah kota dan desa sepanjang pesisir. Pasukan Tiongkok menangkis serangan amfibi hanya dengan senjata kaliber kecil, dan tidak cukup didukung oleh tingkatan udara serta hampir tanpa keberadaan tingkatan laut. Tiongkok wajib membayar sangat mahal bagi pertahanan mereka. Sebuah resimen Tiongkok dapat tersapu sampai hanya menyisakan beberapa tentara saja. Pertahanan Tiongkok dikerjakan dengan sangat tergesa-gesa dan tidak menyediakan banyak perlindungan, sementara banyak parit-parit pertahanan dikerjakan hanya pada masa pertempuran sedang mereda saja. Semakin lagi, daerah pesisir yang berpasir membikin sulit mendirikan benteng pertahanan yang kokoh. Banyak parit yang longsor masa hujan. Tiongkok wajib berlomba dengan waktu dalam mendirikan dan memperbaiki pertahanan-pertahanan mereka selain menghadapi bombardir Jepang. Kesukaran logistik juga bermanfaat sulit bagi mengangkut material pertahanan ke garis hadapan. Pasukan Tiongkok seringkali mengambil material bagi pertahanan dari puing-puing reruntuhan propertti. Namun, Tiongkok tetap terus berupaya berperang walaupun dengan rintangan-rintangan ini dan berupaya bertahan selama mungkin di desa dan kota sepanjang pesisir. Kebanyakan Jepang dapat menduduki desa dan kota ini pada siang hari di bawah dukungan tembakan-tembakan berat tingkatan laut, dan kehilangan kendali hanya pada malam hari masa Tiongkok memainkan serangan balasan.

Serangan dan serangan balik berjalan sampai yang belakang sekali Agustus, masa kejatuhan Baoshan, sebuah kota pesisir penting, menjadi sangat jelas. Chiang Kai-shek memerintahkan pasukan dari Divisi ke-98 yang sedang tersisa bagi mempertahankan kota. Sebuah batalyon di bawah pimpinan Yao Ziqing (姚子青), memanggul tugas ini. Yao memerintahkan pasukannya bagi bertahan sampai titik darah yang belakang sekali. Serangan artileri Jepang membikin sebagian kota menjadi puing-puing, dan Yao terbunuh dalam pertempuran dari propertti ke propertti. Pada 6 September Baoshan jatuh. Semua batalyon kecuali satu prajurit, terbunuh dalam tingkah laku yang dibuat ini. Selanjutnya, pasukan Tiongkok akan terus menderita korban jiwa semacam ini di keseluruhan Kampanye Shanghai.

Pertempuran di sekitar Luodian (11 – 30 September)

Pada 11 September, dengan jatuhnya Baoshan, tentara Tiongkok mengambil jabatan bertahan di sekitar Luodian (羅店). Luodian hanyalah sebuah kota kecil, namun yaitu titik simpul transportasi yang menghubungkan Baoshan, pusat kota Shanghai, Jiading, Songjiang dan beberapa kota lainnya dengan jalan-jalan raya. Kesuksesan mempertahankan Luodian secara strategi sangat penting dalam pengamanan Suzhou dan Shanghai. Pada 29 Agustus, penasihat Chiang Kai-shek dari Jerman, Alexander von Falkenhausen, mengatakan padanya bahwa Kota Luodian wajib dipertahankan berapa pun harganya. Bagi pertempuran Luodian, Tiongkok memusatkan sekitar tiga ratus ribu prajurit, sementara Jepang semakin dari seratus ribu dengan dukungan kapal laut, tank, dan pesawat udara.

Jepang berhasil menguasai beberapa kota besar di Tiongkok yaitu

Pasukan Tiongkok memainkan serangan di Luodian

Pembantaian besar-besaran yang terjadi membikin pertempuran Luodian mendapat julukan "rumah penggilingan daging dan darah" (血肉磨坊). Ofensif Jepang kebanyakan dimulai masa fajar dengan pemboman udara yang terpusat, diikuti dengan pelepasan balon pengamat bagi menunjukkan dengan tepat lokasi pasukan-pasukan Tiongkok yang tersisa bagi dapat disapu oleh artileri dan gempuran dari laut. Infantri Jepang belakang dapat maju di bawah perlindungan tabir asap dan lapis baja. Pesawat-pesawat Jepang belakang juga akan menemani infantri dan memberondong pasukan-pasukan pengganti Tiongkok.

Pertahanan Tiongkok sulit bagi dipatahkan bahkan dengan daya gempur hebat semacam itu. Pada malam hari, prajurit-prajurit Tiongkok meranjaui jalan-jalan yang menghubungkan kota-kota pesisir menuju Luodian dan memaksa pertempuran malam bagi memotong gerak maju pasukan-pasukan Jepang. Masa fajar, Tiongkok akan mepertahankan garis-garis pertahanan penting dengan pasukan yang semakin sedikit bagi mengurangi korban jiwa yang dikarenakan dari bombardir Jepang yang intens. Tiongkok belakang akan muncul dari jabatan belakangan bagi menghadapi musuh masa ofensif darat Jepang dimulai setelah gempuran-gempuran laut dan artileri bubar.

Meskipun mempunyai keunggulan banyak pasukan, mempertahankan Luodian yaitu ketidakmungkinan bagi Tiongkok. Jepang mempunyai sejumlah keuntungan, termasuk keunggulan daya tembak, dan fakta bahwa Tiongkok berada dalam jabatan pasif dalam menghadapi serangan gencar, karena tidak dapat menyusun ofensif efektif sampai Jepang praktis menduduki Luodian. Karena hal ini, Tiongkok memutuskan bagi mempertahankan setiap inchi persegi dari wilayah kota sampai titik darah yang belakang sekali. Taktik ini membikin semakin cepat laju tewasnya prajurit-prajurit berpangkat tinggi. Laju korban tewas dari pihak grup tentara Jenderal Chen Cheng sampai semakin dari 50 persen. Di yang belakang sekali September, Tiongkok telah hampir kehabisan darah dan terpaksa menyerahkan Luodian.

Pertempuran Dachang (1 – 26 Oktober)

Jepang berhasil menguasai beberapa kota besar di Tiongkok yaitu

Prajurit-prajurit Tiongkok di tidak jauh sebuah propertti yang hancur dibom

Pada 1 Oktober, atas petuah komandan-komandannya, Perdana Menteri Jepang Fumimaro Konoe memutuskan menyatukan dan meluaskan pertempuran di Teater Tiongkok Utara dan Tengah, melancarkan sebuah ofensif Oktober bagi menaklukkan pemerintahan Tiongkok bagi mengakhiri perang. Pada masa ini, Jepang menaikkan banyak pasukannya di wilayah Shanghai sampai semakin dari dua ratus ribu. Pasukan Jepang juga menginvasi kota Liuhang (劉行), di selatan Luodian. Jadi, garis hadapan telah bergeser semakin jauh ke selatan sampai tepian Sungai Yunzaobin (蘊藻濱). Tujuan Jepang yaitu menyeberangi Sungai Yunzaobin dan mengambil alih Dachang (大場), yang yaitu penghubung komunikasi pasukan Tiongkok selang pusat kota Shanghai dan di kota-kota timur lautnya.

Jika Dachang jatuh, pasukan Tiongkok wajib menyerahkan jabatan mereka di pusat kota Shanghai dan wilayah timur Sungai Huangpu bagi menghindari pengurungan oleh tentara Jepang. Pertahanan Dachang yaitu vital bagi mengetahui seberapa lama tentara Tiongkok dapat bertahan dan meneruskan pertempuran di daerah perang Shanghai. Bagi ini, Chiang Kai-shek memobilisasi pasukan yang sedang tersisa dan dapat diselamatkannya bagi mempertahankan Dachang.

Pertempuran selang kedua pihak berjalan maju mundur, dengan sedikit perubahan di sepanjang Sungai Yunzaobin. Dari 11 September sampai 20 Oktober, kemajuan tentara Jepang hanya lima kilometer. Pada momen-momen paling intens, posisi-posisi dapat beralih tangan sampai lima kali dalam satu hari. Pada 17 Oktober, Tentara Guangxi di bawah pimpinan Li Zongren dan Bai Chongxi yang belakang sekalinya tiba bagi bergabung dengan Tentara Sentral pimpinan Chiang Kai-shek dalam pertempuran Shanghai. Tiongkok belakang melancarkan serangan balasan dalam upaya menyatukan secara penuh posisi-posisi mereka di sekitar Dachang dan menduduki kembali tepian Sungai Yunzaobin. Namun serangan balasan tersebut lemah dalam koordinasi dan lagi-lagi Tiongkok kalah terhadap superioritas daya pukul senjata Jepang. Jepang memakai sekitar 700 pucuk artileri dan 150 pesawat pembom bagi operasi Dachang dan kota tersebut hancur lebur sampai menjadi puing-puing. Pertempuran tersebut begitu sengitnya sampai laju rata-rata korban jiwa di pihak Tiongkok sampai ribuan per jamnya, dan beberapa divisi kehilangan kapasitas hanya dalam beberapa hari. Pertempuran sengit ini berjalan sampai 25 Oktober, masa Dachang yang belakang sekalinya jatuh. Setelah itu, pasukan Tiongkok tidak mempunyai pilihan lain selain mundur dari pusat kota Shanghai, yang telah mereka pertahankan hampir selama tiga bulan.

Fase ketiga (27 Oktober – 26 November)

Penarikan mundur Tiongkok dari metropolitan Shanghai

Jepang berhasil menguasai beberapa kota besar di Tiongkok yaitu

Pasukan Jepang sampai Stasiun Utara yang hancur di pusat kota Shanghai

Pada 26 Oktober malam, Tiongkok mulai menarik mundur pasukannya dari pusat urban Shanghai. Karena Dachang dan kota-kota suburban vital lainnya telah jatuh, Chiang Kai-shek memerintahkan pasukan Tiongkok bagi mundur dari Zhabei, Jiangwan (江灣), dan posisi-posisi lainnya yang telah dipertahankan teguh selama 77 hari. Namun Chiang memerintahkan satu batalyon dari Divisi ke-88 tetap berada di Zhabei bagi mempertahankan Gudang Sihang di tepi utara Sungai Suzhou. Chiang tidak dapat sepenuhnya mengosonglam pusat kota Shanghai karena konferensi Kontrak Sembilan-Daya sedang berjalan di Brussels bagi sebuah kemungkinan intervensi Barat dalam konflik Tiongkok-Jepang. Sisa pasukan Tiongkok menyeberangi Sungai Suzhou dan berkumpul kembali bagi bentrokan terakhir dengan tentara Jepang.

Pertempuran di sekitar Sungai Suzhou

Jepang berhasil menguasai beberapa kota besar di Tiongkok yaitu

Pasukan Jepang merayap di selang reruntuhan

Rencana awal Chiang yaitu berperang di medan selatan Sungai Suzhou dan menimbulkan sebanyak mungkin korban di pihak Jepang. Namun setelah tiga bulan pertempuran intens, daya pasukan Tiongkok telah sangat terkurangi. Daya banyakan satuan tinggal setengah daya awal, sehingga sebuah divisi hanya mempunyai kapasitas tempur kurang dari dua resimen. Pada masa ini, tentara Tiongkok membutuhkan selang 8 sampai 12 divisi bagi mengimbangi daya tempur satu divisi Jepang, sehingga komandan-komandan Tiongkok pesimis terhadap hasil pertempuran Sungai Suzhou. Li Zongren, Bai Chongxi, Chang Fa-kuei dan komandan-komandan lainnya berkeras supaya pasukan Tiongkok memasuki garis pertahanan Wufu dan Xicheng bagi melindungi Nanjing, tetapi Chiang menginginkan pasukan Tiongkok bagi meneruskan pertempuran di tepi selatan Sungai Suzhou. Pada 28 Oktober, Chiang tiba di medan tempur bagi menaikkan moral pasukannya, namun demikian keadaan memang telah suram. Pada 30 Oktober, Jepang melalui Sungai Suzhou dan pasukan Tiongkok dalam bahaya pengurungan. Tentara Tiongkok telah berada dalam batas daya tahan.

Pendaratan Jepang di Jinshanwei

Jepang berhasil menguasai beberapa kota besar di Tiongkok yaitu

Satuan garis belakangan pasukan Jepang mendaratkan suplai di Jinshanwei

Sejak 12 Oktober, kepala-kapala staf militer Jepang telah mendefinisikan rencana bagi memainkan pendaratan di Jinshanwei (金山衛), sebuah kota yang terletak di tepi utara Teluk Hangzhou, di sebelah selatan daerah Shanghai. Pendaratan Jinshanwei akan memfasilitasi tekanan ke arah utara terhadap Kota Shanghai, bagi melengkapi pendaratan di kota-kota timur laut Shanghai, seperti yang terjadi di sekitar Baoshan selang yang belakang sekali Agustus dan pertengahan September, yang telah memberikan tekanan ke arah selatan. Chiang Kai-shek telah menyadari rencana Jepang bagi mengurung tentaranya di dalam Shanghai dari utara dan selatan, dan telah memerintahkan komandan-komandannya bagi mengambil langkah-langkah pencegahan terhadap kemungkinan pendaratan Jepang di Jinshanwei. Namun kejatuhan Dachang yang menjelang di yang belakang sekali Oktober memaksa Chiang memindahkan divisi-divisi Tiongkok yang mempunyai di sepanjang pesisir utara Teluk Hangzhou. Sebagai hasil, kurangnya pertahanan Tiongkok membikin Korps Tentara ke-10 Jepang, terdiri dari satuan-satuan yang dialihkan dari Pertempuran Taiyuan di Teater Tiongkok Utara, mendarat dengan gampang di Jinshanwei pada 5 November. Jinshanwei hanya tidak berdekatan 40 km dari tepian Sungai Suzhou, lokasi pasukan Tiongkok baru saja mundur dari kejatuhan Dachang.

Perjalanan ke Nanjing

Jepang berhasil menguasai beberapa kota besar di Tiongkok yaitu

Tentara Tiongkok merawat korban-korban serangan gas Jepang

Keputusan Jepang menduduki Nanjing

Di bulan Oktober, SEF (Shanghai Expedition Force) diperkuat oleh Tentara ke-10 Jepang pimpinan Letnan Jendral Heisuke Yanagawa. Pada 7 November, Tentara Daerah Tiongkok Tengah Jepang (Japanese Central China Medan Army = CCAA) dibuat dengan menggabungkan SEF dan Tentara ke-10, dengan Matsui ditunjuk sebagai panglima tertinggi merangkap panglima SEF. Setelah memenangi pertempuran di sekitar Shanghai, SEF menyarankan kepada Markas Umum Kekaisaran di Tokyo bagi menyerang Nanjing. CCAA belakang diatur ulang dan Letnan Jendral Pangeran Asaka (Yasuhiko), paman dari Kaisar Hirohito, ditunjuk sebagai komandan SEF, sementara Matsui tetap sebagai komandan CCAA mengawasi SEF dan Tentara ke-10. Namun, dalam kenyataan, otoritas Matsui sulit bagi ditegakkan karena ia berhadapan dengan anggota keluarga kekaisaran yang ditunjuk langsung oleh Kaisar. Dalam antisipasi penyerbuan Nanjing, Matsui mengeluarkan perintah kepada tentaranya yang berbunyi:

Nanjing yaitu ibukota Tiongkok dan penaklukkannya yaitu sebuah afair internasional; oleh karena itu, pemeriksaan seksama wajib dimainkan sehingga menunjukkan kehormatan dan kemuliaan Jepang dan memperbesar keyakinan rakyat Tiongkok, dan bahwa pertempuran di sekitar Shanghai bertujuan bagi menaklukkan tentara Tiongkok, oleh karenanya lindungi dan perlakukan dengan adil pejabat-pejabat serta rakyat Tiongkok, sedapat mungkin; Pasukan wajib menanamkan dalam ingatan bagi tidak melibatkan masyarakat negara-warga negara dan tentara-tentara asing ke dalam masalah dan memelihara hubungan tidak jauh dengan otoritas-otoritas asing dalam upaya menghindari kesalahpahaman.

Pada 2 Desember, Kaisar Showa menominasikan salah satu pamannya, Pangeran Asaka, sebagai komandan invasi. Sulit bagi ditegakkan jika, sebagai anggota keluarga kekaisaran, Asaka mememiliki status semakin tinggi daripada Jendral Iwane Matsui, yang secara resmi yaitu panglima tertinggi, namun jelas bahwa, sebagai perwira berpangkat tinggi, Pangeran Asaka mempunyai otoritas atas komandan-komandan divisi, Letnan Jendral Kesago Nakajima dan Heisuke Yanagawa.

Setelah mengamankan kendali terhadap Shanghai, tentara Jepang memulai gerak majunya menuju Nanjing pada 11 November 1937, mendekati kota dari berbagai penjuru.

Jepang berhasil menguasai beberapa kota besar di Tiongkok yaitu

Gerak maju Jepang ke Nanjing dapat dikarekterisasi sebagai sebuah “barisan terpaksa”. Hampir semua kesatuan melalui jarak 400 km dalam waktu lebih kurang satu bulan. Dengan menganggap bahwa penaklukan ibukota Tiongkok akan menjadi titik balik memilihkan dalam perang, mempunyai kehendak kuat menjadi di selang yang pertama yang dapat meng-klaim kehormatan kemenangan.[9]

Tentara Jepang dilawan oleh prajurit-prajurit Tiongkok dalam sejumlah perjumpaan di perlintasan menuju Nanjing, dan seperti kebanyakan banyak mereka jauh banyakan. Semakin tidak jauh Jepang dengan Nanjing, pertempuran semakin meningkat frekuensi dan mutunya.[10]

Tiongkok mundur dari Shanghai

Pendaratan Jepang di Jinshanwei bermanfaat bahwa tentara Tiongkok wajib mundur dari front Shanghai dan berupaya bagi lolos. Namun, Chiang Kai-shek tetap berkeinginan Kontrak Sembilan Daya (Nine-Power Treaty) dapat memproduksi sejumlah sanksi internasional terhadap Jepang. Tidak sampai 8 November komando pusat Tiongkok mengumumkan penarikan umum dari keseluruhan front Shanghai. Semua kesatuan Tiongkok diperintahkan bangung menuju kota-kota di barat seperti Kunshan, dan dari sini memasuki garis-garis pertahanan yang belakang sekali bagi mencegah Jepang sampai Nanjing. Pada titik ini, tentara Tiongkok telah benar-benar kelelahan, kehabisan amunisi dan perbekalan, sehingga pertahanan benar-benar dalam keadaan terhuyung-huyung. Kunshan jatuh hanya dalam waktu dua hari, dan sisa pasukan mulai bangung menuju benteng pertahanan Garis Wufu pada 13 November. Tentara Tiongkok berperang dengan sisa tenaga mereka dan garis hadapan berada di ambang keambrukan.

Dalam kekacauan tersebut, banyak kesatuan Tiongkok terpecah dan kehilangan kontak dengan perwira-perwira penghubung yang mempunyai peta dan rencana pertahanan. Ditambah lagi masa mereka tiba di Garis Wufu, pasukan Tiongkok mendapati beberapa pejabat sipil telah melarikan diri dan membawa serta kunci-kunci benteng bersama mereka. Pasukan Tiongkok yang terpukul, yang baru saja tiba dari mandi darah di Shanghai dan berkeinginan dapat memasuki garis-garis pertahanan, menjumpai bahwa diri mereka tidak dapat memanfaatkan benteng-benteng pertahanan ini. Garis Wufu ditembus pada 19 November dan pasukan Tiongkok belakang bangung menuju Garis Xicheng, yang belakang terpaksa diserahkan pada 26 November di tengah-tengah serangan gencar. ”Garis Hindenberg Tiongkok” yang dibangun pemerintah dengan dana jutaan dan yaitu garis terakhir pertahanan selang Nanjing dan Shanghai, runtuh hanya dalam waktu dua hari pertama. Namun begitu, pertempuran terus berjalan tanpa jeda di perlintasan menuju ibukota Tiongkok dan pertempuran selanjutnya segera mengarah menjadi Pertempuran Nanjing.

Di awal Desember, pasukan Jepang telah sampai pinggiran Kota Nanjing.

Kesudahan suatu peristiwa dan taksiran kerugian

Lenyapnya daya militer Tentara Sentral

Jepang berhasil menguasai beberapa kota besar di Tiongkok yaitu

Perwira-perwira Tiongkok memperoleh pukulan hebat di dalam pertempuran.

Meskipun Pertempuran Shanghai yaitu yang pertama dari 22 pertempuran akbar selang Tiongkok dan Jepang, keputusan Chiang Kai-shek bagi mengirimkan pasukan-pasukan terbaiknya memproduksi kesudahan suatu peristiwa yang signifikan. Pada masa perang pecah, Tentara Revolusioner Nasional Tiongkok mengandalkan tentara reguler sejumlah 1,7 juta personel, tetapi dalam kenyataannya daya militer Tiongkok rendah secara signifikan. Hal ini karena hampir semua pasukan kurang terlatih, kurang peralatan, dan yaitu petani-petani yang semi-melek huruf dengan sedikit pengetahuan pemikiran perang modern. Hanya sekitar 300.000 pasukan yang secara komparatif terlatih dengan adil dan diorganisasikan ke dalam sekitar 40 divisi yang baru diatur ulang. Di selang banyak ini, sekitar 80.000 yaitu divisi hasil pelatihan Jerman yang menyusun satuan-satuan elit Tentara Sentral Chiang Kai-shek. Namun begitu, bahkan divisi-divisi ini pun tidak cukup didukung oleh pasukan gabungan. Jadi, dari hampir dua juta tingkatan bersenjata, kurang dari seratus ribu pasukan Tiongkok yang dapat menandingi pasukan Jepang. Keputusan Chiang bagi mengerahkan semua divisinya dalam pertempuran di Shanghai menyebabkan satuan-satuan elitnya kehilangan sekitar 60 persen personelnya dalam tiga bulan mandi darah. Dalam satu pukulan saja, Chiang juga kehilangan sekitar 10.000 dari 25.000 perwira yunior yang dilatih oleh Akademi Militer Pusat selang 1929 sampai 1937, ditambah lagi beberapa puluh ribu perwira militer potensial. Tentara Pusat Chiang tidak pernah dapat bangung dari kehancuran ini. Divisi ke-88 yang mungkin yaitu divisi terbaik di selang divisi-divisi elit ini, memulai Pertempuran Nanjing dengan daya hanya 7000 personel, dengan 3000 di selangnya yaitu rekrutan baru bagi menggantikan para veteran yang lenyap. Kehancuran daya militernya juga memaksa Chiang mempercayai jendral-jendral non-Whampoa, yang memimpin tentara-tentara provinsial dengan loyalitas dipertanyakan. Karena pengurangan daya militer ini, Chiang kehilangan daya ungkit politik di mata para panglima perang lokal. Dampaknya Chiang efektif hanya menjadi kepala koalisi yang tidak kuat daripada menjadi panglima tertinggi tingkatan bersenjata yang bersatu. Melemahnya banyak personel tempur terbaik Tiongkok juga membikin rencana dan eksekusi operasi militer selanjutnya menjadi sulit. Intinya, usaha sebelum perang Chiang bagi mendirikan sebuah tentara nasional yang benar-benar efektif dan modern benar-benar hancur dalam pengorbanan bagi Pertempuran Shanghai.

Respon internasional dan konsekuensi-konsekuensinya

Gagasan utama tentara Tiongkok bertahan di Shanghai selama mungkin, meskipun membikin mereka berada di ambang kehancuran, yaitu harapan akan keadaan intervensi barat terhadap Perang Tiongkok-Jepang. Negara-negara barat hanya menaruh perhatian kecil terhadap keadaan Tiongkok karena sebagian akbar tercurah ke keadaan di Eropa. Selain itu, banyakan negara-negara barat juga hanya melihat sedikit harapan bahwa intervensi mereka dapat menolong Tiongkok dalam jangka panjang karena mereka percaya pada yang belakang sekalinya Tiongkok akan jatuh juga. Jika di mata dunia Barat, Tiongkok tampak lemah secara militer, terbelakang secara ekonomi, dan terpecah-belah secara politik, tidaklah masuk tipu daya bagi mereka menolong Tiongkok jika sedang tampak kalah oleh Jepang. Oleh sebab itu, Chiang Kai-shek wajib mencurahkan segalanya bagi memberikan keyakinan Dunia Barat bahwa konflik selang Tiongkok dan Jepang yang terjadi yaitu perang skala akbar, bukan kelompok ”insiden” yang tidak bersesuaian seperti yang telah terjadi sebelumnya. Bersandar pada strategi politik ini, Chiang Kai-shek wajib memerintahkan pasukan-pasukannya bagi berperang sampai mati dalam usaha mengambil simpati internasional dan berkeinginan komunitas internasional mengambil langkah-langkah yang dapat menolong Tiongkok dan memberikan sanksi kepada Jepang.

Pada 12 September, satu bulan setelah Pertempuran Shanghai dimulai, Tiongkok secara resmi membawa kasus melawan Jepang ke Liga Bangsa-Bangsa. Sekali lagi, Liga tidak dapat mendefinisikan sanksi efektif apa pun terhadap Jepang selain daripada pernyataan 4 Oktober yang memberikan ”dukungan spiritual” kepada Tiongkok. Amerika Serikat bukan yaitu anggota Liga, sementara Britania Raya dan Perancis enggan bagi menantang Jepang. Di selang semua daya akbar Barat, hanya Amerika Serikat yang tampak dapat berperan semakin karena tidak terlibat keadaan Eropa yang sedang panas-dingin. Selain itu, pada 5 Oktober, Presiden Franklin D. Roosevelt memberikan Pidato Karantina, menyerukan Amerika Serikat menolong bangsa-bangsa yang sedang berperang dengan bangsa-bangsa agresor. Pidato ini mempunyai efek yang hebat sekali dalam meningkatkan moral Tiongkok. Karena Amerika tampak mempunyai kehendak bagi berkonfrontasi dengan Jepang, perwakilan Britania Raya menyarankan bagi menutup kasus di Liga Bangsa-Bangsa dan berinisiatif bagi menyelenggarakan rapat Konferensi Kontrak Sembilan Kekuatan. Konferensi tersebut secara otomatis melibatkan Amerika Serikat ke dalam usaha mengekang serangan Jepang karena Kontrak Sembilan Daya yaitu hasil dari Konferensi Tingkatan Laut Washington pada 1922.

Jepang berhasil menguasai beberapa kota besar di Tiongkok yaitu

Generalissimo Chiang Kai-shek di garis hadapan

Masuknya Amerika ke dalam respon internasional membawa harapan baru bagi Tiongkok, dan Chiang Kai-shek mengulangi pernyataannya kembali akan perlunya pasukan Tiongkok bertahan di Shanghai bagi membuktikan bahwa kota itu memang layak dipertahankan. Pada pertengahan Oktober, keadaan pasukan Tiongkok di Shanghai semakin mengkhawatirkan dan Jepang mendapat hasil yang signifikan. Kota vital Dachang jatuh pada 26 Oktober dan Tiongkok wajib mundur dari metropolitan Shanghai. Namun begitu, karena Konferensi Kontrak Sembilan Daya baru dimulai pada awal November, Chiang Kai-shek memerintahkan pasukannya bagi bertahan di Shanghai daripada mundur ke Garis Wufu dan Xicheng bagi mempertahankan Nanjing. Ia juga meninggalkan satu batalyon sendirian bagi mempertahankan Gudang Sihang di dalam metropolitan Shanghai. Chiang juga mengunjungi pasukannya di garis hadapan bagi meningkatkan moral pasukannya. Karena Shanghai yaitu kota Tiongkok paling penting di mata dunia barat, pasukan Tiongkok wajib berperang dan mempertahankan kota selama mungkin, daripada mundur bagi memperkuat garis-garis pertahanan di kota-kota tidak bernama sepanjang perlintasan menuju Nanjing. Pada 3 November, konferensi yang belakang sekalinya dilangsungkan di Brusel. Masa daya barat sedang bersidang bagi mendamaikan keadaan, pasukan Tiongkok berupaya berdiri bagi terakhir kalinya dan menaruh semua harapan pada intervensi barat bagi dapat menyelamatkan Tiongkok dari keruntuhan.

Konferensi berlanjut berlarut-larut dengan hasil minim. Jepang diundang dua kali namun menolak sehingga usaha mediasi yang melibatkan Jepang secara langsung tidak dapat dimainkan. Sama dengan yang telah terjadi dalam konferensi Liga Bangsa-Bangsa, daya barat, termasuk Amerika Serikat, sedang mengandalkan isolasionisme dan appeasement. Jadi, tidak mempunyai hal yang efektif berhasil dirumuskan. Pada 5 November, Jepang memainkan pendaratan amfibi di Jinshanwei bagi mengepung pasukan Tiongkok yang sedang berperang di wilayah perang Shanghai. Chiang sedang menunggu tanggapan yang menguntungkan dari Konferensi Kontrak Sembilan Daya dan memerintahkan pasukannya bagi terus bertahan, meskipun pasukan-lelahnya terancam pengurungan dari pendaratan Jinshanwei. Tidak sampai tiga hari belakang pada 8 November, komando pusat Tiongkok memerintahkan pasukan bagi mundur dari keseluruhan front Shanghai bagi melindungi Nanjing. Penundaan tiga hari ini cukup bagi memecah belah garis komando Tiongkok karena satuan-satuan telah hancur lebur kesudahan suatu peristiwa pertempuran yang berkelanjutan, dan hal ini mengakibatkan langsung pada kegagalan mengatur pertahanan di sekitar Garis Hindenburg Tiongkok yang menjaga Nanjing. Pada 24 November, Konferensi Kontrak Sembilan Daya bersidang bagi yang terakhir kalinya bagi selanjutnya ditangguhkan sampai waktu yang tidak dipastikan, tanpa memproduksi tindakan-tindakan apa pun yang dapat membubarkan serangan Jepang. Dalam laporannya, Jendral Chen Cheng menulis bahwa di keseluruhan banyakan kampanye Shanghai, strategi militer seringkali tergantikan oleh strategi politik. Yaitu tragedi bangsa bahwa strategi politik, khususnya seriskan menaruh harapan pada intervensi asing, memaksa pasukan bagi memainkan pengorbanan banyak sekali di Shanghai dan membiarkan penghancuran hampir total. Ia menulis bahwa karena Tiongkok lemah, terpaksa membutuhkan bantuan asing dan wajib berkorban hanya bagi membuktikan kapasitas mereka dalam berperang dan bertahan. Di yang belakang sekali pertempuran, meskipun ratusan ribu pasukan Tiongkok mati hanya bagi menyatakan bahwa Tiongkok siap berkorban, harapan yang belakang sekali akan keadaan intervensi barat tidak pernah mempunyai.

Kesudahan suatu peristiwa

Bertalian dengan efek jangka panjangnya pada perang dengan menghabiskan tenaga lawan, Pertempuran Shanghai melakukan pembelian cukup waktu bagi pemerintah Tiongkok bagi memindahkan industri-industri vitalnya ke Wuhan dan Xian, dan dari situ ke Chongqing, ibukota Tiongkok semasa perang. Kesukaran dalam membongkar dan relokasi ribuan ton peralatan mesin dan pabrik, khususnya di bawah kampanye pemboman Jepang, bermanfaat bahwa pemerintah Tiongkok gagal sebagian tujuannya memindahkan keseluruhan basis industri dari wilayah Shanghai. Banyak pabrik hancur selama pertempuran dan tidak dapat digunakan lagi. Dari hampir 1200 pabrik dan bengkel kerja berbagai macam ukuran, hanya sekitar 10 persen yang berhasil dipindahkan dari Shanghai. Industri-industri ini yaitu inti industri masa perang, yang sangat bermanfaat khususnya pada masa-masa suram blokade keseluruhan pantai Tiongkok, penutupan Perlintasan Burma, dan rendahnya suplai dari daerah Punggung. Strategi Chiang Kai-shek dengan membawa pertempuran ke Shanghai bagi memaksa Jepang mengadopsi arah serangan timur ke barat juga mencegah Jepang memotong ke arah Tiongkok Tengah. Sebagai hasil, Pertempuran Wuhan berhasil tertunda hampir satu tahun, dan waktu yang berhasil ”dibeli” memberikan pemerintah Tiongkok kesempatan bernapas bagi memulihkan diri dan merelokasi sumber-sumber daya ke Chongqing. Secara keseluruhan, meskipun kerugian Tiongkok tidak dapat terganti, strategi berdagang ”ruang bagi waktu” membuktikan kebergunaannya.

Pertempuran Shanghai yaitu sebuah kekalahan militer, tetapi sebuah nilai penting bagi nasionalisme Tiongkok. Mulainya perang skala penuh bermanfaat bahwa Tiongkok tidak lagi berpangku tangan dan membiarkan Jepang menaklukkan wilayahnya sepotong demi sepotong seperti yang terjadi pada masa lalu. Perang ini juga menunjukkan kepastian hati Tiongkok bagi tidak menyerah bahkan dalam menghadapi daya gempur yang sangat hebat sekalipun. Namun, perintah Chiang Kai-shek bagi bertahan sampai mati sangat membikin lemah pasukannya dan secara langsung menyebabkan ketidakmampuan tentaranya dalam mempertahankan Nanjing bahkan hanya bagi dua hari pertama saja. Di dalam memoarnya, Jenderal Li Zongren menekankan bahwa staf Chiang telah menyarankan supaya tentara Tiongkok mencadangkan sekitar sepuluh divisi di sepanjang Garis Wufu bagi melindungi Nanjing dan merasa bahwa itu tidaklah lain jika Shanghai dapat dipertahankan beberapa bulan semakin panjang dengan biaya korban jiwa raksasa. Namun karena Tiongkok tidak dapat mengalahkan Jepang sendirian, Chiang percaya bahwa pilihan terbaik yaitu melibatkan daya barat ke dalam perang dengan mendapat simpati melewati perlawanan gagah berani di Shanghai. Juga mungkin Chiang Kai-shek tidak menyadari bahwa perang akan berjalan selama delapan tahun. Dalam korespondensinya dengan Hu Shih, Chiang menulis bahwa Tiongkok dapat bertahan selama enam bulan sampai perubahan-perubahan keadaan internasional dapat mengakhiri perang. Hal ini mungkin yang menyebabkan Chiang mengerahkan semua pasukan terbaiknya dalam pertempuran pertama yang ternyata menjadi perang yang panjang. Meskipun penilaian Chiang terlalu optimistik, faktanya Tiongkok terus berperang bagi delapan tahun selanjutnya sampai Jepang yang belakang sekalinya dikalahkan, bahkan ketika banyak negara kuat seperti Perancis kalah dan menyerah hanya dalam waktu enam hari pertama.

Semakin jauh lagi, Pertempuran Shanghai yaitu contoh pertama tentara-tentara provinsial bersedia bekerjasama penuh dengan Tentara Pusat Chiang. Dua tahun sebelumnya, Chiang Kai-shek, Li Zongren, dan beberapa panglima perang saling bermusuhan dalam berbagai perang saudara, berperang bagi penguasaan Tiongkok, tetapi mereka disatukan oleh nasionalisme dan tentara-tentara mereka berperang saling bahu-membahu melawan musuh bersama. Tiongkok juga berperang dengan gigih sehingga Shanghai tidak jatuh dalam tiga hari, dan Tiongkok tidak jatuh dalam tiga bulan seperti yang diproklamasikan Jepang dalam slogan-slogan mereka. Ini yaitu desakan maral yang luar biasa, khususnya di saat-saat gelap ketika tentara Tiongkok menderita rangkaian kekalahan pada masa awal perang. Korban akbar yang dikarenakan oleh Tiongkok dan kesukaran penaklukan menyebabkan pasukan Jepang memainkan Pembantaian Nanjing sebagai sikap yang dibuat balasan menghadapi perlawanan Tiongkok. Kegigihan dan kepastian hati juga mengejutkan pengamat-pengamat internasional yang mengira Tiongkok akan dikalahkan dengan gampang dan belakang memohon perdamaian. Secara keseluruhan, meskipun harga yang mesti dibayar melangit, fakta bahwa Tiongkok dapat menahan serangan berulang-ulang dan tetap berdiri dalam “pertempuran paling berdarah sejak Pertempuran Verdun” yaitu bukti kebulatan tekad Tiongkok bagi meneruskan perang dan berperang sampai titik darah yang belakang sekali.

Lihat pula

Referensi

  • Nationalist China At War 1937-1945 diterbitkan oleh Universitas Michigan, Ann Arbor, pada 1982.
  • Disertasi doktor tentang Kampanye Shanghai-Nanking dari Universitas Nasional Taiwan.

  1. ^ "Why We Fight" seri video yang dirilis oleh pemerintah AS bagi para prajuritnya
  2. ^ China's Bitter Victory, p.143
  3. ^ Military History of Modern China, p.199
  4. ^ North China Daily News 15.8.1937
  5. ^ The Times (London) 16.8.1937 "1,000 DEAD IN SHANGHAI/DEVASTATION BY CHINESE BOMBS"
  6. ^ "This terrified baby was almost the only human being left alive in Shanghai's South Station after brutal Japanese bombing. China, August 28, 1937., 1942 - 1945". Arsip Nasional AS. Diakses 27-08-2007. 
  7. ^ LOOK Magazine, Dec. 21: 52–53 
  8. ^ Lihat Soviet Fighters in the Sky of China, oleh Anatolii Demin.
  9. ^ "Analyzing the “Photographic Evidence” of the Nanking Massacre (originally published as Nankin Jiken: “Shokoshashin” wo Kenshosuru)". Tokyo, Japan: Soshisha. 2005. 
  10. ^ "Analyzing the “Photographic Evidence” of the Nanking Massacre (originally published as Nankin Jiken: “Shokoshashin” wo Kenshosuru)". Tokyo, Japan: Soshisha. 2005. 


edunitas.com


Page 2

Pertempuran Shanghai
Anggota dari Perang Tiongkok-Jepang Kedua
Jepang berhasil menguasai beberapa kota besar di Tiongkok yaitu

Sebuah kubu senapan mesin Tentara Revolusioner Nasional di dalam kota Shanghai.
Pihak yang terlibat
Tentara Revolusioner Nasional, Republik Tiongkok Tingkatan Laut Kekaisaran Jepang, Tingkatan Darat Kekaisaran Jepang, Kekaisaran Jepang
Komandan
Chiang Kai-shek Chen Cheng Zhang Zhizhong Hasegawa Kiyoshi
Jepang berhasil menguasai beberapa kota besar di Tiongkok yaitu
Heisuke Yanagawa
Jepang berhasil menguasai beberapa kota besar di Tiongkok yaitu
Iwane Matsui
Daya
600,000 pasukan dalam 75 divisi dan 9 brigade,
200 pesawat terbang
300,000 pasukan dalam 8 divisi dan 6 brigade,500 pesawat terbang,300 tank,

130 kapal laut

Korban
~200,000~70,000[1]

Pertempuran Shanghai adalah pertempuran pertama dari 22 pertempuran akbar selang Tentara Revolusioner Nasional, Republik Tiongkok dan Tentara Kekaisaran Jepang selama Perang Tiongkok-Jepang Kedua. Pertempuran ini adalah salah satu yang paling akbar dan paling berdarah selama masa perang tersebut.

Sejak 1931, Tiongkok dan Jepang telah terlibat dalam konflik-konflik kecil tiada putus, seringkali dikenal sebagai ”insiden”, yang membikin Tiongkok kehilangan wilayah sepotong demi sepotong. Pada Agustus 1937, mengikuti Insiden Jembatan Marco Polo pada 7 Juli, dan invasi Jepang terhadap Tiongkok Utara, Generalissimo Chiang Kai-shek memutuskan bagi memimpin Tiongkok dalam perang total terhadap Jepang, meskipun tanpa deklarasi resmi. Perlawanan Tiongkok di Shanghai bertujuan mematahkan gerak maju Jepang yang cepat, memberikan banyak waktu yang dibutuhkan kepada pemerintah Tiongkok bagi memindahkan industri-industri vital ke lokasi yang semakin dalam, di mana pada masa yang sama berupaya mengambil simpati Daya Barat. Selama tiga bulan pertempuran sengit, Pasukan Tiongkok dan Jepang berperang di pusat kota Shanghai, kota-kota terpencil, dan pantai-pantai sepanjang pesisir Provinsi Jiangsu, lokasi Jepang memainkan pendaratan amfibi. Tentara Tiongkok hanya mengandalkan senjata-senjata kaliber kecil dalam melawan serangan gencar besar-besaran dari udara, laut, dan daya pemukul lapis baja Jepang.[2] Pada yang belakang sekalinya, Shanghai jatuh, dan Tiongkok kehilangan sebagian akbar pasukan terbaik mereka, serta gagal memperoleh intervensi internasional. Namun, perlawanan Tiongkok datang sebagai kejutan akbar terhadap penyerbu Jepang,[3] yang telah terindoktrinasi dengan ingatan superior secara budaya dan militer, dan secara dramatis menurunkan moral tentara Jepang. Kisah kepahlawanan mempertahankan Shanghai dan kisah selanjutnya mengenai kekejaman tentara Jepang yang amat terkejut dengan perlawanan tersebut, menginspirasi bangungnya perlawanan nasionalisme Tiongkok dalam sebuah konflik brutal selama delapan tahun.

Di Tiongkok, Pertempuran Shanghai dikenal sebagai Pertempuran Songhu (Tionghoa: 淞滬會戰; pinyin: Sōnghù Huìzhàn). Kata Song bersumber dari Wusong (吳凇), nama lain Sungai Suzhou, sebuah sungai kecil yang mengalir melewati Shanghai. Hu (滬) adalah singkatan bagi kota itu sendiri. Dalam beberapa sumber Jepang, pertempuran tersebut dikenal sebagai "Insiden Shanghai Kedua" (第二次上海事変, Dai-niji Shanhai jiken?), membedakannya dengan Insiden Shanghai Pertama pada 1932. Namun, Pertempuran Shanghai 1937 adalah sebuah pertempuran skala penuh menandai awal perang mati-matian selang dua negara tersebut. Istilah “insiden” secara tradisional digunakan bagi memperhalus invasi Tiongkok oleh Jepang. Pertempuran dapat dibagi ke dalam tiga tahap, dan secara keseluruhan melibatkan hampir satu juta pasukan. Tahap pertama berlanjut dari 13 Agustus sampai 22 Agustus, yaitu masa Tentara Revolusioner Nasional berupaya menghalau kehadiran Tentara Kekaisaran Jepang dari pusat kota Shanghai. Tahap kedua berlanjut dari 23 Agustus sampai 26 Oktober, yaitu selama Jepang melancarkan pendaratan amfibi di pesisir Jiangsu dan kedua pihak berperang dari propertti ke propertti, dengan Jepang berupaya mendapat kendali terhadap kota dan daerah di sekitarnya. Tahap terakhir berlanjut dari 27 Oktober sampai yang belakang sekali November, melibatkan mundurnya tentara Tiongkok dalam menghadapi manuver penjempitan Jepang, dan belakang pertempuran di perlintasan menuju ibukota Tiongkok, Nanjing.

Latar belakangan

Pertempuran Shanghai adalah pertempuran akbar pertama dalam Perang Tiongkok-Jepang Kedua dan meningkatkan skala Insiden Jembatan Marco Polo dari perang lokal di Tiongkok Utara menjadi perang skala penuh yang akan melibatkan hampir semua wilayah Tiongkok. Mempunyai beberapa penyebab isi bagi peristiwa ini.

Gagasan strategis

Sejak pecahnya perang pada 7 Juli 1937, banyakan pertempuran berlanjut di Tiongkok Utara dan sekitarnya dalam operasi-operasi yang dikenal sebagai Pertempuran Beiping-Tientsin. Awalnya, Tiongkok dan Jepang tidak ingin tembak-menembak skala kecil meningkat ke tingkat perang total. Jepang mengharapkan segera terjadi gencatan senjata dan mendapat teritori Tiongkok semakin jauh, sama seperti yang terjadi sebelumnya melewati Insiden Mukden (1931), Insiden 28 Januari (1932), Insiden Tembok Akbar (1933), dan melewati jual beli pemukiman di pertengahan 1930-an. Namun Generalissimo Chiang Kai-shek melihat Insiden Jembatan Marco Polo sebagai usaha paling berani Jepang yang akan memisahkan secara penuh provinsi-provinsi utara dari kontrol Tiongkok dan menyatukannya ke dalam negara boneka Manchukuo buatan Jepang. Pada masa bangungnya Front Bersatu Kedua yang dibuat setelah Insiden Xi'an, even ini memecah ”Titik Akhir” (最後關頭) toleransi Chiang terhadap serangan Jepang berdasarkan kebijakan ”perdamaian internal sebelum perlawanan eksternal”. Chiang memutuskan bagi memulai perang skala penuh dengan Jepang.

Jepang berhasil menguasai beberapa kota besar di Tiongkok yaitu

Sebuah anggota blokade jalanan Tiongkok yang dipertahankan oleh Divisi ke-87

Jepang berhasil menguasai beberapa kota besar di Tiongkok yaitu

Prajurit-prajurit Divisi ke-88 mempertahankan sebuah persimpangan di belakangan pertahanan kantung-kantung pasir

Chiang Kai-shek dan para penasihatnya percaya bahwa langkah logis selanjutnya dari tentara Jepang adalah maju dari Tiongkok Utara, sepanjang Peiping-Hankou serta rel kereta api Peiping-Pukou, dan memotong ke Wuhan dan daerah-daerah di Tiongkok Tengah dan Timur. Gerak maju utara-selatan Jepang bermanfaat bahwa tentara Tiongkok harus bertahan sepanjang sumbu horisontal, bagi berupaya mengurung gerak maju musuh melewati gerakan menjepit. Namun tentara Tiongkok sebenarnya tidak berdaya bagi manuver semacam itu, sementara Tentara Kekaisaran Jepang mempunyai superioritas dalam hal mutu di Tiongkok Utara, dan mobilitas dari satuan-satuan lapis baja dan artilerinya tidak tertandingi. Kehadiran militer Tiongkok di Tiongkok Utara sangat minim, sementara pemerintah pusat serta Kuomintang sendiri dilarang memainkan keaktifan politik di Provinsi Hebei sebagai anggota Kontrak He-Umezu. Selain itu, banyakan pekerjaan pertahanan Tiongkok yang kuat tidak dibangun di Tiongkok Utara, melainkan di Tiongkok Timur, sepanjang Delta Yangtze yang rendah. Juga penting bagi dicatat, Jepang dapat dengan gampang memainkan penguatan pasukan melewati Korea dan Manchukuo, ke Tiongkok Utara dengan transportasi yang efisien lewat jalur laut dan kereta api. Pergerakan pasukan Tiongkok beberapa kali terhalang karena kurangnya yang dikendarai bermotor dan jalur kereta api. Sebagian akbar pasukan Tiongkok sampai garis hadapan dengan berlanjut kaki. Hal ini membikin penguatan pasukan dari Tiongkok Selatan ke Tiongkok Utara sangat memakan waktu, dibandingkan dengan penguatan pasukan rivalnya dari kepulauan mereka. Konsekuensinya, pertempuran di Tiongkok Utara tidak mungkin dimainkan oleh pasukan Tiongkok.

Jika tentara Jepang berhasil memainkan gerak maju ke selatan, menginvasi Wuhan belakang bangung ke timur dengan memainkan tekanan terhadap Tiongkok Tengah dan Timur dan mengurung wilayah Shanghai-Nanjing, pertahanan Tiongkok harus mundur ke arah pantai dalam sebuah skenario yang mirip dengan Pertempuran Dunkirk selang Jerman dan Perancis yang terjadi belakang. Tingkatan Laut Kekaisaran Jepang mempunyai supremasi total di laut-laut Tiongkok dan gerak mundur daya Tiongkok tersebut pasti akan binasa karena telah tidak mempunyai lagi lokasi bagi mundur. Berdasarkan kemungkinan terjadinya skenario ini, Chiang memutuskan membuka front kedua di Shanghai, dengan maksud menghadang gerak maju musuh ke Tiongkok Tengah dan Timur. Rencana Chiang adalah memaksa Jepang mengubah arah gerak maju utara-selatannya menjadi timur ke barat. Dengan metode ini, pasukan Tiongkok akan mempunyai cukup ruang bagi mundur di barat daya dan mengumpulkan daya kembali sementara Shanghai, Nanjing, dan Wuhan jatuh ke Jepang. Rencana Tiongkok adalah berperang sedapat mungkin bagi menunda gerak maju Jepang, dan waktu tunda dimanfaatkan bagi memindahkan pemerintahan dan industri-industri vital ke pedalaman. Ini adalah dasar dari strategi menjual ”ruang bagi waktu.”

Gagasan politik

Opini publik dan patriotisme adalah juga faktor kuat yang memengaruhi keputusan Chiang bagi menlangsungkan perang skala penuh terhadap Jepang. Sepanjang 1930-an, pemerintah pusat telah kehilangan dukungan publik yang sangat signifikan karena mengikat perdamaian dengan pemberontak Tiongkok komunis sebelum mengadakan perang skala penuh melawan Jepang. Namun, setelah bangung dari resolusi perdamain Insiden Xian, Chiang Kai-shek sampai popularitas yang belum pernah terjadi sebelumnya karena ia tampak sebagai satu-satunya pemimpin nasional yang mempunyai kapabilitas dalam memimpin perang melawan Jepang. Tidak mungkin baginya bagi mundur karena akan menjadi malapetaka bagi karier politiknya.

Awalnya, Chiang percaya bahwa Tiongkok membutuhkan setidaknya beberapa tahun keadaan damai di dalam negeri dan bersatu mendirikan tentara nasional dan industri-industri yang cukup sehingga sejajar dalam hal daya bagi melawan Jepang. Chiang khawatir bahwa perang yang prematur akan menggagalkan rencananya, sehingga semakin memilih pertempuran-pertempuran berskala kecil, ”insiden-insiden” yang bersifat lokal yang merupakan karakteristik konflik Tiongkok-Jepang selama 1930-an. Di lain pihak, jika Chiang memutuskan bagi memainkan perlawanan total, ia berisiko kehilangan divisi-divisi yang baru dire-organisasi yang belum terlalu siap menghadapi musuh secara frontal, dan juga penghancuran total basis-basis industri Tiongkok yang baru saja berdiri. Pada dasarnya, bagi Chiang, berperang dalam skala penuh akan menyokong citranya di kalangan rakyat Tiongkok, namun akan merusak daya ungkit politiknya, yang bersandar pada daya militer, melawan kekuatan-kekuatan regional lainnya. Namun, mundur dan membikin banyakan kelonggaran akan membikinnya tampak tidak patriotik dan kehilangan dukungan publik, namun dapat mempertahankan kekuasaan militernya. Pertempuran Shanghai dan keputusan perang total akan menjadi perjudian akbar bagi Chiang.

Chiang juga tidak dapat mencegah lepas sama sekalinya Provinsi Zhejiang dan Jiangsu ke tangan Jepang. Nanjing (ibukota Republik Tiongkok masa itu), dan Shanghai terletak di Provinsi Jiangsu. Dua provinsi tersebut adalah juga daya ekonomi dataran rendah Delta Yangtze, dan banyak kemajuan industri dan pendirian dasar-dasar politik "Dekade Nanjing" dibangun di sini. Daerah tersebut adalah juga satu-satunya lokasi di Tiongkok dimana pemerintah pusat di bawah Chiang Kai-shek tidak mempunyai penentang politik, karena Tiongkok Utara telah berada di bawah pengaruh Jepang, dan provinsi lainnya berada di bawah kendali panglima perang yang sedang tersisa atau faksi militeristik Kuomintang lainnya. Berlaku Ciang harus mempertahankan Shanghai dengan segala metode karena kota ini merupakan inti administrasi politik dan ekonominya.

Shanghai adalah kota kosmopolitan serba mempunyai, lokasi penanaman modal serta aset dari banyak daya internasional, seperti Amerika Serikat, Britania Raya, dan Perancis. Secara tradisional, Daya Barat tidak ingin mengutuk serangan Jepang ke Tiongkok karena keadaan Eropa dan cara politik anti-Uni Soviet Jepang. Namun invasi Shanghai akan mendorong Barat memasuki perang dengan berdiri di pihak Tiongkok. Jelas bahwa perang ini akan mengakibatkan penawaran dan penjualan dengan harga murah investasi barat ke pihak Tiongkok. Sementara itu, Jepang tidak dapat melangsungkan perang melawan Amerika Serikat, daya ekonomi paling akbar, dan Britania Raya, daya kolonial paling akbar. Namun, pelanggaran terhadap appeasement dan isolasionisme komunitas internasional dan pengalaman sejak 1930-an menunjukkan bahwa sikap yang dibuat penyimpangan Jepang tidak mendasarkan diri pada kekuatan-kekuatan internasional, selain daripada beberapa kecaman yang tidak efektif dari Liga Bangsa-Bangsa.

Sebelumnya pada 1935, penasihat Chiang dari Jerman, Jendral Alexander von Falkenhausen, mengatakan padanya bahwa Kontrak Sembilan-Daya tidak semakin daripada selembar kertas dan tidak perlu terlalu berkeinginan bahwa komunitas internasional akan ikut campur tangan. Chiang dinasihatkan bahwa Tiongkok harus bersiap bagi berperang sendirian setidaknya bagi dua tahun, mengesampingkan perubahan-perubahan keadaan internasional apapun.

Pengalaman masa lalu dan persiapan

Jepang berhasil menguasai beberapa kota besar di Tiongkok yaitu

Korps pemelihara perdamaian Tiongkok di pusat kota Shanghai

Chiang dan para penasihatnya persangkaan percaya diri dalam meningkatkan pertaruhan perang, sebab tentara Tiongkok pernah berperang dan memaksa Jepang bagi tidak bangung maju dalam Insiden 28 Januari 1932. Karena persetujuan gencatan senjata 1932, yang ditandatangani setelah insiden, melarang Tiongkok menaruh pasukan di dalam kota Shanghai, Tiongkok melatih garnisun-garnisun polisinya berbagai macam taktik militer yang tidak lazim bagi tugas-tugas kepolisian. Rencana pertahanan Shanghai dilindungi oleh Zhang Zhizhong, seorang veteran insiden 1932. Karena Tiongkok tidak mempunyai cukup artileri dan lapis baja, Zhang Zhizhong percaya bahwa tentara Tiongkok harus mengandalkan superioritas kuantitas mereka, mengambil inisiatif, dan memaksa Jepang bagi mundur menuju pantai sebelum mereka sempat memainkan penggabungan.

Pada 1933, tiga daerah militer, Nanjing, Nanjing-Hangzhou, dan Nanjing-Shanghai, diciptakan bagi mengkoordinir pertahanan di Delta Yangtze. Pada 1934, dengan bantuan Jerman, konstruksi yang disebut sebagai "Garis Hindenburg Tiongkok" dimulai, dengan serangkaian pekerjaan fisik bagi memfasilitasi kedalaman pertahanan. Dua garis semacam itu, Garis Wufu (吳福線) selang Suzhou dan Fushan, dan Garis Xicheng (錫澄線) selang Wuxi dan Jiangyin, berada dalam jabatan bagi melindungi perlintasan menuju Nanjing, jika Shanghai jatuh ke tangan musuh. Pada musim semi 1937, beberapa bulan sebelum mulainya Perang Tiongkok-Jepang, garis-garis tersebut beres. Namun pelatihan personel yang dibutuhkan bagi mempertahankan jabatan dan meng-koordinasi pertahanan belumlah beres masa perang pecah.

Jabatan Jepang

Sejak perang pecah pada 7 Juli, Jepang memfokuskan diri pada operasi-operasi militer, utamanya di Tiongkok Utara, mencakup propinsi Hebei, Shanxi, dan Chahar. Invasi Jepang semakin jauh meningkatkan frekuensi protes anti-Jepang dan boykot terhadap produk-produknya yang berakibat serius terhadap perdagangan Jepang di Tiongkok. Efek tersebut sangat kuat terasa di Shanghai karena banyak kebutuhan komersial Jepang berada di kota tersebut.

Tingkatan Laut Kekaisaran Jepang telah mendesak bagi meningkatkan kehadiran pasukan dalam melindungi pabrik-pabrik dan masyarakat negara Jepang dari kemungkinan konfrontasi dengan Tiongkok, tetapi tingkatan darat secara konsisten menolak bagi memainkan pekerjaan sama sampai awal Agustus. Salah satu gagasannya adalah bahwa tingkatan darat tidak berkeinginan aci di Tiongkok Timur dan Tengah, karena kekhawatiran bahwa sikap yang dibuat semacam itu akan membikin kekosongan di Tiongkok Utara dan Manchukuo, yang bersamaan batasnya langsung dengan Uni Sovyet. Jepang memandang Uni Sovyet sebagai ancaman militer utama di daratan Tiongkok dan tidak ingin mengalihkan perhatian dari Tiongkok Utara. Komando Tingkatan Darat Jepang juga tidak berkeinginan menghadirkan pasukan ke Tiongkok Tengah, karena hal itu dapat mengarahkan Jepang ke dalam konfrontasi dengan daya asing lain yang aci di wilayah tersebut. Komando Tingkatan Darat Jepang juga mempunyai opini yang sangat rendah mengenai kemampuan berperang Tiongkok, dan percaya bahwa karena Tiongkok hampir selalu terperosok ke dalam perang saudara, Chiang Kai-shek akan memfokuskan diri pada persatuan nasional terlebih dahulu dan tidak akan mengambil risiko pasukannya berperang dengan tentara Jepang yang jauh semakin superior.

Oleh sebab itu, Jepang berkeinginan mengalahkan Tiongkok dan mengakhiri perang secepat mungkin, bagi menghindari gangguan terhadap rencananya melawan Uni Sovyet. Namun begitu, Komando Tingkatan Laut Jepang mendesak kehadiran pasukan di Tiongkok Tengah bagi menghancurkan pasukan Tiongkok yang mungkin dikirim ke Tiongkok Utara, lokasi perang dilokalisasi. Mengikuti Insiden Oyama 9 Agustus, konflik di Shanghai tampak tidak terhindarkan. Pada 10 Agustus, panglima tertinggi tingkatan laut, Mitsumasa Yonai, menyuarakan keinginannya di dalam pertemuan kabinet dan berhadapan dengan oposisi dari jenderal-jenderal tingkatan darat, Ishiwara Kanji and Umezu Yoshijiro. Dua jendral tersebut menegaskan bahwa front Shanghai harus menjadi tanggung jawab mutlak Tingkatan Laut Kekaisaran. Setelah beberapa negosiasi, Komando Tingkatan Darat menyetujui keinginan tingkatan laut dan mulai menghadirkan pasukan ke wilayah Shanghai pada 10 Agustus.

Militer Jepang yakin dapat mengatasi daya Tiongkok di Tiongkok Tengah dalam tiga hari dan mengakhiri keseluruhan perang dalam tiga bulan. Jepang mempunyai garnisun-garnisun di dalam kota sementara Tiongkok hanya diijinkan mempunyai sejumlah kecil garnisun polisi militer, yang dikenal sebagai Korps Penjaga Perdamaian (保安隊), dan sejumlah kubu pertahanan, sebagai kesudahan suatu peristiwa dari Persetujuan Gencatan Senjata Shanghai. Jepang mempunyai banyak pabrik dan gudang di dalam kota, dan banyakan darinya digunakan bagi keperluan militer. Markas akbar marinir Jepang berada di tidak jauh pabrik tekstil, dan mempunyai semakin dari delapan puluh lokasi menyilakan duduk meriam dan bungker dari berbagai macam macam di semua kota. Armada Ketiga Jepang juga mempunyai kapal-kapal yang berpatroli di sepanjang sungai-sungai yang melewati Shanghai, dan daerah-daerah di kota berada dalam jangkauan tembakan kapal-kapal tersebut. Secara keseluruhan, tentara Jepang sangat siap dalam menghadapi keunggulan banyak tentara Tiongkok, yang minim perlengkapan dan pelatihan.

Awal pertempuran

Insiden Oyama

Pada 9 Agustus, Letnan Satu Isao Oyama (大山勇夫) dari kesatuan marinir Jepang, berupaya masuk secara ilegal ke Bandara Hongqiao (虹橋機場), tetapi ditembak mati oleh Korps Penjaga Perdamaian Tiongkok yang berkedudukan di tidak jauh lapangan terbang militer. Sampai kini tidak diketahui apakah Oyama berinisiatif sendiri atau atas perintah dari atas. Namun, Insiden Oyama meningkatkan tensi di Shanghai. Pada 10 Agustus, konsul jenderal Jepang menanti maaf atas tingkah laku yang dibuat Oyama, karena jelas sebuah sikap yang dibuat intrusi ke teritori Tiongkok. Namun, ia tetap berkeras menuntut Tiongkok menarik mundur Korps Penjaga Perdamaian dan membongkar pertahanan mereka yang mempunyai di sekitar kota. Ia juga menegaskan bahwa penembakan perwira Jepang adalah penghinaan terhadap Tingkatan Darat Jepang, dan keadaan akan meledak hanya dengan provokasi kecil. Insiden penembakan tersebut juga menyebabkan Jepang mengirimkan bala bantuan ke daerah Shanghai pada 10 Agustus. Bagi Tiongkok, Insiden Oyama hanyalah sebuah dalih lain bagi sikap yang dibuat serangan Jepang, tidak jauh lain dari banyak “insiden” pada 1930-an. Dalam merespon pergerakan pasukan Jepang, Chiang Kai-shek mulai menaruh pasukan-pasukan Tiongkok ke dalam daerah Shanghai pada 11 Agustus.

Usaha-usaha terakhir negosiasi

Pada 12 Agustus, perwakilan kekuatan-kekuatan akbar bersidang dan Jepang menginginkan kekuatan-kekuatan tersebut memaksa penarikan mundur pasukan Tiongkok dari Shanghai, tetapi mayor Yu Hung-chun memprotes bahwa Jepang telah melanggar persetujuan dengan invasi Tiongkok pada 7 Juli. Kekuatan-kekuatan akbar tidak berkeinginan berulangnya Insiden 28 Januari, yang sangat mengganggu keaktifan ekonomi asing di Shanghai. Di lain pihak, rakyat Tiongkok dengan segera menyambut hangat kehadiran pasukan Tiongkok di dalam kota. Di Nanjing, utusan Tiongkok dan Jepang bersua bagi terakhir kalinya sebagai usaha terakhir negosiasi. Jepang menginginkan Tiongkok menarik mundur semua Korps Penjaga Perdamaian dari Shanghai dan semua pasukan reguler dari sekitarannya. Tiongkok berkeras bahwa keinginan Jepang terhadap penarikan mundur secara sepihak adalah tidak dapat diterima karena kedua negara telah berperang di Tiongkok Utara. Yang belakang sekalinya mayor Yu memperjelas bahwa pasukan Tiongkok tidak akan memulai serangan kecuali diserang terlebih dahulu. Jepang, di lain pihak, melimpahkan semua tanggung jawab kepada Tiongkok karena penempatan pasukan di sekitar Shanghai. Negosiasi telah tidak mungkin dan tidak mempunyai alternatif lain selain perluasan perang ke Tiongkok Tengah.

Fase pertama (13 – 22 Agustus)

Pertempuran kota

Jepang berhasil menguasai beberapa kota besar di Tiongkok yaitu

Distrik Zhabei yang terbakar

Jepang berhasil menguasai beberapa kota besar di Tiongkok yaitu

Sebelum Hotel Cathay Shanghai setelah pemboman oleh Tentara Revolusioner Nasional (Republik China)[4][5]

Sekitar pukul 9 pagi pada 13 Agustus, terjadi baku tembak kecil selang Korps Penjaga Perdamaian Tiongkok dan pasukan Jepang di distrik Shanghai: Zhabei, Wusong, dan Jiangwan. Sekitar pukul 3 sore tentara Jepang menyeberangi Jembatan Bazi (八字橋) di Distrik Zhabei dan menyerang berbagai sasaran dalam kota. Divisi ke-88 Tiongkok membalas dengan serangan mortir. Tembakan-tembakan sporadik berlanjut sampai pukul 4, ketika markas akbar Jepang memerintahkan kapal-kapal tingkatan laut Armada ke-3, yang diletakkan di Sungai Yangtze dan Huangpu bagi membuka tembakan terhadap jabatan Tiongkok di dalam kota. Pada larut malam hari itu Chiang Kai-shek memerintahkan Zhang Zhizhong bagi memulai ofensif Tiongkok pada keesokan harinya. Pada pagi 14 Agustus, tingkatan udara Tiongkok mulai membom berbagai sasaran Jepang dan daya daratnya memulai ofensif pada pukul 3 sore. Pada hari yang sama pemerintah Tiongkok mengumumkan Proklamasi Pertahanan Diri dan Perang Perlawanan (自衛抗戰聲明書), menjelaskan penyelesaian pemerintah terhadap serangan Jepang. Pertempuran Shanghai secara resmi dimulai.

Rencana awal Zhang Zhizhong adalah mengejutkan Jepang dengan serangan berketetapan akbar dan menekan mereka sampai Sungai Huangpu, belakang memblokade pantai bagi mencegah kesempatan Jepang memainkan pendaratan bala bantuan di dermaga-dermaga Sungai Huangpu selang Yangshupu (楊樹浦) dan Hongkou (虹口). Divisi ke-88 Tiongkok menyerang markas akbar Jepang tidak jauh Zhabei, sementara Divisi ke-87 menyerang Pabrik Tekstil Kung-ta, dimana komando tingkatan laut Jepang berlokasi. Zhang memperkirakan ofensif ini akan beres dalam waktu 1 hari pertama. Namun operasi ini menjadi tidak teratur masa pasukan berperang tanpa gerak maju di luar Pemukiman Internasional Shanghai. Jepang belakang memperkuat kubunya dengan beton tebal dan mulai melawan howitzer 150mm, satu-satunya senjata berat milik Tiongkok. Pasukan Tiongkok hanya dapat maju di bawah perlindungan senapan mesin, mendekati letak meriam-meriam Jepang dan membunuh pasukan yang mempunyai di dalamnya hanya dengan granat tangan. Gerak maju Tiongkok sangat terkurangi dengan keterbatasan ini dan elemen kejutan hilang dengan cepat.

Pada 16 Agustus, Zhang Zhizhong memerintahkan pasukannya bagi menduduki jalan-jalan di sekitar kubu-kubu Jepang daripada menyerang mereka secara frontal. Setiap kali sebuah perlintasan berhasil diduduki, pasukan Tiongkok segera mendirikan blokade kantung pasir dan mengatur tembakan supaya pasukan Jepang tidak dapat lolos. Taktik tersebut berhasil dan banyak kubu meriam serta pos terdepan Jepang dihancurkan hanya dalam waktu satu hari. Namun belakang Jepang menyebarkan tank-tanknya dan dapat memukul mundur pasukan Tiongkok yang mempunyai di jalan-jalan akbar. Seperti sebelumnya, pasukan Tiongkok kekurangan senjata berat bagi menghancurkan bunker-bunker pertahanan Jepang, sehingga pada 18 Agustus, serangan tersebut dibatalkan.

Pada 18 Agustus, Chen Cheng sampai garis hadapan bagi mendiskusikan keadaan dengan Zhang Zhizhong. Mereka memutuskan mengirim Divisi ke-36 yang baru saja tiba ke dalam pertempuran, dengan menyerang dermaga-dermaga Hueishan (匯山) di anggota utara Sungai Huangpu. Sementara itu, Divisi ke-87 memutus garis Jepang di Yangshupu, dan menekan ke dermaga-dermaga Hueishan bersama-sama dengan Divisi ke-36. Pada 22 Agustus, tank-tank Divisi ke-36 sampai dermaga, tetapi tidak dapat mempertahankan jabatan semakin lama. Pasukan Tiongkok tidak cukup terlatih dalam koordinasi taktik infantri-tank, dan tidak dapat mengikuti kecepatan tank. Tank-tank tersebut menjadi sasaran empuk artileri serta senjata anti-tank Jepang, dan menjadi tidak bermanfaat ketika memasuki pusat kota. Sedikit pasukan yang menyertai tank-tank tersebut menjadi terhalang dan belakang terjebak oleh blokade jalanan Jepang. Selanjutnya pasukan ini dihabisi dengan pelontar api dan tembakan intens senapan mesin Jepang. Masa pasukan Tiongkok hampir berhasil menekan pasukan Jepang ke arah Sungai Huangpu, laju korban tewas sangat tinggi. Pada 22 Agustus malam saja, Divisi ke-36 kehilangan semakin dari 90 perwira dan seribu personel.

Pada 22 Agustus, divisi Jepang ke-3, ke-8, dan ke-11 memainkan serangan amfibi di bawah perlindungan bombardment laut dan memainkan pendaratan di Chuanshakou (川沙口), Shizilin (獅子林), dan Baoshan (寶山), kota-kota pesisir timur laut sekitar 50 kilometer dari pusat kota Shanghai. Jepang mendarat di wilayah sub-urban timur laut Shanghai yang bermanfaat bahwa banyak pasukan Tiongkok di dalam kota, harus diposisikan ulang ke daerah-daerah pesisir bagi menghadapi pendaratan. Dengan demikian garis hadapan menjadi diperpanjang dari metropolitan Shanghai sepanjang Sungai Huangpu sampai ke distrik-distrik pesisir di timur laut. Ofensif Tiongkok di pusat kota harus tertahan, dan menjadi pertempuran statik dengan kedua belah pihak menderita banyak kerugian sementara jabatan garis hadapan tidak banyak berubah. Divisi-divisi Tiongkok dapat bertahan di Zhabei, Jiangwan, dan posisi-posisi pusat kota lainnya selama tiga bulan, sampai keadaan di lokasi lain membikinnya secara strategis tidak memungkinkan mempertahankan tempat-tempat ini semakin lanjut.

Operasi-operasi udara

Jepang berhasil menguasai beberapa kota besar di Tiongkok yaitu

Stasiun Shanghai Selatan setelah pemboman Jepang[6]: Bayi yang ketakutan ditemukan di bawah tumpukan reruntuhan dan diletakkan di atas peron oleh seorang pekerja penyelamat.[7]

Pada 14 Agustus, skuadron udara Tingkatan Udara Kekaisaran Jepang, Shikaya dan Kisarazu, yang berbasis di Taiwan, melancarkan serangan udara terhadap sasaran Tiongkok di Shanghai. Pemboman tersebut menyebabkan puluhan ribu masyarakat sipil tewas karena bom-bom jatuh di pusat-pusat populasi dan pusat-pusat transportasi akbar. Tingkatan Udara Republik Tiongkok yang sedang muda mencoba membalas. Grup Terbang ke-4, yang berpangkalan di Henan di bawah komando Kapten Gao Zhihang (高志航), menembak jatuh enam pesawat Jepang tanpa menderita kehilangan satu pun. Pada 1940 pemerintah mengumumkan tanggal 14 Agustus sebagai Hari Tingkatan Udara bagi meningkatkan moral penduduk Tiongkok. Daya udara Tiongkok juga membom berbagai sasaran di dalam kota dan kapal tingkatan laut Jepang. Dari 15 sampai 18 Agustus, daya udara Tiongkok berperang dengan tingkatan udara Jepang yang secara kuantitas semakin superior dalam sebuah pertempuran udara yang sengit, mengakibatkan dua skuadron udara Jepang dihancurkan. Namun, Tiongkok berperang di udara dengan mengerahkan semua pesawat tempurnya, dengan sebagian di selangnya adalah pesawat tempur bekas yang dibeli dari negara-negara lain. Tiongkok tidak dapat memproduksi pesawat tempurnya sendiri dan kesukaran dalam hal suku cadang.[8] Di lain pihak, Jepang mempunyai industri penerbangan kuat yang dapat merancang, memproduksi, dan mengembangkan teknologi pesawat terbangnya sendiri dan secara efisien mengirimkannya ke medan perang. Setiap kehilangan pesawat terbang di pihak Jepang dapat dengan gampang ditukarkan, sementara Tiongkok tidak. Oleh sebab itu sangat tidak mungkin bagi Tiongkok bagi memenangkan pertempuran udara. Dalam kampanye Shanghai, Tiongkok menembak jatuh 85 pesawat terbang Jepang dan menenggelamkan 51 kapal. Tiongkok kehilangan 91 pesawat, banyak yang lebih kurang hampir setengah dari keseluruhan daya tingkatan udara Tiongkok.

Perkembangan lainnya

Jepang berhasil menguasai beberapa kota besar di Tiongkok yaitu

Pasukan Jepang di selang reruntuhan Shanghai

Pada 15 Agustus, Jepang membentuk Tentara Ekspedisi Shanghai, terdiri dari Divisi ke-3 dan ke-11 di bawah komando Jenderal Iwane Matsui. Pada 19 Agustus, Perdana Menteri Jepang Fumimaro Konoe mengumumkan bahwa konflik Tiongkok-Jepang hanya dapat dihabiskan dengan metode perang, mengabaikan usaha-usaha negosiasi dari negara-negara pihak ketiga. Konoe mengatakan bahwa rencana awal bagi melokalisasi ”penahanan pasukan musuh” di sekitar Shanghai telah bertambah luas menjadi perang total, dengan tujuan utama memaksa pemerintah Tiongkok bagi bekerjasama secara ekonomi dan politik. Pada 23 Agustus, Jepang memulai kampanye pemboman atas Nanjing, dan berbagai kota di Tiongkok Tengah. Tentara Ekspedisi Shanghai juga tiba pada hari itu.

Di awal perang, Zhang Zhizhong, sebagai komandan Tentara ke-5 dan daerah perang Nanjing-Shanghai, bertanggungjawab dalam memainkan operasi-operasi Tiongkok. Kegagalan dalam ofensif awal Tiongkok membikin cemas Chiang Kai-shek dan stafnya. Chiang mengkritik kegagalan Zhang dalam persiapan, khususnya usaha memperoleh senjata yang berdaya menembus bunker-bunker Jepang, sebelum mengirimkan gelombang-gelombang pasukan, yang berakibat pada jatuhnya banyak korban di pihak divisi-divisi Tiongkok sejak awal pertempuran. Zhang juga dikritik karena terlalu percaya diri dan kegemarannya mengadakan konferensi pers, adil bagi wartawan-wartawan dalam maupun luar negeri. Chiang Kai-shek dan stafnya, termasuk yang paling menonjol adalah Chen Cheng dan Gu Zhutong, mulai mengambil alih komando dari Zhang Zhizhong. Chiang Kai-shek sendiri yang belakang sekalinya menjadi komandan daerah perang ke-3 yang mengawasi Shanghai. Kegagalan ofensif Tiongkok menunjukkan bahwa meskipun banyak tentara Tiongkok pada awalnya melampaui garnisun Jepang, tetapi tidak mampu meraih obyektifnya karena kurangnya senjata berat dan artileri. Selain itu armada Jepang bertebaran di mana-mana di perairan Shanghai dan meriam-meriam laut mereka membombardir posisi-posisi Tiongkok di dalam kota dengan keakuratan yang sangat tinggi. Dengan kondisi-kondisi seperti itu, serangan Jepang hampir pasti berhasil.

Fase Kedua (23 Agustus – 26 Oktober)

Periode paling berdarah dan paling sengit terjadi dari 23 Agustus, ketika Jepang mendaratkan gelombang-gelombang pasukannya, sampai 26 Oktober, ketika Tiongkok mundur dari metropolitan Shanghai. Selama periode ini, mayoritas pertempuran berlanjut di sepanjang 40 kilometer dari metropolitan Shanghai sampai kota Liuhe (瀏河), yang berlokasi di timur laut kota di pesisir lokasi Jepang memainkan pendaratannya.

Pertahanan menghadapi pendaratan (23 Agustus – 10 September)

Jepang berhasil menguasai beberapa kota besar di Tiongkok yaitu

Pendaratan amfibi Jepang

Pada 23 Agustus, Tentara Ekspedisi Shanghai Jepang, pimpinan Iwane Matsui, mendarat di Liuhe, Wusong (吳淞), dan Chuanshakou. Chiang Kai-shek berkeinginan, kota-kota pesisir ini dapat dengan gampang didarati Jepang dan memerintahkan Chen Cheng memperkuat daerah tersebut dengan menaruh Tentara ke-18. Namun, Tiongkok tidak dapat menandingi daya tembak senjata-senjata Jepang. Jepang hampir selalu memulai serangan amfibinya dengan bombardir hebat pertahanan pesisir milik Tiongkok, adil dari laut maupun udara. Tidak diketahui apakah Tiongkok kehilangan semua garnisun selama bombardir semacam itu, sebab, pasukan Tiongkok akan segera mengatur diri bagi menghadapi pasukan Jepang yang baru saja memainkan pendaratan setelah pembombardiran.

Sampai dua hari pertama selanjutnya, pasukan Tiongkok dan Jepang berada dalam pertempuran sengit di sejumlah kota dan desa sepanjang pesisir. Pasukan Tiongkok menangkis serangan amfibi hanya dengan senjata kaliber kecil, dan tidak cukup didukung oleh tingkatan udara serta hampir tanpa keberadaan tingkatan laut. Tiongkok harus membayar sangat mahal bagi pertahanan mereka. Sebuah resimen Tiongkok dapat tersapu sampai hanya menyisakan beberapa tentara saja. Pertahanan Tiongkok dikerjakan dengan sangat tergesa-gesa dan tidak menyediakan banyak perlindungan, sementara banyak parit-parit pertahanan dikerjakan hanya pada masa pertempuran sedang mereda saja. Semakin lagi, daerah pesisir yang berpasir membikin sulit mendirikan benteng pertahanan yang kokoh. Banyak parit yang longsor masa hujan. Tiongkok harus berlomba dengan waktu dalam mendirikan dan memperbaiki pertahanan-pertahanan mereka selain menghadapi bombardir Jepang. Kesukaran logistik juga bermanfaat sulit bagi mengangkut material pertahanan ke garis hadapan. Pasukan Tiongkok seringkali mengambil material bagi pertahanan dari puing-puing reruntuhan propertti. Namun, Tiongkok tetap terus berupaya berperang walaupun dengan rintangan-rintangan ini dan berupaya bertahan selama mungkin di desa dan kota sepanjang pesisir. Kebanyakan Jepang dapat menduduki desa dan kota ini pada siang hari di bawah dukungan tembakan-tembakan berat tingkatan laut, dan kehilangan kendali hanya pada malam hari masa Tiongkok memainkan serangan balasan.

Serangan dan serangan balik berlanjut sampai yang belakang sekali Agustus, masa kejatuhan Baoshan, sebuah kota pesisir penting, menjadi sangat jelas. Chiang Kai-shek memerintahkan pasukan dari Divisi ke-98 yang sedang tersisa bagi mempertahankan kota. Sebuah batalyon di bawah pimpinan Yao Ziqing (姚子青), memanggul tugas ini. Yao memerintahkan pasukannya bagi bertahan sampai titik darah yang belakang sekali. Serangan artileri Jepang membikin sebagian kota menjadi puing-puing, dan Yao terbunuh dalam pertempuran dari propertti ke propertti. Pada 6 September Baoshan jatuh. Semua batalyon kecuali satu prajurit, terbunuh dalam tingkah laku yang dibuat ini. Selanjutnya, pasukan Tiongkok akan terus menderita korban jiwa semacam ini di keseluruhan Kampanye Shanghai.

Pertempuran di sekitar Luodian (11 – 30 September)

Pada 11 September, dengan jatuhnya Baoshan, tentara Tiongkok mengambil jabatan bertahan di sekitar Luodian (羅店). Luodian hanyalah sebuah kota kecil, namun merupakan titik simpul transportasi yang menghubungkan Baoshan, pusat kota Shanghai, Jiading, Songjiang dan beberapa kota lainnya dengan jalan-jalan raya. Kesuksesan mempertahankan Luodian secara strategi sangat penting dalam pengamanan Suzhou dan Shanghai. Pada 29 Agustus, penasihat Chiang Kai-shek dari Jerman, Alexander von Falkenhausen, mengatakan padanya bahwa Kota Luodian harus dipertahankan berapa pun harganya. Bagi pertempuran Luodian, Tiongkok memusatkan sekitar tiga ratus ribu prajurit, sementara Jepang semakin dari seratus ribu dengan dukungan kapal laut, tank, dan pesawat udara.

Jepang berhasil menguasai beberapa kota besar di Tiongkok yaitu

Pasukan Tiongkok memainkan serangan di Luodian

Pembantaian besar-besaran yang terjadi membikin pertempuran Luodian mendapat julukan "rumah penggilingan daging dan darah" (血肉磨坊). Ofensif Jepang kebanyakan dimulai masa fajar dengan pemboman udara yang terpusat, diikuti dengan pelepasan balon pengamat bagi menunjukkan dengan tepat lokasi pasukan-pasukan Tiongkok yang tersisa bagi dapat disapu oleh artileri dan gempuran dari laut. Infantri Jepang belakang dapat maju di bawah perlindungan tabir asap dan lapis baja. Pesawat-pesawat Jepang belakang juga akan menemani infantri dan memberondong pasukan-pasukan pengganti Tiongkok.

Pertahanan Tiongkok sulit bagi dipatahkan bahkan dengan daya gempur hebat semacam itu. Pada malam hari, prajurit-prajurit Tiongkok meranjaui jalan-jalan yang menghubungkan kota-kota pesisir menuju Luodian dan memaksa pertempuran malam bagi memotong gerak maju pasukan-pasukan Jepang. Masa fajar, Tiongkok akan mepertahankan garis-garis pertahanan penting dengan pasukan yang semakin sedikit bagi mengurangi korban jiwa yang dikarenakan dari bombardir Jepang yang intens. Tiongkok belakang akan muncul dari jabatan belakangan bagi menghadapi musuh masa ofensif darat Jepang dimulai setelah gempuran-gempuran laut dan artileri bubar.

Meskipun mempunyai keunggulan banyak pasukan, mempertahankan Luodian adalah ketidakmungkinan bagi Tiongkok. Jepang mempunyai sejumlah keuntungan, termasuk keunggulan daya tembak, dan fakta bahwa Tiongkok berada dalam jabatan pasif dalam menghadapi serangan gencar, karena tidak dapat menyusun ofensif efektif sampai Jepang praktis menduduki Luodian. Karena hal ini, Tiongkok memutuskan bagi mempertahankan setiap inchi persegi dari wilayah kota sampai titik darah yang belakang sekali. Taktik ini membikin semakin cepat laju tewasnya prajurit-prajurit berpangkat tinggi. Laju korban tewas dari pihak grup tentara Jenderal Chen Cheng sampai semakin dari 50 persen. Di yang belakang sekali September, Tiongkok telah hampir kehabisan darah dan terpaksa menyerahkan Luodian.

Pertempuran Dachang (1 – 26 Oktober)

Jepang berhasil menguasai beberapa kota besar di Tiongkok yaitu

Prajurit-prajurit Tiongkok di tidak jauh sebuah propertti yang hancur dibom

Pada 1 Oktober, atas petuah komandan-komandannya, Perdana Menteri Jepang Fumimaro Konoe memutuskan menyatukan dan meluaskan pertempuran di Teater Tiongkok Utara dan Tengah, melancarkan sebuah ofensif Oktober bagi menaklukkan pemerintahan Tiongkok bagi mengakhiri perang. Pada masa ini, Jepang menaikkan banyak pasukannya di wilayah Shanghai sampai semakin dari dua ratus ribu. Pasukan Jepang juga menginvasi kota Liuhang (劉行), di selatan Luodian. Jadi, garis hadapan telah bergeser semakin jauh ke selatan sampai tepian Sungai Yunzaobin (蘊藻濱). Tujuan Jepang adalah menyeberangi Sungai Yunzaobin dan mengambil alih Dachang (大場), yang merupakan penghubung komunikasi pasukan Tiongkok selang pusat kota Shanghai dan di kota-kota timur lautnya.

Jika Dachang jatuh, pasukan Tiongkok harus menyerahkan jabatan mereka di pusat kota Shanghai dan wilayah timur Sungai Huangpu bagi menghindari pengurungan oleh tentara Jepang. Pertahanan Dachang adalah vital bagi mengetahui seberapa lama tentara Tiongkok dapat bertahan dan meneruskan pertempuran di daerah perang Shanghai. Bagi ini, Chiang Kai-shek memobilisasi pasukan yang sedang tersisa dan dapat diselamatkannya bagi mempertahankan Dachang.

Pertempuran selang kedua pihak berlanjut maju mundur, dengan sedikit perubahan di sepanjang Sungai Yunzaobin. Dari 11 September sampai 20 Oktober, kemajuan tentara Jepang hanya lima kilometer. Pada momen-momen paling intens, posisi-posisi dapat beralih tangan sampai lima kali dalam satu hari. Pada 17 Oktober, Tentara Guangxi di bawah pimpinan Li Zongren dan Bai Chongxi yang belakang sekalinya tiba bagi bergabung dengan Tentara Sentral pimpinan Chiang Kai-shek dalam pertempuran Shanghai. Tiongkok belakang melancarkan serangan balasan dalam upaya menyatukan secara penuh posisi-posisi mereka di sekitar Dachang dan menduduki kembali tepian Sungai Yunzaobin. Namun serangan balasan tersebut lemah dalam koordinasi dan lagi-lagi Tiongkok kalah terhadap superioritas daya pukul senjata Jepang. Jepang memakai sekitar 700 pucuk artileri dan 150 pesawat pembom bagi operasi Dachang dan kota tersebut hancur lebur sampai menjadi puing-puing. Pertempuran tersebut begitu sengitnya sampai laju rata-rata korban jiwa di pihak Tiongkok sampai ribuan per jamnya, dan beberapa divisi kehilangan kapasitas hanya dalam beberapa hari. Pertempuran sengit ini berlanjut sampai 25 Oktober, masa Dachang yang belakang sekalinya jatuh. Setelah itu, pasukan Tiongkok tidak mempunyai pilihan lain selain mundur dari pusat kota Shanghai, yang telah mereka pertahankan hampir selama tiga bulan.

Fase ketiga (27 Oktober – 26 November)

Penarikan mundur Tiongkok dari metropolitan Shanghai

Jepang berhasil menguasai beberapa kota besar di Tiongkok yaitu

Pasukan Jepang sampai Stasiun Utara yang hancur di pusat kota Shanghai

Pada 26 Oktober malam, Tiongkok mulai menarik mundur pasukannya dari pusat urban Shanghai. Karena Dachang dan kota-kota suburban vital lainnya telah jatuh, Chiang Kai-shek memerintahkan pasukan Tiongkok bagi mundur dari Zhabei, Jiangwan (江灣), dan posisi-posisi lainnya yang telah dipertahankan teguh selama 77 hari. Namun Chiang memerintahkan satu batalyon dari Divisi ke-88 tetap berada di Zhabei bagi mempertahankan Gudang Sihang di tepi utara Sungai Suzhou. Chiang tidak dapat sepenuhnya mengosonglam pusat kota Shanghai karena konferensi Kontrak Sembilan-Daya sedang berlanjut di Brussels bagi sebuah kemungkinan intervensi Barat dalam konflik Tiongkok-Jepang. Sisa pasukan Tiongkok menyeberangi Sungai Suzhou dan berkumpul kembali bagi bentrokan terakhir dengan tentara Jepang.

Pertempuran di sekitar Sungai Suzhou

Jepang berhasil menguasai beberapa kota besar di Tiongkok yaitu

Pasukan Jepang merayap di selang reruntuhan

Rencana awal Chiang adalah berperang di medan selatan Sungai Suzhou dan menimbulkan sebanyak mungkin korban di pihak Jepang. Namun setelah tiga bulan pertempuran intens, daya pasukan Tiongkok telah sangat terkurangi. Daya banyakan satuan tinggal setengah daya awal, sehingga sebuah divisi hanya mempunyai kapasitas tempur kurang dari dua resimen. Pada masa ini, tentara Tiongkok membutuhkan selang 8 sampai 12 divisi bagi mengimbangi daya tempur satu divisi Jepang, sehingga komandan-komandan Tiongkok pesimis terhadap hasil pertempuran Sungai Suzhou. Li Zongren, Bai Chongxi, Chang Fa-kuei dan komandan-komandan lainnya berkeras supaya pasukan Tiongkok memasuki garis pertahanan Wufu dan Xicheng bagi melindungi Nanjing, tetapi Chiang menginginkan pasukan Tiongkok bagi meneruskan pertempuran di tepi selatan Sungai Suzhou. Pada 28 Oktober, Chiang tiba di medan tempur bagi menaikkan moral pasukannya, namun demikian keadaan memang telah suram. Pada 30 Oktober, Jepang melintasi Sungai Suzhou dan pasukan Tiongkok dalam bahaya pengurungan. Tentara Tiongkok telah berada dalam batas daya tahan.

Pendaratan Jepang di Jinshanwei

Jepang berhasil menguasai beberapa kota besar di Tiongkok yaitu

Satuan garis belakangan pasukan Jepang mendaratkan suplai di Jinshanwei

Sejak 12 Oktober, kepala-kapala staf militer Jepang telah mendefinisikan rencana bagi memainkan pendaratan di Jinshanwei (金山衛), sebuah kota yang terletak di tepi utara Teluk Hangzhou, di sebelah selatan daerah Shanghai. Pendaratan Jinshanwei akan memfasilitasi tekanan ke arah utara terhadap Kota Shanghai, bagi melengkapi pendaratan di kota-kota timur laut Shanghai, seperti yang terjadi di sekitar Baoshan selang yang belakang sekali Agustus dan pertengahan September, yang telah memberikan tekanan ke arah selatan. Chiang Kai-shek telah menyadari rencana Jepang bagi mengurung tentaranya di dalam Shanghai dari utara dan selatan, dan telah memerintahkan komandan-komandannya bagi mengambil langkah-langkah pencegahan terhadap kemungkinan pendaratan Jepang di Jinshanwei. Namun kejatuhan Dachang yang menjelang di yang belakang sekali Oktober memaksa Chiang memindahkan divisi-divisi Tiongkok yang mempunyai di sepanjang pesisir utara Teluk Hangzhou. Sebagai hasil, kurangnya pertahanan Tiongkok membikin Korps Tentara ke-10 Jepang, terdiri dari satuan-satuan yang dialihkan dari Pertempuran Taiyuan di Teater Tiongkok Utara, mendarat dengan gampang di Jinshanwei pada 5 November. Jinshanwei hanya tidak berdekatan 40 km dari tepian Sungai Suzhou, lokasi pasukan Tiongkok baru saja mundur dari kejatuhan Dachang.

Perjalanan ke Nanjing

Jepang berhasil menguasai beberapa kota besar di Tiongkok yaitu

Tentara Tiongkok merawat korban-korban serangan gas Jepang

Keputusan Jepang menduduki Nanjing

Di bulan Oktober, SEF (Shanghai Expedition Force) diperkuat oleh Tentara ke-10 Jepang pimpinan Letnan Jendral Heisuke Yanagawa. Pada 7 November, Tentara Daerah Tiongkok Tengah Jepang (Japanese Central China Medan Army = CCAA) dibuat dengan menggabungkan SEF dan Tentara ke-10, dengan Matsui ditunjuk sebagai panglima tertinggi merangkap panglima SEF. Setelah memenangi pertempuran di sekitar Shanghai, SEF menyarankan kepada Markas Umum Kekaisaran di Tokyo bagi menyerang Nanjing. CCAA belakang diatur ulang dan Letnan Jendral Pangeran Asaka (Yasuhiko), paman dari Kaisar Hirohito, ditunjuk sebagai komandan SEF, sementara Matsui tetap sebagai komandan CCAA mengawasi SEF dan Tentara ke-10. Namun, dalam kenyataan, otoritas Matsui sulit bagi ditegakkan karena ia berhadapan dengan anggota keluarga kekaisaran yang ditunjuk langsung oleh Kaisar. Dalam antisipasi penyerbuan Nanjing, Matsui mengeluarkan perintah kepada tentaranya yang berbunyi:

Nanjing adalah ibukota Tiongkok dan penaklukkannya adalah sebuah afair internasional; oleh karena itu, pemeriksaan seksama harus dimainkan sehingga menunjukkan kehormatan dan kemuliaan Jepang dan memperbesar keyakinan rakyat Tiongkok, dan bahwa pertempuran di sekitar Shanghai bertujuan bagi menaklukkan tentara Tiongkok, oleh karenanya lindungi dan perlakukan dengan adil pejabat-pejabat serta rakyat Tiongkok, sedapat mungkin; Pasukan harus menanamkan dalam ingatan bagi tidak melibatkan masyarakat negara-warga negara dan tentara-tentara asing ke dalam masalah dan memelihara hubungan tidak jauh dengan otoritas-otoritas asing dalam upaya menghindari kesalahpahaman.

Pada 2 Desember, Kaisar Showa menominasikan salah satu pamannya, Pangeran Asaka, sebagai komandan invasi. Sulit bagi ditegakkan jika, sebagai anggota keluarga kekaisaran, Asaka mememiliki status semakin tinggi daripada Jendral Iwane Matsui, yang secara resmi adalah panglima tertinggi, namun jelas bahwa, sebagai perwira berpangkat tinggi, Pangeran Asaka mempunyai otoritas atas komandan-komandan divisi, Letnan Jendral Kesago Nakajima dan Heisuke Yanagawa.

Setelah mengamankan kendali terhadap Shanghai, tentara Jepang memulai gerak majunya menuju Nanjing pada 11 November 1937, mendekati kota dari berbagai penjuru.

Jepang berhasil menguasai beberapa kota besar di Tiongkok yaitu

Gerak maju Jepang ke Nanjing dapat dikarekterisasi sebagai sebuah “barisan terpaksa”. Hampir semua kesatuan melintasi jarak 400 km dalam waktu lebih kurang satu bulan. Dengan mengasumsikan bahwa penaklukan ibukota Tiongkok akan menjadi titik balik memilihkan dalam perang, mempunyai keinginan kuat menjadi di selang yang pertama yang dapat meng-klaim kehormatan kemenangan.[9]

Tentara Jepang dilawan oleh prajurit-prajurit Tiongkok dalam sejumlah perjumpaan di perlintasan menuju Nanjing, dan seperti kebanyakan banyak mereka jauh banyakan. Semakin tidak jauh Jepang dengan Nanjing, pertempuran semakin meningkat frekuensi dan mutunya.[10]

Tiongkok mundur dari Shanghai

Pendaratan Jepang di Jinshanwei bermanfaat bahwa tentara Tiongkok harus mundur dari front Shanghai dan berupaya bagi lolos. Namun, Chiang Kai-shek tetap berkeinginan Kontrak Sembilan Daya (Nine-Power Treaty) dapat memproduksi sejumlah sanksi internasional terhadap Jepang. Tidak sampai 8 November komando pusat Tiongkok mengumumkan penarikan umum dari keseluruhan front Shanghai. Semua kesatuan Tiongkok diperintahkan bangung menuju kota-kota di barat seperti Kunshan, dan dari sini memasuki garis-garis pertahanan yang belakang sekali bagi mencegah Jepang sampai Nanjing. Pada titik ini, tentara Tiongkok telah benar-benar kelelahan, kehabisan amunisi dan perbekalan, sehingga pertahanan benar-benar dalam keadaan terhuyung-huyung. Kunshan jatuh hanya dalam waktu dua hari, dan sisa pasukan mulai bangung menuju benteng pertahanan Garis Wufu pada 13 November. Tentara Tiongkok berperang dengan sisa tenaga mereka dan garis hadapan berada di ambang keambrukan.

Dalam kekacauan tersebut, banyak kesatuan Tiongkok terpecah dan kehilangan kontak dengan perwira-perwira penghubung yang mempunyai peta dan rencana pertahanan. Ditambah lagi masa mereka tiba di Garis Wufu, pasukan Tiongkok mendapati beberapa pejabat sipil telah melarikan diri dan membawa serta kunci-kunci benteng bersama mereka. Pasukan Tiongkok yang terpukul, yang baru saja tiba dari mandi darah di Shanghai dan berkeinginan dapat memasuki garis-garis pertahanan, menjumpai bahwa diri mereka tidak dapat memanfaatkan benteng-benteng pertahanan ini. Garis Wufu ditembus pada 19 November dan pasukan Tiongkok belakang bangung menuju Garis Xicheng, yang belakang terpaksa diserahkan pada 26 November di tengah-tengah serangan gencar. ”Garis Hindenberg Tiongkok” yang dibangun pemerintah dengan dana jutaan dan merupakan garis terakhir pertahanan selang Nanjing dan Shanghai, runtuh hanya dalam waktu dua hari pertama. Namun begitu, pertempuran terus berlanjut tanpa jeda di perlintasan menuju ibukota Tiongkok dan pertempuran selanjutnya segera mengarah menjadi Pertempuran Nanjing.

Di awal Desember, pasukan Jepang telah sampai pinggiran Kota Nanjing.

Kesudahan suatu peristiwa dan taksiran kerugian

Hilangnya daya militer Tentara Sentral

Jepang berhasil menguasai beberapa kota besar di Tiongkok yaitu

Perwira-perwira Tiongkok memperoleh pukulan hebat di dalam pertempuran.

Meskipun Pertempuran Shanghai adalah yang pertama dari 22 pertempuran akbar selang Tiongkok dan Jepang, keputusan Chiang Kai-shek bagi mengirimkan pasukan-pasukan terbaiknya memproduksi kesudahan suatu peristiwa yang signifikan. Pada masa perang pecah, Tentara Revolusioner Nasional Tiongkok mengandalkan tentara reguler sejumlah 1,7 juta personel, tetapi dalam kenyataannya daya militer Tiongkok rendah secara signifikan. Hal ini karena hampir semua pasukan kurang terlatih, kurang peralatan, dan merupakan petani-petani yang semi-melek huruf dengan sedikit pengetahuan pemikiran perang modern. Hanya sekitar 300.000 pasukan yang secara komparatif terlatih dengan adil dan diorganisasikan ke dalam sekitar 40 divisi yang baru diatur ulang. Di selang banyak ini, sekitar 80.000 adalah divisi hasil pelatihan Jerman yang menyusun satuan-satuan elit Tentara Sentral Chiang Kai-shek. Namun begitu, bahkan divisi-divisi ini pun tidak cukup didukung oleh pasukan gabungan. Jadi, dari hampir dua juta tingkatan bersenjata, kurang dari seratus ribu pasukan Tiongkok yang dapat menandingi pasukan Jepang. Keputusan Chiang bagi mengerahkan semua divisinya dalam pertempuran di Shanghai menyebabkan satuan-satuan elitnya kehilangan sekitar 60 persen personelnya dalam tiga bulan mandi darah. Dalam satu pukulan saja, Chiang juga kehilangan sekitar 10.000 dari 25.000 perwira yunior yang dilatih oleh Akademi Militer Pusat selang 1929 sampai 1937, ditambah lagi beberapa puluh ribu perwira militer potensial. Tentara Pusat Chiang tidak pernah dapat bangung dari kehancuran ini. Divisi ke-88 yang mungkin merupakan divisi terbaik di selang divisi-divisi elit ini, memulai Pertempuran Nanjing dengan daya hanya 7000 personel, dengan 3000 di selangnya adalah rekrutan baru bagi menggantikan para veteran yang hilang. Kehancuran daya militernya juga memaksa Chiang mempercayai jendral-jendral non-Whampoa, yang memimpin tentara-tentara provinsial dengan loyalitas dipertanyakan. Karena pengurangan daya militer ini, Chiang kehilangan daya ungkit politik di mata para panglima perang lokal. Dampaknya Chiang efektif hanya menjadi kepala koalisi yang tidak kuat daripada menjadi panglima tertinggi tingkatan bersenjata yang bersatu. Melemahnya banyak personel tempur terbaik Tiongkok juga membikin rencana dan eksekusi operasi militer selanjutnya menjadi sulit. Intinya, usaha sebelum perang Chiang bagi mendirikan sebuah tentara nasional yang benar-benar efektif dan modern benar-benar hancur dalam pengorbanan bagi Pertempuran Shanghai.

Respon internasional dan konsekuensi-konsekuensinya

Gagasan utama tentara Tiongkok bertahan di Shanghai selama mungkin, meskipun membikin mereka berada di ambang kehancuran, adalah harapan akan keadaan intervensi barat terhadap Perang Tiongkok-Jepang. Negara-negara barat hanya menaruh perhatian kecil terhadap keadaan Tiongkok karena sebagian akbar tercurah ke keadaan di Eropa. Selain itu, banyakan negara-negara barat juga hanya melihat sedikit harapan bahwa intervensi mereka dapat menolong Tiongkok dalam jangka panjang karena mereka percaya pada yang belakang sekalinya Tiongkok akan jatuh juga. Jika di mata dunia Barat, Tiongkok tampak lemah secara militer, terbelakang secara ekonomi, dan terpecah-belah secara politik, tidaklah masuk tipu daya bagi mereka menolong Tiongkok jika sedang tampak kalah oleh Jepang. Oleh sebab itu, Chiang Kai-shek harus mencurahkan segalanya bagi memberikan keyakinan Dunia Barat bahwa konflik selang Tiongkok dan Jepang yang terjadi adalah perang skala akbar, bukan kelompok ”insiden” yang tidak bersesuaian seperti yang telah terjadi sebelumnya. Bersandar pada strategi politik ini, Chiang Kai-shek harus memerintahkan pasukan-pasukannya bagi berperang sampai mati dalam usaha mengambil simpati internasional dan berkeinginan komunitas internasional mengambil langkah-langkah yang dapat menolong Tiongkok dan memberikan sanksi kepada Jepang.

Pada 12 September, satu bulan setelah Pertempuran Shanghai dimulai, Tiongkok secara resmi membawa kasus melawan Jepang ke Liga Bangsa-Bangsa. Sekali lagi, Liga tidak dapat mendefinisikan sanksi efektif apa pun terhadap Jepang selain daripada pernyataan 4 Oktober yang memberikan ”dukungan spiritual” kepada Tiongkok. Amerika Serikat bukan merupakan anggota Liga, sementara Britania Raya dan Perancis enggan bagi menantang Jepang. Di selang semua daya akbar Barat, hanya Amerika Serikat yang tampak dapat berperan semakin karena tidak terlibat keadaan Eropa yang sedang panas-dingin. Selain itu, pada 5 Oktober, Presiden Franklin D. Roosevelt memberikan Pidato Karantina, menyerukan Amerika Serikat menolong bangsa-bangsa yang sedang berperang dengan bangsa-bangsa agresor. Pidato ini mempunyai efek yang hebat sekali dalam meningkatkan moral Tiongkok. Karena Amerika tampak mempunyai keinginan bagi berkonfrontasi dengan Jepang, perwakilan Britania Raya menyarankan bagi menutup kasus di Liga Bangsa-Bangsa dan berinisiatif bagi mengadakan rapat Konferensi Kontrak Sembilan Kekuatan. Konferensi tersebut secara otomatis melibatkan Amerika Serikat ke dalam usaha mengekang serangan Jepang karena Kontrak Sembilan Daya merupakan hasil dari Konferensi Tingkatan Laut Washington pada 1922.

Jepang berhasil menguasai beberapa kota besar di Tiongkok yaitu

Generalissimo Chiang Kai-shek di garis hadapan

Masuknya Amerika ke dalam respon internasional membawa harapan baru bagi Tiongkok, dan Chiang Kai-shek mengulangi pernyataannya kembali akan perlunya pasukan Tiongkok bertahan di Shanghai bagi membuktikan bahwa kota itu memang layak dipertahankan. Pada pertengahan Oktober, keadaan pasukan Tiongkok di Shanghai semakin mengkhawatirkan dan Jepang mendapat hasil yang signifikan. Kota vital Dachang jatuh pada 26 Oktober dan Tiongkok harus mundur dari metropolitan Shanghai. Namun begitu, karena Konferensi Kontrak Sembilan Daya baru dimulai pada awal November, Chiang Kai-shek memerintahkan pasukannya bagi bertahan di Shanghai daripada mundur ke Garis Wufu dan Xicheng bagi mempertahankan Nanjing. Ia juga meninggalkan satu batalyon sendirian bagi mempertahankan Gudang Sihang di dalam metropolitan Shanghai. Chiang juga mengunjungi pasukannya di garis hadapan bagi meningkatkan moral pasukannya. Karena Shanghai adalah kota Tiongkok paling penting di mata dunia barat, pasukan Tiongkok harus berperang dan mempertahankan kota selama mungkin, daripada mundur bagi memperkuat garis-garis pertahanan di kota-kota tidak bernama sepanjang perlintasan menuju Nanjing. Pada 3 November, konferensi yang belakang sekalinya dilangsungkan di Brusel. Masa daya barat sedang bersidang bagi mendamaikan keadaan, pasukan Tiongkok berupaya berdiri bagi terakhir kalinya dan menaruh semua harapan pada intervensi barat bagi dapat menyelamatkan Tiongkok dari keruntuhan.

Konferensi berlanjut berlarut-larut dengan hasil minim. Jepang diundang dua kali namun menolak sehingga usaha mediasi yang melibatkan Jepang secara langsung tidak dapat dimainkan. Sama dengan yang telah terjadi dalam konferensi Liga Bangsa-Bangsa, daya barat, termasuk Amerika Serikat, sedang mengandalkan isolasionisme dan appeasement. Jadi, tidak mempunyai hal yang efektif berhasil dirumuskan. Pada 5 November, Jepang memainkan pendaratan amfibi di Jinshanwei bagi mengepung pasukan Tiongkok yang sedang berperang di wilayah perang Shanghai. Chiang sedang menunggu tanggapan yang menguntungkan dari Konferensi Kontrak Sembilan Daya dan memerintahkan pasukannya bagi terus bertahan, meskipun pasukan-lelahnya terancam pengurungan dari pendaratan Jinshanwei. Tidak sampai tiga hari belakang pada 8 November, komando pusat Tiongkok memerintahkan pasukan bagi mundur dari keseluruhan front Shanghai bagi melindungi Nanjing. Penundaan tiga hari ini cukup bagi memecah belah garis komando Tiongkok karena satuan-satuan telah hancur lebur kesudahan suatu peristiwa pertempuran yang berkelanjutan, dan hal ini berakibat langsung pada kegagalan mengatur pertahanan di sekitar Garis Hindenburg Tiongkok yang menjaga Nanjing. Pada 24 November, Konferensi Kontrak Sembilan Daya bersidang bagi yang terakhir kalinya bagi selanjutnya ditangguhkan sampai waktu yang tidak dipastikan, tanpa memproduksi tindakan-tindakan apa pun yang dapat membubarkan serangan Jepang. Dalam laporannya, Jendral Chen Cheng menulis bahwa di keseluruhan banyakan kampanye Shanghai, strategi militer seringkali tergantikan oleh strategi politik. Adalah tragedi bangsa bahwa strategi politik, khususnya seriskan menaruh harapan pada intervensi asing, memaksa pasukan bagi memainkan pengorbanan banyak sekali di Shanghai dan membiarkan penghancuran hampir total. Ia menulis bahwa karena Tiongkok lemah, terpaksa membutuhkan bantuan asing dan harus berkorban hanya bagi membuktikan kapasitas mereka dalam berperang dan bertahan. Di yang belakang sekali pertempuran, meskipun ratusan ribu pasukan Tiongkok mati hanya bagi menyatakan bahwa Tiongkok siap berkorban, harapan yang belakang sekali akan keadaan intervensi barat tidak pernah mempunyai.

Kesudahan suatu peristiwa

Bertalian dengan efek jangka panjangnya pada perang dengan menghabiskan tenaga lawan, Pertempuran Shanghai melakukan pembelian cukup waktu bagi pemerintah Tiongkok bagi memindahkan industri-industri vitalnya ke Wuhan dan Xian, dan dari situ ke Chongqing, ibukota Tiongkok semasa perang. Kesukaran dalam membongkar dan relokasi ribuan ton peralatan mesin dan pabrik, khususnya di bawah kampanye pemboman Jepang, bermanfaat bahwa pemerintah Tiongkok gagal sebagian tujuannya memindahkan keseluruhan basis industri dari wilayah Shanghai. Banyak pabrik hancur selama pertempuran dan tidak dapat digunakan lagi. Dari hampir 1200 pabrik dan bengkel kerja berbagai macam ukuran, hanya sekitar 10 persen yang berhasil dipindahkan dari Shanghai. Industri-industri ini merupakan inti industri masa perang, yang sangat bermanfaat khususnya pada masa-masa suram blokade keseluruhan pantai Tiongkok, penutupan Perlintasan Burma, dan rendahnya suplai dari daerah Punggung. Strategi Chiang Kai-shek dengan membawa pertempuran ke Shanghai bagi memaksa Jepang mengadopsi arah serangan timur ke barat juga mencegah Jepang memotong ke arah Tiongkok Tengah. Sebagai hasil, Pertempuran Wuhan berhasil tertunda hampir satu tahun, dan waktu yang berhasil ”dibeli” memberikan pemerintah Tiongkok kesempatan bernapas bagi memulihkan diri dan merelokasi sumber-sumber daya ke Chongqing. Secara keseluruhan, meskipun kerugian Tiongkok tidak dapat terganti, strategi berdagang ”ruang bagi waktu” membuktikan kebergunaannya.

Pertempuran Shanghai adalah sebuah kekalahan militer, tetapi sebuah nilai penting bagi nasionalisme Tiongkok. Mulainya perang skala penuh bermanfaat bahwa Tiongkok tidak lagi berpangku tangan dan membiarkan Jepang menaklukkan wilayahnya sepotong demi sepotong seperti yang terjadi pada masa lalu. Perang ini juga menunjukkan kepastian hati Tiongkok bagi tidak menyerah bahkan dalam menghadapi daya gempur yang sangat hebat sekalipun. Namun, perintah Chiang Kai-shek bagi bertahan sampai mati sangat membikin lemah pasukannya dan secara langsung menyebabkan ketidakmampuan tentaranya dalam mempertahankan Nanjing bahkan hanya bagi dua hari pertama saja. Di dalam memoarnya, Jenderal Li Zongren menekankan bahwa staf Chiang telah menyarankan supaya tentara Tiongkok mencadangkan sekitar sepuluh divisi di sepanjang Garis Wufu bagi melindungi Nanjing dan merasa bahwa itu tidaklah lain jika Shanghai dapat dipertahankan beberapa bulan semakin panjang dengan biaya korban jiwa raksasa. Namun karena Tiongkok tidak dapat mengalahkan Jepang sendirian, Chiang percaya bahwa pilihan terbaik adalah melibatkan daya barat ke dalam perang dengan mendapat simpati melewati perlawanan gagah berani di Shanghai. Juga mungkin Chiang Kai-shek tidak menyadari bahwa perang akan berlanjut selama delapan tahun. Dalam korespondensinya dengan Hu Shih, Chiang menulis bahwa Tiongkok dapat bertahan selama enam bulan sampai perubahan-perubahan keadaan internasional dapat mengakhiri perang. Hal ini mungkin yang menyebabkan Chiang mengerahkan semua pasukan terbaiknya dalam pertempuran pertama yang ternyata menjadi perang yang panjang. Meskipun penilaian Chiang terlalu optimistik, faktanya Tiongkok terus berperang bagi delapan tahun selanjutnya sampai Jepang yang belakang sekalinya dikalahkan, bahkan ketika banyak negara kuat seperti Perancis kalah dan menyerah hanya dalam waktu enam hari pertama.

Semakin jauh lagi, Pertempuran Shanghai adalah contoh pertama tentara-tentara provinsial mau bekerjasama penuh dengan Tentara Pusat Chiang. Dua tahun sebelumnya, Chiang Kai-shek, Li Zongren, dan beberapa panglima perang saling bermusuhan dalam berbagai perang saudara, berperang bagi penguasaan Tiongkok, tetapi mereka disatukan oleh nasionalisme dan tentara-tentara mereka berperang saling bahu-membahu melawan musuh bersama. Tiongkok juga berperang dengan gigih sehingga Shanghai tidak jatuh dalam tiga hari, dan Tiongkok tidak jatuh dalam tiga bulan seperti yang diproklamasikan Jepang dalam slogan-slogan mereka. Ini adalah desakan maral yang luar biasa, khususnya di saat-saat gelap ketika tentara Tiongkok menderita rangkaian kekalahan pada masa awal perang. Korban akbar yang dikarenakan oleh Tiongkok dan kesukaran penaklukan menyebabkan pasukan Jepang memainkan Pembantaian Nanjing sebagai sikap yang dibuat balasan menghadapi perlawanan Tiongkok. Kegigihan dan kepastian hati juga mengejutkan pengamat-pengamat internasional yang mengira Tiongkok akan dikalahkan dengan gampang dan belakang memohon perdamaian. Secara keseluruhan, meskipun harga yang mesti dibayar melangit, fakta bahwa Tiongkok dapat menahan serangan berulang-ulang dan tetap berdiri dalam “pertempuran paling berdarah sejak Pertempuran Verdun” adalah bukti kebulatan tekad Tiongkok bagi meneruskan perang dan berperang sampai titik darah yang belakang sekali.

Lihat pula

Referensi

  • Nationalist China At War 1937-1945 diterbitkan oleh Universitas Michigan, Ann Arbor, pada 1982.
  • Disertasi doktor mengenai Kampanye Shanghai-Nanking dari Universitas Nasional Taiwan.

  1. ^ "Why We Fight" seri video yang dirilis oleh pemerintah AS bagi para prajuritnya
  2. ^ China's Bitter Victory, p.143
  3. ^ Military History of Modern China, p.199
  4. ^ North China Daily News 15.8.1937
  5. ^ The Times (London) 16.8.1937 "1,000 DEAD IN SHANGHAI/DEVASTATION BY CHINESE BOMBS"
  6. ^ "This terrified baby was almost the only human being left alive in Shanghai's South Station after brutal Japanese bombing. China, August 28, 1937., 1942 - 1945". Arsip Nasional AS. Diakses 27-08-2007. 
  7. ^ LOOK Magazine, Dec. 21: 52–53 
  8. ^ Lihat Soviet Fighters in the Sky of China, oleh Anatolii Demin.
  9. ^ "Analyzing the “Photographic Evidence” of the Nanking Massacre (originally published as Nankin Jiken: “Shokoshashin” wo Kenshosuru)". Tokyo, Japan: Soshisha. 2005. 
  10. ^ "Analyzing the “Photographic Evidence” of the Nanking Massacre (originally published as Nankin Jiken: “Shokoshashin” wo Kenshosuru)". Tokyo, Japan: Soshisha. 2005. 


edunitas.com


Page 3

Pertempuran Shanghai
Bidang dari Perang Tiongkok-Jepang Kedua
Jepang berhasil menguasai beberapa kota besar di Tiongkok yaitu

Sebuah kubu senapan mesin Tentara Revolusioner Nasional di dalam kota Shanghai.
Pihak yang terlibat
Tentara Revolusioner Nasional, Republik Tiongkok Tingkatan Laut Kekaisaran Jepang, Tingkatan Darat Kekaisaran Jepang, Kekaisaran Jepang
Komandan
Chiang Kai-shek Chen Cheng Zhang Zhizhong Hasegawa Kiyoshi
Jepang berhasil menguasai beberapa kota besar di Tiongkok yaitu
Heisuke Yanagawa
Jepang berhasil menguasai beberapa kota besar di Tiongkok yaitu
Iwane Matsui
Daya
600,000 pasukan dalam 75 divisi dan 9 brigade,
200 pesawat terbang
300,000 pasukan dalam 8 divisi dan 6 brigade,500 pesawat terbang,300 tank,

130 kapal laut

Korban
~200,000~70,000[1]

Pertempuran Shanghai yaitu pertempuran pertama dari 22 pertempuran akbar selang Tentara Revolusioner Nasional, Republik Tiongkok dan Tentara Kekaisaran Jepang selama Perang Tiongkok-Jepang Kedua. Pertempuran ini yaitu salah satu yang paling akbar dan paling berdarah selama masa perang tersebut.

Sejak 1931, Tiongkok dan Jepang telah terlibat dalam konflik-konflik kecil tiada putus, seringkali diketahui sebagai ”insiden”, yang membikin Tiongkok kehilangan wilayah sepotong demi sepotong. Pada Agustus 1937, mengikuti Insiden Jembatan Marco Polo pada 7 Juli, dan invasi Jepang terhadap Tiongkok Utara, Generalissimo Chiang Kai-shek memutuskan bagi memimpin Tiongkok dalam perang total terhadap Jepang, meskipun tanpa deklarasi resmi. Perlawanan Tiongkok di Shanghai mempunyai tujuan mematahkan gerak maju Jepang yang cepat, memberikan banyak waktu yang dibutuhkan kepada pemerintah Tiongkok bagi memindahkan industri-industri vital ke lokasi yang semakin dalam, di mana pada masa yang sama berupaya mengambil simpati Daya Barat. Selama tiga bulan pertempuran sengit, Pasukan Tiongkok dan Jepang berperang di pusat kota Shanghai, kota-kota terpencil, dan pantai-pantai sepanjang pesisir Provinsi Jiangsu, lokasi Jepang memainkan pendaratan amfibi. Tentara Tiongkok hanya mengandalkan senjata-senjata kaliber kecil dalam melawan serangan gencar besar-besaran dari udara, laut, dan daya pemukul lapis baja Jepang.[2] Pada yang belakang sekalinya, Shanghai jatuh, dan Tiongkok kehilangan sebagian akbar pasukan terbaik mereka, serta gagal memperoleh intervensi internasional. Namun, perlawanan Tiongkok datang sebagai kejutan akbar terhadap penyerbu Jepang,[3] yang telah terindoktrinasi dengan ingatan superior secara budaya dan militer, dan secara dramatis menurunkan moral tentara Jepang. Kisah kepahlawanan mempertahankan Shanghai dan kisah selanjutnya mengenai kekejaman tentara Jepang yang amat terkejut dengan perlawanan tersebut, menginspirasi bangunannya perlawanan nasionalisme Tiongkok dalam sebuah konflik brutal selama delapan tahun.

Di Tiongkok, Pertempuran Shanghai diketahui sebagai Pertempuran Songhu (Tionghoa: 淞滬會戰; pinyin: Sōnghù Huìzhàn). Kata Song bersumber dari Wusong (吳凇), nama lain Sungai Suzhou, sebuah sungai kecil yang mengalir melewati Shanghai. Hu (滬) yaitu singkatan bagi kota itu sendiri. Dalam beberapa sumber Jepang, pertempuran tersebut diketahui sebagai "Insiden Shanghai Kedua" (第二次上海事変, Dai-niji Shanhai jiken?), membedakannya dengan Insiden Shanghai Pertama pada 1932. Namun, Pertempuran Shanghai 1937 yaitu sebuah pertempuran skala penuh menandai awal perang mati-matian selang dua negara tersebut. Istilah “insiden” secara tradisional digunakan bagi memperhalus invasi Tiongkok oleh Jepang. Pertempuran dapat dibagi ke dalam tiga tahap, dan secara keseluruhan melibatkan hampir satu juta pasukan. Tahap pertama berjalan dari 13 Agustus sampai 22 Agustus, yaitu masa Tentara Revolusioner Nasional berupaya menghalau kehadiran Tentara Kekaisaran Jepang dari pusat kota Shanghai. Tahap kedua berjalan dari 23 Agustus sampai 26 Oktober, yaitu selama Jepang melancarkan pendaratan amfibi di pesisir Jiangsu dan kedua pihak berperang dari propertti ke propertti, dengan Jepang berupaya mendapat kendali terhadap kota dan daerah di sekitarnya. Tahap terakhir berjalan dari 27 Oktober sampai yang belakang sekali November, melibatkan mundurnya tentara Tiongkok dalam menghadapi manuver penjempitan Jepang, dan belakang pertempuran di perlintasan menuju ibukota Tiongkok, Nanjing.

Latar belakangan

Pertempuran Shanghai yaitu pertempuran akbar pertama dalam Perang Tiongkok-Jepang Kedua dan meningkatkan skala Insiden Jembatan Marco Polo dari perang lokal di Tiongkok Utara menjadi perang skala penuh yang akan melibatkan hampir semua wilayah Tiongkok. Mempunyai beberapa penyebab isi bagi peristiwa ini.

Gagasan strategis

Sejak pecahnya perang pada 7 Juli 1937, banyakan pertempuran berjalan di Tiongkok Utara dan sekitarnya dalam operasi-operasi yang diketahui sebagai Pertempuran Beiping-Tientsin. Awalnya, Tiongkok dan Jepang tidak mau tembak-menembak skala kecil meningkat ke tingkat perang total. Jepang mengharapkan segera terjadi gencatan senjata dan mendapat teritori Tiongkok semakin jauh, sama seperti yang terjadi sebelumnya melewati Insiden Mukden (1931), Insiden 28 Januari (1932), Insiden Tembok Akbar (1933), dan melewati jual beli pemukiman di pertengahan 1930-an. Namun Generalissimo Chiang Kai-shek melihat Insiden Jembatan Marco Polo sebagai usaha paling berani Jepang yang akan memisahkan secara penuh provinsi-provinsi utara dari kontrol Tiongkok dan menyatukannya ke dalam negara boneka Manchukuo hasil pekerjaan Jepang. Pada masa bangunannya Front Bersatu Kedua yang dibuat setelah Insiden Xi'an, even ini memecah ”Titik Akhir” (最後關頭) toleransi Chiang terhadap serangan Jepang berdasarkan kebijakan ”perdamaian internal sebelum perlawanan eksternal”. Chiang memutuskan bagi memulai perang skala penuh dengan Jepang.

Jepang berhasil menguasai beberapa kota besar di Tiongkok yaitu

Sebuah bidang blokade jalanan Tiongkok yang dipertahankan oleh Divisi ke-87

Jepang berhasil menguasai beberapa kota besar di Tiongkok yaitu

Prajurit-prajurit Divisi ke-88 mempertahankan sebuah persimpangan di belakangan pertahanan kantung-kantung pasir

Chiang Kai-shek dan para penasihatnya percaya bahwa langkah logis selanjutnya dari tentara Jepang yaitu maju dari Tiongkok Utara, sepanjang Peiping-Hankou serta rel kereta api Peiping-Pukou, dan memotong ke Wuhan dan daerah-daerah di Tiongkok Tengah dan Timur. Gerak maju utara-selatan Jepang bermanfaat bahwa tentara Tiongkok wajib bertahan sepanjang sumbu horisontal, bagi berupaya mengurung gerak maju musuh melewati gerakan menjepit. Namun tentara Tiongkok sebenarnya tidak berdaya bagi manuver semacam itu, sementara Tentara Kekaisaran Jepang mempunyai superioritas dalam hal mutu di Tiongkok Utara, dan mobilitas dari satuan-satuan lapis baja dan artilerinya tidak tertandingi. Kehadiran militer Tiongkok di Tiongkok Utara sangat minim, sementara pemerintah pusat serta Kuomintang sendiri dilarang memainkan keaktifan politik di Provinsi Hebei sebagai bidang Kontrak He-Umezu. Selain itu, banyakan pekerjaan pertahanan Tiongkok yang kuat tidak dibangun di Tiongkok Utara, melainkan di Tiongkok Timur, sepanjang Delta Yangtze yang rendah. Juga penting bagi dicatat, Jepang dapat dengan mudah memainkan penguatan pasukan melewati Korea dan Manchukuo, ke Tiongkok Utara dengan transportasi yang efisien lewat jalur laut dan kereta api. Pergerakan pasukan Tiongkok beberapa kali terhalang karena kurangnya yang dikendarai bermotor dan jalur kereta api. Sebagian akbar pasukan Tiongkok sampai garis hadapan dengan berlanjut kaki. Hal ini membikin penguatan pasukan dari Tiongkok Selatan ke Tiongkok Utara sangat memakan waktu, dibandingkan dengan penguatan pasukan rivalnya dari kepulauan mereka. Konsekuensinya, pertempuran di Tiongkok Utara tidak mungkin dimainkan oleh pasukan Tiongkok.

Jika tentara Jepang berhasil memainkan gerak maju ke selatan, menginvasi Wuhan belakang bangung ke timur dengan memainkan tekanan terhadap Tiongkok Tengah dan Timur dan mengurung wilayah Shanghai-Nanjing, pertahanan Tiongkok wajib mundur ke arah pantai dalam sebuah skenario yang mirip dengan Pertempuran Dunkirk selang Jerman dan Perancis yang terjadi belakang. Tingkatan Laut Kekaisaran Jepang mempunyai supremasi total di laut-laut Tiongkok dan gerak mundur daya Tiongkok tersebut pasti akan binasa karena telah tidak mempunyai lagi lokasi bagi mundur. Berdasarkan probabilitas terjadinya skenario ini, Chiang memutuskan membuka front kedua di Shanghai, dengan maksud menghadang gerak maju musuh ke Tiongkok Tengah dan Timur. Rencana Chiang yaitu memaksa Jepang mengubah arah gerak maju utara-selatannya menjadi timur ke barat. Dengan metode ini, pasukan Tiongkok akan mempunyai cukup ruang bagi mundur di barat daya dan mengumpulkan daya kembali sementara Shanghai, Nanjing, dan Wuhan jatuh ke Jepang. Rencana Tiongkok yaitu berperang sedapat mungkin bagi menunda gerak maju Jepang, dan waktu tunda dimanfaatkan bagi memindahkan pemerintahan dan industri-industri vital ke pedalaman. Ini yaitu dasar dari strategi menjual ”ruang bagi waktu.”

Gagasan politik

Opini publik dan patriotisme yaitu juga faktor kuat yang memengaruhi keputusan Chiang bagi menlangsungkan perang skala penuh terhadap Jepang. Sepanjang 1930-an, pemerintah pusat telah kehilangan dukungan publik yang sangat signifikan karena mengikat perdamaian dengan pemberontak Tiongkok komunis sebelum menyelenggarakan perang skala penuh melawan Jepang. Namun, setelah bangunan dari resolusi perdamain Insiden Xian, Chiang Kai-shek sampai popularitas yang belum pernah terjadi sebelumnya karena ia tampak sebagai satu-satunya pemimpin nasional yang mempunyai kapabilitas dalam memimpin perang melawan Jepang. Tidak mungkin baginya bagi mundur karena akan menjadi malapetaka bagi karier politiknya.

Awalnya, Chiang percaya bahwa Tiongkok membutuhkan setidaknya beberapa tahun keadaan damai di dalam negeri dan bersatu mendirikan tentara nasional dan industri-industri yang cukup sehingga sejajar dalam hal daya bagi melawan Jepang. Chiang khawatir bahwa perang yang prematur akan menggagalkan rencananya, sehingga semakin memilih pertempuran-pertempuran berskala kecil, ”insiden-insiden” yang bersifat lokal yang yaitu karakteristik konflik Tiongkok-Jepang selama 1930-an. Di lain pihak, jika Chiang memutuskan bagi memainkan perlawanan total, ia berisiko kehilangan divisi-divisi yang baru dire-organisasi yang belum terlalu siap menghadapi musuh secara frontal, dan juga penghancuran total basis-basis industri Tiongkok yang baru saja berdiri. Pada dasarnya, bagi Chiang, berperang dalam skala penuh akan menyokong citranya di kalangan rakyat Tiongkok, namun akan merusak daya ungkit politiknya, yang bersandar pada daya militer, melawan kekuatan-kekuatan regional lainnya. Namun, mundur dan membikin banyakan kelonggaran akan membikinnya tampak tidak patriotik dan kehilangan dukungan publik, namun dapat mempertahankan kekuasaan militernya. Pertempuran Shanghai dan keputusan perang total akan menjadi perjudian akbar bagi Chiang.

Chiang juga tidak dapat mencegah lepas sama sekalinya Provinsi Zhejiang dan Jiangsu ke tangan Jepang. Nanjing (ibukota Republik Tiongkok masa itu), dan Shanghai terletak di Provinsi Jiangsu. Dua provinsi tersebut yaitu juga daya ekonomi dataran rendah Delta Yangtze, dan banyak kemajuan industri dan pendirian dasar-dasar politik "Dekade Nanjing" dibangun di sini. Daerah tersebut yaitu juga satu-satunya lokasi di Tiongkok dimana pemerintah pusat di bawah Chiang Kai-shek tidak mempunyai penentang politik, karena Tiongkok Utara telah berada di bawah pengaruh Jepang, dan provinsi lainnya berada di bawah kendali panglima perang yang sedang tersisa atau faksi militeristik Kuomintang lainnya. Berlaku Ciang wajib mempertahankan Shanghai dengan segala metode karena kota ini yaitu inti administrasi politik dan ekonominya.

Shanghai yaitu kota kosmopolitan serba mempunyai, lokasi penanaman modal serta aset dari banyak daya internasional, seperti Amerika Serikat, Britania Raya, dan Perancis. Secara tradisional, Daya Barat tidak mau mengutuk serangan Jepang ke Tiongkok karena keadaan Eropa dan cara politik anti-Uni Soviet Jepang. Namun invasi Shanghai akan mendorong Barat memasuki perang dengan berdiri di pihak Tiongkok. Jelas bahwa perang ini akan mengakibatkan penawaran dan penjualan dengan harga murah investasi barat ke pihak Tiongkok. Sementara itu, Jepang tidak dapat melangsungkan perang melawan Amerika Serikat, daya ekonomi paling akbar, dan Britania Raya, daya kolonial paling akbar. Namun, pelanggaran terhadap appeasement dan isolasionisme komunitas internasional dan pengalaman sejak 1930-an menunjukkan bahwa sikap yang dibuat kelainan Jepang tidak mendasarkan diri pada kekuatan-kekuatan internasional, selain daripada beberapa kecaman yang tidak efektif dari Liga Bangsa-Bangsa.

Sebelumnya pada 1935, penasihat Chiang dari Jerman, Jendral Alexander von Falkenhausen, mengatakan padanya bahwa Kontrak Sembilan-Daya tidak semakin daripada selembar kertas dan tidak perlu terlalu berkeinginan bahwa komunitas internasional akan ikut campur tangan. Chiang dinasihatkan bahwa Tiongkok wajib bersedia bagi berperang sendirian setidaknya bagi dua tahun, mengesampingkan perubahan-perubahan keadaan internasional apapun.

Pengalaman masa lalu dan persiapan

Jepang berhasil menguasai beberapa kota besar di Tiongkok yaitu

Korps pemelihara perdamaian Tiongkok di pusat kota Shanghai

Chiang dan para penasihatnya persangkaan percaya diri dalam meningkatkan pertaruhan perang, sebab tentara Tiongkok pernah berperang dan memaksa Jepang bagi tidak bangung maju dalam Insiden 28 Januari 1932. Karena persetujuan gencatan senjata 1932, yang ditandatangani setelah insiden, melarang Tiongkok menaruh pasukan di dalam kota Shanghai, Tiongkok melatih garnisun-garnisun polisinya berbagai macam taktik militer yang tidak lazim bagi tugas-tugas kepolisian. Rencana pertahanan Shanghai dilindungi oleh Zhang Zhizhong, seorang veteran insiden 1932. Karena Tiongkok tidak mempunyai cukup artileri dan lapis baja, Zhang Zhizhong percaya bahwa tentara Tiongkok wajib mengandalkan superioritas kuantitas mereka, mengambil inisiatif, dan memaksa Jepang bagi mundur menuju pantai sebelum mereka sempat memainkan penggabungan.

Pada 1933, tiga daerah militer, Nanjing, Nanjing-Hangzhou, dan Nanjing-Shanghai, diciptakan bagi mengkoordinir pertahanan di Delta Yangtze. Pada 1934, dengan bantuan Jerman, konstruksi yang disebut sebagai "Garis Hindenburg Tiongkok" dimulai, dengan serangkaian pekerjaan fisik bagi memfasilitasi kedalaman pertahanan. Dua garis semacam itu, Garis Wufu (吳福線) selang Suzhou dan Fushan, dan Garis Xicheng (錫澄線) selang Wuxi dan Jiangyin, berada dalam jabatan bagi melindungi perlintasan menuju Nanjing, jika Shanghai jatuh ke tangan musuh. Pada musim semi 1937, beberapa bulan sebelum mulainya Perang Tiongkok-Jepang, garis-garis tersebut beres. Namun pelatihan personel yang dibutuhkan bagi mempertahankan jabatan dan meng-koordinasi pertahanan belumlah beres masa perang pecah.

Jabatan Jepang

Sejak perang pecah pada 7 Juli, Jepang memfokuskan diri pada operasi-operasi militer, utamanya di Tiongkok Utara, mencakup propinsi Hebei, Shanxi, dan Chahar. Invasi Jepang semakin jauh meningkatkan frekuensi protes anti-Jepang dan boykot terhadap produk-produknya yang berakibat serius terhadap perdagangan Jepang di Tiongkok. Efek tersebut sangat kuat terasa di Shanghai karena banyak kebutuhan komersial Jepang berada di kota tersebut.

Tingkatan Laut Kekaisaran Jepang telah mendesak bagi meningkatkan kehadiran pasukan dalam melindungi pabrik-pabrik dan masyarakat negara Jepang dari probabilitas konfrontasi dengan Tiongkok, tetapi tingkatan darat secara konsisten menolak bagi memainkan pekerjaan sama sampai awal Agustus. Salah satu gagasannya yaitu bahwa tingkatan darat tidak berkeinginan aci di Tiongkok Timur dan Tengah, karena kekhawatiran bahwa sikap yang dibuat semacam itu akan membikin kekosongan di Tiongkok Utara dan Manchukuo, yang bersamaan batasnya langsung dengan Uni Sovyet. Jepang memandang Uni Sovyet sebagai ancaman militer utama di daratan Tiongkok dan tidak mau mengalihkan perhatian dari Tiongkok Utara. Komando Tingkatan Darat Jepang juga tidak berkeinginan menghadirkan pasukan ke Tiongkok Tengah, karena hal itu dapat mengarahkan Jepang ke dalam konfrontasi dengan daya asing lain yang aci di wilayah tersebut. Komando Tingkatan Darat Jepang juga mempunyai opini yang sangat rendah mengenai kemampuan berperang Tiongkok, dan percaya bahwa karena Tiongkok hampir selalu terperosok ke dalam perang saudara, Chiang Kai-shek akan memfokuskan diri pada persatuan nasional terlebih dahulu dan tidak akan mengambil risiko pasukannya berperang dengan tentara Jepang yang jauh semakin superior.

Oleh sebab itu, Jepang berkeinginan mengalahkan Tiongkok dan mengakhiri perang secepat mungkin, bagi menghindari gangguan terhadap rencananya melawan Uni Sovyet. Namun begitu, Komando Tingkatan Laut Jepang mendesak kehadiran pasukan di Tiongkok Tengah bagi menghancurkan pasukan Tiongkok yang mungkin dikirim ke Tiongkok Utara, lokasi perang dilokalisasi. Mengikuti Insiden Oyama 9 Agustus, konflik di Shanghai tampak tidak terhindarkan. Pada 10 Agustus, panglima tertinggi tingkatan laut, Mitsumasa Yonai, menyuarakan kehendaknya di dalam pertemuan kabinet dan berhadapan dengan oposisi dari jenderal-jenderal tingkatan darat, Ishiwara Kanji and Umezu Yoshijiro. Dua jendral tersebut menegaskan bahwa front Shanghai wajib menjadi tanggung jawab mutlak Tingkatan Laut Kekaisaran. Setelah beberapa negosiasi, Komando Tingkatan Darat menyetujui kehendak tingkatan laut dan mulai menghadirkan pasukan ke wilayah Shanghai pada 10 Agustus.

Militer Jepang yakin dapat mengatasi daya Tiongkok di Tiongkok Tengah dalam tiga hari dan mengakhiri keseluruhan perang dalam tiga bulan. Jepang mempunyai garnisun-garnisun di dalam kota sementara Tiongkok hanya diijinkan mempunyai sejumlah kecil garnisun polisi militer, yang diketahui sebagai Korps Penjaga Perdamaian (保安隊), dan sejumlah kubu pertahanan, sebagai kesudahan suatu peristiwa dari Persetujuan Gencatan Senjata Shanghai. Jepang mempunyai banyak pabrik dan gudang di dalam kota, dan banyakan darinya digunakan bagi kepentingan militer. Markas akbar marinir Jepang berada di tidak jauh pabrik tekstil, dan mempunyai semakin dari delapan puluh lokasi menyilakan duduk meriam dan bungker dari berbagai macam macam di semua kota. Armada Ketiga Jepang juga mempunyai kapal-kapal yang berpatroli di sepanjang sungai-sungai yang melewati Shanghai, dan daerah-daerah di kota berada dalam jangkauan tembakan kapal-kapal tersebut. Secara keseluruhan, tentara Jepang sangat siap dalam menghadapi keunggulan banyak tentara Tiongkok, yang minim perlengkapan dan pelatihan.

Awal pertempuran

Insiden Oyama

Pada 9 Agustus, Letnan Satu Isao Oyama (大山勇夫) dari kesatuan marinir Jepang, berupaya masuk secara ilegal ke Bandara Hongqiao (虹橋機場), tetapi ditembak mati oleh Korps Penjaga Perdamaian Tiongkok yang berkedudukan di tidak jauh lapangan terbang militer. Sampai kini tidak diketahui apakah Oyama berinisiatif sendiri atau atas perintah dari atas. Namun, Insiden Oyama meningkatkan tensi di Shanghai. Pada 10 Agustus, konsul jenderal Jepang menanti maaf atas tingkah laku yang dibuat Oyama, karena jelas sebuah sikap yang dibuat intrusi ke teritori Tiongkok. Namun, ia tetap berkeras menuntut Tiongkok menarik mundur Korps Penjaga Perdamaian dan membongkar pertahanan mereka yang mempunyai di sekitar kota. Ia juga menegaskan bahwa penembakan perwira Jepang yaitu penghinaan terhadap Tingkatan Darat Jepang, dan keadaan akan meledak hanya dengan provokasi kecil. Insiden penembakan tersebut juga menyebabkan Jepang mengirimkan bala bantuan ke daerah Shanghai pada 10 Agustus. Bagi Tiongkok, Insiden Oyama hanyalah sebuah dalih lain bagi sikap yang dibuat serangan Jepang, tidak jauh lain dari banyak “insiden” pada 1930-an. Dalam merespon pergerakan pasukan Jepang, Chiang Kai-shek mulai menaruh pasukan-pasukan Tiongkok ke dalam daerah Shanghai pada 11 Agustus.

Usaha-usaha terakhir negosiasi

Pada 12 Agustus, perwakilan kekuatan-kekuatan akbar bersidang dan Jepang menginginkan kekuatan-kekuatan tersebut memaksa penarikan mundur pasukan Tiongkok dari Shanghai, tetapi mayor Yu Hung-chun memprotes bahwa Jepang telah melanggar persetujuan dengan invasi Tiongkok pada 7 Juli. Kekuatan-kekuatan akbar tidak berkeinginan berulangnya Insiden 28 Januari, yang sangat mengganggu keaktifan ekonomi asing di Shanghai. Di lain pihak, rakyat Tiongkok dengan segera menyambut hangat kehadiran pasukan Tiongkok di dalam kota. Di Nanjing, utusan Tiongkok dan Jepang bersua bagi terakhir kalinya sebagai usaha terakhir negosiasi. Jepang menginginkan Tiongkok menarik mundur semua Korps Penjaga Perdamaian dari Shanghai dan semua pasukan reguler dari sekitarannya. Tiongkok berkeras bahwa kehendak Jepang terhadap penarikan mundur secara sepihak yaitu tidak dapat diterima karena kedua negara telah berperang di Tiongkok Utara. Yang belakang sekalinya mayor Yu memperjelas bahwa pasukan Tiongkok tidak akan memulai serangan kecuali diserang terlebih dahulu. Jepang, di lain pihak, melimpahkan semua tanggung jawab kepada Tiongkok karena penempatan pasukan di sekitar Shanghai. Negosiasi telah tidak mungkin dan tidak mempunyai alternatif lain selain perluasan perang ke Tiongkok Tengah.

Fase pertama (13 – 22 Agustus)

Pertempuran kota

Jepang berhasil menguasai beberapa kota besar di Tiongkok yaitu

Distrik Zhabei yang terbakar

Jepang berhasil menguasai beberapa kota besar di Tiongkok yaitu

Sebelum Hotel Cathay Shanghai setelah pemboman oleh Tentara Revolusioner Nasional (Republik China)[4][5]

Sekitar pukul 9 pagi pada 13 Agustus, terjadi baku tembak kecil selang Korps Penjaga Perdamaian Tiongkok dan pasukan Jepang di distrik Shanghai: Zhabei, Wusong, dan Jiangwan. Sekitar pukul 3 sore tentara Jepang menyeberangi Jembatan Bazi (八字橋) di Distrik Zhabei dan menyerang berbagai sasaran dalam kota. Divisi ke-88 Tiongkok membalas dengan serangan mortir. Tembakan-tembakan sporadik berlanjut sampai pukul 4, ketika markas akbar Jepang memerintahkan kapal-kapal tingkatan laut Armada ke-3, yang diletakkan di Sungai Yangtze dan Huangpu bagi membuka tembakan terhadap jabatan Tiongkok di dalam kota. Pada larut malam hari itu Chiang Kai-shek memerintahkan Zhang Zhizhong bagi memulai ofensif Tiongkok pada keesokan harinya. Pada pagi 14 Agustus, tingkatan udara Tiongkok mulai membom berbagai sasaran Jepang dan daya daratnya memulai ofensif pada pukul 3 sore. Pada hari yang sama pemerintah Tiongkok mengumumkan Proklamasi Pertahanan Diri dan Perang Perlawanan (自衛抗戰聲明書), menjelaskan penyelesaian pemerintah terhadap serangan Jepang. Pertempuran Shanghai secara resmi dimulai.

Rencana awal Zhang Zhizhong yaitu mengejutkan Jepang dengan serangan berketetapan akbar dan menekan mereka sampai Sungai Huangpu, belakang memblokade pantai bagi mencegah kesempatan Jepang memainkan pendaratan bala bantuan di dermaga-dermaga Sungai Huangpu selang Yangshupu (楊樹浦) dan Hongkou (虹口). Divisi ke-88 Tiongkok menyerang markas akbar Jepang tidak jauh Zhabei, sementara Divisi ke-87 menyerang Pabrik Tekstil Kung-ta, dimana komando tingkatan laut Jepang berlokasi. Zhang memperkirakan ofensif ini akan beres dalam waktu 1 hari pertama. Namun operasi ini menjadi tidak teratur masa pasukan berperang tanpa gerak maju di luar Pemukiman Internasional Shanghai. Jepang belakang memperkuat kubunya dengan beton tebal dan mulai melawan howitzer 150mm, satu-satunya senjata berat milik Tiongkok. Pasukan Tiongkok hanya dapat maju di bawah perlindungan senapan mesin, mendekati letak meriam-meriam Jepang dan membunuh pasukan yang mempunyai di dalamnya hanya dengan granat tangan. Gerak maju Tiongkok sangat terkurangi dengan keterbatasan ini dan elemen kejutan lenyap dengan cepat.

Pada 16 Agustus, Zhang Zhizhong memerintahkan pasukannya bagi menduduki jalan-jalan di sekitar kubu-kubu Jepang daripada menyerang mereka secara frontal. Setiap kali sebuah perlintasan berhasil diduduki, pasukan Tiongkok segera mendirikan blokade kantung pasir dan mengatur tembakan supaya pasukan Jepang tidak dapat lolos. Taktik tersebut berhasil dan banyak kubu meriam serta pos terdepan Jepang dihancurkan hanya dalam waktu satu hari. Namun belakang Jepang menyebarkan tank-tanknya dan dapat memukul mundur pasukan Tiongkok yang mempunyai di jalan-jalan akbar. Seperti sebelumnya, pasukan Tiongkok kekurangan senjata berat bagi menghancurkan bunker-bunker pertahanan Jepang, sehingga pada 18 Agustus, serangan tersebut dibatalkan.

Pada 18 Agustus, Chen Cheng sampai garis hadapan bagi mendiskusikan keadaan dengan Zhang Zhizhong. Mereka memutuskan mengirim Divisi ke-36 yang baru saja tiba ke dalam pertempuran, dengan menyerang dermaga-dermaga Hueishan (匯山) di bidang utara Sungai Huangpu. Sementara itu, Divisi ke-87 memutus garis Jepang di Yangshupu, dan menekan ke dermaga-dermaga Hueishan bersama-sama dengan Divisi ke-36. Pada 22 Agustus, tank-tank Divisi ke-36 sampai dermaga, tetapi tidak dapat mempertahankan jabatan semakin lama. Pasukan Tiongkok tidak cukup terlatih dalam koordinasi taktik infantri-tank, dan tidak dapat mengikuti kecepatan tank. Tank-tank tersebut menjadi sasaran empuk artileri serta senjata anti-tank Jepang, dan menjadi tidak bermanfaat ketika memasuki pusat kota. Sedikit pasukan yang menyertai tank-tank tersebut menjadi terhalang dan belakang terjebak oleh blokade jalanan Jepang. Selanjutnya pasukan ini dihabisi dengan pelontar api dan tembakan intens senapan mesin Jepang. Masa pasukan Tiongkok hampir berhasil menekan pasukan Jepang ke arah Sungai Huangpu, laju korban tewas sangat tinggi. Pada 22 Agustus malam saja, Divisi ke-36 kehilangan semakin dari 90 perwira dan seribu personel.

Pada 22 Agustus, divisi Jepang ke-3, ke-8, dan ke-11 memainkan serangan amfibi di bawah perlindungan bombardment laut dan memainkan pendaratan di Chuanshakou (川沙口), Shizilin (獅子林), dan Baoshan (寶山), kota-kota pesisir timur laut sekitar 50 kilometer dari pusat kota Shanghai. Jepang mendarat di wilayah sub-urban timur laut Shanghai yang bermanfaat bahwa banyak pasukan Tiongkok di dalam kota, wajib diposisikan ulang ke daerah-daerah pesisir bagi menghadapi pendaratan. Dengan demikian garis hadapan menjadi diperpanjang dari metropolitan Shanghai sepanjang Sungai Huangpu sampai ke distrik-distrik pesisir di timur laut. Ofensif Tiongkok di pusat kota wajib tertahan, dan menjadi pertempuran statik dengan kedua belah pihak menderita banyak kerugian sementara jabatan garis hadapan tidak banyak berubah. Divisi-divisi Tiongkok dapat bertahan di Zhabei, Jiangwan, dan posisi-posisi pusat kota lainnya selama tiga bulan, sampai keadaan di lokasi lain membikinnya secara strategis tidak memungkinkan mempertahankan tempat-tempat ini semakin lanjut.

Operasi-operasi udara

Jepang berhasil menguasai beberapa kota besar di Tiongkok yaitu

Stasiun Shanghai Selatan setelah pemboman Jepang[6]: Bayi yang ketakutan ditemukan di bawah tumpukan reruntuhan dan diletakkan di atas peron oleh seorang pekerja penyelamat.[7]

Pada 14 Agustus, skuadron udara Tingkatan Udara Kekaisaran Jepang, Shikaya dan Kisarazu, yang berbasis di Taiwan, melancarkan serangan udara terhadap sasaran Tiongkok di Shanghai. Pemboman tersebut menyebabkan puluhan ribu masyarakat sipil tewas karena bom-bom jatuh di pusat-pusat populasi dan pusat-pusat transportasi akbar. Tingkatan Udara Republik Tiongkok yang sedang muda mencoba membalas. Grup Terbang ke-4, yang berpangkalan di Henan di bawah komando Kapten Gao Zhihang (高志航), menembak jatuh enam pesawat Jepang tanpa menderita kehilangan satu pun. Pada 1940 pemerintah mengumumkan tanggal 14 Agustus sebagai Hari Tingkatan Udara bagi meningkatkan moral masyarakat Tiongkok. Daya udara Tiongkok juga membom berbagai sasaran di dalam kota dan kapal tingkatan laut Jepang. Dari 15 sampai 18 Agustus, daya udara Tiongkok berperang dengan tingkatan udara Jepang yang secara kuantitas semakin superior dalam sebuah pertempuran udara yang sengit, mengakibatkan dua skuadron udara Jepang dihancurkan. Namun, Tiongkok berperang di udara dengan mengerahkan semua pesawat tempurnya, dengan sebagian di selangnya yaitu pesawat tempur kesan yang dibeli dari negara-negara lain. Tiongkok tidak dapat memproduksi pesawat tempurnya sendiri dan kesukaran dalam hal suku cadang.[8] Di lain pihak, Jepang mempunyai industri penerbangan kuat yang dapat merancang, memproduksi, dan mengembangkan teknologi pesawat terbangnya sendiri dan secara efisien mengirimkannya ke medan perang. Setiap kehilangan pesawat terbang di pihak Jepang dapat dengan mudah ditukarkan, sementara Tiongkok tidak. Oleh sebab itu sangat tidak mungkin bagi Tiongkok bagi memenangkan pertempuran udara. Dalam kampanye Shanghai, Tiongkok menembak jatuh 85 pesawat terbang Jepang dan menenggelamkan 51 kapal. Tiongkok kehilangan 91 pesawat, banyak yang lebih kurang hampir setengah dari keseluruhan daya tingkatan udara Tiongkok.

Perkembangan lainnya

Jepang berhasil menguasai beberapa kota besar di Tiongkok yaitu

Pasukan Jepang di selang reruntuhan Shanghai

Pada 15 Agustus, Jepang membentuk Tentara Ekspedisi Shanghai, terdiri dari Divisi ke-3 dan ke-11 di bawah komando Jenderal Iwane Matsui. Pada 19 Agustus, Perdana Menteri Jepang Fumimaro Konoe mengumumkan bahwa konflik Tiongkok-Jepang hanya dapat dihabiskan dengan metode perang, mengabaikan usaha-usaha negosiasi dari negara-negara pihak ketiga. Konoe mengatakan bahwa rencana awal bagi melokalisasi ”penahanan pasukan musuh” di sekitar Shanghai telah bertambah luas menjadi perang total, dengan tujuan utama memaksa pemerintah Tiongkok bagi bekerjasama secara ekonomi dan politik. Pada 23 Agustus, Jepang memulai kampanye pemboman atas Nanjing, dan berbagai kota di Tiongkok Tengah. Tentara Ekspedisi Shanghai juga tiba pada hari itu.

Di awal perang, Zhang Zhizhong, sebagai komandan Tentara ke-5 dan daerah perang Nanjing-Shanghai, bertanggungjawab dalam memainkan operasi-operasi Tiongkok. Kegagalan dalam ofensif awal Tiongkok membikin cemas Chiang Kai-shek dan stafnya. Chiang mengkritik kegagalan Zhang dalam persiapan, khususnya usaha memperoleh senjata yang berdaya menembus bunker-bunker Jepang, sebelum mengirimkan gelombang-gelombang pasukan, yang mengakibatkan pada jatuhnya banyak korban di pihak divisi-divisi Tiongkok sejak awal pertempuran. Zhang juga dikritik karena terlalu percaya diri dan kegemarannya menyelenggarakan konferensi pers, adil bagi wartawan-wartawan dalam maupun luar negeri. Chiang Kai-shek dan stafnya, termasuk yang paling menonjol yaitu Chen Cheng dan Gu Zhutong, mulai mengambil alih komando dari Zhang Zhizhong. Chiang Kai-shek sendiri yang belakang sekalinya menjadi komandan daerah perang ke-3 yang mengawasi Shanghai. Kegagalan ofensif Tiongkok menunjukkan bahwa meskipun banyak tentara Tiongkok pada awalnya melampaui garnisun Jepang, tetapi tidak mampu meraih obyektifnya karena kurangnya senjata berat dan artileri. Selain itu armada Jepang bertebaran di mana-mana di perairan Shanghai dan meriam-meriam laut mereka membombardir posisi-posisi Tiongkok di dalam kota dengan keakuratan yang sangat tinggi. Dengan kondisi-kondisi seperti itu, serangan Jepang hampir pasti berhasil.

Fase Kedua (23 Agustus – 26 Oktober)

Periode paling berdarah dan paling sengit terjadi dari 23 Agustus, ketika Jepang mendaratkan gelombang-gelombang pasukannya, sampai 26 Oktober, ketika Tiongkok mundur dari metropolitan Shanghai. Selama periode ini, mayoritas pertempuran berjalan di sepanjang 40 kilometer dari metropolitan Shanghai sampai kota Liuhe (瀏河), yang berlokasi di timur laut kota di pesisir lokasi Jepang memainkan pendaratannya.

Pertahanan menghadapi pendaratan (23 Agustus – 10 September)

Jepang berhasil menguasai beberapa kota besar di Tiongkok yaitu

Pendaratan amfibi Jepang

Pada 23 Agustus, Tentara Ekspedisi Shanghai Jepang, pimpinan Iwane Matsui, mendarat di Liuhe, Wusong (吳淞), dan Chuanshakou. Chiang Kai-shek berkeinginan, kota-kota pesisir ini dapat dengan mudah didarati Jepang dan memerintahkan Chen Cheng memperkuat daerah tersebut dengan menaruh Tentara ke-18. Namun, Tiongkok tidak dapat menandingi daya tembak senjata-senjata Jepang. Jepang hampir selalu memulai serangan amfibinya dengan bombardir hebat pertahanan pesisir milik Tiongkok, adil dari laut maupun udara. Tidak diketahui apakah Tiongkok kehilangan semua garnisun selama bombardir semacam itu, sebab, pasukan Tiongkok akan segera mengatur diri bagi menghadapi pasukan Jepang yang baru saja memainkan pendaratan setelah pembombardiran.

Sampai dua hari pertama selanjutnya, pasukan Tiongkok dan Jepang berada dalam pertempuran sengit di sejumlah kota dan desa sepanjang pesisir. Pasukan Tiongkok menangkis serangan amfibi hanya dengan senjata kaliber kecil, dan tidak cukup didukung oleh tingkatan udara serta hampir tanpa keberadaan tingkatan laut. Tiongkok wajib membayar sangat mahal bagi pertahanan mereka. Sebuah resimen Tiongkok dapat tersapu sampai hanya menyisakan beberapa tentara saja. Pertahanan Tiongkok dikerjakan dengan sangat tergesa-gesa dan tidak menyediakan banyak perlindungan, sementara banyak parit-parit pertahanan dikerjakan hanya pada masa pertempuran sedang mereda saja. Semakin lagi, daerah pesisir yang berpasir membikin sulit mendirikan benteng pertahanan yang kokoh. Banyak parit yang longsor masa hujan. Tiongkok wajib berlomba dengan waktu dalam mendirikan dan memperbaiki pertahanan-pertahanan mereka selain menghadapi bombardir Jepang. Kesukaran logistik juga bermanfaat sulit bagi mengangkut material pertahanan ke garis hadapan. Pasukan Tiongkok seringkali mengambil material bagi pertahanan dari puing-puing reruntuhan propertti. Namun, Tiongkok tetap terus berupaya berperang walaupun dengan rintangan-rintangan ini dan berupaya bertahan selama mungkin di desa dan kota sepanjang pesisir. Kebanyakan Jepang dapat menduduki desa dan kota ini pada siang hari di bawah dukungan tembakan-tembakan berat tingkatan laut, dan kehilangan kendali hanya pada malam hari masa Tiongkok memainkan serangan balasan.

Serangan dan serangan balik berjalan sampai yang belakang sekali Agustus, masa kejatuhan Baoshan, sebuah kota pesisir penting, menjadi sangat jelas. Chiang Kai-shek memerintahkan pasukan dari Divisi ke-98 yang sedang tersisa bagi mempertahankan kota. Sebuah batalyon di bawah pimpinan Yao Ziqing (姚子青), memanggul tugas ini. Yao memerintahkan pasukannya bagi bertahan sampai titik darah yang belakang sekali. Serangan artileri Jepang membikin sebagian kota menjadi puing-puing, dan Yao terbunuh dalam pertempuran dari propertti ke propertti. Pada 6 September Baoshan jatuh. Semua batalyon kecuali satu prajurit, terbunuh dalam tingkah laku yang dibuat ini. Selanjutnya, pasukan Tiongkok akan terus menderita korban jiwa semacam ini di keseluruhan Kampanye Shanghai.

Pertempuran di sekitar Luodian (11 – 30 September)

Pada 11 September, dengan jatuhnya Baoshan, tentara Tiongkok mengambil jabatan bertahan di sekitar Luodian (羅店). Luodian hanyalah sebuah kota kecil, namun yaitu titik simpul transportasi yang menghubungkan Baoshan, pusat kota Shanghai, Jiading, Songjiang dan beberapa kota lainnya dengan jalan-jalan raya. Kesuksesan mempertahankan Luodian secara strategi sangat penting dalam pengamanan Suzhou dan Shanghai. Pada 29 Agustus, penasihat Chiang Kai-shek dari Jerman, Alexander von Falkenhausen, mengatakan padanya bahwa Kota Luodian wajib dipertahankan berapa pun harganya. Bagi pertempuran Luodian, Tiongkok memusatkan sekitar tiga ratus ribu prajurit, sementara Jepang semakin dari seratus ribu dengan dukungan kapal laut, tank, dan pesawat udara.

Jepang berhasil menguasai beberapa kota besar di Tiongkok yaitu

Pasukan Tiongkok memainkan serangan di Luodian

Pembantaian besar-besaran yang terjadi membikin pertempuran Luodian mendapat julukan "rumah penggilingan daging dan darah" (血肉磨坊). Ofensif Jepang kebanyakan dimulai masa fajar dengan pemboman udara yang terpusat, disertai dengan pelepasan balon pengamat bagi menunjukkan dengan tepat lokasi pasukan-pasukan Tiongkok yang tersisa bagi dapat disapu oleh artileri dan gempuran dari laut. Infantri Jepang belakang dapat maju di bawah perlindungan tabir asap dan lapis baja. Pesawat-pesawat Jepang belakang juga akan menemani infantri dan memberondong pasukan-pasukan pengganti Tiongkok.

Pertahanan Tiongkok sulit bagi dipatahkan bahkan dengan daya gempur hebat semacam itu. Pada malam hari, prajurit-prajurit Tiongkok meranjaui jalan-jalan yang menghubungkan kota-kota pesisir menuju Luodian dan memaksa pertempuran malam bagi memotong gerak maju pasukan-pasukan Jepang. Masa fajar, Tiongkok akan mepertahankan garis-garis pertahanan penting dengan pasukan yang semakin sedikit bagi mengurangi korban jiwa yang dikarenakan dari bombardir Jepang yang intens. Tiongkok belakang akan muncul dari jabatan belakangan bagi menghadapi musuh masa ofensif darat Jepang dimulai setelah gempuran-gempuran laut dan artileri bubar.

Meskipun mempunyai keunggulan banyak pasukan, mempertahankan Luodian yaitu ketidakmungkinan bagi Tiongkok. Jepang mempunyai sejumlah keuntungan, termasuk keunggulan daya tembak, dan fakta bahwa Tiongkok berada dalam jabatan pasif dalam menghadapi serangan gencar, karena tidak dapat menyusun ofensif efektif sampai Jepang praktis menduduki Luodian. Karena hal ini, Tiongkok memutuskan bagi mempertahankan setiap inchi persegi dari wilayah kota sampai titik darah yang belakang sekali. Taktik ini membikin semakin cepat laju tewasnya prajurit-prajurit berpangkat tinggi. Laju korban tewas dari pihak grup tentara Jenderal Chen Cheng sampai semakin dari 50 persen. Di yang belakang sekali September, Tiongkok telah hampir kehabisan darah dan terpaksa menyerahkan Luodian.

Pertempuran Dachang (1 – 26 Oktober)

Jepang berhasil menguasai beberapa kota besar di Tiongkok yaitu

Prajurit-prajurit Tiongkok di tidak jauh sebuah propertti yang hancur dibom

Pada 1 Oktober, atas petuah komandan-komandannya, Perdana Menteri Jepang Fumimaro Konoe memutuskan menyatukan dan meluaskan pertempuran di Teater Tiongkok Utara dan Tengah, melancarkan sebuah ofensif Oktober bagi menaklukkan pemerintahan Tiongkok bagi mengakhiri perang. Pada masa ini, Jepang menaikkan banyak pasukannya di wilayah Shanghai sampai semakin dari dua ratus ribu. Pasukan Jepang juga menginvasi kota Liuhang (劉行), di selatan Luodian. Jadi, garis hadapan telah bergeser semakin jauh ke selatan sampai tepian Sungai Yunzaobin (蘊藻濱). Tujuan Jepang yaitu menyeberangi Sungai Yunzaobin dan mengambil alih Dachang (大場), yang yaitu penghubung komunikasi pasukan Tiongkok selang pusat kota Shanghai dan di kota-kota timur lautnya.

Jika Dachang jatuh, pasukan Tiongkok wajib menyerahkan jabatan mereka di pusat kota Shanghai dan wilayah timur Sungai Huangpu bagi menghindari pengurungan oleh tentara Jepang. Pertahanan Dachang yaitu vital bagi mengetahui seberapa lama tentara Tiongkok dapat bertahan dan meneruskan pertempuran di daerah perang Shanghai. Bagi ini, Chiang Kai-shek memobilisasi pasukan yang sedang tersisa dan dapat diselamatkannya bagi mempertahankan Dachang.

Pertempuran selang kedua pihak berjalan maju mundur, dengan sedikit perubahan di sepanjang Sungai Yunzaobin. Dari 11 September sampai 20 Oktober, kemajuan tentara Jepang hanya lima kilometer. Pada momen-momen paling intens, posisi-posisi dapat beralih tangan sampai lima kali dalam satu hari. Pada 17 Oktober, Tentara Guangxi di bawah pimpinan Li Zongren dan Bai Chongxi yang belakang sekalinya tiba bagi bergabung dengan Tentara Sentral pimpinan Chiang Kai-shek dalam pertempuran Shanghai. Tiongkok belakang melancarkan serangan balasan dalam upaya menyatukan secara penuh posisi-posisi mereka di sekitar Dachang dan menduduki kembali tepian Sungai Yunzaobin. Namun serangan balasan tersebut lemah dalam koordinasi dan lagi-lagi Tiongkok kalah terhadap superioritas daya pukul senjata Jepang. Jepang memakai sekitar 700 pucuk artileri dan 150 pesawat pembom bagi operasi Dachang dan kota tersebut hancur lebur sampai menjadi puing-puing. Pertempuran tersebut begitu sengitnya sampai laju rata-rata korban jiwa di pihak Tiongkok sampai ribuan per jamnya, dan beberapa divisi kehilangan kapasitas hanya dalam beberapa hari. Pertempuran sengit ini berjalan sampai 25 Oktober, masa Dachang yang belakang sekalinya jatuh. Setelah itu, pasukan Tiongkok tidak mempunyai pilihan lain selain mundur dari pusat kota Shanghai, yang telah mereka pertahankan hampir selama tiga bulan.

Fase ketiga (27 Oktober – 26 November)

Penarikan mundur Tiongkok dari metropolitan Shanghai

Jepang berhasil menguasai beberapa kota besar di Tiongkok yaitu

Pasukan Jepang sampai Stasiun Utara yang hancur di pusat kota Shanghai

Pada 26 Oktober malam, Tiongkok mulai menarik mundur pasukannya dari pusat urban Shanghai. Karena Dachang dan kota-kota suburban vital lainnya telah jatuh, Chiang Kai-shek memerintahkan pasukan Tiongkok bagi mundur dari Zhabei, Jiangwan (江灣), dan posisi-posisi lainnya yang telah dipertahankan teguh selama 77 hari. Namun Chiang memerintahkan satu batalyon dari Divisi ke-88 tetap berada di Zhabei bagi mempertahankan Gudang Sihang di tepi utara Sungai Suzhou. Chiang tidak dapat sepenuhnya mengosonglam pusat kota Shanghai karena konferensi Kontrak Sembilan-Daya sedang berjalan di Brussels bagi sebuah probabilitas intervensi Barat dalam konflik Tiongkok-Jepang. Sisa pasukan Tiongkok menyeberangi Sungai Suzhou dan bersama-sama menjadi satu kelompokan kembali bagi bentrokan terakhir dengan tentara Jepang.

Pertempuran di sekitar Sungai Suzhou

Jepang berhasil menguasai beberapa kota besar di Tiongkok yaitu

Pasukan Jepang merayap di selang reruntuhan

Rencana awal Chiang yaitu berperang di medan selatan Sungai Suzhou dan menimbulkan sebanyak mungkin korban di pihak Jepang. Namun setelah tiga bulan pertempuran intens, daya pasukan Tiongkok telah sangat terkurangi. Daya banyakan satuan tinggal setengah daya awal, sehingga sebuah divisi hanya mempunyai kapasitas tempur kurang dari dua resimen. Pada masa ini, tentara Tiongkok membutuhkan selang 8 sampai 12 divisi bagi mengimbangi daya tempur satu divisi Jepang, sehingga komandan-komandan Tiongkok pesimis terhadap hasil pertempuran Sungai Suzhou. Li Zongren, Bai Chongxi, Chang Fa-kuei dan komandan-komandan lainnya berkeras supaya pasukan Tiongkok memasuki garis pertahanan Wufu dan Xicheng bagi melindungi Nanjing, tetapi Chiang menginginkan pasukan Tiongkok bagi meneruskan pertempuran di tepi selatan Sungai Suzhou. Pada 28 Oktober, Chiang tiba di medan tempur bagi menaikkan moral pasukannya, namun demikian keadaan memang telah suram. Pada 30 Oktober, Jepang melalui Sungai Suzhou dan pasukan Tiongkok dalam bahaya pengurungan. Tentara Tiongkok telah berada dalam batas daya tahan.

Pendaratan Jepang di Jinshanwei

Jepang berhasil menguasai beberapa kota besar di Tiongkok yaitu

Satuan garis belakangan pasukan Jepang mendaratkan suplai di Jinshanwei

Sejak 12 Oktober, kepala-kapala staf militer Jepang telah merumuskan rencana bagi memainkan pendaratan di Jinshanwei (金山衛), sebuah kota yang terletak di tepi utara Teluk Hangzhou, di sebelah selatan daerah Shanghai. Pendaratan Jinshanwei akan memfasilitasi tekanan ke arah utara terhadap Kota Shanghai, bagi melengkapi pendaratan di kota-kota timur laut Shanghai, seperti yang terjadi di sekitar Baoshan selang yang belakang sekali Agustus dan pertengahan September, yang telah memberikan tekanan ke arah selatan. Chiang Kai-shek telah menyadari rencana Jepang bagi mengurung tentaranya di dalam Shanghai dari utara dan selatan, dan telah memerintahkan komandan-komandannya bagi mengambil langkah-langkah pencegahan terhadap probabilitas pendaratan Jepang di Jinshanwei. Namun kejatuhan Dachang yang menjelang di yang belakang sekali Oktober memaksa Chiang memindahkan divisi-divisi Tiongkok yang mempunyai di sepanjang pesisir utara Teluk Hangzhou. Sebagai hasil, kurangnya pertahanan Tiongkok membikin Korps Tentara ke-10 Jepang, terdiri dari satuan-satuan yang dialihkan dari Pertempuran Taiyuan di Teater Tiongkok Utara, mendarat dengan mudah di Jinshanwei pada 5 November. Jinshanwei hanya tidak berdekatan 40 km dari tepian Sungai Suzhou, lokasi pasukan Tiongkok baru saja mundur dari kejatuhan Dachang.

Perjalanan ke Nanjing

Jepang berhasil menguasai beberapa kota besar di Tiongkok yaitu

Tentara Tiongkok merawat korban-korban serangan gas Jepang

Keputusan Jepang menduduki Nanjing

Di bulan Oktober, SEF (Shanghai Expedition Force) diperkuat oleh Tentara ke-10 Jepang pimpinan Letnan Jendral Heisuke Yanagawa. Pada 7 November, Tentara Daerah Tiongkok Tengah Jepang (Japanese Central China Medan Army = CCAA) dibuat dengan menggabungkan SEF dan Tentara ke-10, dengan Matsui ditunjuk sebagai panglima tertinggi merangkap panglima SEF. Setelah memenangi pertempuran di sekitar Shanghai, SEF menyarankan kepada Markas Umum Kekaisaran di Tokyo bagi menyerang Nanjing. CCAA belakang diatur ulang dan Letnan Jendral Pangeran Asaka (Yasuhiko), paman dari Kaisar Hirohito, ditunjuk sebagai komandan SEF, sementara Matsui tetap sebagai komandan CCAA mengawasi SEF dan Tentara ke-10. Namun, dalam kenyataan, otoritas Matsui sulit bagi ditegakkan karena ia berhadapan dengan anggota keluarga kekaisaran yang ditunjuk langsung oleh Kaisar. Dalam antisipasi penyerbuan Nanjing, Matsui mengeluarkan perintah kepada tentaranya yang berbunyi:

Nanjing yaitu ibukota Tiongkok dan penaklukkannya yaitu sebuah afair internasional; oleh karena itu, pemeriksaan seksama wajib dimainkan sehingga menunjukkan kehormatan dan kemuliaan Jepang dan memperbesar keyakinan rakyat Tiongkok, dan bahwa pertempuran di sekitar Shanghai mempunyai tujuan bagi menaklukkan tentara Tiongkok, oleh karenanya lindungi dan perlakukan dengan adil pejabat-pejabat serta rakyat Tiongkok, sedapat mungkin; Pasukan wajib menanamkan dalam ingatan bagi tidak melibatkan masyarakat negara-warga negara dan tentara-tentara asing ke dalam persoalan dan memelihara hubungan tidak jauh dengan otoritas-otoritas asing dalam upaya menghindari kesalahpahaman.

Pada 2 Desember, Kaisar Showa menominasikan salah satu pamannya, Pangeran Asaka, sebagai komandan invasi. Sulit bagi ditegakkan jika, sebagai anggota keluarga kekaisaran, Asaka mememiliki status semakin tinggi daripada Jendral Iwane Matsui, yang secara resmi yaitu panglima tertinggi, namun jelas bahwa, sebagai perwira berpangkat tinggi, Pangeran Asaka mempunyai otoritas atas komandan-komandan divisi, Letnan Jendral Kesago Nakajima dan Heisuke Yanagawa.

Setelah mengamankan kendali terhadap Shanghai, tentara Jepang memulai gerak majunya menuju Nanjing pada 11 November 1937, mendekati kota dari berbagai penjuru.

Jepang berhasil menguasai beberapa kota besar di Tiongkok yaitu

Gerak maju Jepang ke Nanjing dapat dikarekterisasi sebagai sebuah “barisan terpaksa”. Hampir semua kesatuan melalui jarak 400 km dalam waktu lebih kurang satu bulan. Dengan menganggap bahwa penaklukan ibukota Tiongkok akan menjadi titik balik memilihkan dalam perang, mempunyai kehendak kuat menjadi di selang yang pertama yang dapat meng-klaim kehormatan kemenangan.[9]

Tentara Jepang dilawan oleh prajurit-prajurit Tiongkok dalam sejumlah perjumpaan di perlintasan menuju Nanjing, dan seperti kebanyakan banyak mereka jauh banyakan. Semakin tidak jauh Jepang dengan Nanjing, pertempuran semakin meningkat frekuensi dan mutunya.[10]

Tiongkok mundur dari Shanghai

Pendaratan Jepang di Jinshanwei bermanfaat bahwa tentara Tiongkok wajib mundur dari front Shanghai dan berupaya bagi lolos. Namun, Chiang Kai-shek tetap berkeinginan Kontrak Sembilan Daya (Nine-Power Treaty) dapat memproduksi sejumlah sanksi internasional terhadap Jepang. Tidak sampai 8 November komando pusat Tiongkok mengumumkan penarikan umum dari keseluruhan front Shanghai. Semua kesatuan Tiongkok diperintahkan bangung menuju kota-kota di barat seperti Kunshan, dan dari sini memasuki garis-garis pertahanan yang belakang sekali bagi mencegah Jepang sampai Nanjing. Pada titik ini, tentara Tiongkok telah benar-benar kelelahan, kehabisan amunisi dan perbekalan, sehingga pertahanan benar-benar dalam keadaan terhuyung-huyung. Kunshan jatuh hanya dalam waktu dua hari, dan sisa pasukan mulai bangung menuju benteng pertahanan Garis Wufu pada 13 November. Tentara Tiongkok berperang dengan sisa tenaga mereka dan garis hadapan berada di ambang keambrukan.

Dalam kekacauan tersebut, banyak kesatuan Tiongkok terpecah dan kehilangan kontak dengan perwira-perwira penghubung yang mempunyai peta dan rencana pertahanan. Ditambah lagi masa mereka tiba di Garis Wufu, pasukan Tiongkok mendapati beberapa pejabat sipil telah melarikan diri dan membawa serta kunci-kunci benteng bersama mereka. Pasukan Tiongkok yang terpukul, yang baru saja tiba dari mandi darah di Shanghai dan berkeinginan dapat memasuki garis-garis pertahanan, menjumpai bahwa diri mereka tidak dapat memanfaatkan benteng-benteng pertahanan ini. Garis Wufu ditembus pada 19 November dan pasukan Tiongkok belakang bangung menuju Garis Xicheng, yang belakang terpaksa diserahkan pada 26 November di tengah-tengah serangan gencar. ”Garis Hindenberg Tiongkok” yang dibangun pemerintah dengan dana jutaan dan yaitu garis terakhir pertahanan selang Nanjing dan Shanghai, runtuh hanya dalam waktu dua hari pertama. Namun begitu, pertempuran terus berjalan tanpa jeda di perlintasan menuju ibukota Tiongkok dan pertempuran selanjutnya segera mengarah menjadi Pertempuran Nanjing.

Di awal Desember, pasukan Jepang telah sampai pinggiran Kota Nanjing.

Kesudahan suatu peristiwa dan taksiran kerugian

Lenyapnya daya militer Tentara Sentral

Jepang berhasil menguasai beberapa kota besar di Tiongkok yaitu

Perwira-perwira Tiongkok memperoleh pukulan hebat di dalam pertempuran.

Meskipun Pertempuran Shanghai yaitu yang pertama dari 22 pertempuran akbar selang Tiongkok dan Jepang, keputusan Chiang Kai-shek bagi mengirimkan pasukan-pasukan terbaiknya memproduksi kesudahan suatu peristiwa yang signifikan. Pada masa perang pecah, Tentara Revolusioner Nasional Tiongkok mengandalkan tentara reguler sejumlah 1,7 juta personel, tetapi dalam kenyataannya daya militer Tiongkok rendah secara signifikan. Hal ini karena hampir semua pasukan kurang terlatih, kurang peralatan, dan yaitu petani-petani yang semi-melek huruf dengan sedikit pengetahuan pemikiran perang modern. Hanya sekitar 300.000 pasukan yang secara komparatif terlatih dengan adil dan diorganisasikan ke dalam sekitar 40 divisi yang baru diatur ulang. Di selang banyak ini, sekitar 80.000 yaitu divisi hasil pelatihan Jerman yang menyusun satuan-satuan elit Tentara Sentral Chiang Kai-shek. Namun begitu, bahkan divisi-divisi ini pun tidak cukup didukung oleh pasukan gabungan. Jadi, dari hampir dua juta tingkatan bersenjata, kurang dari seratus ribu pasukan Tiongkok yang dapat menandingi pasukan Jepang. Keputusan Chiang bagi mengerahkan semua divisinya dalam pertempuran di Shanghai menyebabkan satuan-satuan elitnya kehilangan sekitar 60 persen personelnya dalam tiga bulan mandi darah. Dalam satu pukulan saja, Chiang juga kehilangan sekitar 10.000 dari 25.000 perwira yunior yang dilatih oleh Akademi Militer Pusat selang 1929 sampai 1937, ditambah lagi beberapa puluh ribu perwira militer potensial. Tentara Pusat Chiang tidak pernah dapat bangunan dari kehancuran ini. Divisi ke-88 yang mungkin yaitu divisi terbaik di selang divisi-divisi elit ini, memulai Pertempuran Nanjing dengan daya hanya 7000 personel, dengan 3000 di selangnya yaitu rekrutan baru bagi menggantikan para veteran yang lenyap. Kehancuran daya militernya juga memaksa Chiang mempercayai jendral-jendral non-Whampoa, yang memimpin tentara-tentara provinsial dengan loyalitas dipertanyakan. Karena pengurangan daya militer ini, Chiang kehilangan daya ungkit politik di mata para panglima perang lokal. Dampaknya Chiang efektif hanya menjadi kepala koalisi yang tidak kuat daripada menjadi panglima tertinggi tingkatan bersenjata yang bersatu. Melemahnya banyak personel tempur terbaik Tiongkok juga membikin rencana dan eksekusi operasi militer selanjutnya menjadi sulit. Intinya, usaha sebelum perang Chiang bagi mendirikan sebuah tentara nasional yang benar-benar efektif dan modern benar-benar hancur dalam pengorbanan bagi Pertempuran Shanghai.

Respon internasional dan konsekuensi-konsekuensinya

Gagasan utama tentara Tiongkok bertahan di Shanghai selama mungkin, meskipun membikin mereka berada di ambang kehancuran, yaitu keinginan akan keadaan intervensi barat terhadap Perang Tiongkok-Jepang. Negara-negara barat hanya menaruh perhatian kecil terhadap keadaan Tiongkok karena sebagian akbar tercurah ke keadaan di Eropa. Selain itu, banyakan negara-negara barat juga hanya melihat sedikit keinginan bahwa intervensi mereka dapat menolong Tiongkok dalam jangka panjang karena mereka percaya pada yang belakang sekalinya Tiongkok akan jatuh juga. Jika di mata dunia Barat, Tiongkok tampak lemah secara militer, terbelakang secara ekonomi, dan terpecah-belah secara politik, tidaklah masuk tipu daya bagi mereka menolong Tiongkok jika sedang tampak kalah oleh Jepang. Oleh sebab itu, Chiang Kai-shek wajib mencurahkan segalanya bagi memberikan keyakinan Dunia Barat bahwa konflik selang Tiongkok dan Jepang yang terjadi yaitu perang skala akbar, bukan kelompok ”insiden” yang tidak berpadanan seperti yang telah terjadi sebelumnya. Bersandar pada strategi politik ini, Chiang Kai-shek wajib memerintahkan pasukan-pasukannya bagi berperang sampai mati dalam usaha mengambil simpati internasional dan berkeinginan komunitas internasional mengambil langkah-langkah yang dapat menolong Tiongkok dan memberikan sanksi kepada Jepang.

Pada 12 September, satu bulan setelah Pertempuran Shanghai dimulai, Tiongkok secara resmi membawa kasus melawan Jepang ke Liga Bangsa-Bangsa. Sekali lagi, Liga tidak dapat merumuskan sanksi efektif apa pun terhadap Jepang selain daripada pernyataan 4 Oktober yang memberikan ”dukungan spiritual” kepada Tiongkok. Amerika Serikat bukan yaitu anggota Liga, sementara Britania Raya dan Perancis enggan bagi menantang Jepang. Di selang semua daya akbar Barat, hanya Amerika Serikat yang tampak dapat berperan semakin karena tidak terlibat keadaan Eropa yang sedang panas-dingin. Selain itu, pada 5 Oktober, Presiden Franklin D. Roosevelt memberikan Pidato Karantina, menyerukan Amerika Serikat menolong bangsa-bangsa yang sedang berperang dengan bangsa-bangsa agresor. Pidato ini mempunyai efek yang hebat sekali dalam meningkatkan moral Tiongkok. Karena Amerika tampak mempunyai kehendak bagi berkonfrontasi dengan Jepang, perwakilan Britania Raya menyarankan bagi menutup kasus di Liga Bangsa-Bangsa dan berinisiatif bagi menyelenggarakan rapat Konferensi Kontrak Sembilan Kekuatan. Konferensi tersebut secara otomatis melibatkan Amerika Serikat ke dalam usaha mengekang serangan Jepang karena Kontrak Sembilan Daya yaitu hasil dari Konferensi Tingkatan Laut Washington pada 1922.

Jepang berhasil menguasai beberapa kota besar di Tiongkok yaitu

Generalissimo Chiang Kai-shek di garis hadapan

Masuknya Amerika ke dalam respon internasional membawa keinginan baru bagi Tiongkok, dan Chiang Kai-shek mengulangi pernyataannya kembali akan perlunya pasukan Tiongkok bertahan di Shanghai bagi membuktikan bahwa kota itu memang layak dipertahankan. Pada pertengahan Oktober, keadaan pasukan Tiongkok di Shanghai semakin mengkhawatirkan dan Jepang mendapat hasil yang signifikan. Kota vital Dachang jatuh pada 26 Oktober dan Tiongkok wajib mundur dari metropolitan Shanghai. Namun begitu, karena Konferensi Kontrak Sembilan Daya baru dimulai pada awal November, Chiang Kai-shek memerintahkan pasukannya bagi bertahan di Shanghai daripada mundur ke Garis Wufu dan Xicheng bagi mempertahankan Nanjing. Ia juga meninggalkan satu batalyon sendirian bagi mempertahankan Gudang Sihang di dalam metropolitan Shanghai. Chiang juga mengunjungi pasukannya di garis hadapan bagi meningkatkan moral pasukannya. Karena Shanghai yaitu kota Tiongkok paling penting di mata dunia barat, pasukan Tiongkok wajib berperang dan mempertahankan kota selama mungkin, daripada mundur bagi memperkuat garis-garis pertahanan di kota-kota tidak bernama sepanjang perlintasan menuju Nanjing. Pada 3 November, konferensi yang belakang sekalinya dilangsungkan di Brusel. Masa daya barat sedang bersidang bagi mendamaikan keadaan, pasukan Tiongkok berupaya berdiri bagi terakhir kalinya dan menaruh semua keinginan pada intervensi barat bagi dapat menyelamatkan Tiongkok dari keruntuhan.

Konferensi berlanjut berlarut-larut dengan hasil minim. Jepang diundang dua kali namun menolak sehingga usaha mediasi yang melibatkan Jepang secara langsung tidak dapat dimainkan. Sama dengan yang telah terjadi dalam konferensi Liga Bangsa-Bangsa, daya barat, termasuk Amerika Serikat, sedang mengandalkan isolasionisme dan appeasement. Jadi, tidak mempunyai hal yang efektif berhasil dirumuskan. Pada 5 November, Jepang memainkan pendaratan amfibi di Jinshanwei bagi mengepung pasukan Tiongkok yang sedang berperang di wilayah perang Shanghai. Chiang sedang menunggu tanggapan yang menguntungkan dari Konferensi Kontrak Sembilan Daya dan memerintahkan pasukannya bagi terus bertahan, meskipun pasukan-lelahnya terancam pengurungan dari pendaratan Jinshanwei. Tidak sampai tiga hari belakang pada 8 November, komando pusat Tiongkok memerintahkan pasukan bagi mundur dari keseluruhan front Shanghai bagi melindungi Nanjing. Penundaan tiga hari ini cukup bagi memecah belah garis komando Tiongkok karena satuan-satuan telah hancur lebur kesudahan suatu peristiwa pertempuran yang berkelanjutan, dan hal ini mengakibatkan langsung pada kegagalan mengatur pertahanan di sekitar Garis Hindenburg Tiongkok yang menjaga Nanjing. Pada 24 November, Konferensi Kontrak Sembilan Daya bersidang bagi yang terakhir kalinya bagi selanjutnya ditangguhkan sampai waktu yang tidak dipastikan, tanpa memproduksi tindakan-tindakan apa pun yang dapat membubarkan serangan Jepang. Dalam laporannya, Jendral Chen Cheng menulis bahwa di keseluruhan banyakan kampanye Shanghai, strategi militer seringkali tergantikan oleh strategi politik. Yaitu tragedi bangsa bahwa strategi politik, khususnya seriskan menaruh keinginan pada intervensi asing, memaksa pasukan bagi memainkan pengorbanan banyak sekali di Shanghai dan membiarkan penghancuran hampir total. Ia menulis bahwa karena Tiongkok lemah, terpaksa membutuhkan bantuan asing dan wajib berkorban hanya bagi membuktikan kapasitas mereka dalam berperang dan bertahan. Di yang belakang sekali pertempuran, meskipun ratusan ribu pasukan Tiongkok mati hanya bagi menyatakan bahwa Tiongkok siap berkorban, keinginan yang belakang sekali akan keadaan intervensi barat tidak pernah mempunyai.

Kesudahan suatu peristiwa

Bertalian dengan efek jangka panjangnya pada perang dengan menghabiskan tenaga lawan, Pertempuran Shanghai melakukan pembelian cukup waktu bagi pemerintah Tiongkok bagi memindahkan industri-industri vitalnya ke Wuhan dan Xian, dan dari situ ke Chongqing, ibukota Tiongkok semasa perang. Kesukaran dalam membongkar dan relokasi ribuan ton peralatan mesin dan pabrik, khususnya di bawah kampanye pemboman Jepang, bermanfaat bahwa pemerintah Tiongkok gagal sebagian tujuannya memindahkan keseluruhan basis industri dari wilayah Shanghai. Banyak pabrik hancur selama pertempuran dan tidak dapat digunakan lagi. Dari hampir 1200 pabrik dan bengkel kerja berbagai macam ukuran, hanya sekitar 10 persen yang berhasil dipindahkan dari Shanghai. Industri-industri ini yaitu inti industri masa perang, yang sangat bermanfaat khususnya pada masa-masa suram blokade keseluruhan pantai Tiongkok, penutupan Perlintasan Burma, dan rendahnya suplai dari daerah Punggung. Strategi Chiang Kai-shek dengan membawa pertempuran ke Shanghai bagi memaksa Jepang mengadopsi arah serangan timur ke barat juga mencegah Jepang memotong ke arah Tiongkok Tengah. Sebagai hasil, Pertempuran Wuhan berhasil tertunda hampir satu tahun, dan waktu yang berhasil ”dibeli” memberikan pemerintah Tiongkok kesempatan bernapas bagi memulihkan diri dan merelokasi sumber-sumber daya ke Chongqing. Secara keseluruhan, meskipun kerugian Tiongkok tidak dapat terganti, strategi berdagang ”ruang bagi waktu” membuktikan kebergunaannya.

Pertempuran Shanghai yaitu sebuah kekalahan militer, tetapi sebuah nilai penting bagi nasionalisme Tiongkok. Mulainya perang skala penuh bermanfaat bahwa Tiongkok tidak lagi berpangku tangan dan membiarkan Jepang menaklukkan wilayahnya sepotong demi sepotong seperti yang terjadi pada masa lalu. Perang ini juga menunjukkan ketetapan hati Tiongkok bagi tidak menyerah bahkan dalam menghadapi daya gempur yang sangat hebat sekalipun. Namun, perintah Chiang Kai-shek bagi bertahan sampai mati sangat membikin lemah pasukannya dan secara langsung menyebabkan ketidakmampuan tentaranya dalam mempertahankan Nanjing bahkan hanya bagi dua hari pertama saja. Di dalam memoarnya, Jenderal Li Zongren menekankan bahwa staf Chiang telah menyarankan supaya tentara Tiongkok mencadangkan sekitar sepuluh divisi di sepanjang Garis Wufu bagi melindungi Nanjing dan merasa bahwa itu tidaklah lain jika Shanghai dapat dipertahankan beberapa bulan semakin panjang dengan biaya korban jiwa raksasa. Namun karena Tiongkok tidak dapat mengalahkan Jepang sendirian, Chiang percaya bahwa pilihan terbaik yaitu melibatkan daya barat ke dalam perang dengan mendapat simpati melewati perlawanan gagah berani di Shanghai. Juga mungkin Chiang Kai-shek tidak menyadari bahwa perang akan berjalan selama delapan tahun. Dalam korespondensinya dengan Hu Shih, Chiang menulis bahwa Tiongkok dapat bertahan selama enam bulan sampai perubahan-perubahan keadaan internasional dapat mengakhiri perang. Hal ini mungkin yang menyebabkan Chiang mengerahkan semua pasukan terbaiknya dalam pertempuran pertama yang ternyata menjadi perang yang panjang. Meskipun penilaian Chiang terlalu optimistik, faktanya Tiongkok terus berperang bagi delapan tahun selanjutnya sampai Jepang yang belakang sekalinya dikalahkan, bahkan ketika banyak negara kuat seperti Perancis kalah dan menyerah hanya dalam waktu enam hari pertama.

Semakin jauh lagi, Pertempuran Shanghai yaitu contoh pertama tentara-tentara provinsial bersedia bekerjasama penuh dengan Tentara Pusat Chiang. Dua tahun sebelumnya, Chiang Kai-shek, Li Zongren, dan beberapa panglima perang saling bermusuhan dalam berbagai perang saudara, berperang bagi penguasaan Tiongkok, tetapi mereka disatukan oleh nasionalisme dan tentara-tentara mereka berperang saling bahu-membahu melawan musuh bersama. Tiongkok juga berperang dengan gigih sehingga Shanghai tidak jatuh dalam tiga hari, dan Tiongkok tidak jatuh dalam tiga bulan seperti yang diproklamasikan Jepang dalam slogan-slogan mereka. Ini yaitu desakan maral yang luar biasa, khususnya di saat-saat gelap ketika tentara Tiongkok menderita rangkaian kekalahan pada masa awal perang. Korban akbar yang dikarenakan oleh Tiongkok dan kesukaran penaklukan menyebabkan pasukan Jepang memainkan Pembantaian Nanjing sebagai sikap yang dibuat balasan menghadapi perlawanan Tiongkok. Kegigihan dan ketetapan hati juga mengejutkan pengamat-pengamat internasional yang mengira Tiongkok akan dikalahkan dengan mudah dan belakang memohon perdamaian. Secara keseluruhan, meskipun harga yang mesti dibayar melangit, fakta bahwa Tiongkok dapat menahan serangan berulang-ulang dan tetap berdiri dalam “pertempuran paling berdarah sejak Pertempuran Verdun” yaitu bukti kebulatan tekad Tiongkok bagi meneruskan perang dan berperang sampai titik darah yang belakang sekali.

Lihat pula

Referensi

  • Nationalist China At War 1937-1945 diterbitkan oleh Universitas Michigan, Ann Arbor, pada 1982.
  • Disertasi doktor mengenai Kampanye Shanghai-Nanking dari Universitas Nasional Taiwan.

  1. ^ "Why We Fight" seri video yang dirilis oleh pemerintah AS bagi para prajuritnya
  2. ^ China's Bitter Victory, p.143
  3. ^ Military History of Modern China, p.199
  4. ^ North China Daily News 15.8.1937
  5. ^ The Times (London) 16.8.1937 "1,000 DEAD IN SHANGHAI/DEVASTATION BY CHINESE BOMBS"
  6. ^ "This terrified baby was almost the only human being left alive in Shanghai's South Station after brutal Japanese bombing. China, August 28, 1937., 1942 - 1945". Arsip Nasional AS. Diakses 27-08-2007. 
  7. ^ LOOK Magazine, Dec. 21: 52–53 
  8. ^ Lihat Soviet Fighters in the Sky of China, oleh Anatolii Demin.
  9. ^ "Analyzing the “Photographic Evidence” of the Nanking Massacre (originally published as Nankin Jiken: “Shokoshashin” wo Kenshosuru)". Tokyo, Japan: Soshisha. 2005. 
  10. ^ "Analyzing the “Photographic Evidence” of the Nanking Massacre (originally published as Nankin Jiken: “Shokoshashin” wo Kenshosuru)". Tokyo, Japan: Soshisha. 2005. 


edunitas.com


Page 4

Pertempuran Shanghai
Bidang dari Perang Tiongkok-Jepang Kedua
Jepang berhasil menguasai beberapa kota besar di Tiongkok yaitu

Sebuah kubu senapan mesin Tentara Revolusioner Nasional di dalam kota Shanghai.
Pihak yang terlibat
Tentara Revolusioner Nasional, Republik Tiongkok Tingkatan Laut Kekaisaran Jepang, Tingkatan Darat Kekaisaran Jepang, Kekaisaran Jepang
Komandan
Chiang Kai-shek Chen Cheng Zhang Zhizhong Hasegawa Kiyoshi
Jepang berhasil menguasai beberapa kota besar di Tiongkok yaitu
Heisuke Yanagawa
Jepang berhasil menguasai beberapa kota besar di Tiongkok yaitu
Iwane Matsui
Daya
600,000 pasukan dalam 75 divisi dan 9 brigade,
200 pesawat terbang
300,000 pasukan dalam 8 divisi dan 6 brigade,500 pesawat terbang,300 tank,

130 kapal laut

Korban
~200,000~70,000[1]

Pertempuran Shanghai yaitu pertempuran pertama dari 22 pertempuran akbar selang Tentara Revolusioner Nasional, Republik Tiongkok dan Tentara Kekaisaran Jepang selama Perang Tiongkok-Jepang Kedua. Pertempuran ini yaitu salah satu yang paling akbar dan paling berdarah selama masa perang tersebut.

Sejak 1931, Tiongkok dan Jepang telah terlibat dalam konflik-konflik kecil tiada putus, seringkali diketahui sebagai ”insiden”, yang membikin Tiongkok kehilangan wilayah sepotong demi sepotong. Pada Agustus 1937, mengikuti Insiden Jembatan Marco Polo pada 7 Juli, dan invasi Jepang terhadap Tiongkok Utara, Generalissimo Chiang Kai-shek memutuskan bagi memimpin Tiongkok dalam perang total terhadap Jepang, meskipun tanpa deklarasi resmi. Perlawanan Tiongkok di Shanghai mempunyai tujuan mematahkan gerak maju Jepang yang cepat, memberikan banyak waktu yang dibutuhkan kepada pemerintah Tiongkok bagi memindahkan industri-industri vital ke lokasi yang semakin dalam, di mana pada masa yang sama berupaya mengambil simpati Daya Barat. Selama tiga bulan pertempuran sengit, Pasukan Tiongkok dan Jepang berperang di pusat kota Shanghai, kota-kota terpencil, dan pantai-pantai sepanjang pesisir Provinsi Jiangsu, lokasi Jepang memainkan pendaratan amfibi. Tentara Tiongkok hanya mengandalkan senjata-senjata kaliber kecil dalam melawan serangan gencar besar-besaran dari udara, laut, dan daya pemukul lapis baja Jepang.[2] Pada yang belakang sekalinya, Shanghai jatuh, dan Tiongkok kehilangan sebagian akbar pasukan terbaik mereka, serta gagal memperoleh intervensi internasional. Namun, perlawanan Tiongkok datang sebagai kejutan akbar terhadap penyerbu Jepang,[3] yang telah terindoktrinasi dengan ingatan superior secara budaya dan militer, dan secara dramatis menurunkan moral tentara Jepang. Kisah kepahlawanan mempertahankan Shanghai dan kisah selanjutnya mengenai kekejaman tentara Jepang yang amat terkejut dengan perlawanan tersebut, menginspirasi bangunannya perlawanan nasionalisme Tiongkok dalam sebuah konflik brutal selama delapan tahun.

Di Tiongkok, Pertempuran Shanghai diketahui sebagai Pertempuran Songhu (Tionghoa: 淞滬會戰; pinyin: Sōnghù Huìzhàn). Kata Song bersumber dari Wusong (吳凇), nama lain Sungai Suzhou, sebuah sungai kecil yang mengalir melewati Shanghai. Hu (滬) yaitu singkatan bagi kota itu sendiri. Dalam beberapa sumber Jepang, pertempuran tersebut diketahui sebagai "Insiden Shanghai Kedua" (第二次上海事変, Dai-niji Shanhai jiken?), membedakannya dengan Insiden Shanghai Pertama pada 1932. Namun, Pertempuran Shanghai 1937 yaitu sebuah pertempuran skala penuh menandai awal perang mati-matian selang dua negara tersebut. Istilah “insiden” secara tradisional digunakan bagi memperhalus invasi Tiongkok oleh Jepang. Pertempuran dapat dibagi ke dalam tiga tahap, dan secara keseluruhan melibatkan hampir satu juta pasukan. Tahap pertama berjalan dari 13 Agustus sampai 22 Agustus, yaitu masa Tentara Revolusioner Nasional berupaya menghalau kehadiran Tentara Kekaisaran Jepang dari pusat kota Shanghai. Tahap kedua berjalan dari 23 Agustus sampai 26 Oktober, yaitu selama Jepang melancarkan pendaratan amfibi di pesisir Jiangsu dan kedua pihak berperang dari propertti ke propertti, dengan Jepang berupaya mendapat kendali terhadap kota dan daerah di sekitarnya. Tahap terakhir berjalan dari 27 Oktober sampai yang belakang sekali November, melibatkan mundurnya tentara Tiongkok dalam menghadapi manuver penjempitan Jepang, dan belakang pertempuran di perlintasan menuju ibukota Tiongkok, Nanjing.

Latar belakangan

Pertempuran Shanghai yaitu pertempuran akbar pertama dalam Perang Tiongkok-Jepang Kedua dan meningkatkan skala Insiden Jembatan Marco Polo dari perang lokal di Tiongkok Utara menjadi perang skala penuh yang akan melibatkan hampir semua wilayah Tiongkok. Mempunyai beberapa penyebab isi bagi peristiwa ini.

Gagasan strategis

Sejak pecahnya perang pada 7 Juli 1937, banyakan pertempuran berjalan di Tiongkok Utara dan sekitarnya dalam operasi-operasi yang diketahui sebagai Pertempuran Beiping-Tientsin. Awalnya, Tiongkok dan Jepang tidak mau tembak-menembak skala kecil meningkat ke tingkat perang total. Jepang mengharapkan segera terjadi gencatan senjata dan mendapat teritori Tiongkok semakin jauh, sama seperti yang terjadi sebelumnya melewati Insiden Mukden (1931), Insiden 28 Januari (1932), Insiden Tembok Akbar (1933), dan melewati jual beli pemukiman di pertengahan 1930-an. Namun Generalissimo Chiang Kai-shek melihat Insiden Jembatan Marco Polo sebagai usaha paling berani Jepang yang akan memisahkan secara penuh provinsi-provinsi utara dari kontrol Tiongkok dan menyatukannya ke dalam negara boneka Manchukuo hasil pekerjaan Jepang. Pada masa bangunannya Front Bersatu Kedua yang dibuat setelah Insiden Xi'an, even ini memecah ”Titik Akhir” (最後關頭) toleransi Chiang terhadap serangan Jepang berdasarkan kebijakan ”perdamaian internal sebelum perlawanan eksternal”. Chiang memutuskan bagi memulai perang skala penuh dengan Jepang.

Jepang berhasil menguasai beberapa kota besar di Tiongkok yaitu

Sebuah bidang blokade jalanan Tiongkok yang dipertahankan oleh Divisi ke-87

Jepang berhasil menguasai beberapa kota besar di Tiongkok yaitu

Prajurit-prajurit Divisi ke-88 mempertahankan sebuah persimpangan di belakangan pertahanan kantung-kantung pasir

Chiang Kai-shek dan para penasihatnya percaya bahwa langkah logis selanjutnya dari tentara Jepang yaitu maju dari Tiongkok Utara, sepanjang Peiping-Hankou serta rel kereta api Peiping-Pukou, dan memotong ke Wuhan dan daerah-daerah di Tiongkok Tengah dan Timur. Gerak maju utara-selatan Jepang bermanfaat bahwa tentara Tiongkok wajib bertahan sepanjang sumbu horisontal, bagi berupaya mengurung gerak maju musuh melewati gerakan menjepit. Namun tentara Tiongkok sebenarnya tidak berdaya bagi manuver semacam itu, sementara Tentara Kekaisaran Jepang mempunyai superioritas dalam hal mutu di Tiongkok Utara, dan mobilitas dari satuan-satuan lapis baja dan artilerinya tidak tertandingi. Kehadiran militer Tiongkok di Tiongkok Utara sangat minim, sementara pemerintah pusat serta Kuomintang sendiri dilarang memainkan keaktifan politik di Provinsi Hebei sebagai bidang Kontrak He-Umezu. Selain itu, banyakan pekerjaan pertahanan Tiongkok yang kuat tidak dibangun di Tiongkok Utara, melainkan di Tiongkok Timur, sepanjang Delta Yangtze yang rendah. Juga penting bagi dicatat, Jepang dapat dengan mudah memainkan penguatan pasukan melewati Korea dan Manchukuo, ke Tiongkok Utara dengan transportasi yang efisien lewat jalur laut dan kereta api. Pergerakan pasukan Tiongkok beberapa kali terhalang karena kurangnya yang dikendarai bermotor dan jalur kereta api. Sebagian akbar pasukan Tiongkok sampai garis hadapan dengan berlanjut kaki. Hal ini membikin penguatan pasukan dari Tiongkok Selatan ke Tiongkok Utara sangat memakan waktu, dibandingkan dengan penguatan pasukan rivalnya dari kepulauan mereka. Konsekuensinya, pertempuran di Tiongkok Utara tidak mungkin dimainkan oleh pasukan Tiongkok.

Jika tentara Jepang berhasil memainkan gerak maju ke selatan, menginvasi Wuhan belakang bangung ke timur dengan memainkan tekanan terhadap Tiongkok Tengah dan Timur dan mengurung wilayah Shanghai-Nanjing, pertahanan Tiongkok wajib mundur ke arah pantai dalam sebuah skenario yang mirip dengan Pertempuran Dunkirk selang Jerman dan Perancis yang terjadi belakang. Tingkatan Laut Kekaisaran Jepang mempunyai supremasi total di laut-laut Tiongkok dan gerak mundur daya Tiongkok tersebut pasti akan binasa karena telah tidak mempunyai lagi lokasi bagi mundur. Berdasarkan probabilitas terjadinya skenario ini, Chiang memutuskan membuka front kedua di Shanghai, dengan maksud menghadang gerak maju musuh ke Tiongkok Tengah dan Timur. Rencana Chiang yaitu memaksa Jepang mengubah arah gerak maju utara-selatannya menjadi timur ke barat. Dengan metode ini, pasukan Tiongkok akan mempunyai cukup ruang bagi mundur di barat daya dan mengumpulkan daya kembali sementara Shanghai, Nanjing, dan Wuhan jatuh ke Jepang. Rencana Tiongkok yaitu berperang sedapat mungkin bagi menunda gerak maju Jepang, dan waktu tunda dimanfaatkan bagi memindahkan pemerintahan dan industri-industri vital ke pedalaman. Ini yaitu dasar dari strategi menjual ”ruang bagi waktu.”

Gagasan politik

Opini publik dan patriotisme yaitu juga faktor kuat yang memengaruhi keputusan Chiang bagi menlangsungkan perang skala penuh terhadap Jepang. Sepanjang 1930-an, pemerintah pusat telah kehilangan dukungan publik yang sangat signifikan karena mengikat perdamaian dengan pemberontak Tiongkok komunis sebelum menyelenggarakan perang skala penuh melawan Jepang. Namun, setelah bangunan dari resolusi perdamain Insiden Xian, Chiang Kai-shek sampai popularitas yang belum pernah terjadi sebelumnya karena ia tampak sebagai satu-satunya pemimpin nasional yang mempunyai kapabilitas dalam memimpin perang melawan Jepang. Tidak mungkin baginya bagi mundur karena akan menjadi malapetaka bagi karier politiknya.

Awalnya, Chiang percaya bahwa Tiongkok membutuhkan setidaknya beberapa tahun keadaan damai di dalam negeri dan bersatu mendirikan tentara nasional dan industri-industri yang cukup sehingga sejajar dalam hal daya bagi melawan Jepang. Chiang khawatir bahwa perang yang prematur akan menggagalkan rencananya, sehingga semakin memilih pertempuran-pertempuran berskala kecil, ”insiden-insiden” yang bersifat lokal yang yaitu karakteristik konflik Tiongkok-Jepang selama 1930-an. Di lain pihak, jika Chiang memutuskan bagi memainkan perlawanan total, ia berisiko kehilangan divisi-divisi yang baru dire-organisasi yang belum terlalu siap menghadapi musuh secara frontal, dan juga penghancuran total basis-basis industri Tiongkok yang baru saja berdiri. Pada dasarnya, bagi Chiang, berperang dalam skala penuh akan menyokong citranya di kalangan rakyat Tiongkok, namun akan merusak daya ungkit politiknya, yang bersandar pada daya militer, melawan kekuatan-kekuatan regional lainnya. Namun, mundur dan membikin banyakan kelonggaran akan membikinnya tampak tidak patriotik dan kehilangan dukungan publik, namun dapat mempertahankan kekuasaan militernya. Pertempuran Shanghai dan keputusan perang total akan menjadi perjudian akbar bagi Chiang.

Chiang juga tidak dapat mencegah lepas sama sekalinya Provinsi Zhejiang dan Jiangsu ke tangan Jepang. Nanjing (ibukota Republik Tiongkok masa itu), dan Shanghai terletak di Provinsi Jiangsu. Dua provinsi tersebut yaitu juga daya ekonomi dataran rendah Delta Yangtze, dan banyak kemajuan industri dan pendirian dasar-dasar politik "Dekade Nanjing" dibangun di sini. Daerah tersebut yaitu juga satu-satunya lokasi di Tiongkok dimana pemerintah pusat di bawah Chiang Kai-shek tidak mempunyai penentang politik, karena Tiongkok Utara telah berada di bawah pengaruh Jepang, dan provinsi lainnya berada di bawah kendali panglima perang yang sedang tersisa atau faksi militeristik Kuomintang lainnya. Berlaku Ciang wajib mempertahankan Shanghai dengan segala metode karena kota ini yaitu inti administrasi politik dan ekonominya.

Shanghai yaitu kota kosmopolitan serba mempunyai, lokasi penanaman modal serta aset dari banyak daya internasional, seperti Amerika Serikat, Britania Raya, dan Perancis. Secara tradisional, Daya Barat tidak mau mengutuk serangan Jepang ke Tiongkok karena keadaan Eropa dan cara politik anti-Uni Soviet Jepang. Namun invasi Shanghai akan mendorong Barat memasuki perang dengan berdiri di pihak Tiongkok. Jelas bahwa perang ini akan mengakibatkan penawaran dan penjualan dengan harga murah investasi barat ke pihak Tiongkok. Sementara itu, Jepang tidak dapat melangsungkan perang melawan Amerika Serikat, daya ekonomi paling akbar, dan Britania Raya, daya kolonial paling akbar. Namun, pelanggaran terhadap appeasement dan isolasionisme komunitas internasional dan pengalaman sejak 1930-an menunjukkan bahwa sikap yang dibuat kelainan Jepang tidak mendasarkan diri pada kekuatan-kekuatan internasional, selain daripada beberapa kecaman yang tidak efektif dari Liga Bangsa-Bangsa.

Sebelumnya pada 1935, penasihat Chiang dari Jerman, Jendral Alexander von Falkenhausen, mengatakan padanya bahwa Kontrak Sembilan-Daya tidak semakin daripada selembar kertas dan tidak perlu terlalu berkeinginan bahwa komunitas internasional akan ikut campur tangan. Chiang dinasihatkan bahwa Tiongkok wajib bersedia bagi berperang sendirian setidaknya bagi dua tahun, mengesampingkan perubahan-perubahan keadaan internasional apapun.

Pengalaman masa lalu dan persiapan

Jepang berhasil menguasai beberapa kota besar di Tiongkok yaitu

Korps pemelihara perdamaian Tiongkok di pusat kota Shanghai

Chiang dan para penasihatnya persangkaan percaya diri dalam meningkatkan pertaruhan perang, sebab tentara Tiongkok pernah berperang dan memaksa Jepang bagi tidak bangung maju dalam Insiden 28 Januari 1932. Karena persetujuan gencatan senjata 1932, yang ditandatangani setelah insiden, melarang Tiongkok menaruh pasukan di dalam kota Shanghai, Tiongkok melatih garnisun-garnisun polisinya berbagai macam taktik militer yang tidak lazim bagi tugas-tugas kepolisian. Rencana pertahanan Shanghai dilindungi oleh Zhang Zhizhong, seorang veteran insiden 1932. Karena Tiongkok tidak mempunyai cukup artileri dan lapis baja, Zhang Zhizhong percaya bahwa tentara Tiongkok wajib mengandalkan superioritas kuantitas mereka, mengambil inisiatif, dan memaksa Jepang bagi mundur menuju pantai sebelum mereka sempat memainkan penggabungan.

Pada 1933, tiga daerah militer, Nanjing, Nanjing-Hangzhou, dan Nanjing-Shanghai, diciptakan bagi mengkoordinir pertahanan di Delta Yangtze. Pada 1934, dengan bantuan Jerman, konstruksi yang disebut sebagai "Garis Hindenburg Tiongkok" dimulai, dengan serangkaian pekerjaan fisik bagi memfasilitasi kedalaman pertahanan. Dua garis semacam itu, Garis Wufu (吳福線) selang Suzhou dan Fushan, dan Garis Xicheng (錫澄線) selang Wuxi dan Jiangyin, berada dalam jabatan bagi melindungi perlintasan menuju Nanjing, jika Shanghai jatuh ke tangan musuh. Pada musim semi 1937, beberapa bulan sebelum mulainya Perang Tiongkok-Jepang, garis-garis tersebut beres. Namun pelatihan personel yang dibutuhkan bagi mempertahankan jabatan dan meng-koordinasi pertahanan belumlah beres masa perang pecah.

Jabatan Jepang

Sejak perang pecah pada 7 Juli, Jepang memfokuskan diri pada operasi-operasi militer, utamanya di Tiongkok Utara, mencakup propinsi Hebei, Shanxi, dan Chahar. Invasi Jepang semakin jauh meningkatkan frekuensi protes anti-Jepang dan boykot terhadap produk-produknya yang berakibat serius terhadap perdagangan Jepang di Tiongkok. Efek tersebut sangat kuat terasa di Shanghai karena banyak kebutuhan komersial Jepang berada di kota tersebut.

Tingkatan Laut Kekaisaran Jepang telah mendesak bagi meningkatkan kehadiran pasukan dalam melindungi pabrik-pabrik dan masyarakat negara Jepang dari probabilitas konfrontasi dengan Tiongkok, tetapi tingkatan darat secara konsisten menolak bagi memainkan pekerjaan sama sampai awal Agustus. Salah satu gagasannya yaitu bahwa tingkatan darat tidak berkeinginan aci di Tiongkok Timur dan Tengah, karena kekhawatiran bahwa sikap yang dibuat semacam itu akan membikin kekosongan di Tiongkok Utara dan Manchukuo, yang bersamaan batasnya langsung dengan Uni Sovyet. Jepang memandang Uni Sovyet sebagai ancaman militer utama di daratan Tiongkok dan tidak mau mengalihkan perhatian dari Tiongkok Utara. Komando Tingkatan Darat Jepang juga tidak berkeinginan menghadirkan pasukan ke Tiongkok Tengah, karena hal itu dapat mengarahkan Jepang ke dalam konfrontasi dengan daya asing lain yang aci di wilayah tersebut. Komando Tingkatan Darat Jepang juga mempunyai opini yang sangat rendah mengenai kemampuan berperang Tiongkok, dan percaya bahwa karena Tiongkok hampir selalu terperosok ke dalam perang saudara, Chiang Kai-shek akan memfokuskan diri pada persatuan nasional terlebih dahulu dan tidak akan mengambil risiko pasukannya berperang dengan tentara Jepang yang jauh semakin superior.

Oleh sebab itu, Jepang berkeinginan mengalahkan Tiongkok dan mengakhiri perang secepat mungkin, bagi menghindari gangguan terhadap rencananya melawan Uni Sovyet. Namun begitu, Komando Tingkatan Laut Jepang mendesak kehadiran pasukan di Tiongkok Tengah bagi menghancurkan pasukan Tiongkok yang mungkin dikirim ke Tiongkok Utara, lokasi perang dilokalisasi. Mengikuti Insiden Oyama 9 Agustus, konflik di Shanghai tampak tidak terhindarkan. Pada 10 Agustus, panglima tertinggi tingkatan laut, Mitsumasa Yonai, menyuarakan kehendaknya di dalam pertemuan kabinet dan berhadapan dengan oposisi dari jenderal-jenderal tingkatan darat, Ishiwara Kanji and Umezu Yoshijiro. Dua jendral tersebut menegaskan bahwa front Shanghai wajib menjadi tanggung jawab mutlak Tingkatan Laut Kekaisaran. Setelah beberapa negosiasi, Komando Tingkatan Darat menyetujui kehendak tingkatan laut dan mulai menghadirkan pasukan ke wilayah Shanghai pada 10 Agustus.

Militer Jepang yakin dapat mengatasi daya Tiongkok di Tiongkok Tengah dalam tiga hari dan mengakhiri keseluruhan perang dalam tiga bulan. Jepang mempunyai garnisun-garnisun di dalam kota sementara Tiongkok hanya diijinkan mempunyai sejumlah kecil garnisun polisi militer, yang diketahui sebagai Korps Penjaga Perdamaian (保安隊), dan sejumlah kubu pertahanan, sebagai kesudahan suatu peristiwa dari Persetujuan Gencatan Senjata Shanghai. Jepang mempunyai banyak pabrik dan gudang di dalam kota, dan banyakan darinya digunakan bagi kepentingan militer. Markas akbar marinir Jepang berada di tidak jauh pabrik tekstil, dan mempunyai semakin dari delapan puluh lokasi menyilakan duduk meriam dan bungker dari berbagai macam macam di semua kota. Armada Ketiga Jepang juga mempunyai kapal-kapal yang berpatroli di sepanjang sungai-sungai yang melewati Shanghai, dan daerah-daerah di kota berada dalam jangkauan tembakan kapal-kapal tersebut. Secara keseluruhan, tentara Jepang sangat siap dalam menghadapi keunggulan banyak tentara Tiongkok, yang minim perlengkapan dan pelatihan.

Awal pertempuran

Insiden Oyama

Pada 9 Agustus, Letnan Satu Isao Oyama (大山勇夫) dari kesatuan marinir Jepang, berupaya masuk secara ilegal ke Bandara Hongqiao (虹橋機場), tetapi ditembak mati oleh Korps Penjaga Perdamaian Tiongkok yang berkedudukan di tidak jauh lapangan terbang militer. Sampai kini tidak diketahui apakah Oyama berinisiatif sendiri atau atas perintah dari atas. Namun, Insiden Oyama meningkatkan tensi di Shanghai. Pada 10 Agustus, konsul jenderal Jepang menanti maaf atas tingkah laku yang dibuat Oyama, karena jelas sebuah sikap yang dibuat intrusi ke teritori Tiongkok. Namun, ia tetap berkeras menuntut Tiongkok menarik mundur Korps Penjaga Perdamaian dan membongkar pertahanan mereka yang mempunyai di sekitar kota. Ia juga menegaskan bahwa penembakan perwira Jepang yaitu penghinaan terhadap Tingkatan Darat Jepang, dan keadaan akan meledak hanya dengan provokasi kecil. Insiden penembakan tersebut juga menyebabkan Jepang mengirimkan bala bantuan ke daerah Shanghai pada 10 Agustus. Bagi Tiongkok, Insiden Oyama hanyalah sebuah dalih lain bagi sikap yang dibuat serangan Jepang, tidak jauh lain dari banyak “insiden” pada 1930-an. Dalam merespon pergerakan pasukan Jepang, Chiang Kai-shek mulai menaruh pasukan-pasukan Tiongkok ke dalam daerah Shanghai pada 11 Agustus.

Usaha-usaha terakhir negosiasi

Pada 12 Agustus, perwakilan kekuatan-kekuatan akbar bersidang dan Jepang menginginkan kekuatan-kekuatan tersebut memaksa penarikan mundur pasukan Tiongkok dari Shanghai, tetapi mayor Yu Hung-chun memprotes bahwa Jepang telah melanggar persetujuan dengan invasi Tiongkok pada 7 Juli. Kekuatan-kekuatan akbar tidak berkeinginan berulangnya Insiden 28 Januari, yang sangat mengganggu keaktifan ekonomi asing di Shanghai. Di lain pihak, rakyat Tiongkok dengan segera menyambut hangat kehadiran pasukan Tiongkok di dalam kota. Di Nanjing, utusan Tiongkok dan Jepang bersua bagi terakhir kalinya sebagai usaha terakhir negosiasi. Jepang menginginkan Tiongkok menarik mundur semua Korps Penjaga Perdamaian dari Shanghai dan semua pasukan reguler dari sekitarannya. Tiongkok berkeras bahwa kehendak Jepang terhadap penarikan mundur secara sepihak yaitu tidak dapat diterima karena kedua negara telah berperang di Tiongkok Utara. Yang belakang sekalinya mayor Yu memperjelas bahwa pasukan Tiongkok tidak akan memulai serangan kecuali diserang terlebih dahulu. Jepang, di lain pihak, melimpahkan semua tanggung jawab kepada Tiongkok karena penempatan pasukan di sekitar Shanghai. Negosiasi telah tidak mungkin dan tidak mempunyai alternatif lain selain perluasan perang ke Tiongkok Tengah.

Fase pertama (13 – 22 Agustus)

Pertempuran kota

Jepang berhasil menguasai beberapa kota besar di Tiongkok yaitu

Distrik Zhabei yang terbakar

Jepang berhasil menguasai beberapa kota besar di Tiongkok yaitu

Sebelum Hotel Cathay Shanghai setelah pemboman oleh Tentara Revolusioner Nasional (Republik China)[4][5]

Sekitar pukul 9 pagi pada 13 Agustus, terjadi baku tembak kecil selang Korps Penjaga Perdamaian Tiongkok dan pasukan Jepang di distrik Shanghai: Zhabei, Wusong, dan Jiangwan. Sekitar pukul 3 sore tentara Jepang menyeberangi Jembatan Bazi (八字橋) di Distrik Zhabei dan menyerang berbagai sasaran dalam kota. Divisi ke-88 Tiongkok membalas dengan serangan mortir. Tembakan-tembakan sporadik berlanjut sampai pukul 4, ketika markas akbar Jepang memerintahkan kapal-kapal tingkatan laut Armada ke-3, yang diletakkan di Sungai Yangtze dan Huangpu bagi membuka tembakan terhadap jabatan Tiongkok di dalam kota. Pada larut malam hari itu Chiang Kai-shek memerintahkan Zhang Zhizhong bagi memulai ofensif Tiongkok pada keesokan harinya. Pada pagi 14 Agustus, tingkatan udara Tiongkok mulai membom berbagai sasaran Jepang dan daya daratnya memulai ofensif pada pukul 3 sore. Pada hari yang sama pemerintah Tiongkok mengumumkan Proklamasi Pertahanan Diri dan Perang Perlawanan (自衛抗戰聲明書), menjelaskan penyelesaian pemerintah terhadap serangan Jepang. Pertempuran Shanghai secara resmi dimulai.

Rencana awal Zhang Zhizhong yaitu mengejutkan Jepang dengan serangan berketetapan akbar dan menekan mereka sampai Sungai Huangpu, belakang memblokade pantai bagi mencegah kesempatan Jepang memainkan pendaratan bala bantuan di dermaga-dermaga Sungai Huangpu selang Yangshupu (楊樹浦) dan Hongkou (虹口). Divisi ke-88 Tiongkok menyerang markas akbar Jepang tidak jauh Zhabei, sementara Divisi ke-87 menyerang Pabrik Tekstil Kung-ta, dimana komando tingkatan laut Jepang berlokasi. Zhang memperkirakan ofensif ini akan beres dalam waktu 1 hari pertama. Namun operasi ini menjadi tidak teratur masa pasukan berperang tanpa gerak maju di luar Pemukiman Internasional Shanghai. Jepang belakang memperkuat kubunya dengan beton tebal dan mulai melawan howitzer 150mm, satu-satunya senjata berat milik Tiongkok. Pasukan Tiongkok hanya dapat maju di bawah perlindungan senapan mesin, mendekati letak meriam-meriam Jepang dan membunuh pasukan yang mempunyai di dalamnya hanya dengan granat tangan. Gerak maju Tiongkok sangat terkurangi dengan keterbatasan ini dan elemen kejutan lenyap dengan cepat.

Pada 16 Agustus, Zhang Zhizhong memerintahkan pasukannya bagi menduduki jalan-jalan di sekitar kubu-kubu Jepang daripada menyerang mereka secara frontal. Setiap kali sebuah perlintasan berhasil diduduki, pasukan Tiongkok segera mendirikan blokade kantung pasir dan mengatur tembakan supaya pasukan Jepang tidak dapat lolos. Taktik tersebut berhasil dan banyak kubu meriam serta pos terdepan Jepang dihancurkan hanya dalam waktu satu hari. Namun belakang Jepang menyebarkan tank-tanknya dan dapat memukul mundur pasukan Tiongkok yang mempunyai di jalan-jalan akbar. Seperti sebelumnya, pasukan Tiongkok kekurangan senjata berat bagi menghancurkan bunker-bunker pertahanan Jepang, sehingga pada 18 Agustus, serangan tersebut dibatalkan.

Pada 18 Agustus, Chen Cheng sampai garis hadapan bagi mendiskusikan keadaan dengan Zhang Zhizhong. Mereka memutuskan mengirim Divisi ke-36 yang baru saja tiba ke dalam pertempuran, dengan menyerang dermaga-dermaga Hueishan (匯山) di bidang utara Sungai Huangpu. Sementara itu, Divisi ke-87 memutus garis Jepang di Yangshupu, dan menekan ke dermaga-dermaga Hueishan bersama-sama dengan Divisi ke-36. Pada 22 Agustus, tank-tank Divisi ke-36 sampai dermaga, tetapi tidak dapat mempertahankan jabatan semakin lama. Pasukan Tiongkok tidak cukup terlatih dalam koordinasi taktik infantri-tank, dan tidak dapat mengikuti kecepatan tank. Tank-tank tersebut menjadi sasaran empuk artileri serta senjata anti-tank Jepang, dan menjadi tidak bermanfaat ketika memasuki pusat kota. Sedikit pasukan yang menyertai tank-tank tersebut menjadi terhalang dan belakang terjebak oleh blokade jalanan Jepang. Selanjutnya pasukan ini dihabisi dengan pelontar api dan tembakan intens senapan mesin Jepang. Masa pasukan Tiongkok hampir berhasil menekan pasukan Jepang ke arah Sungai Huangpu, laju korban tewas sangat tinggi. Pada 22 Agustus malam saja, Divisi ke-36 kehilangan semakin dari 90 perwira dan seribu personel.

Pada 22 Agustus, divisi Jepang ke-3, ke-8, dan ke-11 memainkan serangan amfibi di bawah perlindungan bombardment laut dan memainkan pendaratan di Chuanshakou (川沙口), Shizilin (獅子林), dan Baoshan (寶山), kota-kota pesisir timur laut sekitar 50 kilometer dari pusat kota Shanghai. Jepang mendarat di wilayah sub-urban timur laut Shanghai yang bermanfaat bahwa banyak pasukan Tiongkok di dalam kota, wajib diposisikan ulang ke daerah-daerah pesisir bagi menghadapi pendaratan. Dengan demikian garis hadapan menjadi diperpanjang dari metropolitan Shanghai sepanjang Sungai Huangpu sampai ke distrik-distrik pesisir di timur laut. Ofensif Tiongkok di pusat kota wajib tertahan, dan menjadi pertempuran statik dengan kedua belah pihak menderita banyak kerugian sementara jabatan garis hadapan tidak banyak berubah. Divisi-divisi Tiongkok dapat bertahan di Zhabei, Jiangwan, dan posisi-posisi pusat kota lainnya selama tiga bulan, sampai keadaan di lokasi lain membikinnya secara strategis tidak memungkinkan mempertahankan tempat-tempat ini semakin lanjut.

Operasi-operasi udara

Jepang berhasil menguasai beberapa kota besar di Tiongkok yaitu

Stasiun Shanghai Selatan setelah pemboman Jepang[6]: Bayi yang ketakutan ditemukan di bawah tumpukan reruntuhan dan diletakkan di atas peron oleh seorang pekerja penyelamat.[7]

Pada 14 Agustus, skuadron udara Tingkatan Udara Kekaisaran Jepang, Shikaya dan Kisarazu, yang berbasis di Taiwan, melancarkan serangan udara terhadap sasaran Tiongkok di Shanghai. Pemboman tersebut menyebabkan puluhan ribu masyarakat sipil tewas karena bom-bom jatuh di pusat-pusat populasi dan pusat-pusat transportasi akbar. Tingkatan Udara Republik Tiongkok yang sedang muda mencoba membalas. Grup Terbang ke-4, yang berpangkalan di Henan di bawah komando Kapten Gao Zhihang (高志航), menembak jatuh enam pesawat Jepang tanpa menderita kehilangan satu pun. Pada 1940 pemerintah mengumumkan tanggal 14 Agustus sebagai Hari Tingkatan Udara bagi meningkatkan moral masyarakat Tiongkok. Daya udara Tiongkok juga membom berbagai sasaran di dalam kota dan kapal tingkatan laut Jepang. Dari 15 sampai 18 Agustus, daya udara Tiongkok berperang dengan tingkatan udara Jepang yang secara kuantitas semakin superior dalam sebuah pertempuran udara yang sengit, mengakibatkan dua skuadron udara Jepang dihancurkan. Namun, Tiongkok berperang di udara dengan mengerahkan semua pesawat tempurnya, dengan sebagian di selangnya yaitu pesawat tempur kesan yang dibeli dari negara-negara lain. Tiongkok tidak dapat memproduksi pesawat tempurnya sendiri dan kesukaran dalam hal suku cadang.[8] Di lain pihak, Jepang mempunyai industri penerbangan kuat yang dapat merancang, memproduksi, dan mengembangkan teknologi pesawat terbangnya sendiri dan secara efisien mengirimkannya ke medan perang. Setiap kehilangan pesawat terbang di pihak Jepang dapat dengan mudah ditukarkan, sementara Tiongkok tidak. Oleh sebab itu sangat tidak mungkin bagi Tiongkok bagi memenangkan pertempuran udara. Dalam kampanye Shanghai, Tiongkok menembak jatuh 85 pesawat terbang Jepang dan menenggelamkan 51 kapal. Tiongkok kehilangan 91 pesawat, banyak yang lebih kurang hampir setengah dari keseluruhan daya tingkatan udara Tiongkok.

Perkembangan lainnya

Jepang berhasil menguasai beberapa kota besar di Tiongkok yaitu

Pasukan Jepang di selang reruntuhan Shanghai

Pada 15 Agustus, Jepang membentuk Tentara Ekspedisi Shanghai, terdiri dari Divisi ke-3 dan ke-11 di bawah komando Jenderal Iwane Matsui. Pada 19 Agustus, Perdana Menteri Jepang Fumimaro Konoe mengumumkan bahwa konflik Tiongkok-Jepang hanya dapat dihabiskan dengan metode perang, mengabaikan usaha-usaha negosiasi dari negara-negara pihak ketiga. Konoe mengatakan bahwa rencana awal bagi melokalisasi ”penahanan pasukan musuh” di sekitar Shanghai telah bertambah luas menjadi perang total, dengan tujuan utama memaksa pemerintah Tiongkok bagi bekerjasama secara ekonomi dan politik. Pada 23 Agustus, Jepang memulai kampanye pemboman atas Nanjing, dan berbagai kota di Tiongkok Tengah. Tentara Ekspedisi Shanghai juga tiba pada hari itu.

Di awal perang, Zhang Zhizhong, sebagai komandan Tentara ke-5 dan daerah perang Nanjing-Shanghai, bertanggungjawab dalam memainkan operasi-operasi Tiongkok. Kegagalan dalam ofensif awal Tiongkok membikin cemas Chiang Kai-shek dan stafnya. Chiang mengkritik kegagalan Zhang dalam persiapan, khususnya usaha memperoleh senjata yang berdaya menembus bunker-bunker Jepang, sebelum mengirimkan gelombang-gelombang pasukan, yang mengakibatkan pada jatuhnya banyak korban di pihak divisi-divisi Tiongkok sejak awal pertempuran. Zhang juga dikritik karena terlalu percaya diri dan kegemarannya menyelenggarakan konferensi pers, adil bagi wartawan-wartawan dalam maupun luar negeri. Chiang Kai-shek dan stafnya, termasuk yang paling menonjol yaitu Chen Cheng dan Gu Zhutong, mulai mengambil alih komando dari Zhang Zhizhong. Chiang Kai-shek sendiri yang belakang sekalinya menjadi komandan daerah perang ke-3 yang mengawasi Shanghai. Kegagalan ofensif Tiongkok menunjukkan bahwa meskipun banyak tentara Tiongkok pada awalnya melampaui garnisun Jepang, tetapi tidak mampu meraih obyektifnya karena kurangnya senjata berat dan artileri. Selain itu armada Jepang bertebaran di mana-mana di perairan Shanghai dan meriam-meriam laut mereka membombardir posisi-posisi Tiongkok di dalam kota dengan keakuratan yang sangat tinggi. Dengan kondisi-kondisi seperti itu, serangan Jepang hampir pasti berhasil.

Fase Kedua (23 Agustus – 26 Oktober)

Periode paling berdarah dan paling sengit terjadi dari 23 Agustus, ketika Jepang mendaratkan gelombang-gelombang pasukannya, sampai 26 Oktober, ketika Tiongkok mundur dari metropolitan Shanghai. Selama periode ini, mayoritas pertempuran berjalan di sepanjang 40 kilometer dari metropolitan Shanghai sampai kota Liuhe (瀏河), yang berlokasi di timur laut kota di pesisir lokasi Jepang memainkan pendaratannya.

Pertahanan menghadapi pendaratan (23 Agustus – 10 September)

Jepang berhasil menguasai beberapa kota besar di Tiongkok yaitu

Pendaratan amfibi Jepang

Pada 23 Agustus, Tentara Ekspedisi Shanghai Jepang, pimpinan Iwane Matsui, mendarat di Liuhe, Wusong (吳淞), dan Chuanshakou. Chiang Kai-shek berkeinginan, kota-kota pesisir ini dapat dengan mudah didarati Jepang dan memerintahkan Chen Cheng memperkuat daerah tersebut dengan menaruh Tentara ke-18. Namun, Tiongkok tidak dapat menandingi daya tembak senjata-senjata Jepang. Jepang hampir selalu memulai serangan amfibinya dengan bombardir hebat pertahanan pesisir milik Tiongkok, adil dari laut maupun udara. Tidak diketahui apakah Tiongkok kehilangan semua garnisun selama bombardir semacam itu, sebab, pasukan Tiongkok akan segera mengatur diri bagi menghadapi pasukan Jepang yang baru saja memainkan pendaratan setelah pembombardiran.

Sampai dua hari pertama selanjutnya, pasukan Tiongkok dan Jepang berada dalam pertempuran sengit di sejumlah kota dan desa sepanjang pesisir. Pasukan Tiongkok menangkis serangan amfibi hanya dengan senjata kaliber kecil, dan tidak cukup didukung oleh tingkatan udara serta hampir tanpa keberadaan tingkatan laut. Tiongkok wajib membayar sangat mahal bagi pertahanan mereka. Sebuah resimen Tiongkok dapat tersapu sampai hanya menyisakan beberapa tentara saja. Pertahanan Tiongkok dikerjakan dengan sangat tergesa-gesa dan tidak menyediakan banyak perlindungan, sementara banyak parit-parit pertahanan dikerjakan hanya pada masa pertempuran sedang mereda saja. Semakin lagi, daerah pesisir yang berpasir membikin sulit mendirikan benteng pertahanan yang kokoh. Banyak parit yang longsor masa hujan. Tiongkok wajib berlomba dengan waktu dalam mendirikan dan memperbaiki pertahanan-pertahanan mereka selain menghadapi bombardir Jepang. Kesukaran logistik juga bermanfaat sulit bagi mengangkut material pertahanan ke garis hadapan. Pasukan Tiongkok seringkali mengambil material bagi pertahanan dari puing-puing reruntuhan propertti. Namun, Tiongkok tetap terus berupaya berperang walaupun dengan rintangan-rintangan ini dan berupaya bertahan selama mungkin di desa dan kota sepanjang pesisir. Kebanyakan Jepang dapat menduduki desa dan kota ini pada siang hari di bawah dukungan tembakan-tembakan berat tingkatan laut, dan kehilangan kendali hanya pada malam hari masa Tiongkok memainkan serangan balasan.

Serangan dan serangan balik berjalan sampai yang belakang sekali Agustus, masa kejatuhan Baoshan, sebuah kota pesisir penting, menjadi sangat jelas. Chiang Kai-shek memerintahkan pasukan dari Divisi ke-98 yang sedang tersisa bagi mempertahankan kota. Sebuah batalyon di bawah pimpinan Yao Ziqing (姚子青), memanggul tugas ini. Yao memerintahkan pasukannya bagi bertahan sampai titik darah yang belakang sekali. Serangan artileri Jepang membikin sebagian kota menjadi puing-puing, dan Yao terbunuh dalam pertempuran dari propertti ke propertti. Pada 6 September Baoshan jatuh. Semua batalyon kecuali satu prajurit, terbunuh dalam tingkah laku yang dibuat ini. Selanjutnya, pasukan Tiongkok akan terus menderita korban jiwa semacam ini di keseluruhan Kampanye Shanghai.

Pertempuran di sekitar Luodian (11 – 30 September)

Pada 11 September, dengan jatuhnya Baoshan, tentara Tiongkok mengambil jabatan bertahan di sekitar Luodian (羅店). Luodian hanyalah sebuah kota kecil, namun yaitu titik simpul transportasi yang menghubungkan Baoshan, pusat kota Shanghai, Jiading, Songjiang dan beberapa kota lainnya dengan jalan-jalan raya. Kesuksesan mempertahankan Luodian secara strategi sangat penting dalam pengamanan Suzhou dan Shanghai. Pada 29 Agustus, penasihat Chiang Kai-shek dari Jerman, Alexander von Falkenhausen, mengatakan padanya bahwa Kota Luodian wajib dipertahankan berapa pun harganya. Bagi pertempuran Luodian, Tiongkok memusatkan sekitar tiga ratus ribu prajurit, sementara Jepang semakin dari seratus ribu dengan dukungan kapal laut, tank, dan pesawat udara.

Jepang berhasil menguasai beberapa kota besar di Tiongkok yaitu

Pasukan Tiongkok memainkan serangan di Luodian

Pembantaian besar-besaran yang terjadi membikin pertempuran Luodian mendapat julukan "rumah penggilingan daging dan darah" (血肉磨坊). Ofensif Jepang kebanyakan dimulai masa fajar dengan pemboman udara yang terpusat, disertai dengan pelepasan balon pengamat bagi menunjukkan dengan tepat lokasi pasukan-pasukan Tiongkok yang tersisa bagi dapat disapu oleh artileri dan gempuran dari laut. Infantri Jepang belakang dapat maju di bawah perlindungan tabir asap dan lapis baja. Pesawat-pesawat Jepang belakang juga akan menemani infantri dan memberondong pasukan-pasukan pengganti Tiongkok.

Pertahanan Tiongkok sulit bagi dipatahkan bahkan dengan daya gempur hebat semacam itu. Pada malam hari, prajurit-prajurit Tiongkok meranjaui jalan-jalan yang menghubungkan kota-kota pesisir menuju Luodian dan memaksa pertempuran malam bagi memotong gerak maju pasukan-pasukan Jepang. Masa fajar, Tiongkok akan mepertahankan garis-garis pertahanan penting dengan pasukan yang semakin sedikit bagi mengurangi korban jiwa yang dikarenakan dari bombardir Jepang yang intens. Tiongkok belakang akan muncul dari jabatan belakangan bagi menghadapi musuh masa ofensif darat Jepang dimulai setelah gempuran-gempuran laut dan artileri bubar.

Meskipun mempunyai keunggulan banyak pasukan, mempertahankan Luodian yaitu ketidakmungkinan bagi Tiongkok. Jepang mempunyai sejumlah keuntungan, termasuk keunggulan daya tembak, dan fakta bahwa Tiongkok berada dalam jabatan pasif dalam menghadapi serangan gencar, karena tidak dapat menyusun ofensif efektif sampai Jepang praktis menduduki Luodian. Karena hal ini, Tiongkok memutuskan bagi mempertahankan setiap inchi persegi dari wilayah kota sampai titik darah yang belakang sekali. Taktik ini membikin semakin cepat laju tewasnya prajurit-prajurit berpangkat tinggi. Laju korban tewas dari pihak grup tentara Jenderal Chen Cheng sampai semakin dari 50 persen. Di yang belakang sekali September, Tiongkok telah hampir kehabisan darah dan terpaksa menyerahkan Luodian.

Pertempuran Dachang (1 – 26 Oktober)

Jepang berhasil menguasai beberapa kota besar di Tiongkok yaitu

Prajurit-prajurit Tiongkok di tidak jauh sebuah propertti yang hancur dibom

Pada 1 Oktober, atas petuah komandan-komandannya, Perdana Menteri Jepang Fumimaro Konoe memutuskan menyatukan dan meluaskan pertempuran di Teater Tiongkok Utara dan Tengah, melancarkan sebuah ofensif Oktober bagi menaklukkan pemerintahan Tiongkok bagi mengakhiri perang. Pada masa ini, Jepang menaikkan banyak pasukannya di wilayah Shanghai sampai semakin dari dua ratus ribu. Pasukan Jepang juga menginvasi kota Liuhang (劉行), di selatan Luodian. Jadi, garis hadapan telah bergeser semakin jauh ke selatan sampai tepian Sungai Yunzaobin (蘊藻濱). Tujuan Jepang yaitu menyeberangi Sungai Yunzaobin dan mengambil alih Dachang (大場), yang yaitu penghubung komunikasi pasukan Tiongkok selang pusat kota Shanghai dan di kota-kota timur lautnya.

Jika Dachang jatuh, pasukan Tiongkok wajib menyerahkan jabatan mereka di pusat kota Shanghai dan wilayah timur Sungai Huangpu bagi menghindari pengurungan oleh tentara Jepang. Pertahanan Dachang yaitu vital bagi mengetahui seberapa lama tentara Tiongkok dapat bertahan dan meneruskan pertempuran di daerah perang Shanghai. Bagi ini, Chiang Kai-shek memobilisasi pasukan yang sedang tersisa dan dapat diselamatkannya bagi mempertahankan Dachang.

Pertempuran selang kedua pihak berjalan maju mundur, dengan sedikit perubahan di sepanjang Sungai Yunzaobin. Dari 11 September sampai 20 Oktober, kemajuan tentara Jepang hanya lima kilometer. Pada momen-momen paling intens, posisi-posisi dapat beralih tangan sampai lima kali dalam satu hari. Pada 17 Oktober, Tentara Guangxi di bawah pimpinan Li Zongren dan Bai Chongxi yang belakang sekalinya tiba bagi bergabung dengan Tentara Sentral pimpinan Chiang Kai-shek dalam pertempuran Shanghai. Tiongkok belakang melancarkan serangan balasan dalam upaya menyatukan secara penuh posisi-posisi mereka di sekitar Dachang dan menduduki kembali tepian Sungai Yunzaobin. Namun serangan balasan tersebut lemah dalam koordinasi dan lagi-lagi Tiongkok kalah terhadap superioritas daya pukul senjata Jepang. Jepang memakai sekitar 700 pucuk artileri dan 150 pesawat pembom bagi operasi Dachang dan kota tersebut hancur lebur sampai menjadi puing-puing. Pertempuran tersebut begitu sengitnya sampai laju rata-rata korban jiwa di pihak Tiongkok sampai ribuan per jamnya, dan beberapa divisi kehilangan kapasitas hanya dalam beberapa hari. Pertempuran sengit ini berjalan sampai 25 Oktober, masa Dachang yang belakang sekalinya jatuh. Setelah itu, pasukan Tiongkok tidak mempunyai pilihan lain selain mundur dari pusat kota Shanghai, yang telah mereka pertahankan hampir selama tiga bulan.

Fase ketiga (27 Oktober – 26 November)

Penarikan mundur Tiongkok dari metropolitan Shanghai

Jepang berhasil menguasai beberapa kota besar di Tiongkok yaitu

Pasukan Jepang sampai Stasiun Utara yang hancur di pusat kota Shanghai

Pada 26 Oktober malam, Tiongkok mulai menarik mundur pasukannya dari pusat urban Shanghai. Karena Dachang dan kota-kota suburban vital lainnya telah jatuh, Chiang Kai-shek memerintahkan pasukan Tiongkok bagi mundur dari Zhabei, Jiangwan (江灣), dan posisi-posisi lainnya yang telah dipertahankan teguh selama 77 hari. Namun Chiang memerintahkan satu batalyon dari Divisi ke-88 tetap berada di Zhabei bagi mempertahankan Gudang Sihang di tepi utara Sungai Suzhou. Chiang tidak dapat sepenuhnya mengosonglam pusat kota Shanghai karena konferensi Kontrak Sembilan-Daya sedang berjalan di Brussels bagi sebuah probabilitas intervensi Barat dalam konflik Tiongkok-Jepang. Sisa pasukan Tiongkok menyeberangi Sungai Suzhou dan bersama-sama menjadi satu kelompokan kembali bagi bentrokan terakhir dengan tentara Jepang.

Pertempuran di sekitar Sungai Suzhou

Jepang berhasil menguasai beberapa kota besar di Tiongkok yaitu

Pasukan Jepang merayap di selang reruntuhan

Rencana awal Chiang yaitu berperang di medan selatan Sungai Suzhou dan menimbulkan sebanyak mungkin korban di pihak Jepang. Namun setelah tiga bulan pertempuran intens, daya pasukan Tiongkok telah sangat terkurangi. Daya banyakan satuan tinggal setengah daya awal, sehingga sebuah divisi hanya mempunyai kapasitas tempur kurang dari dua resimen. Pada masa ini, tentara Tiongkok membutuhkan selang 8 sampai 12 divisi bagi mengimbangi daya tempur satu divisi Jepang, sehingga komandan-komandan Tiongkok pesimis terhadap hasil pertempuran Sungai Suzhou. Li Zongren, Bai Chongxi, Chang Fa-kuei dan komandan-komandan lainnya berkeras supaya pasukan Tiongkok memasuki garis pertahanan Wufu dan Xicheng bagi melindungi Nanjing, tetapi Chiang menginginkan pasukan Tiongkok bagi meneruskan pertempuran di tepi selatan Sungai Suzhou. Pada 28 Oktober, Chiang tiba di medan tempur bagi menaikkan moral pasukannya, namun demikian keadaan memang telah suram. Pada 30 Oktober, Jepang melalui Sungai Suzhou dan pasukan Tiongkok dalam bahaya pengurungan. Tentara Tiongkok telah berada dalam batas daya tahan.

Pendaratan Jepang di Jinshanwei

Jepang berhasil menguasai beberapa kota besar di Tiongkok yaitu

Satuan garis belakangan pasukan Jepang mendaratkan suplai di Jinshanwei

Sejak 12 Oktober, kepala-kapala staf militer Jepang telah merumuskan rencana bagi memainkan pendaratan di Jinshanwei (金山衛), sebuah kota yang terletak di tepi utara Teluk Hangzhou, di sebelah selatan daerah Shanghai. Pendaratan Jinshanwei akan memfasilitasi tekanan ke arah utara terhadap Kota Shanghai, bagi melengkapi pendaratan di kota-kota timur laut Shanghai, seperti yang terjadi di sekitar Baoshan selang yang belakang sekali Agustus dan pertengahan September, yang telah memberikan tekanan ke arah selatan. Chiang Kai-shek telah menyadari rencana Jepang bagi mengurung tentaranya di dalam Shanghai dari utara dan selatan, dan telah memerintahkan komandan-komandannya bagi mengambil langkah-langkah pencegahan terhadap probabilitas pendaratan Jepang di Jinshanwei. Namun kejatuhan Dachang yang menjelang di yang belakang sekali Oktober memaksa Chiang memindahkan divisi-divisi Tiongkok yang mempunyai di sepanjang pesisir utara Teluk Hangzhou. Sebagai hasil, kurangnya pertahanan Tiongkok membikin Korps Tentara ke-10 Jepang, terdiri dari satuan-satuan yang dialihkan dari Pertempuran Taiyuan di Teater Tiongkok Utara, mendarat dengan mudah di Jinshanwei pada 5 November. Jinshanwei hanya tidak berdekatan 40 km dari tepian Sungai Suzhou, lokasi pasukan Tiongkok baru saja mundur dari kejatuhan Dachang.

Perjalanan ke Nanjing

Jepang berhasil menguasai beberapa kota besar di Tiongkok yaitu

Tentara Tiongkok merawat korban-korban serangan gas Jepang

Keputusan Jepang menduduki Nanjing

Di bulan Oktober, SEF (Shanghai Expedition Force) diperkuat oleh Tentara ke-10 Jepang pimpinan Letnan Jendral Heisuke Yanagawa. Pada 7 November, Tentara Daerah Tiongkok Tengah Jepang (Japanese Central China Medan Army = CCAA) dibuat dengan menggabungkan SEF dan Tentara ke-10, dengan Matsui ditunjuk sebagai panglima tertinggi merangkap panglima SEF. Setelah memenangi pertempuran di sekitar Shanghai, SEF menyarankan kepada Markas Umum Kekaisaran di Tokyo bagi menyerang Nanjing. CCAA belakang diatur ulang dan Letnan Jendral Pangeran Asaka (Yasuhiko), paman dari Kaisar Hirohito, ditunjuk sebagai komandan SEF, sementara Matsui tetap sebagai komandan CCAA mengawasi SEF dan Tentara ke-10. Namun, dalam kenyataan, otoritas Matsui sulit bagi ditegakkan karena ia berhadapan dengan anggota keluarga kekaisaran yang ditunjuk langsung oleh Kaisar. Dalam antisipasi penyerbuan Nanjing, Matsui mengeluarkan perintah kepada tentaranya yang berbunyi:

Nanjing yaitu ibukota Tiongkok dan penaklukkannya yaitu sebuah afair internasional; oleh karena itu, pemeriksaan seksama wajib dimainkan sehingga menunjukkan kehormatan dan kemuliaan Jepang dan memperbesar keyakinan rakyat Tiongkok, dan bahwa pertempuran di sekitar Shanghai mempunyai tujuan bagi menaklukkan tentara Tiongkok, oleh karenanya lindungi dan perlakukan dengan adil pejabat-pejabat serta rakyat Tiongkok, sedapat mungkin; Pasukan wajib menanamkan dalam ingatan bagi tidak melibatkan masyarakat negara-warga negara dan tentara-tentara asing ke dalam persoalan dan memelihara hubungan tidak jauh dengan otoritas-otoritas asing dalam upaya menghindari kesalahpahaman.

Pada 2 Desember, Kaisar Showa menominasikan salah satu pamannya, Pangeran Asaka, sebagai komandan invasi. Sulit bagi ditegakkan jika, sebagai anggota keluarga kekaisaran, Asaka mememiliki status semakin tinggi daripada Jendral Iwane Matsui, yang secara resmi yaitu panglima tertinggi, namun jelas bahwa, sebagai perwira berpangkat tinggi, Pangeran Asaka mempunyai otoritas atas komandan-komandan divisi, Letnan Jendral Kesago Nakajima dan Heisuke Yanagawa.

Setelah mengamankan kendali terhadap Shanghai, tentara Jepang memulai gerak majunya menuju Nanjing pada 11 November 1937, mendekati kota dari berbagai penjuru.

Jepang berhasil menguasai beberapa kota besar di Tiongkok yaitu

Gerak maju Jepang ke Nanjing dapat dikarekterisasi sebagai sebuah “barisan terpaksa”. Hampir semua kesatuan melalui jarak 400 km dalam waktu lebih kurang satu bulan. Dengan menganggap bahwa penaklukan ibukota Tiongkok akan menjadi titik balik memilihkan dalam perang, mempunyai kehendak kuat menjadi di selang yang pertama yang dapat meng-klaim kehormatan kemenangan.[9]

Tentara Jepang dilawan oleh prajurit-prajurit Tiongkok dalam sejumlah perjumpaan di perlintasan menuju Nanjing, dan seperti kebanyakan banyak mereka jauh banyakan. Semakin tidak jauh Jepang dengan Nanjing, pertempuran semakin meningkat frekuensi dan mutunya.[10]

Tiongkok mundur dari Shanghai

Pendaratan Jepang di Jinshanwei bermanfaat bahwa tentara Tiongkok wajib mundur dari front Shanghai dan berupaya bagi lolos. Namun, Chiang Kai-shek tetap berkeinginan Kontrak Sembilan Daya (Nine-Power Treaty) dapat memproduksi sejumlah sanksi internasional terhadap Jepang. Tidak sampai 8 November komando pusat Tiongkok mengumumkan penarikan umum dari keseluruhan front Shanghai. Semua kesatuan Tiongkok diperintahkan bangung menuju kota-kota di barat seperti Kunshan, dan dari sini memasuki garis-garis pertahanan yang belakang sekali bagi mencegah Jepang sampai Nanjing. Pada titik ini, tentara Tiongkok telah benar-benar kelelahan, kehabisan amunisi dan perbekalan, sehingga pertahanan benar-benar dalam keadaan terhuyung-huyung. Kunshan jatuh hanya dalam waktu dua hari, dan sisa pasukan mulai bangung menuju benteng pertahanan Garis Wufu pada 13 November. Tentara Tiongkok berperang dengan sisa tenaga mereka dan garis hadapan berada di ambang keambrukan.

Dalam kekacauan tersebut, banyak kesatuan Tiongkok terpecah dan kehilangan kontak dengan perwira-perwira penghubung yang mempunyai peta dan rencana pertahanan. Ditambah lagi masa mereka tiba di Garis Wufu, pasukan Tiongkok mendapati beberapa pejabat sipil telah melarikan diri dan membawa serta kunci-kunci benteng bersama mereka. Pasukan Tiongkok yang terpukul, yang baru saja tiba dari mandi darah di Shanghai dan berkeinginan dapat memasuki garis-garis pertahanan, menjumpai bahwa diri mereka tidak dapat memanfaatkan benteng-benteng pertahanan ini. Garis Wufu ditembus pada 19 November dan pasukan Tiongkok belakang bangung menuju Garis Xicheng, yang belakang terpaksa diserahkan pada 26 November di tengah-tengah serangan gencar. ”Garis Hindenberg Tiongkok” yang dibangun pemerintah dengan dana jutaan dan yaitu garis terakhir pertahanan selang Nanjing dan Shanghai, runtuh hanya dalam waktu dua hari pertama. Namun begitu, pertempuran terus berjalan tanpa jeda di perlintasan menuju ibukota Tiongkok dan pertempuran selanjutnya segera mengarah menjadi Pertempuran Nanjing.

Di awal Desember, pasukan Jepang telah sampai pinggiran Kota Nanjing.

Kesudahan suatu peristiwa dan taksiran kerugian

Lenyapnya daya militer Tentara Sentral

Jepang berhasil menguasai beberapa kota besar di Tiongkok yaitu

Perwira-perwira Tiongkok memperoleh pukulan hebat di dalam pertempuran.

Meskipun Pertempuran Shanghai yaitu yang pertama dari 22 pertempuran akbar selang Tiongkok dan Jepang, keputusan Chiang Kai-shek bagi mengirimkan pasukan-pasukan terbaiknya memproduksi kesudahan suatu peristiwa yang signifikan. Pada masa perang pecah, Tentara Revolusioner Nasional Tiongkok mengandalkan tentara reguler sejumlah 1,7 juta personel, tetapi dalam kenyataannya daya militer Tiongkok rendah secara signifikan. Hal ini karena hampir semua pasukan kurang terlatih, kurang peralatan, dan yaitu petani-petani yang semi-melek huruf dengan sedikit pengetahuan pemikiran perang modern. Hanya sekitar 300.000 pasukan yang secara komparatif terlatih dengan adil dan diorganisasikan ke dalam sekitar 40 divisi yang baru diatur ulang. Di selang banyak ini, sekitar 80.000 yaitu divisi hasil pelatihan Jerman yang menyusun satuan-satuan elit Tentara Sentral Chiang Kai-shek. Namun begitu, bahkan divisi-divisi ini pun tidak cukup didukung oleh pasukan gabungan. Jadi, dari hampir dua juta tingkatan bersenjata, kurang dari seratus ribu pasukan Tiongkok yang dapat menandingi pasukan Jepang. Keputusan Chiang bagi mengerahkan semua divisinya dalam pertempuran di Shanghai menyebabkan satuan-satuan elitnya kehilangan sekitar 60 persen personelnya dalam tiga bulan mandi darah. Dalam satu pukulan saja, Chiang juga kehilangan sekitar 10.000 dari 25.000 perwira yunior yang dilatih oleh Akademi Militer Pusat selang 1929 sampai 1937, ditambah lagi beberapa puluh ribu perwira militer potensial. Tentara Pusat Chiang tidak pernah dapat bangunan dari kehancuran ini. Divisi ke-88 yang mungkin yaitu divisi terbaik di selang divisi-divisi elit ini, memulai Pertempuran Nanjing dengan daya hanya 7000 personel, dengan 3000 di selangnya yaitu rekrutan baru bagi menggantikan para veteran yang lenyap. Kehancuran daya militernya juga memaksa Chiang mempercayai jendral-jendral non-Whampoa, yang memimpin tentara-tentara provinsial dengan loyalitas dipertanyakan. Karena pengurangan daya militer ini, Chiang kehilangan daya ungkit politik di mata para panglima perang lokal. Dampaknya Chiang efektif hanya menjadi kepala koalisi yang tidak kuat daripada menjadi panglima tertinggi tingkatan bersenjata yang bersatu. Melemahnya banyak personel tempur terbaik Tiongkok juga membikin rencana dan eksekusi operasi militer selanjutnya menjadi sulit. Intinya, usaha sebelum perang Chiang bagi mendirikan sebuah tentara nasional yang benar-benar efektif dan modern benar-benar hancur dalam pengorbanan bagi Pertempuran Shanghai.

Respon internasional dan konsekuensi-konsekuensinya

Gagasan utama tentara Tiongkok bertahan di Shanghai selama mungkin, meskipun membikin mereka berada di ambang kehancuran, yaitu keinginan akan keadaan intervensi barat terhadap Perang Tiongkok-Jepang. Negara-negara barat hanya menaruh perhatian kecil terhadap keadaan Tiongkok karena sebagian akbar tercurah ke keadaan di Eropa. Selain itu, banyakan negara-negara barat juga hanya melihat sedikit keinginan bahwa intervensi mereka dapat menolong Tiongkok dalam jangka panjang karena mereka percaya pada yang belakang sekalinya Tiongkok akan jatuh juga. Jika di mata dunia Barat, Tiongkok tampak lemah secara militer, terbelakang secara ekonomi, dan terpecah-belah secara politik, tidaklah masuk tipu daya bagi mereka menolong Tiongkok jika sedang tampak kalah oleh Jepang. Oleh sebab itu, Chiang Kai-shek wajib mencurahkan segalanya bagi memberikan keyakinan Dunia Barat bahwa konflik selang Tiongkok dan Jepang yang terjadi yaitu perang skala akbar, bukan kelompok ”insiden” yang tidak berpadanan seperti yang telah terjadi sebelumnya. Bersandar pada strategi politik ini, Chiang Kai-shek wajib memerintahkan pasukan-pasukannya bagi berperang sampai mati dalam usaha mengambil simpati internasional dan berkeinginan komunitas internasional mengambil langkah-langkah yang dapat menolong Tiongkok dan memberikan sanksi kepada Jepang.

Pada 12 September, satu bulan setelah Pertempuran Shanghai dimulai, Tiongkok secara resmi membawa kasus melawan Jepang ke Liga Bangsa-Bangsa. Sekali lagi, Liga tidak dapat merumuskan sanksi efektif apa pun terhadap Jepang selain daripada pernyataan 4 Oktober yang memberikan ”dukungan spiritual” kepada Tiongkok. Amerika Serikat bukan yaitu anggota Liga, sementara Britania Raya dan Perancis enggan bagi menantang Jepang. Di selang semua daya akbar Barat, hanya Amerika Serikat yang tampak dapat berperan semakin karena tidak terlibat keadaan Eropa yang sedang panas-dingin. Selain itu, pada 5 Oktober, Presiden Franklin D. Roosevelt memberikan Pidato Karantina, menyerukan Amerika Serikat menolong bangsa-bangsa yang sedang berperang dengan bangsa-bangsa agresor. Pidato ini mempunyai efek yang hebat sekali dalam meningkatkan moral Tiongkok. Karena Amerika tampak mempunyai kehendak bagi berkonfrontasi dengan Jepang, perwakilan Britania Raya menyarankan bagi menutup kasus di Liga Bangsa-Bangsa dan berinisiatif bagi menyelenggarakan rapat Konferensi Kontrak Sembilan Kekuatan. Konferensi tersebut secara otomatis melibatkan Amerika Serikat ke dalam usaha mengekang serangan Jepang karena Kontrak Sembilan Daya yaitu hasil dari Konferensi Tingkatan Laut Washington pada 1922.

Jepang berhasil menguasai beberapa kota besar di Tiongkok yaitu

Generalissimo Chiang Kai-shek di garis hadapan

Masuknya Amerika ke dalam respon internasional membawa keinginan baru bagi Tiongkok, dan Chiang Kai-shek mengulangi pernyataannya kembali akan perlunya pasukan Tiongkok bertahan di Shanghai bagi membuktikan bahwa kota itu memang layak dipertahankan. Pada pertengahan Oktober, keadaan pasukan Tiongkok di Shanghai semakin mengkhawatirkan dan Jepang mendapat hasil yang signifikan. Kota vital Dachang jatuh pada 26 Oktober dan Tiongkok wajib mundur dari metropolitan Shanghai. Namun begitu, karena Konferensi Kontrak Sembilan Daya baru dimulai pada awal November, Chiang Kai-shek memerintahkan pasukannya bagi bertahan di Shanghai daripada mundur ke Garis Wufu dan Xicheng bagi mempertahankan Nanjing. Ia juga meninggalkan satu batalyon sendirian bagi mempertahankan Gudang Sihang di dalam metropolitan Shanghai. Chiang juga mengunjungi pasukannya di garis hadapan bagi meningkatkan moral pasukannya. Karena Shanghai yaitu kota Tiongkok paling penting di mata dunia barat, pasukan Tiongkok wajib berperang dan mempertahankan kota selama mungkin, daripada mundur bagi memperkuat garis-garis pertahanan di kota-kota tidak bernama sepanjang perlintasan menuju Nanjing. Pada 3 November, konferensi yang belakang sekalinya dilangsungkan di Brusel. Masa daya barat sedang bersidang bagi mendamaikan keadaan, pasukan Tiongkok berupaya berdiri bagi terakhir kalinya dan menaruh semua keinginan pada intervensi barat bagi dapat menyelamatkan Tiongkok dari keruntuhan.

Konferensi berlanjut berlarut-larut dengan hasil minim. Jepang diundang dua kali namun menolak sehingga usaha mediasi yang melibatkan Jepang secara langsung tidak dapat dimainkan. Sama dengan yang telah terjadi dalam konferensi Liga Bangsa-Bangsa, daya barat, termasuk Amerika Serikat, sedang mengandalkan isolasionisme dan appeasement. Jadi, tidak mempunyai hal yang efektif berhasil dirumuskan. Pada 5 November, Jepang memainkan pendaratan amfibi di Jinshanwei bagi mengepung pasukan Tiongkok yang sedang berperang di wilayah perang Shanghai. Chiang sedang menunggu tanggapan yang menguntungkan dari Konferensi Kontrak Sembilan Daya dan memerintahkan pasukannya bagi terus bertahan, meskipun pasukan-lelahnya terancam pengurungan dari pendaratan Jinshanwei. Tidak sampai tiga hari belakang pada 8 November, komando pusat Tiongkok memerintahkan pasukan bagi mundur dari keseluruhan front Shanghai bagi melindungi Nanjing. Penundaan tiga hari ini cukup bagi memecah belah garis komando Tiongkok karena satuan-satuan telah hancur lebur kesudahan suatu peristiwa pertempuran yang berkelanjutan, dan hal ini mengakibatkan langsung pada kegagalan mengatur pertahanan di sekitar Garis Hindenburg Tiongkok yang menjaga Nanjing. Pada 24 November, Konferensi Kontrak Sembilan Daya bersidang bagi yang terakhir kalinya bagi selanjutnya ditangguhkan sampai waktu yang tidak dipastikan, tanpa memproduksi tindakan-tindakan apa pun yang dapat membubarkan serangan Jepang. Dalam laporannya, Jendral Chen Cheng menulis bahwa di keseluruhan banyakan kampanye Shanghai, strategi militer seringkali tergantikan oleh strategi politik. Yaitu tragedi bangsa bahwa strategi politik, khususnya seriskan menaruh keinginan pada intervensi asing, memaksa pasukan bagi memainkan pengorbanan banyak sekali di Shanghai dan membiarkan penghancuran hampir total. Ia menulis bahwa karena Tiongkok lemah, terpaksa membutuhkan bantuan asing dan wajib berkorban hanya bagi membuktikan kapasitas mereka dalam berperang dan bertahan. Di yang belakang sekali pertempuran, meskipun ratusan ribu pasukan Tiongkok mati hanya bagi menyatakan bahwa Tiongkok siap berkorban, keinginan yang belakang sekali akan keadaan intervensi barat tidak pernah mempunyai.

Kesudahan suatu peristiwa

Bertalian dengan efek jangka panjangnya pada perang dengan menghabiskan tenaga lawan, Pertempuran Shanghai melakukan pembelian cukup waktu bagi pemerintah Tiongkok bagi memindahkan industri-industri vitalnya ke Wuhan dan Xian, dan dari situ ke Chongqing, ibukota Tiongkok semasa perang. Kesukaran dalam membongkar dan relokasi ribuan ton peralatan mesin dan pabrik, khususnya di bawah kampanye pemboman Jepang, bermanfaat bahwa pemerintah Tiongkok gagal sebagian tujuannya memindahkan keseluruhan basis industri dari wilayah Shanghai. Banyak pabrik hancur selama pertempuran dan tidak dapat digunakan lagi. Dari hampir 1200 pabrik dan bengkel kerja berbagai macam ukuran, hanya sekitar 10 persen yang berhasil dipindahkan dari Shanghai. Industri-industri ini yaitu inti industri masa perang, yang sangat bermanfaat khususnya pada masa-masa suram blokade keseluruhan pantai Tiongkok, penutupan Perlintasan Burma, dan rendahnya suplai dari daerah Punggung. Strategi Chiang Kai-shek dengan membawa pertempuran ke Shanghai bagi memaksa Jepang mengadopsi arah serangan timur ke barat juga mencegah Jepang memotong ke arah Tiongkok Tengah. Sebagai hasil, Pertempuran Wuhan berhasil tertunda hampir satu tahun, dan waktu yang berhasil ”dibeli” memberikan pemerintah Tiongkok kesempatan bernapas bagi memulihkan diri dan merelokasi sumber-sumber daya ke Chongqing. Secara keseluruhan, meskipun kerugian Tiongkok tidak dapat terganti, strategi berdagang ”ruang bagi waktu” membuktikan kebergunaannya.

Pertempuran Shanghai yaitu sebuah kekalahan militer, tetapi sebuah nilai penting bagi nasionalisme Tiongkok. Mulainya perang skala penuh bermanfaat bahwa Tiongkok tidak lagi berpangku tangan dan membiarkan Jepang menaklukkan wilayahnya sepotong demi sepotong seperti yang terjadi pada masa lalu. Perang ini juga menunjukkan ketetapan hati Tiongkok bagi tidak menyerah bahkan dalam menghadapi daya gempur yang sangat hebat sekalipun. Namun, perintah Chiang Kai-shek bagi bertahan sampai mati sangat membikin lemah pasukannya dan secara langsung menyebabkan ketidakmampuan tentaranya dalam mempertahankan Nanjing bahkan hanya bagi dua hari pertama saja. Di dalam memoarnya, Jenderal Li Zongren menekankan bahwa staf Chiang telah menyarankan supaya tentara Tiongkok mencadangkan sekitar sepuluh divisi di sepanjang Garis Wufu bagi melindungi Nanjing dan merasa bahwa itu tidaklah lain jika Shanghai dapat dipertahankan beberapa bulan semakin panjang dengan biaya korban jiwa raksasa. Namun karena Tiongkok tidak dapat mengalahkan Jepang sendirian, Chiang percaya bahwa pilihan terbaik yaitu melibatkan daya barat ke dalam perang dengan mendapat simpati melewati perlawanan gagah berani di Shanghai. Juga mungkin Chiang Kai-shek tidak menyadari bahwa perang akan berjalan selama delapan tahun. Dalam korespondensinya dengan Hu Shih, Chiang menulis bahwa Tiongkok dapat bertahan selama enam bulan sampai perubahan-perubahan keadaan internasional dapat mengakhiri perang. Hal ini mungkin yang menyebabkan Chiang mengerahkan semua pasukan terbaiknya dalam pertempuran pertama yang ternyata menjadi perang yang panjang. Meskipun penilaian Chiang terlalu optimistik, faktanya Tiongkok terus berperang bagi delapan tahun selanjutnya sampai Jepang yang belakang sekalinya dikalahkan, bahkan ketika banyak negara kuat seperti Perancis kalah dan menyerah hanya dalam waktu enam hari pertama.

Semakin jauh lagi, Pertempuran Shanghai yaitu contoh pertama tentara-tentara provinsial bersedia bekerjasama penuh dengan Tentara Pusat Chiang. Dua tahun sebelumnya, Chiang Kai-shek, Li Zongren, dan beberapa panglima perang saling bermusuhan dalam berbagai perang saudara, berperang bagi penguasaan Tiongkok, tetapi mereka disatukan oleh nasionalisme dan tentara-tentara mereka berperang saling bahu-membahu melawan musuh bersama. Tiongkok juga berperang dengan gigih sehingga Shanghai tidak jatuh dalam tiga hari, dan Tiongkok tidak jatuh dalam tiga bulan seperti yang diproklamasikan Jepang dalam slogan-slogan mereka. Ini yaitu desakan maral yang luar biasa, khususnya di saat-saat gelap ketika tentara Tiongkok menderita rangkaian kekalahan pada masa awal perang. Korban akbar yang dikarenakan oleh Tiongkok dan kesukaran penaklukan menyebabkan pasukan Jepang memainkan Pembantaian Nanjing sebagai sikap yang dibuat balasan menghadapi perlawanan Tiongkok. Kegigihan dan ketetapan hati juga mengejutkan pengamat-pengamat internasional yang mengira Tiongkok akan dikalahkan dengan mudah dan belakang memohon perdamaian. Secara keseluruhan, meskipun harga yang mesti dibayar melangit, fakta bahwa Tiongkok dapat menahan serangan berulang-ulang dan tetap berdiri dalam “pertempuran paling berdarah sejak Pertempuran Verdun” yaitu bukti kebulatan tekad Tiongkok bagi meneruskan perang dan berperang sampai titik darah yang belakang sekali.

Lihat pula

Referensi

  • Nationalist China At War 1937-1945 diterbitkan oleh Universitas Michigan, Ann Arbor, pada 1982.
  • Disertasi doktor mengenai Kampanye Shanghai-Nanking dari Universitas Nasional Taiwan.

  1. ^ "Why We Fight" seri video yang dirilis oleh pemerintah AS bagi para prajuritnya
  2. ^ China's Bitter Victory, p.143
  3. ^ Military History of Modern China, p.199
  4. ^ North China Daily News 15.8.1937
  5. ^ The Times (London) 16.8.1937 "1,000 DEAD IN SHANGHAI/DEVASTATION BY CHINESE BOMBS"
  6. ^ "This terrified baby was almost the only human being left alive in Shanghai's South Station after brutal Japanese bombing. China, August 28, 1937., 1942 - 1945". Arsip Nasional AS. Diakses 27-08-2007. 
  7. ^ LOOK Magazine, Dec. 21: 52–53 
  8. ^ Lihat Soviet Fighters in the Sky of China, oleh Anatolii Demin.
  9. ^ "Analyzing the “Photographic Evidence” of the Nanking Massacre (originally published as Nankin Jiken: “Shokoshashin” wo Kenshosuru)". Tokyo, Japan: Soshisha. 2005. 
  10. ^ "Analyzing the “Photographic Evidence” of the Nanking Massacre (originally published as Nankin Jiken: “Shokoshashin” wo Kenshosuru)". Tokyo, Japan: Soshisha. 2005. 


edunitas.com


Page 5

Pertempuran Shanghai
Anggota dari Perang Tiongkok-Jepang Kedua
Jepang berhasil menguasai beberapa kota besar di Tiongkok yaitu

Sebuah kubu senapan mesin Tentara Revolusioner Nasional di dalam kota Shanghai.
Pihak yang terlibat
Tentara Revolusioner Nasional, Republik Tiongkok Tingkatan Laut Kekaisaran Jepang, Tingkatan Darat Kekaisaran Jepang, Kekaisaran Jepang
Komandan
Chiang Kai-shek Chen Cheng Zhang Zhizhong Hasegawa Kiyoshi
Jepang berhasil menguasai beberapa kota besar di Tiongkok yaitu
Heisuke Yanagawa
Jepang berhasil menguasai beberapa kota besar di Tiongkok yaitu
Iwane Matsui
Daya
600,000 pasukan dalam 75 divisi dan 9 brigade,
200 pesawat terbang
300,000 pasukan dalam 8 divisi dan 6 brigade,500 pesawat terbang,300 tank,

130 kapal laut

Korban
~200,000~70,000[1]

Pertempuran Shanghai adalah pertempuran pertama dari 22 pertempuran akbar selang Tentara Revolusioner Nasional, Republik Tiongkok dan Tentara Kekaisaran Jepang selama Perang Tiongkok-Jepang Kedua. Pertempuran ini adalah salah satu yang paling akbar dan paling berdarah selama masa perang tersebut.

Sejak 1931, Tiongkok dan Jepang telah terlibat dalam konflik-konflik kecil tiada putus, seringkali dikenal sebagai ”insiden”, yang membikin Tiongkok kehilangan wilayah sepotong demi sepotong. Pada Agustus 1937, mengikuti Insiden Jembatan Marco Polo pada 7 Juli, dan invasi Jepang terhadap Tiongkok Utara, Generalissimo Chiang Kai-shek memutuskan bagi memimpin Tiongkok dalam perang total terhadap Jepang, meskipun tanpa deklarasi resmi. Perlawanan Tiongkok di Shanghai bertujuan mematahkan gerak maju Jepang yang cepat, memberikan banyak waktu yang dibutuhkan kepada pemerintah Tiongkok bagi memindahkan industri-industri vital ke lokasi yang semakin dalam, di mana pada masa yang sama berupaya mengambil simpati Daya Barat. Selama tiga bulan pertempuran sengit, Pasukan Tiongkok dan Jepang berperang di pusat kota Shanghai, kota-kota terpencil, dan pantai-pantai sepanjang pesisir Provinsi Jiangsu, lokasi Jepang memainkan pendaratan amfibi. Tentara Tiongkok hanya mengandalkan senjata-senjata kaliber kecil dalam melawan serangan gencar besar-besaran dari udara, laut, dan daya pemukul lapis baja Jepang.[2] Pada yang belakang sekalinya, Shanghai jatuh, dan Tiongkok kehilangan sebagian akbar pasukan terbaik mereka, serta gagal memperoleh intervensi internasional. Namun, perlawanan Tiongkok datang sebagai kejutan akbar terhadap penyerbu Jepang,[3] yang telah terindoktrinasi dengan ingatan superior secara budaya dan militer, dan secara dramatis menurunkan moral tentara Jepang. Kisah kepahlawanan mempertahankan Shanghai dan kisah selanjutnya mengenai kekejaman tentara Jepang yang amat terkejut dengan perlawanan tersebut, menginspirasi bangungnya perlawanan nasionalisme Tiongkok dalam sebuah konflik brutal selama delapan tahun.

Di Tiongkok, Pertempuran Shanghai dikenal sebagai Pertempuran Songhu (Tionghoa: 淞滬會戰; pinyin: Sōnghù Huìzhàn). Kata Song bersumber dari Wusong (吳凇), nama lain Sungai Suzhou, sebuah sungai kecil yang mengalir melewati Shanghai. Hu (滬) adalah singkatan bagi kota itu sendiri. Dalam beberapa sumber Jepang, pertempuran tersebut dikenal sebagai "Insiden Shanghai Kedua" (第二次上海事変, Dai-niji Shanhai jiken?), membedakannya dengan Insiden Shanghai Pertama pada 1932. Namun, Pertempuran Shanghai 1937 adalah sebuah pertempuran skala penuh menandai awal perang mati-matian selang dua negara tersebut. Istilah “insiden” secara tradisional digunakan bagi memperhalus invasi Tiongkok oleh Jepang. Pertempuran dapat dibagi ke dalam tiga tahap, dan secara keseluruhan melibatkan hampir satu juta pasukan. Tahap pertama berlanjut dari 13 Agustus sampai 22 Agustus, yaitu masa Tentara Revolusioner Nasional berupaya menghalau kehadiran Tentara Kekaisaran Jepang dari pusat kota Shanghai. Tahap kedua berlanjut dari 23 Agustus sampai 26 Oktober, yaitu selama Jepang melancarkan pendaratan amfibi di pesisir Jiangsu dan kedua pihak berperang dari propertti ke propertti, dengan Jepang berupaya mendapat kendali terhadap kota dan daerah di sekitarnya. Tahap terakhir berlanjut dari 27 Oktober sampai yang belakang sekali November, melibatkan mundurnya tentara Tiongkok dalam menghadapi manuver penjempitan Jepang, dan belakang pertempuran di perlintasan menuju ibukota Tiongkok, Nanjing.

Latar belakangan

Pertempuran Shanghai adalah pertempuran akbar pertama dalam Perang Tiongkok-Jepang Kedua dan meningkatkan skala Insiden Jembatan Marco Polo dari perang lokal di Tiongkok Utara menjadi perang skala penuh yang akan melibatkan hampir semua wilayah Tiongkok. Mempunyai beberapa penyebab isi bagi peristiwa ini.

Gagasan strategis

Sejak pecahnya perang pada 7 Juli 1937, banyakan pertempuran berlanjut di Tiongkok Utara dan sekitarnya dalam operasi-operasi yang dikenal sebagai Pertempuran Beiping-Tientsin. Awalnya, Tiongkok dan Jepang tidak ingin tembak-menembak skala kecil meningkat ke tingkat perang total. Jepang mengharapkan segera terjadi gencatan senjata dan mendapat teritori Tiongkok semakin jauh, sama seperti yang terjadi sebelumnya melewati Insiden Mukden (1931), Insiden 28 Januari (1932), Insiden Tembok Akbar (1933), dan melewati jual beli pemukiman di pertengahan 1930-an. Namun Generalissimo Chiang Kai-shek melihat Insiden Jembatan Marco Polo sebagai usaha paling berani Jepang yang akan memisahkan secara penuh provinsi-provinsi utara dari kontrol Tiongkok dan menyatukannya ke dalam negara boneka Manchukuo buatan Jepang. Pada masa bangungnya Front Bersatu Kedua yang dibuat setelah Insiden Xi'an, even ini memecah ”Titik Akhir” (最後關頭) toleransi Chiang terhadap serangan Jepang berdasarkan kebijakan ”perdamaian internal sebelum perlawanan eksternal”. Chiang memutuskan bagi memulai perang skala penuh dengan Jepang.

Jepang berhasil menguasai beberapa kota besar di Tiongkok yaitu

Sebuah anggota blokade jalanan Tiongkok yang dipertahankan oleh Divisi ke-87

Jepang berhasil menguasai beberapa kota besar di Tiongkok yaitu

Prajurit-prajurit Divisi ke-88 mempertahankan sebuah persimpangan di belakangan pertahanan kantung-kantung pasir

Chiang Kai-shek dan para penasihatnya percaya bahwa langkah logis selanjutnya dari tentara Jepang adalah maju dari Tiongkok Utara, sepanjang Peiping-Hankou serta rel kereta api Peiping-Pukou, dan memotong ke Wuhan dan daerah-daerah di Tiongkok Tengah dan Timur. Gerak maju utara-selatan Jepang bermanfaat bahwa tentara Tiongkok harus bertahan sepanjang sumbu horisontal, bagi berupaya mengurung gerak maju musuh melewati gerakan menjepit. Namun tentara Tiongkok sebenarnya tidak berdaya bagi manuver semacam itu, sementara Tentara Kekaisaran Jepang mempunyai superioritas dalam hal mutu di Tiongkok Utara, dan mobilitas dari satuan-satuan lapis baja dan artilerinya tidak tertandingi. Kehadiran militer Tiongkok di Tiongkok Utara sangat minim, sementara pemerintah pusat serta Kuomintang sendiri dilarang memainkan keaktifan politik di Provinsi Hebei sebagai anggota Kontrak He-Umezu. Selain itu, banyakan pekerjaan pertahanan Tiongkok yang kuat tidak dibangun di Tiongkok Utara, melainkan di Tiongkok Timur, sepanjang Delta Yangtze yang rendah. Juga penting bagi dicatat, Jepang dapat dengan gampang memainkan penguatan pasukan melewati Korea dan Manchukuo, ke Tiongkok Utara dengan transportasi yang efisien lewat jalur laut dan kereta api. Pergerakan pasukan Tiongkok beberapa kali terhalang karena kurangnya yang dikendarai bermotor dan jalur kereta api. Sebagian akbar pasukan Tiongkok sampai garis hadapan dengan berlanjut kaki. Hal ini membikin penguatan pasukan dari Tiongkok Selatan ke Tiongkok Utara sangat memakan waktu, dibandingkan dengan penguatan pasukan rivalnya dari kepulauan mereka. Konsekuensinya, pertempuran di Tiongkok Utara tidak mungkin dimainkan oleh pasukan Tiongkok.

Jika tentara Jepang berhasil memainkan gerak maju ke selatan, menginvasi Wuhan belakang bangung ke timur dengan memainkan tekanan terhadap Tiongkok Tengah dan Timur dan mengurung wilayah Shanghai-Nanjing, pertahanan Tiongkok harus mundur ke arah pantai dalam sebuah skenario yang mirip dengan Pertempuran Dunkirk selang Jerman dan Perancis yang terjadi belakang. Tingkatan Laut Kekaisaran Jepang mempunyai supremasi total di laut-laut Tiongkok dan gerak mundur daya Tiongkok tersebut pasti akan binasa karena telah tidak mempunyai lagi lokasi bagi mundur. Berdasarkan kemungkinan terjadinya skenario ini, Chiang memutuskan membuka front kedua di Shanghai, dengan maksud menghadang gerak maju musuh ke Tiongkok Tengah dan Timur. Rencana Chiang adalah memaksa Jepang mengubah arah gerak maju utara-selatannya menjadi timur ke barat. Dengan metode ini, pasukan Tiongkok akan mempunyai cukup ruang bagi mundur di barat daya dan mengumpulkan daya kembali sementara Shanghai, Nanjing, dan Wuhan jatuh ke Jepang. Rencana Tiongkok adalah berperang sedapat mungkin bagi menunda gerak maju Jepang, dan waktu tunda dimanfaatkan bagi memindahkan pemerintahan dan industri-industri vital ke pedalaman. Ini adalah dasar dari strategi menjual ”ruang bagi waktu.”

Gagasan politik

Opini publik dan patriotisme adalah juga faktor kuat yang memengaruhi keputusan Chiang bagi menlangsungkan perang skala penuh terhadap Jepang. Sepanjang 1930-an, pemerintah pusat telah kehilangan dukungan publik yang sangat signifikan karena mengikat perdamaian dengan pemberontak Tiongkok komunis sebelum mengadakan perang skala penuh melawan Jepang. Namun, setelah bangung dari resolusi perdamain Insiden Xian, Chiang Kai-shek sampai popularitas yang belum pernah terjadi sebelumnya karena ia tampak sebagai satu-satunya pemimpin nasional yang mempunyai kapabilitas dalam memimpin perang melawan Jepang. Tidak mungkin baginya bagi mundur karena akan menjadi malapetaka bagi karier politiknya.

Awalnya, Chiang percaya bahwa Tiongkok membutuhkan setidaknya beberapa tahun keadaan damai di dalam negeri dan bersatu mendirikan tentara nasional dan industri-industri yang cukup sehingga sejajar dalam hal daya bagi melawan Jepang. Chiang khawatir bahwa perang yang prematur akan menggagalkan rencananya, sehingga semakin memilih pertempuran-pertempuran berskala kecil, ”insiden-insiden” yang bersifat lokal yang merupakan karakteristik konflik Tiongkok-Jepang selama 1930-an. Di lain pihak, jika Chiang memutuskan bagi memainkan perlawanan total, ia berisiko kehilangan divisi-divisi yang baru dire-organisasi yang belum terlalu siap menghadapi musuh secara frontal, dan juga penghancuran total basis-basis industri Tiongkok yang baru saja berdiri. Pada dasarnya, bagi Chiang, berperang dalam skala penuh akan menyokong citranya di kalangan rakyat Tiongkok, namun akan merusak daya ungkit politiknya, yang bersandar pada daya militer, melawan kekuatan-kekuatan regional lainnya. Namun, mundur dan membikin banyakan kelonggaran akan membikinnya tampak tidak patriotik dan kehilangan dukungan publik, namun dapat mempertahankan kekuasaan militernya. Pertempuran Shanghai dan keputusan perang total akan menjadi perjudian akbar bagi Chiang.

Chiang juga tidak dapat mencegah lepas sama sekalinya Provinsi Zhejiang dan Jiangsu ke tangan Jepang. Nanjing (ibukota Republik Tiongkok masa itu), dan Shanghai terletak di Provinsi Jiangsu. Dua provinsi tersebut adalah juga daya ekonomi dataran rendah Delta Yangtze, dan banyak kemajuan industri dan pendirian dasar-dasar politik "Dekade Nanjing" dibangun di sini. Daerah tersebut adalah juga satu-satunya lokasi di Tiongkok dimana pemerintah pusat di bawah Chiang Kai-shek tidak mempunyai penentang politik, karena Tiongkok Utara telah berada di bawah pengaruh Jepang, dan provinsi lainnya berada di bawah kendali panglima perang yang sedang tersisa atau faksi militeristik Kuomintang lainnya. Berlaku Ciang harus mempertahankan Shanghai dengan segala metode karena kota ini merupakan inti administrasi politik dan ekonominya.

Shanghai adalah kota kosmopolitan serba mempunyai, lokasi penanaman modal serta aset dari banyak daya internasional, seperti Amerika Serikat, Britania Raya, dan Perancis. Secara tradisional, Daya Barat tidak ingin mengutuk serangan Jepang ke Tiongkok karena keadaan Eropa dan cara politik anti-Uni Soviet Jepang. Namun invasi Shanghai akan mendorong Barat memasuki perang dengan berdiri di pihak Tiongkok. Jelas bahwa perang ini akan mengakibatkan penawaran dan penjualan dengan harga murah investasi barat ke pihak Tiongkok. Sementara itu, Jepang tidak dapat melangsungkan perang melawan Amerika Serikat, daya ekonomi paling akbar, dan Britania Raya, daya kolonial paling akbar. Namun, pelanggaran terhadap appeasement dan isolasionisme komunitas internasional dan pengalaman sejak 1930-an menunjukkan bahwa sikap yang dibuat penyimpangan Jepang tidak mendasarkan diri pada kekuatan-kekuatan internasional, selain daripada beberapa kecaman yang tidak efektif dari Liga Bangsa-Bangsa.

Sebelumnya pada 1935, penasihat Chiang dari Jerman, Jendral Alexander von Falkenhausen, mengatakan padanya bahwa Kontrak Sembilan-Daya tidak semakin daripada selembar kertas dan tidak perlu terlalu berkeinginan bahwa komunitas internasional akan ikut campur tangan. Chiang dinasihatkan bahwa Tiongkok harus bersiap bagi berperang sendirian setidaknya bagi dua tahun, mengesampingkan perubahan-perubahan keadaan internasional apapun.

Pengalaman masa lalu dan persiapan

Jepang berhasil menguasai beberapa kota besar di Tiongkok yaitu

Korps pemelihara perdamaian Tiongkok di pusat kota Shanghai

Chiang dan para penasihatnya persangkaan percaya diri dalam meningkatkan pertaruhan perang, sebab tentara Tiongkok pernah berperang dan memaksa Jepang bagi tidak bangung maju dalam Insiden 28 Januari 1932. Karena persetujuan gencatan senjata 1932, yang ditandatangani setelah insiden, melarang Tiongkok menaruh pasukan di dalam kota Shanghai, Tiongkok melatih garnisun-garnisun polisinya berbagai macam taktik militer yang tidak lazim bagi tugas-tugas kepolisian. Rencana pertahanan Shanghai dilindungi oleh Zhang Zhizhong, seorang veteran insiden 1932. Karena Tiongkok tidak mempunyai cukup artileri dan lapis baja, Zhang Zhizhong percaya bahwa tentara Tiongkok harus mengandalkan superioritas kuantitas mereka, mengambil inisiatif, dan memaksa Jepang bagi mundur menuju pantai sebelum mereka sempat memainkan penggabungan.

Pada 1933, tiga daerah militer, Nanjing, Nanjing-Hangzhou, dan Nanjing-Shanghai, diciptakan bagi mengkoordinir pertahanan di Delta Yangtze. Pada 1934, dengan bantuan Jerman, konstruksi yang disebut sebagai "Garis Hindenburg Tiongkok" dimulai, dengan serangkaian pekerjaan fisik bagi memfasilitasi kedalaman pertahanan. Dua garis semacam itu, Garis Wufu (吳福線) selang Suzhou dan Fushan, dan Garis Xicheng (錫澄線) selang Wuxi dan Jiangyin, berada dalam jabatan bagi melindungi perlintasan menuju Nanjing, jika Shanghai jatuh ke tangan musuh. Pada musim semi 1937, beberapa bulan sebelum mulainya Perang Tiongkok-Jepang, garis-garis tersebut beres. Namun pelatihan personel yang dibutuhkan bagi mempertahankan jabatan dan meng-koordinasi pertahanan belumlah beres masa perang pecah.

Jabatan Jepang

Sejak perang pecah pada 7 Juli, Jepang memfokuskan diri pada operasi-operasi militer, utamanya di Tiongkok Utara, mencakup propinsi Hebei, Shanxi, dan Chahar. Invasi Jepang semakin jauh meningkatkan frekuensi protes anti-Jepang dan boykot terhadap produk-produknya yang berakibat serius terhadap perdagangan Jepang di Tiongkok. Efek tersebut sangat kuat terasa di Shanghai karena banyak kebutuhan komersial Jepang berada di kota tersebut.

Tingkatan Laut Kekaisaran Jepang telah mendesak bagi meningkatkan kehadiran pasukan dalam melindungi pabrik-pabrik dan masyarakat negara Jepang dari kemungkinan konfrontasi dengan Tiongkok, tetapi tingkatan darat secara konsisten menolak bagi memainkan pekerjaan sama sampai awal Agustus. Salah satu gagasannya adalah bahwa tingkatan darat tidak berkeinginan aci di Tiongkok Timur dan Tengah, karena kekhawatiran bahwa sikap yang dibuat semacam itu akan membikin kekosongan di Tiongkok Utara dan Manchukuo, yang bersamaan batasnya langsung dengan Uni Sovyet. Jepang memandang Uni Sovyet sebagai ancaman militer utama di daratan Tiongkok dan tidak ingin mengalihkan perhatian dari Tiongkok Utara. Komando Tingkatan Darat Jepang juga tidak berkeinginan menghadirkan pasukan ke Tiongkok Tengah, karena hal itu dapat mengarahkan Jepang ke dalam konfrontasi dengan daya asing lain yang aci di wilayah tersebut. Komando Tingkatan Darat Jepang juga mempunyai opini yang sangat rendah mengenai kemampuan berperang Tiongkok, dan percaya bahwa karena Tiongkok hampir selalu terperosok ke dalam perang saudara, Chiang Kai-shek akan memfokuskan diri pada persatuan nasional terlebih dahulu dan tidak akan mengambil risiko pasukannya berperang dengan tentara Jepang yang jauh semakin superior.

Oleh sebab itu, Jepang berkeinginan mengalahkan Tiongkok dan mengakhiri perang secepat mungkin, bagi menghindari gangguan terhadap rencananya melawan Uni Sovyet. Namun begitu, Komando Tingkatan Laut Jepang mendesak kehadiran pasukan di Tiongkok Tengah bagi menghancurkan pasukan Tiongkok yang mungkin dikirim ke Tiongkok Utara, lokasi perang dilokalisasi. Mengikuti Insiden Oyama 9 Agustus, konflik di Shanghai tampak tidak terhindarkan. Pada 10 Agustus, panglima tertinggi tingkatan laut, Mitsumasa Yonai, menyuarakan keinginannya di dalam pertemuan kabinet dan berhadapan dengan oposisi dari jenderal-jenderal tingkatan darat, Ishiwara Kanji and Umezu Yoshijiro. Dua jendral tersebut menegaskan bahwa front Shanghai harus menjadi tanggung jawab mutlak Tingkatan Laut Kekaisaran. Setelah beberapa negosiasi, Komando Tingkatan Darat menyetujui keinginan tingkatan laut dan mulai menghadirkan pasukan ke wilayah Shanghai pada 10 Agustus.

Militer Jepang yakin dapat mengatasi daya Tiongkok di Tiongkok Tengah dalam tiga hari dan mengakhiri keseluruhan perang dalam tiga bulan. Jepang mempunyai garnisun-garnisun di dalam kota sementara Tiongkok hanya diijinkan mempunyai sejumlah kecil garnisun polisi militer, yang dikenal sebagai Korps Penjaga Perdamaian (保安隊), dan sejumlah kubu pertahanan, sebagai kesudahan suatu peristiwa dari Persetujuan Gencatan Senjata Shanghai. Jepang mempunyai banyak pabrik dan gudang di dalam kota, dan banyakan darinya digunakan bagi keperluan militer. Markas akbar marinir Jepang berada di tidak jauh pabrik tekstil, dan mempunyai semakin dari delapan puluh lokasi menyilakan duduk meriam dan bungker dari berbagai macam macam di semua kota. Armada Ketiga Jepang juga mempunyai kapal-kapal yang berpatroli di sepanjang sungai-sungai yang melewati Shanghai, dan daerah-daerah di kota berada dalam jangkauan tembakan kapal-kapal tersebut. Secara keseluruhan, tentara Jepang sangat siap dalam menghadapi keunggulan banyak tentara Tiongkok, yang minim perlengkapan dan pelatihan.

Awal pertempuran

Insiden Oyama

Pada 9 Agustus, Letnan Satu Isao Oyama (大山勇夫) dari kesatuan marinir Jepang, berupaya masuk secara ilegal ke Bandara Hongqiao (虹橋機場), tetapi ditembak mati oleh Korps Penjaga Perdamaian Tiongkok yang berkedudukan di tidak jauh lapangan terbang militer. Sampai kini tidak diketahui apakah Oyama berinisiatif sendiri atau atas perintah dari atas. Namun, Insiden Oyama meningkatkan tensi di Shanghai. Pada 10 Agustus, konsul jenderal Jepang menanti maaf atas tingkah laku yang dibuat Oyama, karena jelas sebuah sikap yang dibuat intrusi ke teritori Tiongkok. Namun, ia tetap berkeras menuntut Tiongkok menarik mundur Korps Penjaga Perdamaian dan membongkar pertahanan mereka yang mempunyai di sekitar kota. Ia juga menegaskan bahwa penembakan perwira Jepang adalah penghinaan terhadap Tingkatan Darat Jepang, dan keadaan akan meledak hanya dengan provokasi kecil. Insiden penembakan tersebut juga menyebabkan Jepang mengirimkan bala bantuan ke daerah Shanghai pada 10 Agustus. Bagi Tiongkok, Insiden Oyama hanyalah sebuah dalih lain bagi sikap yang dibuat serangan Jepang, tidak jauh lain dari banyak “insiden” pada 1930-an. Dalam merespon pergerakan pasukan Jepang, Chiang Kai-shek mulai menaruh pasukan-pasukan Tiongkok ke dalam daerah Shanghai pada 11 Agustus.

Usaha-usaha terakhir negosiasi

Pada 12 Agustus, perwakilan kekuatan-kekuatan akbar bersidang dan Jepang menginginkan kekuatan-kekuatan tersebut memaksa penarikan mundur pasukan Tiongkok dari Shanghai, tetapi mayor Yu Hung-chun memprotes bahwa Jepang telah melanggar persetujuan dengan invasi Tiongkok pada 7 Juli. Kekuatan-kekuatan akbar tidak berkeinginan berulangnya Insiden 28 Januari, yang sangat mengganggu keaktifan ekonomi asing di Shanghai. Di lain pihak, rakyat Tiongkok dengan segera menyambut hangat kehadiran pasukan Tiongkok di dalam kota. Di Nanjing, utusan Tiongkok dan Jepang bersua bagi terakhir kalinya sebagai usaha terakhir negosiasi. Jepang menginginkan Tiongkok menarik mundur semua Korps Penjaga Perdamaian dari Shanghai dan semua pasukan reguler dari sekitarannya. Tiongkok berkeras bahwa keinginan Jepang terhadap penarikan mundur secara sepihak adalah tidak dapat diterima karena kedua negara telah berperang di Tiongkok Utara. Yang belakang sekalinya mayor Yu memperjelas bahwa pasukan Tiongkok tidak akan memulai serangan kecuali diserang terlebih dahulu. Jepang, di lain pihak, melimpahkan semua tanggung jawab kepada Tiongkok karena penempatan pasukan di sekitar Shanghai. Negosiasi telah tidak mungkin dan tidak mempunyai alternatif lain selain perluasan perang ke Tiongkok Tengah.

Fase pertama (13 – 22 Agustus)

Pertempuran kota

Jepang berhasil menguasai beberapa kota besar di Tiongkok yaitu

Distrik Zhabei yang terbakar

Jepang berhasil menguasai beberapa kota besar di Tiongkok yaitu

Sebelum Hotel Cathay Shanghai setelah pemboman oleh Tentara Revolusioner Nasional (Republik China)[4][5]

Sekitar pukul 9 pagi pada 13 Agustus, terjadi baku tembak kecil selang Korps Penjaga Perdamaian Tiongkok dan pasukan Jepang di distrik Shanghai: Zhabei, Wusong, dan Jiangwan. Sekitar pukul 3 sore tentara Jepang menyeberangi Jembatan Bazi (八字橋) di Distrik Zhabei dan menyerang berbagai sasaran dalam kota. Divisi ke-88 Tiongkok membalas dengan serangan mortir. Tembakan-tembakan sporadik berlanjut sampai pukul 4, ketika markas akbar Jepang memerintahkan kapal-kapal tingkatan laut Armada ke-3, yang diletakkan di Sungai Yangtze dan Huangpu bagi membuka tembakan terhadap jabatan Tiongkok di dalam kota. Pada larut malam hari itu Chiang Kai-shek memerintahkan Zhang Zhizhong bagi memulai ofensif Tiongkok pada keesokan harinya. Pada pagi 14 Agustus, tingkatan udara Tiongkok mulai membom berbagai sasaran Jepang dan daya daratnya memulai ofensif pada pukul 3 sore. Pada hari yang sama pemerintah Tiongkok mengumumkan Proklamasi Pertahanan Diri dan Perang Perlawanan (自衛抗戰聲明書), menjelaskan penyelesaian pemerintah terhadap serangan Jepang. Pertempuran Shanghai secara resmi dimulai.

Rencana awal Zhang Zhizhong adalah mengejutkan Jepang dengan serangan berketetapan akbar dan menekan mereka sampai Sungai Huangpu, belakang memblokade pantai bagi mencegah kesempatan Jepang memainkan pendaratan bala bantuan di dermaga-dermaga Sungai Huangpu selang Yangshupu (楊樹浦) dan Hongkou (虹口). Divisi ke-88 Tiongkok menyerang markas akbar Jepang tidak jauh Zhabei, sementara Divisi ke-87 menyerang Pabrik Tekstil Kung-ta, dimana komando tingkatan laut Jepang berlokasi. Zhang memperkirakan ofensif ini akan beres dalam waktu 1 hari pertama. Namun operasi ini menjadi tidak teratur masa pasukan berperang tanpa gerak maju di luar Pemukiman Internasional Shanghai. Jepang belakang memperkuat kubunya dengan beton tebal dan mulai melawan howitzer 150mm, satu-satunya senjata berat milik Tiongkok. Pasukan Tiongkok hanya dapat maju di bawah perlindungan senapan mesin, mendekati letak meriam-meriam Jepang dan membunuh pasukan yang mempunyai di dalamnya hanya dengan granat tangan. Gerak maju Tiongkok sangat terkurangi dengan keterbatasan ini dan elemen kejutan hilang dengan cepat.

Pada 16 Agustus, Zhang Zhizhong memerintahkan pasukannya bagi menduduki jalan-jalan di sekitar kubu-kubu Jepang daripada menyerang mereka secara frontal. Setiap kali sebuah perlintasan berhasil diduduki, pasukan Tiongkok segera mendirikan blokade kantung pasir dan mengatur tembakan supaya pasukan Jepang tidak dapat lolos. Taktik tersebut berhasil dan banyak kubu meriam serta pos terdepan Jepang dihancurkan hanya dalam waktu satu hari. Namun belakang Jepang menyebarkan tank-tanknya dan dapat memukul mundur pasukan Tiongkok yang mempunyai di jalan-jalan akbar. Seperti sebelumnya, pasukan Tiongkok kekurangan senjata berat bagi menghancurkan bunker-bunker pertahanan Jepang, sehingga pada 18 Agustus, serangan tersebut dibatalkan.

Pada 18 Agustus, Chen Cheng sampai garis hadapan bagi mendiskusikan keadaan dengan Zhang Zhizhong. Mereka memutuskan mengirim Divisi ke-36 yang baru saja tiba ke dalam pertempuran, dengan menyerang dermaga-dermaga Hueishan (匯山) di anggota utara Sungai Huangpu. Sementara itu, Divisi ke-87 memutus garis Jepang di Yangshupu, dan menekan ke dermaga-dermaga Hueishan bersama-sama dengan Divisi ke-36. Pada 22 Agustus, tank-tank Divisi ke-36 sampai dermaga, tetapi tidak dapat mempertahankan jabatan semakin lama. Pasukan Tiongkok tidak cukup terlatih dalam koordinasi taktik infantri-tank, dan tidak dapat mengikuti kecepatan tank. Tank-tank tersebut menjadi sasaran empuk artileri serta senjata anti-tank Jepang, dan menjadi tidak bermanfaat ketika memasuki pusat kota. Sedikit pasukan yang menyertai tank-tank tersebut menjadi terhalang dan belakang terjebak oleh blokade jalanan Jepang. Selanjutnya pasukan ini dihabisi dengan pelontar api dan tembakan intens senapan mesin Jepang. Masa pasukan Tiongkok hampir berhasil menekan pasukan Jepang ke arah Sungai Huangpu, laju korban tewas sangat tinggi. Pada 22 Agustus malam saja, Divisi ke-36 kehilangan semakin dari 90 perwira dan seribu personel.

Pada 22 Agustus, divisi Jepang ke-3, ke-8, dan ke-11 memainkan serangan amfibi di bawah perlindungan bombardment laut dan memainkan pendaratan di Chuanshakou (川沙口), Shizilin (獅子林), dan Baoshan (寶山), kota-kota pesisir timur laut sekitar 50 kilometer dari pusat kota Shanghai. Jepang mendarat di wilayah sub-urban timur laut Shanghai yang bermanfaat bahwa banyak pasukan Tiongkok di dalam kota, harus diposisikan ulang ke daerah-daerah pesisir bagi menghadapi pendaratan. Dengan demikian garis hadapan menjadi diperpanjang dari metropolitan Shanghai sepanjang Sungai Huangpu sampai ke distrik-distrik pesisir di timur laut. Ofensif Tiongkok di pusat kota harus tertahan, dan menjadi pertempuran statik dengan kedua belah pihak menderita banyak kerugian sementara jabatan garis hadapan tidak banyak berubah. Divisi-divisi Tiongkok dapat bertahan di Zhabei, Jiangwan, dan posisi-posisi pusat kota lainnya selama tiga bulan, sampai keadaan di lokasi lain membikinnya secara strategis tidak memungkinkan mempertahankan tempat-tempat ini semakin lanjut.

Operasi-operasi udara

Jepang berhasil menguasai beberapa kota besar di Tiongkok yaitu

Stasiun Shanghai Selatan setelah pemboman Jepang[6]: Bayi yang ketakutan ditemukan di bawah tumpukan reruntuhan dan diletakkan di atas peron oleh seorang pekerja penyelamat.[7]

Pada 14 Agustus, skuadron udara Tingkatan Udara Kekaisaran Jepang, Shikaya dan Kisarazu, yang berbasis di Taiwan, melancarkan serangan udara terhadap sasaran Tiongkok di Shanghai. Pemboman tersebut menyebabkan puluhan ribu masyarakat sipil tewas karena bom-bom jatuh di pusat-pusat populasi dan pusat-pusat transportasi akbar. Tingkatan Udara Republik Tiongkok yang sedang muda mencoba membalas. Grup Terbang ke-4, yang berpangkalan di Henan di bawah komando Kapten Gao Zhihang (高志航), menembak jatuh enam pesawat Jepang tanpa menderita kehilangan satu pun. Pada 1940 pemerintah mengumumkan tanggal 14 Agustus sebagai Hari Tingkatan Udara bagi meningkatkan moral penduduk Tiongkok. Daya udara Tiongkok juga membom berbagai sasaran di dalam kota dan kapal tingkatan laut Jepang. Dari 15 sampai 18 Agustus, daya udara Tiongkok berperang dengan tingkatan udara Jepang yang secara kuantitas semakin superior dalam sebuah pertempuran udara yang sengit, mengakibatkan dua skuadron udara Jepang dihancurkan. Namun, Tiongkok berperang di udara dengan mengerahkan semua pesawat tempurnya, dengan sebagian di selangnya adalah pesawat tempur bekas yang dibeli dari negara-negara lain. Tiongkok tidak dapat memproduksi pesawat tempurnya sendiri dan kesukaran dalam hal suku cadang.[8] Di lain pihak, Jepang mempunyai industri penerbangan kuat yang dapat merancang, memproduksi, dan mengembangkan teknologi pesawat terbangnya sendiri dan secara efisien mengirimkannya ke medan perang. Setiap kehilangan pesawat terbang di pihak Jepang dapat dengan gampang ditukarkan, sementara Tiongkok tidak. Oleh sebab itu sangat tidak mungkin bagi Tiongkok bagi memenangkan pertempuran udara. Dalam kampanye Shanghai, Tiongkok menembak jatuh 85 pesawat terbang Jepang dan menenggelamkan 51 kapal. Tiongkok kehilangan 91 pesawat, banyak yang lebih kurang hampir setengah dari keseluruhan daya tingkatan udara Tiongkok.

Perkembangan lainnya

Jepang berhasil menguasai beberapa kota besar di Tiongkok yaitu

Pasukan Jepang di selang reruntuhan Shanghai

Pada 15 Agustus, Jepang membentuk Tentara Ekspedisi Shanghai, terdiri dari Divisi ke-3 dan ke-11 di bawah komando Jenderal Iwane Matsui. Pada 19 Agustus, Perdana Menteri Jepang Fumimaro Konoe mengumumkan bahwa konflik Tiongkok-Jepang hanya dapat dihabiskan dengan metode perang, mengabaikan usaha-usaha negosiasi dari negara-negara pihak ketiga. Konoe mengatakan bahwa rencana awal bagi melokalisasi ”penahanan pasukan musuh” di sekitar Shanghai telah bertambah luas menjadi perang total, dengan tujuan utama memaksa pemerintah Tiongkok bagi bekerjasama secara ekonomi dan politik. Pada 23 Agustus, Jepang memulai kampanye pemboman atas Nanjing, dan berbagai kota di Tiongkok Tengah. Tentara Ekspedisi Shanghai juga tiba pada hari itu.

Di awal perang, Zhang Zhizhong, sebagai komandan Tentara ke-5 dan daerah perang Nanjing-Shanghai, bertanggungjawab dalam memainkan operasi-operasi Tiongkok. Kegagalan dalam ofensif awal Tiongkok membikin cemas Chiang Kai-shek dan stafnya. Chiang mengkritik kegagalan Zhang dalam persiapan, khususnya usaha memperoleh senjata yang berdaya menembus bunker-bunker Jepang, sebelum mengirimkan gelombang-gelombang pasukan, yang berakibat pada jatuhnya banyak korban di pihak divisi-divisi Tiongkok sejak awal pertempuran. Zhang juga dikritik karena terlalu percaya diri dan kegemarannya mengadakan konferensi pers, adil bagi wartawan-wartawan dalam maupun luar negeri. Chiang Kai-shek dan stafnya, termasuk yang paling menonjol adalah Chen Cheng dan Gu Zhutong, mulai mengambil alih komando dari Zhang Zhizhong. Chiang Kai-shek sendiri yang belakang sekalinya menjadi komandan daerah perang ke-3 yang mengawasi Shanghai. Kegagalan ofensif Tiongkok menunjukkan bahwa meskipun banyak tentara Tiongkok pada awalnya melampaui garnisun Jepang, tetapi tidak mampu meraih obyektifnya karena kurangnya senjata berat dan artileri. Selain itu armada Jepang bertebaran di mana-mana di perairan Shanghai dan meriam-meriam laut mereka membombardir posisi-posisi Tiongkok di dalam kota dengan keakuratan yang sangat tinggi. Dengan kondisi-kondisi seperti itu, serangan Jepang hampir pasti berhasil.

Fase Kedua (23 Agustus – 26 Oktober)

Periode paling berdarah dan paling sengit terjadi dari 23 Agustus, ketika Jepang mendaratkan gelombang-gelombang pasukannya, sampai 26 Oktober, ketika Tiongkok mundur dari metropolitan Shanghai. Selama periode ini, mayoritas pertempuran berlanjut di sepanjang 40 kilometer dari metropolitan Shanghai sampai kota Liuhe (瀏河), yang berlokasi di timur laut kota di pesisir lokasi Jepang memainkan pendaratannya.

Pertahanan menghadapi pendaratan (23 Agustus – 10 September)

Jepang berhasil menguasai beberapa kota besar di Tiongkok yaitu

Pendaratan amfibi Jepang

Pada 23 Agustus, Tentara Ekspedisi Shanghai Jepang, pimpinan Iwane Matsui, mendarat di Liuhe, Wusong (吳淞), dan Chuanshakou. Chiang Kai-shek berkeinginan, kota-kota pesisir ini dapat dengan gampang didarati Jepang dan memerintahkan Chen Cheng memperkuat daerah tersebut dengan menaruh Tentara ke-18. Namun, Tiongkok tidak dapat menandingi daya tembak senjata-senjata Jepang. Jepang hampir selalu memulai serangan amfibinya dengan bombardir hebat pertahanan pesisir milik Tiongkok, adil dari laut maupun udara. Tidak diketahui apakah Tiongkok kehilangan semua garnisun selama bombardir semacam itu, sebab, pasukan Tiongkok akan segera mengatur diri bagi menghadapi pasukan Jepang yang baru saja memainkan pendaratan setelah pembombardiran.

Sampai dua hari pertama selanjutnya, pasukan Tiongkok dan Jepang berada dalam pertempuran sengit di sejumlah kota dan desa sepanjang pesisir. Pasukan Tiongkok menangkis serangan amfibi hanya dengan senjata kaliber kecil, dan tidak cukup didukung oleh tingkatan udara serta hampir tanpa keberadaan tingkatan laut. Tiongkok harus membayar sangat mahal bagi pertahanan mereka. Sebuah resimen Tiongkok dapat tersapu sampai hanya menyisakan beberapa tentara saja. Pertahanan Tiongkok dikerjakan dengan sangat tergesa-gesa dan tidak menyediakan banyak perlindungan, sementara banyak parit-parit pertahanan dikerjakan hanya pada masa pertempuran sedang mereda saja. Semakin lagi, daerah pesisir yang berpasir membikin sulit mendirikan benteng pertahanan yang kokoh. Banyak parit yang longsor masa hujan. Tiongkok harus berlomba dengan waktu dalam mendirikan dan memperbaiki pertahanan-pertahanan mereka selain menghadapi bombardir Jepang. Kesukaran logistik juga bermanfaat sulit bagi mengangkut material pertahanan ke garis hadapan. Pasukan Tiongkok seringkali mengambil material bagi pertahanan dari puing-puing reruntuhan propertti. Namun, Tiongkok tetap terus berupaya berperang walaupun dengan rintangan-rintangan ini dan berupaya bertahan selama mungkin di desa dan kota sepanjang pesisir. Kebanyakan Jepang dapat menduduki desa dan kota ini pada siang hari di bawah dukungan tembakan-tembakan berat tingkatan laut, dan kehilangan kendali hanya pada malam hari masa Tiongkok memainkan serangan balasan.

Serangan dan serangan balik berlanjut sampai yang belakang sekali Agustus, masa kejatuhan Baoshan, sebuah kota pesisir penting, menjadi sangat jelas. Chiang Kai-shek memerintahkan pasukan dari Divisi ke-98 yang sedang tersisa bagi mempertahankan kota. Sebuah batalyon di bawah pimpinan Yao Ziqing (姚子青), memanggul tugas ini. Yao memerintahkan pasukannya bagi bertahan sampai titik darah yang belakang sekali. Serangan artileri Jepang membikin sebagian kota menjadi puing-puing, dan Yao terbunuh dalam pertempuran dari propertti ke propertti. Pada 6 September Baoshan jatuh. Semua batalyon kecuali satu prajurit, terbunuh dalam tingkah laku yang dibuat ini. Selanjutnya, pasukan Tiongkok akan terus menderita korban jiwa semacam ini di keseluruhan Kampanye Shanghai.

Pertempuran di sekitar Luodian (11 – 30 September)

Pada 11 September, dengan jatuhnya Baoshan, tentara Tiongkok mengambil jabatan bertahan di sekitar Luodian (羅店). Luodian hanyalah sebuah kota kecil, namun merupakan titik simpul transportasi yang menghubungkan Baoshan, pusat kota Shanghai, Jiading, Songjiang dan beberapa kota lainnya dengan jalan-jalan raya. Kesuksesan mempertahankan Luodian secara strategi sangat penting dalam pengamanan Suzhou dan Shanghai. Pada 29 Agustus, penasihat Chiang Kai-shek dari Jerman, Alexander von Falkenhausen, mengatakan padanya bahwa Kota Luodian harus dipertahankan berapa pun harganya. Bagi pertempuran Luodian, Tiongkok memusatkan sekitar tiga ratus ribu prajurit, sementara Jepang semakin dari seratus ribu dengan dukungan kapal laut, tank, dan pesawat udara.

Jepang berhasil menguasai beberapa kota besar di Tiongkok yaitu

Pasukan Tiongkok memainkan serangan di Luodian

Pembantaian besar-besaran yang terjadi membikin pertempuran Luodian mendapat julukan "rumah penggilingan daging dan darah" (血肉磨坊). Ofensif Jepang kebanyakan dimulai masa fajar dengan pemboman udara yang terpusat, diikuti dengan pelepasan balon pengamat bagi menunjukkan dengan tepat lokasi pasukan-pasukan Tiongkok yang tersisa bagi dapat disapu oleh artileri dan gempuran dari laut. Infantri Jepang belakang dapat maju di bawah perlindungan tabir asap dan lapis baja. Pesawat-pesawat Jepang belakang juga akan menemani infantri dan memberondong pasukan-pasukan pengganti Tiongkok.

Pertahanan Tiongkok sulit bagi dipatahkan bahkan dengan daya gempur hebat semacam itu. Pada malam hari, prajurit-prajurit Tiongkok meranjaui jalan-jalan yang menghubungkan kota-kota pesisir menuju Luodian dan memaksa pertempuran malam bagi memotong gerak maju pasukan-pasukan Jepang. Masa fajar, Tiongkok akan mepertahankan garis-garis pertahanan penting dengan pasukan yang semakin sedikit bagi mengurangi korban jiwa yang dikarenakan dari bombardir Jepang yang intens. Tiongkok belakang akan muncul dari jabatan belakangan bagi menghadapi musuh masa ofensif darat Jepang dimulai setelah gempuran-gempuran laut dan artileri bubar.

Meskipun mempunyai keunggulan banyak pasukan, mempertahankan Luodian adalah ketidakmungkinan bagi Tiongkok. Jepang mempunyai sejumlah keuntungan, termasuk keunggulan daya tembak, dan fakta bahwa Tiongkok berada dalam jabatan pasif dalam menghadapi serangan gencar, karena tidak dapat menyusun ofensif efektif sampai Jepang praktis menduduki Luodian. Karena hal ini, Tiongkok memutuskan bagi mempertahankan setiap inchi persegi dari wilayah kota sampai titik darah yang belakang sekali. Taktik ini membikin semakin cepat laju tewasnya prajurit-prajurit berpangkat tinggi. Laju korban tewas dari pihak grup tentara Jenderal Chen Cheng sampai semakin dari 50 persen. Di yang belakang sekali September, Tiongkok telah hampir kehabisan darah dan terpaksa menyerahkan Luodian.

Pertempuran Dachang (1 – 26 Oktober)

Jepang berhasil menguasai beberapa kota besar di Tiongkok yaitu

Prajurit-prajurit Tiongkok di tidak jauh sebuah propertti yang hancur dibom

Pada 1 Oktober, atas petuah komandan-komandannya, Perdana Menteri Jepang Fumimaro Konoe memutuskan menyatukan dan meluaskan pertempuran di Teater Tiongkok Utara dan Tengah, melancarkan sebuah ofensif Oktober bagi menaklukkan pemerintahan Tiongkok bagi mengakhiri perang. Pada masa ini, Jepang menaikkan banyak pasukannya di wilayah Shanghai sampai semakin dari dua ratus ribu. Pasukan Jepang juga menginvasi kota Liuhang (劉行), di selatan Luodian. Jadi, garis hadapan telah bergeser semakin jauh ke selatan sampai tepian Sungai Yunzaobin (蘊藻濱). Tujuan Jepang adalah menyeberangi Sungai Yunzaobin dan mengambil alih Dachang (大場), yang merupakan penghubung komunikasi pasukan Tiongkok selang pusat kota Shanghai dan di kota-kota timur lautnya.

Jika Dachang jatuh, pasukan Tiongkok harus menyerahkan jabatan mereka di pusat kota Shanghai dan wilayah timur Sungai Huangpu bagi menghindari pengurungan oleh tentara Jepang. Pertahanan Dachang adalah vital bagi mengetahui seberapa lama tentara Tiongkok dapat bertahan dan meneruskan pertempuran di daerah perang Shanghai. Bagi ini, Chiang Kai-shek memobilisasi pasukan yang sedang tersisa dan dapat diselamatkannya bagi mempertahankan Dachang.

Pertempuran selang kedua pihak berlanjut maju mundur, dengan sedikit perubahan di sepanjang Sungai Yunzaobin. Dari 11 September sampai 20 Oktober, kemajuan tentara Jepang hanya lima kilometer. Pada momen-momen paling intens, posisi-posisi dapat beralih tangan sampai lima kali dalam satu hari. Pada 17 Oktober, Tentara Guangxi di bawah pimpinan Li Zongren dan Bai Chongxi yang belakang sekalinya tiba bagi bergabung dengan Tentara Sentral pimpinan Chiang Kai-shek dalam pertempuran Shanghai. Tiongkok belakang melancarkan serangan balasan dalam upaya menyatukan secara penuh posisi-posisi mereka di sekitar Dachang dan menduduki kembali tepian Sungai Yunzaobin. Namun serangan balasan tersebut lemah dalam koordinasi dan lagi-lagi Tiongkok kalah terhadap superioritas daya pukul senjata Jepang. Jepang memakai sekitar 700 pucuk artileri dan 150 pesawat pembom bagi operasi Dachang dan kota tersebut hancur lebur sampai menjadi puing-puing. Pertempuran tersebut begitu sengitnya sampai laju rata-rata korban jiwa di pihak Tiongkok sampai ribuan per jamnya, dan beberapa divisi kehilangan kapasitas hanya dalam beberapa hari. Pertempuran sengit ini berlanjut sampai 25 Oktober, masa Dachang yang belakang sekalinya jatuh. Setelah itu, pasukan Tiongkok tidak mempunyai pilihan lain selain mundur dari pusat kota Shanghai, yang telah mereka pertahankan hampir selama tiga bulan.

Fase ketiga (27 Oktober – 26 November)

Penarikan mundur Tiongkok dari metropolitan Shanghai

Jepang berhasil menguasai beberapa kota besar di Tiongkok yaitu

Pasukan Jepang sampai Stasiun Utara yang hancur di pusat kota Shanghai

Pada 26 Oktober malam, Tiongkok mulai menarik mundur pasukannya dari pusat urban Shanghai. Karena Dachang dan kota-kota suburban vital lainnya telah jatuh, Chiang Kai-shek memerintahkan pasukan Tiongkok bagi mundur dari Zhabei, Jiangwan (江灣), dan posisi-posisi lainnya yang telah dipertahankan teguh selama 77 hari. Namun Chiang memerintahkan satu batalyon dari Divisi ke-88 tetap berada di Zhabei bagi mempertahankan Gudang Sihang di tepi utara Sungai Suzhou. Chiang tidak dapat sepenuhnya mengosonglam pusat kota Shanghai karena konferensi Kontrak Sembilan-Daya sedang berlanjut di Brussels bagi sebuah kemungkinan intervensi Barat dalam konflik Tiongkok-Jepang. Sisa pasukan Tiongkok menyeberangi Sungai Suzhou dan berkumpul kembali bagi bentrokan terakhir dengan tentara Jepang.

Pertempuran di sekitar Sungai Suzhou

Jepang berhasil menguasai beberapa kota besar di Tiongkok yaitu

Pasukan Jepang merayap di selang reruntuhan

Rencana awal Chiang adalah berperang di medan selatan Sungai Suzhou dan menimbulkan sebanyak mungkin korban di pihak Jepang. Namun setelah tiga bulan pertempuran intens, daya pasukan Tiongkok telah sangat terkurangi. Daya banyakan satuan tinggal setengah daya awal, sehingga sebuah divisi hanya mempunyai kapasitas tempur kurang dari dua resimen. Pada masa ini, tentara Tiongkok membutuhkan selang 8 sampai 12 divisi bagi mengimbangi daya tempur satu divisi Jepang, sehingga komandan-komandan Tiongkok pesimis terhadap hasil pertempuran Sungai Suzhou. Li Zongren, Bai Chongxi, Chang Fa-kuei dan komandan-komandan lainnya berkeras supaya pasukan Tiongkok memasuki garis pertahanan Wufu dan Xicheng bagi melindungi Nanjing, tetapi Chiang menginginkan pasukan Tiongkok bagi meneruskan pertempuran di tepi selatan Sungai Suzhou. Pada 28 Oktober, Chiang tiba di medan tempur bagi menaikkan moral pasukannya, namun demikian keadaan memang telah suram. Pada 30 Oktober, Jepang melintasi Sungai Suzhou dan pasukan Tiongkok dalam bahaya pengurungan. Tentara Tiongkok telah berada dalam batas daya tahan.

Pendaratan Jepang di Jinshanwei

Jepang berhasil menguasai beberapa kota besar di Tiongkok yaitu

Satuan garis belakangan pasukan Jepang mendaratkan suplai di Jinshanwei

Sejak 12 Oktober, kepala-kapala staf militer Jepang telah mendefinisikan rencana bagi memainkan pendaratan di Jinshanwei (金山衛), sebuah kota yang terletak di tepi utara Teluk Hangzhou, di sebelah selatan daerah Shanghai. Pendaratan Jinshanwei akan memfasilitasi tekanan ke arah utara terhadap Kota Shanghai, bagi melengkapi pendaratan di kota-kota timur laut Shanghai, seperti yang terjadi di sekitar Baoshan selang yang belakang sekali Agustus dan pertengahan September, yang telah memberikan tekanan ke arah selatan. Chiang Kai-shek telah menyadari rencana Jepang bagi mengurung tentaranya di dalam Shanghai dari utara dan selatan, dan telah memerintahkan komandan-komandannya bagi mengambil langkah-langkah pencegahan terhadap kemungkinan pendaratan Jepang di Jinshanwei. Namun kejatuhan Dachang yang menjelang di yang belakang sekali Oktober memaksa Chiang memindahkan divisi-divisi Tiongkok yang mempunyai di sepanjang pesisir utara Teluk Hangzhou. Sebagai hasil, kurangnya pertahanan Tiongkok membikin Korps Tentara ke-10 Jepang, terdiri dari satuan-satuan yang dialihkan dari Pertempuran Taiyuan di Teater Tiongkok Utara, mendarat dengan gampang di Jinshanwei pada 5 November. Jinshanwei hanya tidak berdekatan 40 km dari tepian Sungai Suzhou, lokasi pasukan Tiongkok baru saja mundur dari kejatuhan Dachang.

Perjalanan ke Nanjing

Jepang berhasil menguasai beberapa kota besar di Tiongkok yaitu

Tentara Tiongkok merawat korban-korban serangan gas Jepang

Keputusan Jepang menduduki Nanjing

Di bulan Oktober, SEF (Shanghai Expedition Force) diperkuat oleh Tentara ke-10 Jepang pimpinan Letnan Jendral Heisuke Yanagawa. Pada 7 November, Tentara Daerah Tiongkok Tengah Jepang (Japanese Central China Medan Army = CCAA) dibuat dengan menggabungkan SEF dan Tentara ke-10, dengan Matsui ditunjuk sebagai panglima tertinggi merangkap panglima SEF. Setelah memenangi pertempuran di sekitar Shanghai, SEF menyarankan kepada Markas Umum Kekaisaran di Tokyo bagi menyerang Nanjing. CCAA belakang diatur ulang dan Letnan Jendral Pangeran Asaka (Yasuhiko), paman dari Kaisar Hirohito, ditunjuk sebagai komandan SEF, sementara Matsui tetap sebagai komandan CCAA mengawasi SEF dan Tentara ke-10. Namun, dalam kenyataan, otoritas Matsui sulit bagi ditegakkan karena ia berhadapan dengan anggota keluarga kekaisaran yang ditunjuk langsung oleh Kaisar. Dalam antisipasi penyerbuan Nanjing, Matsui mengeluarkan perintah kepada tentaranya yang berbunyi:

Nanjing adalah ibukota Tiongkok dan penaklukkannya adalah sebuah afair internasional; oleh karena itu, pemeriksaan seksama harus dimainkan sehingga menunjukkan kehormatan dan kemuliaan Jepang dan memperbesar keyakinan rakyat Tiongkok, dan bahwa pertempuran di sekitar Shanghai bertujuan bagi menaklukkan tentara Tiongkok, oleh karenanya lindungi dan perlakukan dengan adil pejabat-pejabat serta rakyat Tiongkok, sedapat mungkin; Pasukan harus menanamkan dalam ingatan bagi tidak melibatkan masyarakat negara-warga negara dan tentara-tentara asing ke dalam masalah dan memelihara hubungan tidak jauh dengan otoritas-otoritas asing dalam upaya menghindari kesalahpahaman.

Pada 2 Desember, Kaisar Showa menominasikan salah satu pamannya, Pangeran Asaka, sebagai komandan invasi. Sulit bagi ditegakkan jika, sebagai anggota keluarga kekaisaran, Asaka mememiliki status semakin tinggi daripada Jendral Iwane Matsui, yang secara resmi adalah panglima tertinggi, namun jelas bahwa, sebagai perwira berpangkat tinggi, Pangeran Asaka mempunyai otoritas atas komandan-komandan divisi, Letnan Jendral Kesago Nakajima dan Heisuke Yanagawa.

Setelah mengamankan kendali terhadap Shanghai, tentara Jepang memulai gerak majunya menuju Nanjing pada 11 November 1937, mendekati kota dari berbagai penjuru.

Jepang berhasil menguasai beberapa kota besar di Tiongkok yaitu

Gerak maju Jepang ke Nanjing dapat dikarekterisasi sebagai sebuah “barisan terpaksa”. Hampir semua kesatuan melintasi jarak 400 km dalam waktu lebih kurang satu bulan. Dengan mengasumsikan bahwa penaklukan ibukota Tiongkok akan menjadi titik balik memilihkan dalam perang, mempunyai keinginan kuat menjadi di selang yang pertama yang dapat meng-klaim kehormatan kemenangan.[9]

Tentara Jepang dilawan oleh prajurit-prajurit Tiongkok dalam sejumlah perjumpaan di perlintasan menuju Nanjing, dan seperti kebanyakan banyak mereka jauh banyakan. Semakin tidak jauh Jepang dengan Nanjing, pertempuran semakin meningkat frekuensi dan mutunya.[10]

Tiongkok mundur dari Shanghai

Pendaratan Jepang di Jinshanwei bermanfaat bahwa tentara Tiongkok harus mundur dari front Shanghai dan berupaya bagi lolos. Namun, Chiang Kai-shek tetap berkeinginan Kontrak Sembilan Daya (Nine-Power Treaty) dapat memproduksi sejumlah sanksi internasional terhadap Jepang. Tidak sampai 8 November komando pusat Tiongkok mengumumkan penarikan umum dari keseluruhan front Shanghai. Semua kesatuan Tiongkok diperintahkan bangung menuju kota-kota di barat seperti Kunshan, dan dari sini memasuki garis-garis pertahanan yang belakang sekali bagi mencegah Jepang sampai Nanjing. Pada titik ini, tentara Tiongkok telah benar-benar kelelahan, kehabisan amunisi dan perbekalan, sehingga pertahanan benar-benar dalam keadaan terhuyung-huyung. Kunshan jatuh hanya dalam waktu dua hari, dan sisa pasukan mulai bangung menuju benteng pertahanan Garis Wufu pada 13 November. Tentara Tiongkok berperang dengan sisa tenaga mereka dan garis hadapan berada di ambang keambrukan.

Dalam kekacauan tersebut, banyak kesatuan Tiongkok terpecah dan kehilangan kontak dengan perwira-perwira penghubung yang mempunyai peta dan rencana pertahanan. Ditambah lagi masa mereka tiba di Garis Wufu, pasukan Tiongkok mendapati beberapa pejabat sipil telah melarikan diri dan membawa serta kunci-kunci benteng bersama mereka. Pasukan Tiongkok yang terpukul, yang baru saja tiba dari mandi darah di Shanghai dan berkeinginan dapat memasuki garis-garis pertahanan, menjumpai bahwa diri mereka tidak dapat memanfaatkan benteng-benteng pertahanan ini. Garis Wufu ditembus pada 19 November dan pasukan Tiongkok belakang bangung menuju Garis Xicheng, yang belakang terpaksa diserahkan pada 26 November di tengah-tengah serangan gencar. ”Garis Hindenberg Tiongkok” yang dibangun pemerintah dengan dana jutaan dan merupakan garis terakhir pertahanan selang Nanjing dan Shanghai, runtuh hanya dalam waktu dua hari pertama. Namun begitu, pertempuran terus berlanjut tanpa jeda di perlintasan menuju ibukota Tiongkok dan pertempuran selanjutnya segera mengarah menjadi Pertempuran Nanjing.

Di awal Desember, pasukan Jepang telah sampai pinggiran Kota Nanjing.

Kesudahan suatu peristiwa dan taksiran kerugian

Hilangnya daya militer Tentara Sentral

Jepang berhasil menguasai beberapa kota besar di Tiongkok yaitu

Perwira-perwira Tiongkok memperoleh pukulan hebat di dalam pertempuran.

Meskipun Pertempuran Shanghai adalah yang pertama dari 22 pertempuran akbar selang Tiongkok dan Jepang, keputusan Chiang Kai-shek bagi mengirimkan pasukan-pasukan terbaiknya memproduksi kesudahan suatu peristiwa yang signifikan. Pada masa perang pecah, Tentara Revolusioner Nasional Tiongkok mengandalkan tentara reguler sejumlah 1,7 juta personel, tetapi dalam kenyataannya daya militer Tiongkok rendah secara signifikan. Hal ini karena hampir semua pasukan kurang terlatih, kurang peralatan, dan merupakan petani-petani yang semi-melek huruf dengan sedikit pengetahuan pemikiran perang modern. Hanya sekitar 300.000 pasukan yang secara komparatif terlatih dengan adil dan diorganisasikan ke dalam sekitar 40 divisi yang baru diatur ulang. Di selang banyak ini, sekitar 80.000 adalah divisi hasil pelatihan Jerman yang menyusun satuan-satuan elit Tentara Sentral Chiang Kai-shek. Namun begitu, bahkan divisi-divisi ini pun tidak cukup didukung oleh pasukan gabungan. Jadi, dari hampir dua juta tingkatan bersenjata, kurang dari seratus ribu pasukan Tiongkok yang dapat menandingi pasukan Jepang. Keputusan Chiang bagi mengerahkan semua divisinya dalam pertempuran di Shanghai menyebabkan satuan-satuan elitnya kehilangan sekitar 60 persen personelnya dalam tiga bulan mandi darah. Dalam satu pukulan saja, Chiang juga kehilangan sekitar 10.000 dari 25.000 perwira yunior yang dilatih oleh Akademi Militer Pusat selang 1929 sampai 1937, ditambah lagi beberapa puluh ribu perwira militer potensial. Tentara Pusat Chiang tidak pernah dapat bangung dari kehancuran ini. Divisi ke-88 yang mungkin merupakan divisi terbaik di selang divisi-divisi elit ini, memulai Pertempuran Nanjing dengan daya hanya 7000 personel, dengan 3000 di selangnya adalah rekrutan baru bagi menggantikan para veteran yang hilang. Kehancuran daya militernya juga memaksa Chiang mempercayai jendral-jendral non-Whampoa, yang memimpin tentara-tentara provinsial dengan loyalitas dipertanyakan. Karena pengurangan daya militer ini, Chiang kehilangan daya ungkit politik di mata para panglima perang lokal. Dampaknya Chiang efektif hanya menjadi kepala koalisi yang tidak kuat daripada menjadi panglima tertinggi tingkatan bersenjata yang bersatu. Melemahnya banyak personel tempur terbaik Tiongkok juga membikin rencana dan eksekusi operasi militer selanjutnya menjadi sulit. Intinya, usaha sebelum perang Chiang bagi mendirikan sebuah tentara nasional yang benar-benar efektif dan modern benar-benar hancur dalam pengorbanan bagi Pertempuran Shanghai.

Respon internasional dan konsekuensi-konsekuensinya

Gagasan utama tentara Tiongkok bertahan di Shanghai selama mungkin, meskipun membikin mereka berada di ambang kehancuran, adalah harapan akan keadaan intervensi barat terhadap Perang Tiongkok-Jepang. Negara-negara barat hanya menaruh perhatian kecil terhadap keadaan Tiongkok karena sebagian akbar tercurah ke keadaan di Eropa. Selain itu, banyakan negara-negara barat juga hanya melihat sedikit harapan bahwa intervensi mereka dapat menolong Tiongkok dalam jangka panjang karena mereka percaya pada yang belakang sekalinya Tiongkok akan jatuh juga. Jika di mata dunia Barat, Tiongkok tampak lemah secara militer, terbelakang secara ekonomi, dan terpecah-belah secara politik, tidaklah masuk tipu daya bagi mereka menolong Tiongkok jika sedang tampak kalah oleh Jepang. Oleh sebab itu, Chiang Kai-shek harus mencurahkan segalanya bagi memberikan keyakinan Dunia Barat bahwa konflik selang Tiongkok dan Jepang yang terjadi adalah perang skala akbar, bukan kelompok ”insiden” yang tidak bersesuaian seperti yang telah terjadi sebelumnya. Bersandar pada strategi politik ini, Chiang Kai-shek harus memerintahkan pasukan-pasukannya bagi berperang sampai mati dalam usaha mengambil simpati internasional dan berkeinginan komunitas internasional mengambil langkah-langkah yang dapat menolong Tiongkok dan memberikan sanksi kepada Jepang.

Pada 12 September, satu bulan setelah Pertempuran Shanghai dimulai, Tiongkok secara resmi membawa kasus melawan Jepang ke Liga Bangsa-Bangsa. Sekali lagi, Liga tidak dapat mendefinisikan sanksi efektif apa pun terhadap Jepang selain daripada pernyataan 4 Oktober yang memberikan ”dukungan spiritual” kepada Tiongkok. Amerika Serikat bukan merupakan anggota Liga, sementara Britania Raya dan Perancis enggan bagi menantang Jepang. Di selang semua daya akbar Barat, hanya Amerika Serikat yang tampak dapat berperan semakin karena tidak terlibat keadaan Eropa yang sedang panas-dingin. Selain itu, pada 5 Oktober, Presiden Franklin D. Roosevelt memberikan Pidato Karantina, menyerukan Amerika Serikat menolong bangsa-bangsa yang sedang berperang dengan bangsa-bangsa agresor. Pidato ini mempunyai efek yang hebat sekali dalam meningkatkan moral Tiongkok. Karena Amerika tampak mempunyai keinginan bagi berkonfrontasi dengan Jepang, perwakilan Britania Raya menyarankan bagi menutup kasus di Liga Bangsa-Bangsa dan berinisiatif bagi mengadakan rapat Konferensi Kontrak Sembilan Kekuatan. Konferensi tersebut secara otomatis melibatkan Amerika Serikat ke dalam usaha mengekang serangan Jepang karena Kontrak Sembilan Daya merupakan hasil dari Konferensi Tingkatan Laut Washington pada 1922.

Jepang berhasil menguasai beberapa kota besar di Tiongkok yaitu

Generalissimo Chiang Kai-shek di garis hadapan

Masuknya Amerika ke dalam respon internasional membawa harapan baru bagi Tiongkok, dan Chiang Kai-shek mengulangi pernyataannya kembali akan perlunya pasukan Tiongkok bertahan di Shanghai bagi membuktikan bahwa kota itu memang layak dipertahankan. Pada pertengahan Oktober, keadaan pasukan Tiongkok di Shanghai semakin mengkhawatirkan dan Jepang mendapat hasil yang signifikan. Kota vital Dachang jatuh pada 26 Oktober dan Tiongkok harus mundur dari metropolitan Shanghai. Namun begitu, karena Konferensi Kontrak Sembilan Daya baru dimulai pada awal November, Chiang Kai-shek memerintahkan pasukannya bagi bertahan di Shanghai daripada mundur ke Garis Wufu dan Xicheng bagi mempertahankan Nanjing. Ia juga meninggalkan satu batalyon sendirian bagi mempertahankan Gudang Sihang di dalam metropolitan Shanghai. Chiang juga mengunjungi pasukannya di garis hadapan bagi meningkatkan moral pasukannya. Karena Shanghai adalah kota Tiongkok paling penting di mata dunia barat, pasukan Tiongkok harus berperang dan mempertahankan kota selama mungkin, daripada mundur bagi memperkuat garis-garis pertahanan di kota-kota tidak bernama sepanjang perlintasan menuju Nanjing. Pada 3 November, konferensi yang belakang sekalinya dilangsungkan di Brusel. Masa daya barat sedang bersidang bagi mendamaikan keadaan, pasukan Tiongkok berupaya berdiri bagi terakhir kalinya dan menaruh semua harapan pada intervensi barat bagi dapat menyelamatkan Tiongkok dari keruntuhan.

Konferensi berlanjut berlarut-larut dengan hasil minim. Jepang diundang dua kali namun menolak sehingga usaha mediasi yang melibatkan Jepang secara langsung tidak dapat dimainkan. Sama dengan yang telah terjadi dalam konferensi Liga Bangsa-Bangsa, daya barat, termasuk Amerika Serikat, sedang mengandalkan isolasionisme dan appeasement. Jadi, tidak mempunyai hal yang efektif berhasil dirumuskan. Pada 5 November, Jepang memainkan pendaratan amfibi di Jinshanwei bagi mengepung pasukan Tiongkok yang sedang berperang di wilayah perang Shanghai. Chiang sedang menunggu tanggapan yang menguntungkan dari Konferensi Kontrak Sembilan Daya dan memerintahkan pasukannya bagi terus bertahan, meskipun pasukan-lelahnya terancam pengurungan dari pendaratan Jinshanwei. Tidak sampai tiga hari belakang pada 8 November, komando pusat Tiongkok memerintahkan pasukan bagi mundur dari keseluruhan front Shanghai bagi melindungi Nanjing. Penundaan tiga hari ini cukup bagi memecah belah garis komando Tiongkok karena satuan-satuan telah hancur lebur kesudahan suatu peristiwa pertempuran yang berkelanjutan, dan hal ini berakibat langsung pada kegagalan mengatur pertahanan di sekitar Garis Hindenburg Tiongkok yang menjaga Nanjing. Pada 24 November, Konferensi Kontrak Sembilan Daya bersidang bagi yang terakhir kalinya bagi selanjutnya ditangguhkan sampai waktu yang tidak dipastikan, tanpa memproduksi tindakan-tindakan apa pun yang dapat membubarkan serangan Jepang. Dalam laporannya, Jendral Chen Cheng menulis bahwa di keseluruhan banyakan kampanye Shanghai, strategi militer seringkali tergantikan oleh strategi politik. Adalah tragedi bangsa bahwa strategi politik, khususnya seriskan menaruh harapan pada intervensi asing, memaksa pasukan bagi memainkan pengorbanan banyak sekali di Shanghai dan membiarkan penghancuran hampir total. Ia menulis bahwa karena Tiongkok lemah, terpaksa membutuhkan bantuan asing dan harus berkorban hanya bagi membuktikan kapasitas mereka dalam berperang dan bertahan. Di yang belakang sekali pertempuran, meskipun ratusan ribu pasukan Tiongkok mati hanya bagi menyatakan bahwa Tiongkok siap berkorban, harapan yang belakang sekali akan keadaan intervensi barat tidak pernah mempunyai.

Kesudahan suatu peristiwa

Bertalian dengan efek jangka panjangnya pada perang dengan menghabiskan tenaga lawan, Pertempuran Shanghai melakukan pembelian cukup waktu bagi pemerintah Tiongkok bagi memindahkan industri-industri vitalnya ke Wuhan dan Xian, dan dari situ ke Chongqing, ibukota Tiongkok semasa perang. Kesukaran dalam membongkar dan relokasi ribuan ton peralatan mesin dan pabrik, khususnya di bawah kampanye pemboman Jepang, bermanfaat bahwa pemerintah Tiongkok gagal sebagian tujuannya memindahkan keseluruhan basis industri dari wilayah Shanghai. Banyak pabrik hancur selama pertempuran dan tidak dapat digunakan lagi. Dari hampir 1200 pabrik dan bengkel kerja berbagai macam ukuran, hanya sekitar 10 persen yang berhasil dipindahkan dari Shanghai. Industri-industri ini merupakan inti industri masa perang, yang sangat bermanfaat khususnya pada masa-masa suram blokade keseluruhan pantai Tiongkok, penutupan Perlintasan Burma, dan rendahnya suplai dari daerah Punggung. Strategi Chiang Kai-shek dengan membawa pertempuran ke Shanghai bagi memaksa Jepang mengadopsi arah serangan timur ke barat juga mencegah Jepang memotong ke arah Tiongkok Tengah. Sebagai hasil, Pertempuran Wuhan berhasil tertunda hampir satu tahun, dan waktu yang berhasil ”dibeli” memberikan pemerintah Tiongkok kesempatan bernapas bagi memulihkan diri dan merelokasi sumber-sumber daya ke Chongqing. Secara keseluruhan, meskipun kerugian Tiongkok tidak dapat terganti, strategi berdagang ”ruang bagi waktu” membuktikan kebergunaannya.

Pertempuran Shanghai adalah sebuah kekalahan militer, tetapi sebuah nilai penting bagi nasionalisme Tiongkok. Mulainya perang skala penuh bermanfaat bahwa Tiongkok tidak lagi berpangku tangan dan membiarkan Jepang menaklukkan wilayahnya sepotong demi sepotong seperti yang terjadi pada masa lalu. Perang ini juga menunjukkan kepastian hati Tiongkok bagi tidak menyerah bahkan dalam menghadapi daya gempur yang sangat hebat sekalipun. Namun, perintah Chiang Kai-shek bagi bertahan sampai mati sangat membikin lemah pasukannya dan secara langsung menyebabkan ketidakmampuan tentaranya dalam mempertahankan Nanjing bahkan hanya bagi dua hari pertama saja. Di dalam memoarnya, Jenderal Li Zongren menekankan bahwa staf Chiang telah menyarankan supaya tentara Tiongkok mencadangkan sekitar sepuluh divisi di sepanjang Garis Wufu bagi melindungi Nanjing dan merasa bahwa itu tidaklah lain jika Shanghai dapat dipertahankan beberapa bulan semakin panjang dengan biaya korban jiwa raksasa. Namun karena Tiongkok tidak dapat mengalahkan Jepang sendirian, Chiang percaya bahwa pilihan terbaik adalah melibatkan daya barat ke dalam perang dengan mendapat simpati melewati perlawanan gagah berani di Shanghai. Juga mungkin Chiang Kai-shek tidak menyadari bahwa perang akan berlanjut selama delapan tahun. Dalam korespondensinya dengan Hu Shih, Chiang menulis bahwa Tiongkok dapat bertahan selama enam bulan sampai perubahan-perubahan keadaan internasional dapat mengakhiri perang. Hal ini mungkin yang menyebabkan Chiang mengerahkan semua pasukan terbaiknya dalam pertempuran pertama yang ternyata menjadi perang yang panjang. Meskipun penilaian Chiang terlalu optimistik, faktanya Tiongkok terus berperang bagi delapan tahun selanjutnya sampai Jepang yang belakang sekalinya dikalahkan, bahkan ketika banyak negara kuat seperti Perancis kalah dan menyerah hanya dalam waktu enam hari pertama.

Semakin jauh lagi, Pertempuran Shanghai adalah contoh pertama tentara-tentara provinsial mau bekerjasama penuh dengan Tentara Pusat Chiang. Dua tahun sebelumnya, Chiang Kai-shek, Li Zongren, dan beberapa panglima perang saling bermusuhan dalam berbagai perang saudara, berperang bagi penguasaan Tiongkok, tetapi mereka disatukan oleh nasionalisme dan tentara-tentara mereka berperang saling bahu-membahu melawan musuh bersama. Tiongkok juga berperang dengan gigih sehingga Shanghai tidak jatuh dalam tiga hari, dan Tiongkok tidak jatuh dalam tiga bulan seperti yang diproklamasikan Jepang dalam slogan-slogan mereka. Ini adalah desakan maral yang luar biasa, khususnya di saat-saat gelap ketika tentara Tiongkok menderita rangkaian kekalahan pada masa awal perang. Korban akbar yang dikarenakan oleh Tiongkok dan kesukaran penaklukan menyebabkan pasukan Jepang memainkan Pembantaian Nanjing sebagai sikap yang dibuat balasan menghadapi perlawanan Tiongkok. Kegigihan dan kepastian hati juga mengejutkan pengamat-pengamat internasional yang mengira Tiongkok akan dikalahkan dengan gampang dan belakang memohon perdamaian. Secara keseluruhan, meskipun harga yang mesti dibayar melangit, fakta bahwa Tiongkok dapat menahan serangan berulang-ulang dan tetap berdiri dalam “pertempuran paling berdarah sejak Pertempuran Verdun” adalah bukti kebulatan tekad Tiongkok bagi meneruskan perang dan berperang sampai titik darah yang belakang sekali.

Lihat pula

Referensi

  • Nationalist China At War 1937-1945 diterbitkan oleh Universitas Michigan, Ann Arbor, pada 1982.
  • Disertasi doktor mengenai Kampanye Shanghai-Nanking dari Universitas Nasional Taiwan.

  1. ^ "Why We Fight" seri video yang dirilis oleh pemerintah AS bagi para prajuritnya
  2. ^ China's Bitter Victory, p.143
  3. ^ Military History of Modern China, p.199
  4. ^ North China Daily News 15.8.1937
  5. ^ The Times (London) 16.8.1937 "1,000 DEAD IN SHANGHAI/DEVASTATION BY CHINESE BOMBS"
  6. ^ "This terrified baby was almost the only human being left alive in Shanghai's South Station after brutal Japanese bombing. China, August 28, 1937., 1942 - 1945". Arsip Nasional AS. Diakses 27-08-2007. 
  7. ^ LOOK Magazine, Dec. 21: 52–53 
  8. ^ Lihat Soviet Fighters in the Sky of China, oleh Anatolii Demin.
  9. ^ "Analyzing the “Photographic Evidence” of the Nanking Massacre (originally published as Nankin Jiken: “Shokoshashin” wo Kenshosuru)". Tokyo, Japan: Soshisha. 2005. 
  10. ^ "Analyzing the “Photographic Evidence” of the Nanking Massacre (originally published as Nankin Jiken: “Shokoshashin” wo Kenshosuru)". Tokyo, Japan: Soshisha. 2005. 


edunitas.com


Page 6

Republik Gabon adalah suatu negara di Afrika anggota barat yang hari kemerdekaannya sama dengan Indonesia. Gabon memiliki kekayaan mineral cukup banyak sedangkan banyak penduduknya relatif kecil. Karena kandungan buminya, Gabon dikenal sebagai salah satu negara kaya di Afrika. Gabon bersamaan batasannya dengan Guinea Khatulistiwa dan Kamerun di utara serta Republik Kongo di barat dan selatan. Lapang wilayahnya hampir setara dengan dua kali lapang Provinsi Kalimantan Tengah.

Sejarah

Penduduk asli Gabon adalah suku Pigmi, yang sudah banyak terserap ke dalam suku Bantu ketika mereka bermigrasi.

Pada ratus tahun ke-15, bangsa Eropa pertama tiba. Nama Gabon berasal dari "Gabão", yang dalam bahasa Portugis berguna "mantel", mengadakan komunikasi dengan bentuk muara sungai Komo dekat Libreville. Penjelajah Pierre Savorgnan de Brazza dari Perancis memimpin misi pertama ke Gabon dan Kongo pada tahun 1875. Ia mendirikan kota Franceville, dan akhir menjadi gubernur kolonial. Beberapa kelompok Bantu tinggal di daerah yang kini menjadi Gabon ketika Perancis mendudukinya pada tahun 1885.

Pada tahun 1910, Gabon menjadi 1 dari 4 wilayah Afrika Khatulistiwa Perancis, federasi yang bertahan sampai tahun 1959. Wilayah ini merdeka pada tanggal 17 Agustus 1960. Presiden pertama adalah Léon M'ba yang dipilih tahun 1961, dengan Omar Bongo Ondimba sebagai WaPres. Kebutuhan Perancis amat menentukan dalam kepemimpinan di Gabon setelah merdeka; kebutuhan penebangan Perancis melimpahkan dana bagi kampanye pemilihan M'ba, 'evolué' dari daerah pesisir.

Setelah naiknya Gabriel Leon M'ba ke puncak kekuasaan, pers ditekan, demonstrasi politik dilarang, kebebasan berekspresi dibatasi, ParPol lain dikeluarkan secara bertahap dari kekuasaan dan konstitusi berubah dengan tuntunan Perancis bagi memberi kekuasaan di kepresidenan, posisi yang direbut Leon M'ba sendiri. Namun, masa Gabriel Léon M'ba mencerai-beraikan Majelis Nasional pada bulan Januari 1964 bagi membentuk kekuasaan 1 partai, kudeta militer muncul bagi mendepaknya dari kekuasaan dan memulihkan demokrasi parlementer. Zaman kediktatoran M'ba dikenal sebagai "Kebutuhan Perancis" yang akhir secara mencolok menjadi nyata ketika prajurit terjung payung Perancis terbang dalam waktu 24 jam bagi mengembalikannya ke puncak kekuasaan.

Setelah pertempuran beberapa hari, kudeta itu berkesudahan dan oposisi dipenjara tanpa menghiraukan protes dan keributan yang meluas. Pemerintah Perancis tidak gentar akan kecaman internasional; dan paralayang tetap di Camp de Gaulle, di luar ibukota Gabon. Ketika M'Ba meninggal pada tahun 1967, Bongo menggantikannya sebagai presiden, dan terus menjadi kepala negara sampai kematiannya pada tahun 2009, memenangi setiap pemilu dengan suara mayoritas.

Politik

Gabon bersistem presiden. Presiden pertama Gabon adalah Léon Mba. Presiden ke-2 adalah Omar Bongo Ondimba yang sudah berkuasa sejak tahun 1967 sampai kematiannya pada tahun 2009. Selang tahun 1968-1990, kekuasaannya didasarkan pada sistem partai tunggal, Partai Demokrasi Gabon PDG). Setelah kekacauan politik yang melanda sebagian akbar Afrika setelah dirobohkannya Tembok Berlin, Bongo mengubah haluan ke multipartai sejak tahun 1990.

Kontrak internasional

Gabon menandatangani konvensi tahun 1951 bersesuaian dengan status pengungsi, protokol tahun 1967, dan konvensi tahun 1969 yang mengatur aspek spesifik mengenai permasalahan pengungsi di Afrika[1].

Geografi

Jepang berhasil menguasai beberapa kota besar di Tiongkok yaitu

Gabon

Gabon terletak di pesisir Atlantik yang berada di Afrika Tengah. Terletak di khatulistiwa, Gabon beriklim khatulistiwa dengan sistem hutan hujan ekstensif yang meliputi 85% wilayah. Terdapat 3 daerah yang berbeda: dataran pesisir (berkisar selang 20-300 km dari garis pantai), pegunungan (Pegunungan Kristal ke timur laut Libreville, Dataran Tinggi Chaillu di tengah yang berpuncak di Mont Iboundji yang mencapai ketinggian 1575 m), dan sabana di timur. Dataran pesisir membentuk sebagian akbar daerah ekologi hutan hujan Khatulistiwa Atlantik World Wildlife Fund dan terdapat hutan bakau Afrika Tengah, khususnya di estuaria sungai Muni dekat perbatasan Guinea Khatulistiwa.

Sungai terbesar di Gabon adalah Ogooué yang panjangnya mencapai 1200 km. Gabon memiliki 3 daerah karst yang di situ terdapat ribuan gua yang berada di cadas dolomit dan batu kapur. Beberapa gua itu termasuk Grotte du Lastoursville, Grotte du Lebamba, Grotte du Bongolo, dan Grotte du Kessipougou. Banyak gua yang belu dijelajahi. Suatu ekspedisi yang diperagakan oleh National Geographic mengunjungi gua-gua itu di musim panas 2008 bagi mendokumentasikannya (Expedition Website).

Gabon juga dikenal akan usaha melestarikan sekitar yang terkait alamnya. Pada tahun 2002, Presiden Omar Bongo Ondimba menempatkan Gabon di peta dengan sungguh-sungguh sebagai tujuan ekowisata penting di masa depan dengan menunjuk semakin dari 11% wilayah nasionalnya sebagai anggota sistem taman nasional (semuanya mempunyai 13 taman), salah satu dari proporsi terbesar taman alam di dunia. Gabon memiliki sumber daya alam seperti minyak bumi, magnesium, besi, uranium, dan hutan.

Pembagian wilayah administrasi

Jepang berhasil menguasai beberapa kota besar di Tiongkok yaitu

Provinsi di Gabon

Gabon dibagi menjadi sembilan provinsi dan dibagi lagi menjadi 37 departemen.

Berikut daftar provinsinya:

  1. Estuaire
  2. Haut-Ogooué
  3. Moyen-Ogooué
  4. Ngounié
  5. Nyanga
  6. Ogooué-Ivindo
  7. Ogooué-Lolo
  8. Ogooué-Maritime
  9. Woleu-Ntem

Ekonomi

Gabon adalah negara yang kaya akan benda/barang tambang. Gabon mengekspor mangan, minyak bumi, gas alam, besi, kayu dan juga bahan lainnya sejak lama. Eksploitasi tambang uranium di Mounana, yang berada 90 km dari Franceville, ditiadakan sejak tahun 2001 karena datangnya pesaing baru di pasaran dunia. Berkembangnya eksploitasi uranium tetap berlangsung sampai kini. Sejak tahun 1980-an, kereta api Franceville-Libreville mengekspor mineral tambang seperti mangan, uranium, dan besi yang berada di Moanda. Cadangan besi di Bélinga yang berada di timur laut Makokou sedang belum dieksploitasi. Eksploitasinya diharapkan terealisasi pada tahun 2012.

Pendapatan minyak bumi, yang menjadi penting sejak tahun 1970-an, namun hanya sebagian yang digunakan bagi modernisasi negara dan mendiversifikasi ekonomi Gabon. Kenyataannya, hanya sedikit penduduk yang menikmati kekayaan Gabon, sehingga standar hidup kebanyakan penduduknya tetap moderat walaupun PDB relatif tinggi. Hidrokarbon menyumbang separuh PDB.

Penduduk

Demografi

Jepang berhasil menguasai beberapa kota besar di Tiongkok yaitu

Populasi Gabon dalam ribuan selang tahun 1961-2003.

Suku

Gabon terdiri atas sekitar 50 suku. Di selangnya yang terpenting adalah Fang, Myene, Teke dan Punu. Suku lain tak dihitung berjumlah sekitar ratusan. Secara kecerdikan budi, beberapa suku telah bergabung secaa bertahap sehingga kehilangan bahasa dan ciri khasnya.

Sulit mendapatkan data lengkap suku karena beberapa suku hanya anggota kelompok lain dan keseluruhan bergantung pada tingkat rincian yang akan dicapai.

Kecerdikan budi

Jepang berhasil menguasai beberapa kota besar di Tiongkok yaitu

Bangunan Gedung Arsip Umum, Libreville.

Jepang berhasil menguasai beberapa kota besar di Tiongkok yaitu

Topeng Gabon.

Agama

Jepang berhasil menguasai beberapa kota besar di Tiongkok yaitu

Masjid di Port-Gentil, Gabon

Agama utama yang dianut di Gabon adalah Kristen (Katolik Roma dan Protestan), Islam, dan kepercayaan asli tradisional.[2] Banyak penduduk yang mempraktekkan unsur Kristen dan kepercayaan asli tradisional.[2] Sekitar 73% penduduk, termasuk warga asing setidaknya mengamalkan beberapa unsur Kristen; 12% mengamalkan Islam (80-90% adalah orang asing); 10% hanya mempraktekkan kepercayaan asli tradisional; dan 5% penduduk tak beragama atau ateis.[2] Mantan presiden El Hadj Omar Bongo Ondimba adalah anggota minoritas Muslim.[2]

Musik

Musik Gabon tak banyak dikenal dibandingkan dengan Republik Demokratik Kongo dan Kamerun. Negeri ini memiliki sederet gaya musik rakyat, seperti bintang pop Patience Dabany dan Annie Flore Batchiellilys, penyanyi dan pelakon pertunjukan langsung terkenal. Juga dikenal gitaris Georges Oyendze, La Rose Mbadou dan Sylvain Avara, dan penyanyi Oliver N'Goma. Musik rock dan hip hop yang diimpor dari Amerika Serikat dan Britania Raya terkenal di Gabon, seperti rumba, makossa dan soukous. Alat musik Gabon termasuk obala, ngombi, balafon dan genderang tradisional.

Sastra

Sebagai negara yang utaramnya bertradisi oral sampai naiknya tingkat melek huruf di ratus tahun ke-21, Gabon kaya akan kisah rakyat dan mitologi. "Raconteurs" sedang melakukan pekerjaan bagi menjaga tradisi semacam mvett tetap hidup di selang suku Fang dan ingwala di selang suku Nzebi.

Topeng

Gabon juga menampilkan topeng yang banyak dikenal secara internasional, seperti n'goltang (Fang) dan tokoh keramat Kota. Setiap kelompok memiliki setelan topeng sendiri yang digunakan bagi beragam gagasan. Topeng tersebut biasa digunakan dalam upacara tradisional seperti lahir, pernikahan, dan kematian. Tradisionalis terutama melakukan pekerjaan dengan kayu lokal yang jarang dan bahan bernilai lainnya.

Film

Seperti negara Afrika lainnya, perfilman Gabon mengalami kekurangan sumber dana, banyak ruang proyeksi yang amat sedikit (yang semakin suka mendistribusikan produk komersial besar) dan kurangnya penonton. Namun, di pusat kecerdikan budi Perancis di Libreville (yang memiliki 1 ruang proyeksi), orang banyak memiliki kesempatan bagi menonton film Gabon.

Akan tetapi, beberapa film, terutama film pendek, telah dihasilkan sejak tahun 1970-an. Di samping itu, sejumlah sineas Gabon menyelenggarakan Festival Film dan Televisi Panafrika Ouagadougou (FESPACO). Philippe Mory menyutradarai film panjang Gabon yang pertama pada tahun 1971, Les Tam-tams se sont tus. Diangap sebagai pendahulu dan bapak perfilman Gabon, ia melakukan peran utama dalam film On n'enterre pas le dimanche yang disutradarai Michel Drach (1958) yang menjadikannya bintang internasional. qui fait de lui une vedette internationale. Ialah aktor kulit hitam pertama Afrika yang menjadi pemeran uama di film Perancis. Pierre-Marie Dong melakukan permainan di film pendek pada tahun 1972 dan 1973, Imunga Ivanga bagi filmnya Dolè pada tahun 2001, dan pada tahun yang sama, Henri Joseph Koumba Bibidi melakukan permainan di film Les Couilles de l'élephant. Imunga Ivanga juga menerima tanit dalam Festival Film Karthago bagi Dolè. CENACI (Pusat Film Gabon Nasional), dipimpin oleh Charles Mensah, berupaya mendukung produksi film Gabon.

Suatu sinetron yang dihasilkan bagi TV di Gabon pada tahun 1994, L'auberge du salut, amat berhasil di Gabon dan disiarkan pula di negara Afrika lainnya (Pantai Gading dan Burkina Faso).

Serbaneka

  • Penduduk: 1.221.175 jiwa (2001). 0-14 tahun: 33,29%; 15-64 tahun: 60,77%; + 65 tahun: 5,94%
  • Lapang wilayah: 267.667 km²
  • Kepadatan penduduk: 4,5 jiwa/km²
  • Perbatasan internasional: 2.551 km (Republik Kongo 1903 km; Guinea Khatulistiwa 350 km; Kamerun 298 km}})
  • Pantai: 885 km
  • Titik tertinggi : 0 m > + 1020 m
  • Harapan hidup pria: 61 tahun (2007)
  • Harapan hidup wanita: 57 tahun (2007)
  • Tingkat pertumbuhan penduduk: 1,02% (2007)
  • Tingkat lahir: 27,42% (2007)
  • Tingkat kematian: 17,22% (2007)
  • Tingkat kematian bayi: Total: 53,64 kematian/1000 lahir hidup (perkiraan 2005)
  • Tingkat kesuburan: 3,7 bayi/wanita (2007)
  • Tingkat migrasi: 0% (2007)
  • Kemerdekaan: 17 Agustus 1960
  • Jaringan telepon: 120.000 (2007)
  • Telepon genggam: 5.000 (1997); 500.000-550.000 (2005) dan 950.000 (2007; diadakan oleh 3 operator)
  • Telepon sekarang: 241
  • Arus listrik: 220 V
  • Kepemilikan radio: 208.000 (1997)
  • Kepemilikan televisi: 150.000 (2007)
  • Penggunaan internet: 5.000 (2000); 55.000 (2005)
  • Banyak pasokan akses internet : 3 (2005)
  • Jalan: 9170 km (937 km diaspal; 2004)
  • Jaringan kereta api:814 km (2006; Transgabonais)
  • Jaringan pelayaran: 1600 km
  • Banyak banadara: 53 (hanya 10 yang sudah diaspal; 2007)

Kode

Gabon memiliki kode-kode berikut:

  • G, menurut daftar kode pendaftaran yang dikendarai internasional,
  • GA, menurut ISO 3166-1, alfa-2 (daftar kode negara),
  • GAB, menurut ISO 3166-1, alfa-3 (daftar kode negara),
  • .ga, menurut ranah internet tingkat teratas,
  • GAB, menurut daftar kode negara Komite Olimpiade Internasional,

Lihat pula

Rujukan

Pranala luar


edunitas.com


Page 7

Republik Gabon merupakan suatu negara di Afrika anggota barat yang hari kemerdekaannya sama dengan Indonesia. Gabon mempunyai kekayaan mineral cukup banyak sedangkan banyak penduduknya relatif kecil. Sebab kandungan buminya, Gabon dikenal bagi salah satu negara kaya di Afrika. Gabon bersamaan batasannya dengan Guinea Khatulistiwa dan Kamerun di utara serta Republik Kongo di barat dan selatan. Luas wilayahnya hampir setara dengan dua kali luas Provinsi Kalimantan Tengah.

Sejarah

Penduduk asli Gabon merupakan suku Pigmi, yang sudah banyak terserap ke dalam suku Bantu ketika mereka bermigrasi.

Pada ratus tahun ke-15, bangsa Eropa pertama tiba. Nama Gabon berasal dari "Gabão", yang dalam bahasa Portugis berguna "mantel", mengadakan komunikasi dengan bentuk muara sungai Komo dekat Libreville. Penjelajah Pierre Savorgnan de Brazza dari Perancis memimpin misi pertama ke Gabon dan Kongo pada tahun 1875. Ia mendirikan kota Franceville, dan selanjutnya menjadi gubernur kolonial. Beberapa kelompok Bantu tinggal di daerah yang kini menjadi Gabon ketika Perancis mendudukinya pada tahun 1885.

Pada tahun 1910, Gabon menjadi 1 dari 4 wilayah Afrika Khatulistiwa Perancis, federasi yang bertahan mencapai tahun 1959. Wilayah ini merdeka pada tanggal 17 Agustus 1960. Presiden pertama merupakan Léon M'ba yang dipilih tahun 1961, dengan Omar Bongo Ondimba bagi WaPres. Kebutuhan Perancis amat menentukan dalam kepemimpinan di Gabon setelah merdeka; kebutuhan penebangan Perancis melimpahkan dana bagi kampanye pemilihan M'ba, 'evolué' dari daerah pesisir.

Setelah naiknya Gabriel Leon M'ba ke puncak kekuasaan, pers ditekan, demonstrasi politik dilarang, kebebasan berekspresi dibatasi, ParPol lain dikeluarkan secara bertahap dari kekuasaan dan konstitusi berubah dengan tuntunan Perancis bagi memberi kekuasaan di kepresidenan, posisi yang direbut Leon M'ba sendiri. Namun, masa Gabriel Léon M'ba mencerai-beraikan Majelis Nasional pada bulan Januari 1964 bagi membentuk kekuasaan 1 partai, kudeta militer muncul bagi mendepaknya dari kekuasaan dan memulihkan demokrasi parlementer. Zaman kediktatoran M'ba dikenal bagi "Kebutuhan Perancis" yang selanjutnya secara mencolok menjadi nyata ketika prajurit terjung payung Perancis terbang dalam waktu 24 jam bagi mengembalikannya ke puncak kekuasaan.

Setelah pertempuran beberapa hari, kudeta itu berkesudahan dan oposisi dipenjara tanpa menghiraukan protes dan keributan yang meluas. Pemerintah Perancis tidak gentar akan kecaman internasional; dan paralayang tetap di Camp de Gaulle, di luar ibukota Gabon. Ketika M'Ba meninggal pada tahun 1967, Bongo menggantikannya bagi presiden, dan terus menjadi kepala negara sampai kematiannya pada tahun 2009, memenangi setiap pemilu dengan suara mayoritas.

Politik

Gabon bersistem presiden. Presiden pertama Gabon merupakan Léon Mba. Presiden ke-2 merupakan Omar Bongo Ondimba yang sudah berkuasa sejak tahun 1967 sampai kematiannya pada tahun 2009. Selang tahun 1968-1990, kekuasaannya didasarkan pada sistem partai tunggal, Partai Demokrasi Gabon PDG). Setelah kekacauan politik yang melanda sebagian akbar Afrika setelah dirobohkannya Tembok Berlin, Bongo mengubah haluan ke multipartai sejak tahun 1990.

Kontrak internasional

Gabon menandatangani konvensi tahun 1951 bersesuaian dengan status pengungsi, protokol tahun 1967, dan konvensi tahun 1969 yang mengatur aspek spesifik mengenai permasalahan pengungsi di Afrika[1].

Geografi

Jepang berhasil menguasai beberapa kota besar di Tiongkok yaitu

Gabon

Gabon terletak di pesisir Atlantik yang berada di Afrika Tengah. Terletak di khatulistiwa, Gabon beriklim khatulistiwa dengan sistem hutan hujan ekstensif yang mencakup 85% wilayah. Terdapat 3 daerah yang berbeda: dataran pesisir (berkisar selang 20-300 km dari garis pantai), pegunungan (Pegunungan Kristal ke timur laut Libreville, Dataran Tinggi Chaillu di tengah yang berpuncak di Mont Iboundji yang mencapai ketinggian 1575 m), dan sabana di timur. Dataran pesisir membentuk sebagian akbar daerah ekologi hutan hujan Khatulistiwa Atlantik World Wildlife Fund dan terdapat hutan bakau Afrika Tengah, khususnya di estuaria sungai Muni dekat perbatasan Guinea Khatulistiwa.

Sungai terbesar di Gabon merupakan Ogooué yang panjangnya mencapai 1200 km. Gabon mempunyai 3 daerah karst yang di situ terdapat ribuan gua yang berada di cadas dolomit dan batu kapur. Beberapa gua itu termasuk Grotte du Lastoursville, Grotte du Lebamba, Grotte du Bongolo, dan Grotte du Kessipougou. Banyak gua yang belu dijelajahi. Suatu ekspedisi yang diperagakan oleh National Geographic mengunjungi gua-gua itu di musim panas 2008 bagi mendokumentasikannya (Expedition Website).

Gabon juga dikenal akan usaha melestarikan sekitar yang terkait alamnya. Pada tahun 2002, Presiden Omar Bongo Ondimba menempatkan Gabon di peta dengan sungguh-sungguh bagi tujuan ekowisata penting di masa depan dengan menunjuk semakin dari 11% wilayah nasionalnya bagi anggota sistem taman nasional (semuanya mempunyai 13 taman), salah satu dari proporsi terbesar taman alam di dunia. Gabon mempunyai sumber daya alam seperti minyak bumi, magnesium, besi, uranium, dan hutan.

Pembagian wilayah administrasi

Jepang berhasil menguasai beberapa kota besar di Tiongkok yaitu

Provinsi di Gabon

Gabon dibagi menjadi sembilan provinsi dan dibagi lagi menjadi 37 departemen.

Berikut daftar provinsinya:

  1. Estuaire
  2. Haut-Ogooué
  3. Moyen-Ogooué
  4. Ngounié
  5. Nyanga
  6. Ogooué-Ivindo
  7. Ogooué-Lolo
  8. Ogooué-Maritime
  9. Woleu-Ntem

Ekonomi

Gabon merupakan negara yang kaya akan benda/barang tambang. Gabon mengekspor mangan, minyak bumi, gas alam, besi, kayu dan juga bahan lainnya sejak lama. Eksploitasi tambang uranium di Mounana, yang berada 90 km dari Franceville, dihentikan sejak tahun 2001 sebab datangnya pesaing baru di pasaran dunia. Berkembangnya eksploitasi uranium tetap berlangsung sampai kini. Sejak tahun 1980-an, kereta api Franceville-Libreville mengekspor mineral tambang seperti mangan, uranium, dan besi yang berada di Moanda. Cadangan besi di Bélinga yang berada di timur laut Makokou sedang belum dieksploitasi. Eksploitasinya diharapkan terealisasi pada tahun 2012.

Pendapatan minyak bumi, yang menjadi penting sejak tahun 1970-an, namun hanya sebagian yang digunakan bagi modernisasi negara dan mendiversifikasi ekonomi Gabon. Kenyataannya, hanya sedikit penduduk yang menikmati kekayaan Gabon, sehingga standar hidup kebanyakan penduduknya tetap moderat walaupun PDB relatif tinggi. Hidrokarbon menyumbang separuh PDB.

Penduduk

Demografi

Jepang berhasil menguasai beberapa kota besar di Tiongkok yaitu

Populasi Gabon dalam ribuan selang tahun 1961-2003.

Suku

Gabon terdiri atas sekitar 50 suku. Di selangnya yang terpenting merupakan Fang, Myene, Teke dan Punu. Suku lain tak dihitung berjumlah sekitar ratusan. Secara kecerdikan budi, beberapa suku telah bergabung secaa bertahap sehingga kehilangan bahasa dan ciri khasnya.

Sulit mendapatkan data lengkap suku sebab beberapa suku hanya anggota kelompok lain dan keseluruhan bergantung pada tingkat rincian yang akan dicapai.

Kecerdikan budi

Jepang berhasil menguasai beberapa kota besar di Tiongkok yaitu

Bangunan Gedung Arsip Umum, Libreville.

Jepang berhasil menguasai beberapa kota besar di Tiongkok yaitu

Topeng Gabon.

Agama

Jepang berhasil menguasai beberapa kota besar di Tiongkok yaitu

Masjid di Port-Gentil, Gabon

Agama utama yang dianut di Gabon merupakan Kristen (Katolik Roma dan Protestan), Islam, dan kepercayaan asli tradisional.[2] Banyak penduduk yang mempraktekkan unsur Kristen dan kepercayaan asli tradisional.[2] Sekitar 73% penduduk, termasuk warga asing setidaknya mengamalkan beberapa unsur Kristen; 12% mengamalkan Islam (80-90% merupakan orang asing); 10% hanya mempraktekkan kepercayaan asli tradisional; dan 5% penduduk tak beragama atau ateis.[2] Mantan presiden El Hadj Omar Bongo Ondimba merupakan anggota minoritas Muslim.[2]

Musik

Musik Gabon tak banyak dikenal dibandingkan dengan Republik Demokratik Kongo dan Kamerun. Negeri ini mempunyai sederet gaya musik rakyat, seperti bintang pop Patience Dabany dan Annie Flore Batchiellilys, penyanyi dan pelakon pertunjukan langsung terkenal. Juga dikenal gitaris Georges Oyendze, La Rose Mbadou dan Sylvain Avara, dan penyanyi Oliver N'Goma. Musik rock dan hip hop yang diimpor dari Amerika Serikat dan Britania Raya terkenal di Gabon, seperti rumba, makossa dan soukous. Alat musik Gabon termasuk obala, ngombi, balafon dan genderang tradisional.

Sastra

Bagi negara yang utaramnya bertradisi oral sampai naiknya tingkat melek huruf di ratus tahun ke-21, Gabon kaya akan kisah rakyat dan mitologi. "Raconteurs" sedang melakukan pekerjaan bagi menjaga tradisi semacam mvett tetap hidup di selang suku Fang dan ingwala di selang suku Nzebi.

Topeng

Gabon juga menampilkan topeng yang banyak dikenal secara internasional, seperti n'goltang (Fang) dan tokoh keramat Kota. Setiap kelompok mempunyai setelan topeng sendiri yang digunakan bagi beragam gagasan. Topeng tersebut biasa digunakan dalam upacara tradisional seperti lahir, pernikahan, dan kematian. Tradisionalis terutama melakukan pekerjaan dengan kayu lokal yang jarang dan bahan bernilai lainnya.

Film

Seperti negara Afrika lainnya, perfilman Gabon mengalami kekurangan sumber dana, banyak ruang proyeksi yang amat sedikit (yang semakin suka mendistribusikan produk komersial besar) dan kurangnya penonton. Namun, di pusat kecerdikan budi Perancis di Libreville (yang mempunyai 1 ruang proyeksi), orang banyak mempunyai kesempatan bagi menonton film Gabon.

Akan tetapi, beberapa film, terutama film pendek, telah dihasilkan sejak tahun 1970-an. Di samping itu, sejumlah sineas Gabon mengadakan Festival Film dan Televisi Panafrika Ouagadougou (FESPACO). Philippe Mory menyutradarai film panjang Gabon yang pertama pada tahun 1971, Les Tam-tams se sont tus. Diangap bagi pendahulu dan bapak perfilman Gabon, ia memainkan peran utama dalam film On n'enterre pas le dimanche yang disutradarai Michel Drach (1958) yang menjadikannya bintang internasional. qui fait de lui une vedette internationale. Ialah aktor kulit hitam pertama Afrika yang menjadi pemeran uama di film Perancis. Pierre-Marie Dong melakukan permainan di film pendek pada tahun 1972 dan 1973, Imunga Ivanga bagi filmnya Dolè pada tahun 2001, dan pada tahun yang sama, Henri Joseph Koumba Bibidi melakukan permainan di film Les Couilles de l'élephant. Imunga Ivanga juga menerima tanit dalam Festival Film Karthago bagi Dolè. CENACI (Pusat Film Gabon Nasional), dipimpin oleh Charles Mensah, berupaya mendukung produksi film Gabon.

Suatu sinetron yang dihasilkan bagi TV di Gabon pada tahun 1994, L'auberge du salut, amat berhasil di Gabon dan disiarkan pula di negara Afrika lainnya (Pantai Gading dan Burkina Faso).

Serbaneka

  • Penduduk: 1.221.175 jiwa (2001). 0-14 tahun: 33,29%; 15-64 tahun: 60,77%; + 65 tahun: 5,94%
  • Luas wilayah: 267.667 km²
  • Kepadatan penduduk: 4,5 jiwa/km²
  • Perbatasan internasional: 2.551 km (Republik Kongo 1903 km; Guinea Khatulistiwa 350 km; Kamerun 298 km}})
  • Pantai: 885 km
  • Titik tertinggi : 0 m > + 1020 m
  • Harapan hidup pria: 61 tahun (2007)
  • Harapan hidup wanita: 57 tahun (2007)
  • Tingkat pertumbuhan penduduk: 1,02% (2007)
  • Tingkat lahir: 27,42% (2007)
  • Tingkat kematian: 17,22% (2007)
  • Tingkat kematian bayi: Total: 53,64 kematian/1000 lahir hidup (perkiraan 2005)
  • Tingkat kesuburan: 3,7 bayi/wanita (2007)
  • Tingkat migrasi: 0% (2007)
  • Kemerdekaan: 17 Agustus 1960
  • Jaringan telepon: 120.000 (2007)
  • Telepon genggam: 5.000 (1997); 500.000-550.000 (2005) dan 950.000 (2007; diadakan oleh 3 operator)
  • Telepon sekarang: 241
  • Arus listrik: 220 V
  • Kepemilikan radio: 208.000 (1997)
  • Kepemilikan televisi: 150.000 (2007)
  • Penggunaan internet: 5.000 (2000); 55.000 (2005)
  • Banyak pasokan akses internet : 3 (2005)
  • Jalan: 9170 km (937 km diaspal; 2004)
  • Jaringan kereta api:814 km (2006; Transgabonais)
  • Jaringan pelayaran: 1600 km
  • Banyak banadara: 53 (hanya 10 yang sudah diaspal; 2007)

Kode

Gabon mempunyai kode-kode berikut:

  • G, menurut daftar kode pendaftaran yang dikendarai internasional,
  • GA, menurut ISO 3166-1, alfa-2 (daftar kode negara),
  • GAB, menurut ISO 3166-1, alfa-3 (daftar kode negara),
  • .ga, menurut ranah internet tingkat teratas,
  • GAB, menurut daftar kode negara Komite Olimpiade Internasional,

Lihat pula

Referensi

Tautan luar


edunitas.com


Page 8

Republik Gabon merupakan suatu negara di Afrika anggota barat yang hari kemerdekaannya sama dengan Indonesia. Gabon mempunyai kekayaan mineral cukup banyak sedangkan banyak penduduknya relatif kecil. Sebab kandungan buminya, Gabon dikenal bagi salah satu negara kaya di Afrika. Gabon bersamaan batasannya dengan Guinea Khatulistiwa dan Kamerun di utara serta Republik Kongo di barat dan selatan. Luas wilayahnya hampir setara dengan dua kali luas Provinsi Kalimantan Tengah.

Sejarah

Penduduk asli Gabon merupakan suku Pigmi, yang sudah banyak terserap ke dalam suku Bantu ketika mereka bermigrasi.

Pada ratus tahun ke-15, bangsa Eropa pertama tiba. Nama Gabon berasal dari "Gabão", yang dalam bahasa Portugis berguna "mantel", mengadakan komunikasi dengan bentuk muara sungai Komo dekat Libreville. Penjelajah Pierre Savorgnan de Brazza dari Perancis memimpin misi pertama ke Gabon dan Kongo pada tahun 1875. Ia mendirikan kota Franceville, dan selanjutnya menjadi gubernur kolonial. Beberapa kelompok Bantu tinggal di daerah yang kini menjadi Gabon ketika Perancis mendudukinya pada tahun 1885.

Pada tahun 1910, Gabon menjadi 1 dari 4 wilayah Afrika Khatulistiwa Perancis, federasi yang bertahan mencapai tahun 1959. Wilayah ini merdeka pada tanggal 17 Agustus 1960. Presiden pertama merupakan Léon M'ba yang dipilih tahun 1961, dengan Omar Bongo Ondimba bagi WaPres. Kebutuhan Perancis amat menentukan dalam kepemimpinan di Gabon setelah merdeka; kebutuhan penebangan Perancis melimpahkan dana bagi kampanye pemilihan M'ba, 'evolué' dari daerah pesisir.

Setelah naiknya Gabriel Leon M'ba ke puncak kekuasaan, pers ditekan, demonstrasi politik dilarang, kebebasan berekspresi dibatasi, ParPol lain dikeluarkan secara bertahap dari kekuasaan dan konstitusi berubah dengan tuntunan Perancis bagi memberi kekuasaan di kepresidenan, posisi yang direbut Leon M'ba sendiri. Namun, masa Gabriel Léon M'ba mencerai-beraikan Majelis Nasional pada bulan Januari 1964 bagi membentuk kekuasaan 1 partai, kudeta militer muncul bagi mendepaknya dari kekuasaan dan memulihkan demokrasi parlementer. Zaman kediktatoran M'ba dikenal bagi "Kebutuhan Perancis" yang selanjutnya secara mencolok menjadi nyata ketika prajurit terjung payung Perancis terbang dalam waktu 24 jam bagi mengembalikannya ke puncak kekuasaan.

Setelah pertempuran beberapa hari, kudeta itu berkesudahan dan oposisi dipenjara tanpa menghiraukan protes dan keributan yang meluas. Pemerintah Perancis tidak gentar akan kecaman internasional; dan paralayang tetap di Camp de Gaulle, di luar ibukota Gabon. Ketika M'Ba meninggal pada tahun 1967, Bongo menggantikannya bagi presiden, dan terus menjadi kepala negara sampai kematiannya pada tahun 2009, memenangi setiap pemilu dengan suara mayoritas.

Politik

Gabon bersistem presiden. Presiden pertama Gabon merupakan Léon Mba. Presiden ke-2 merupakan Omar Bongo Ondimba yang sudah berkuasa sejak tahun 1967 sampai kematiannya pada tahun 2009. Selang tahun 1968-1990, kekuasaannya didasarkan pada sistem partai tunggal, Partai Demokrasi Gabon PDG). Setelah kekacauan politik yang melanda sebagian akbar Afrika setelah dirobohkannya Tembok Berlin, Bongo mengubah haluan ke multipartai sejak tahun 1990.

Kontrak internasional

Gabon menandatangani konvensi tahun 1951 bersesuaian dengan status pengungsi, protokol tahun 1967, dan konvensi tahun 1969 yang mengatur aspek spesifik mengenai permasalahan pengungsi di Afrika[1].

Geografi

Jepang berhasil menguasai beberapa kota besar di Tiongkok yaitu

Gabon

Gabon terletak di pesisir Atlantik yang berada di Afrika Tengah. Terletak di khatulistiwa, Gabon beriklim khatulistiwa dengan sistem hutan hujan ekstensif yang mencakup 85% wilayah. Terdapat 3 daerah yang berbeda: dataran pesisir (berkisar selang 20-300 km dari garis pantai), pegunungan (Pegunungan Kristal ke timur laut Libreville, Dataran Tinggi Chaillu di tengah yang berpuncak di Mont Iboundji yang mencapai ketinggian 1575 m), dan sabana di timur. Dataran pesisir membentuk sebagian akbar daerah ekologi hutan hujan Khatulistiwa Atlantik World Wildlife Fund dan terdapat hutan bakau Afrika Tengah, khususnya di estuaria sungai Muni dekat perbatasan Guinea Khatulistiwa.

Sungai terbesar di Gabon merupakan Ogooué yang panjangnya mencapai 1200 km. Gabon mempunyai 3 daerah karst yang di situ terdapat ribuan gua yang berada di cadas dolomit dan batu kapur. Beberapa gua itu termasuk Grotte du Lastoursville, Grotte du Lebamba, Grotte du Bongolo, dan Grotte du Kessipougou. Banyak gua yang belu dijelajahi. Suatu ekspedisi yang diperagakan oleh National Geographic mengunjungi gua-gua itu di musim panas 2008 bagi mendokumentasikannya (Expedition Website).

Gabon juga dikenal akan usaha melestarikan sekitar yang terkait alamnya. Pada tahun 2002, Presiden Omar Bongo Ondimba menempatkan Gabon di peta dengan sungguh-sungguh bagi tujuan ekowisata penting di masa depan dengan menunjuk semakin dari 11% wilayah nasionalnya bagi anggota sistem taman nasional (semuanya mempunyai 13 taman), salah satu dari proporsi terbesar taman alam di dunia. Gabon mempunyai sumber daya alam seperti minyak bumi, magnesium, besi, uranium, dan hutan.

Pembagian wilayah administrasi

Jepang berhasil menguasai beberapa kota besar di Tiongkok yaitu

Provinsi di Gabon

Gabon dibagi menjadi sembilan provinsi dan dibagi lagi menjadi 37 departemen.

Berikut daftar provinsinya:

  1. Estuaire
  2. Haut-Ogooué
  3. Moyen-Ogooué
  4. Ngounié
  5. Nyanga
  6. Ogooué-Ivindo
  7. Ogooué-Lolo
  8. Ogooué-Maritime
  9. Woleu-Ntem

Ekonomi

Gabon merupakan negara yang kaya akan benda/barang tambang. Gabon mengekspor mangan, minyak bumi, gas alam, besi, kayu dan juga bahan lainnya sejak lama. Eksploitasi tambang uranium di Mounana, yang berada 90 km dari Franceville, dihentikan sejak tahun 2001 sebab datangnya pesaing baru di pasaran dunia. Berkembangnya eksploitasi uranium tetap berlangsung sampai kini. Sejak tahun 1980-an, kereta api Franceville-Libreville mengekspor mineral tambang seperti mangan, uranium, dan besi yang berada di Moanda. Cadangan besi di Bélinga yang berada di timur laut Makokou sedang belum dieksploitasi. Eksploitasinya diharapkan terealisasi pada tahun 2012.

Pendapatan minyak bumi, yang menjadi penting sejak tahun 1970-an, namun hanya sebagian yang digunakan bagi modernisasi negara dan mendiversifikasi ekonomi Gabon. Kenyataannya, hanya sedikit penduduk yang menikmati kekayaan Gabon, sehingga standar hidup kebanyakan penduduknya tetap moderat walaupun PDB relatif tinggi. Hidrokarbon menyumbang separuh PDB.

Penduduk

Demografi

Jepang berhasil menguasai beberapa kota besar di Tiongkok yaitu

Populasi Gabon dalam ribuan selang tahun 1961-2003.

Suku

Gabon terdiri atas sekitar 50 suku. Di selangnya yang terpenting merupakan Fang, Myene, Teke dan Punu. Suku lain tak dihitung berjumlah sekitar ratusan. Secara kecerdikan budi, beberapa suku telah bergabung secaa bertahap sehingga kehilangan bahasa dan ciri khasnya.

Sulit mendapatkan data lengkap suku sebab beberapa suku hanya anggota kelompok lain dan keseluruhan bergantung pada tingkat rincian yang akan dicapai.

Kecerdikan budi

Jepang berhasil menguasai beberapa kota besar di Tiongkok yaitu

Bangunan Gedung Arsip Umum, Libreville.

Jepang berhasil menguasai beberapa kota besar di Tiongkok yaitu

Topeng Gabon.

Agama

Jepang berhasil menguasai beberapa kota besar di Tiongkok yaitu

Masjid di Port-Gentil, Gabon

Agama utama yang dianut di Gabon merupakan Kristen (Katolik Roma dan Protestan), Islam, dan kepercayaan asli tradisional.[2] Banyak penduduk yang mempraktekkan unsur Kristen dan kepercayaan asli tradisional.[2] Sekitar 73% penduduk, termasuk warga asing setidaknya mengamalkan beberapa unsur Kristen; 12% mengamalkan Islam (80-90% merupakan orang asing); 10% hanya mempraktekkan kepercayaan asli tradisional; dan 5% penduduk tak beragama atau ateis.[2] Mantan presiden El Hadj Omar Bongo Ondimba merupakan anggota minoritas Muslim.[2]

Musik

Musik Gabon tak banyak dikenal dibandingkan dengan Republik Demokratik Kongo dan Kamerun. Negeri ini mempunyai sederet gaya musik rakyat, seperti bintang pop Patience Dabany dan Annie Flore Batchiellilys, penyanyi dan pelakon pertunjukan langsung terkenal. Juga dikenal gitaris Georges Oyendze, La Rose Mbadou dan Sylvain Avara, dan penyanyi Oliver N'Goma. Musik rock dan hip hop yang diimpor dari Amerika Serikat dan Britania Raya terkenal di Gabon, seperti rumba, makossa dan soukous. Alat musik Gabon termasuk obala, ngombi, balafon dan genderang tradisional.

Sastra

Bagi negara yang utaramnya bertradisi oral sampai naiknya tingkat melek huruf di ratus tahun ke-21, Gabon kaya akan kisah rakyat dan mitologi. "Raconteurs" sedang melakukan pekerjaan bagi menjaga tradisi semacam mvett tetap hidup di selang suku Fang dan ingwala di selang suku Nzebi.

Topeng

Gabon juga menampilkan topeng yang banyak dikenal secara internasional, seperti n'goltang (Fang) dan tokoh keramat Kota. Setiap kelompok mempunyai setelan topeng sendiri yang digunakan bagi beragam gagasan. Topeng tersebut biasa digunakan dalam upacara tradisional seperti lahir, pernikahan, dan kematian. Tradisionalis terutama melakukan pekerjaan dengan kayu lokal yang jarang dan bahan bernilai lainnya.

Film

Seperti negara Afrika lainnya, perfilman Gabon mengalami kekurangan sumber dana, banyak ruang proyeksi yang amat sedikit (yang semakin suka mendistribusikan produk komersial besar) dan kurangnya penonton. Namun, di pusat kecerdikan budi Perancis di Libreville (yang mempunyai 1 ruang proyeksi), orang banyak mempunyai kesempatan bagi menonton film Gabon.

Akan tetapi, beberapa film, terutama film pendek, telah dihasilkan sejak tahun 1970-an. Di samping itu, sejumlah sineas Gabon mengadakan Festival Film dan Televisi Panafrika Ouagadougou (FESPACO). Philippe Mory menyutradarai film panjang Gabon yang pertama pada tahun 1971, Les Tam-tams se sont tus. Diangap bagi pendahulu dan bapak perfilman Gabon, ia memainkan peran utama dalam film On n'enterre pas le dimanche yang disutradarai Michel Drach (1958) yang menjadikannya bintang internasional. qui fait de lui une vedette internationale. Ialah aktor kulit hitam pertama Afrika yang menjadi pemeran uama di film Perancis. Pierre-Marie Dong melakukan permainan di film pendek pada tahun 1972 dan 1973, Imunga Ivanga bagi filmnya Dolè pada tahun 2001, dan pada tahun yang sama, Henri Joseph Koumba Bibidi melakukan permainan di film Les Couilles de l'élephant. Imunga Ivanga juga menerima tanit dalam Festival Film Karthago bagi Dolè. CENACI (Pusat Film Gabon Nasional), dipimpin oleh Charles Mensah, berupaya mendukung produksi film Gabon.

Suatu sinetron yang dihasilkan bagi TV di Gabon pada tahun 1994, L'auberge du salut, amat berhasil di Gabon dan disiarkan pula di negara Afrika lainnya (Pantai Gading dan Burkina Faso).

Serbaneka

  • Penduduk: 1.221.175 jiwa (2001). 0-14 tahun: 33,29%; 15-64 tahun: 60,77%; + 65 tahun: 5,94%
  • Luas wilayah: 267.667 km²
  • Kepadatan penduduk: 4,5 jiwa/km²
  • Perbatasan internasional: 2.551 km (Republik Kongo 1903 km; Guinea Khatulistiwa 350 km; Kamerun 298 km}})
  • Pantai: 885 km
  • Titik tertinggi : 0 m > + 1020 m
  • Harapan hidup pria: 61 tahun (2007)
  • Harapan hidup wanita: 57 tahun (2007)
  • Tingkat pertumbuhan penduduk: 1,02% (2007)
  • Tingkat lahir: 27,42% (2007)
  • Tingkat kematian: 17,22% (2007)
  • Tingkat kematian bayi: Total: 53,64 kematian/1000 lahir hidup (perkiraan 2005)
  • Tingkat kesuburan: 3,7 bayi/wanita (2007)
  • Tingkat migrasi: 0% (2007)
  • Kemerdekaan: 17 Agustus 1960
  • Jaringan telepon: 120.000 (2007)
  • Telepon genggam: 5.000 (1997); 500.000-550.000 (2005) dan 950.000 (2007; diadakan oleh 3 operator)
  • Telepon sekarang: 241
  • Arus listrik: 220 V
  • Kepemilikan radio: 208.000 (1997)
  • Kepemilikan televisi: 150.000 (2007)
  • Penggunaan internet: 5.000 (2000); 55.000 (2005)
  • Banyak pasokan akses internet : 3 (2005)
  • Jalan: 9170 km (937 km diaspal; 2004)
  • Jaringan kereta api:814 km (2006; Transgabonais)
  • Jaringan pelayaran: 1600 km
  • Banyak banadara: 53 (hanya 10 yang sudah diaspal; 2007)

Kode

Gabon mempunyai kode-kode berikut:

  • G, menurut daftar kode pendaftaran yang dikendarai internasional,
  • GA, menurut ISO 3166-1, alfa-2 (daftar kode negara),
  • GAB, menurut ISO 3166-1, alfa-3 (daftar kode negara),
  • .ga, menurut ranah internet tingkat teratas,
  • GAB, menurut daftar kode negara Komite Olimpiade Internasional,

Lihat pula

Referensi

Tautan luar


edunitas.com


Page 9

Gaborone adalah ibu kota sekaligus kota terbesar Botswana. Warganya berjumlah 208.000 jiwa (2004).

Daftar pokok

  • 1 Geografi
  • 2 Pustaka
  • 3 Tautan luar

Geografi

Gaborone hadir di

Jepang berhasil menguasai beberapa kota besar di Tiongkok yaitu
24°39′29″LU 25°54′44″BT / 24,65806°LS 25,91222°BT / -24.65806; 25.91222 selang Kgale dan Tebing Odi, tidak jauh Sungai Notwane di sudut tenggara Botswana, dan 15 kilometer (9.3 mil) dari perbatasan Afrika Selatan[8]

Gaborone dikelilingi oleh kota-kota berikut: Ramotswa ke arah tenggar, Mogoditshane di timur laut, dan Mochudi di bagian timur, dan Tlokweng diseberang sungai. Kebanyakan merupakan kota tetangga Gaborone. Pinggiran kota Gaborone termasuk Broadhurst, Gaborone Barat, The Village, Naledi, [8] dan New Canada. Phakalane, kawasan yang semakin kaya, hadir di luar batas kota.[9]

Tepat di pusat kota, terdapat Mall, pusat finansial dan turisme di Gaborone. Mall menampung banyak bank dan pusat pertokoan. Pada ujung timur Mall, mampu ditemui Civic Centre sejajar dengan Gerbang Pula (Pula Arch) yang menggambarkan kemerdekaan Botswana. Botswana Stock Exchange, Botswana National Museum, dan kampus utama University of Botswana juga hadir tidak jauh Mall.

Jepang berhasil menguasai beberapa kota besar di Tiongkok yaitu

Mogoditshane, MolepololeDumadumana, Kopong, LentsweletauTlokweng, Pilane, Mochudi
Jepang berhasil menguasai beberapa kota besar di Tiongkok yaitu
Gabane, Thamaga
Jepang berhasil menguasai beberapa kota besar di Tiongkok yaitu
Modipane, Sikwane

Jepang berhasil menguasai beberapa kota besar di Tiongkok yaitu

  Gaborone  

Jepang berhasil menguasai beberapa kota besar di Tiongkok yaitu

Jepang berhasil menguasai beberapa kota besar di Tiongkok yaitu
KanyeRamotswa, Otse, Lobatse

Iklim

Gaborone
Grafik iklim
JFMAMJJASOND
Suhu rata-rata maks. dan min. dalam °C
presipitasi total dalam mm
Sumber: [10]

Gaborone memiliki iklim semi tandus yang panas (Klasifikasi iklim Köppen BSh). Cuaca di Gaborone sangatlah cerah sepanjang tahun. Musim panas kebanyakan sangatlah panas. Suhu menurun pada malam hari, yang mengakibatkan cuaca semakin sejuk. Biasanya, musim panas dengan sedikit curah hujan menjadikan suhu sedikit hangat dibanding dengan musim panas yang ditemani dengan banyak hujan. Bila terdapat musim kemarau, suhu terpanas kebanyakan di bulan Januari dan Februari. Bila terdapat curah hujan yang normal, suhu terpanas jatuh pada bulan Oktober, pas sebelum hujan tiba. Pada musim dingin, cuaca pada siang hari sedang panas, dan berubah dingin pada malam hari. [11]

Rata-rata terdapat tujuhpuluh-empat hari per tahun dengan suhu di atas 32 °C (90 °F). Terdapat rata-rata 196 hari per tahun dengan suhu di atas Templat:Conver. Limapuluh-satu hari per tahun dengan suhu di bawah 7 °C (45 °F). Satu hari per tahun dengan suhu di bawah Templat:Conver.[12]

Presipitasi di Gaborone sangat bervariasi. Kebanyakan hujan terjadi pada musim panas, selang bulan Oktober dan April. [11] Terdapat rata-rata empat puluh hari badai per tahun, beberapa akbar terjadi pada musim panas, dan empat hari berkabut, kebanyakan terjadi pada musim dingin.[12] Kota Gaborone pernah mengalami banjir sebanyak tiga kali berlandaskan catatan mulai tahun 1995, satu kali pada tahun 2000, dan tahun 2001 yang mengakibatkan kerusakan senilai 5.000.000 Botswana pula, dan satu kali terjadi pada tahun 2006. [10]

Kelembaban tertinggi terjadi pada bulan Juni, sebesar 98% dan terendah pada bulan September, pada 28% [11]

Tingkat pancaran sinar matahari berkisar dari 14.6 MJ/m² pada bulan Juni sampai 26.2 MJ/m² pada bulan Desember.[11]

Kecepatan angin pada bulan Agustus sampai November sangatlah tinggi, 14 kilometer per jam (8.7 mph) dan menurut pada bulan May sampai Juli pada 8 kilometer per jam (5.0 mph). Kecepatan angin rata-rata per tahun adalah 12 kilometer per jam (7.5 mph).[12]

Data iklim Gaborone, Botswana
BulanJanFebMarAprMeiJunJulAgtSepOktNovDesTahun
Rata-rata hari hujan75431001146840
Sumber: Weatherbase[12]

Pustaka

  1. ^ Parsons, Neil (1999-08-19). "Botswana History Page 7: Geography". Botswana History Pages. Gaborone, Botswana: University of Botswana History Department. Diakses 2009-08-04. 
  2. ^ Modise, Oliver (2008-01-17). = 1&aid = 4&dir = 2008/January/Thursday17 Mothei re-elected Gaborone mayor 25 (07). Gaborone, Botswana: Mmegi Online. Diakses 2009-08-04. 
  3. ^ Kekeliruan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks sebagai ref bernama economy
  4. ^ "Gaborone, Botswana Page". Falling Rain Genomics, Inc. 
  5. ^ Kekeliruan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks sebagai ref bernama demo
  6. ^ = 86 timeanddate.com
  7. ^ Botswana Telecommunications Authority (2009-09-11). "Botswana (country code +267)" (DOC). National Numbering Plans (International Telecommunication Union). Diarsipkan dari aslinya tanggal 2009-12-27. Diakses 2009-12-27. 
  8. ^ Kekeliruan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks sebagai ref bernama seth
  9. ^ Phakalane Properties (2008). "Gaborone Information - Phakalane Properties, Botswana". Phakalane, Botswana. Diakses 2009-08-04. [tautan nonaktif]
  10. ^ a b Central Statistics Office (2009-08). "NATURAL DISASTERS DIGEST 2008" (PDF). Gaborone, Botswana. Diakses 2010-07-03. 
  11. ^ a b c d Bauer, Carl (2005). "Climate". Energy Efficiency and Energy Conservation in the Building Sector in Botswana (Gaborone, Botswana: Bauer Consult). hlm. 6–13. Diakses 2009-08-04. 
  12. ^ a b c d "Weatherbase: Historical Weather for Gaborone, Botswana". Weatherbase. Diakses 2009-08-04. 

Tautan luar

 
Afrika Timur

Addis Ababa, Etiopia
Antananarivo, Madagaskar
Asmara, Eritrea
Bujumbura, Burundi
Djibouti, Djibouti
Dodoma, Tanzania
Kampala, Uganda
Kigali, Rwanda
Lilongwe, Malawi
Lusaka, Zambia
Mamoudzou, Mayotte
Maputo, Mozambik
Mogadishu, Somalia
Moroni, Komoro
Nairobi, Kenya
Port Louis, Mauritius
Saint-Denis, Réunion
Victoria, Seychelles

 
Afrika Tengah
 
Afrika Utara
 
Afrika Selatan
 
Afrika Barat

Abidjan, Pantai Gading 4
Abuja, Nigeria
Accra, Ghana
Bamako, Mali
Banjul, Gambia
Bissau, Guinea-Bissau
Conakry, Guinea
Dakar, Senegal
Freetown, Sierra Leone
Jamestown, Saint Helena
Lomé, Togo
Monrovia, Liberia
Niamey, Niger
Nouakchott, Mauritania
Ouagadougou, Burkina Faso
Porto-Novo, Benin
Praia, Tanjung Verde
Yamoussoukro, Pantai Gading 5

 

1 Yudisial.    2 Parlementer.    3 Eksekutif.    4 de facto.    5 Resmi.


edunitas.com


Page 10

Tags (tagged): galatama, 1979 80, center, of studies, unkris, maret, 1979, hingga 6 mei, 1980 klasemen, pos, tim main m, s k, 7, perkesa 78 25, 10 4, 11, 0 24 8, arseto 25, 10 8 0, 24, 26, juni, 2012 sumber rsssf, aturan pengurutan, nilai, 2 gol, diindikasikan, tq memenuhi, syarat, turnamen tetapi belum, center of, studies, liga indonesia galatama, seleksi, 1980 1980 82, 1982 galatama, 80, galatama 1979


Page 11

Tags (tagged): galatama, 1979 80, center, of studies, unkris, diselenggarakan pada, tanggal, maret 1979, hingga 6, mei, tama mengundurkan diri, setelah paruh, pertama, kompetisi j, ke, tahap turnamen, diindikasikan, tq memenuhi syarat, dari turnamen, top, skor risdianto warna, agung, of, studies satu 1983, 1983 84, 1984, 1985 1986 87, 1987 88, 1988, 89 1990 galatama


Page 12

Tags (tagged): galatama, 1979 80, pusat, ilmu pengetahuan, unkris, diselenggarakan pada, tanggal, maret 1979, hingga 6, mei, tama mengundurkan diri, setelah paruh, pertama, kompetisi j, ke, tahap turnamen, diindikasikan, tq memenuhi syarat, dari turnamen, top, skor risdianto warna, agung, ilmu, pengetahuan satu 1983, 1983 84, 1984, 1985 1986 87, 1987 88, 1988, 89 1990 galatama


Page 13

Tags (tagged): galatama, 1979 80, pusat, ilmu pengetahuan, unkris, maret, 1979, hingga 6 mei, 1980 klasemen, pos, tim main m, s k, 7, perkesa 78 25, 10 4, 11, 0 24 8, arseto 25, 10 8 0, 24, 26, juni, 2012 sumber rsssf, aturan pengurutan, nilai, 2 gol, diindikasikan, tq memenuhi, syarat, turnamen tetapi belum, pusat ilmu, pengetahuan, liga indonesia galatama, seleksi, 1980 1980 82, 1982 galatama, 80, galatama 1979


Page 14

Tags (tagged): galatama, 1980 82, pusat, ilmu pengetahuan, unkris, 13 maret, 1982, klasemen pos tim, main m, s, k mg kg, sg poin, 13, 53 41 12, 35 10, ums, 80 34 14, 7 13, 48, 38 10 35, 11 tunas, inti, sumber rsssf aturan, pengurutan nilai, 2, selisih gol 3, diindikasikan dq, didiskualifikasi, dari turnamen catatan, pusat ilmu, pengetahuan, 1983 1983 84, 1984 1985, 1986, 87 1987 88, 1988 89, 1990, galatama 1980 82, galatama 1980, 82


Page 15

Tags (tagged): galatama, 1980 82, pusat, ilmu pengetahuan, unkris, musim, kedua galatama diselenggarakan, juara d, degradasi, p promosi o, pemenang play, off, a maju ke, rq memenuhi, syarat, turnamen degradasi, dari, jakarta tetapi, memainkan, pertandingan kandangnya, 89, 1990 divisi satu, 1990 1990, 92, 1992 93 1993, 94 piala


Page 16

Tags (tagged): galatama, 1980 82, center, of studies, unkris, musim, kedua galatama diselenggarakan, juara d, degradasi, p promosi o, pemenang play, off, a maju ke, rq memenuhi, syarat, turnamen degradasi, dari, jakarta tetapi, memainkan, pertandingan kandangnya, 89, 1990 divisi satu, 1990 1990, 92, 1992 93 1993, 94 piala


Page 17

Tags (tagged): galatama, 1980 82, center, of studies, unkris, 13 maret, 1982, klasemen pos tim, main m, s, k mg kg, sg poin, 13, 53 41 12, 35 10, ums, 80 34 14, 7 13, 48, 38 10 35, 11 tunas, inti, sumber rsssf aturan, pengurutan nilai, 2, selisih gol 3, diindikasikan dq, didiskualifikasi, dari turnamen catatan, center of, studies, 1983 1983 84, 1984 1985, 1986, 87 1987 88, 1988 89, 1990, galatama 1980 82, galatama 1980, 82


Page 18

Tags (tagged): unkris, galatama, disingkat, sebuah liga sepak, bola semi, liga, indonesia daftar juara, musim juara, runner, up skor, pelita, jaya 19, klub, peserta aceh putra, lhokseumawe aceh, 1990, 1980 1989 bima, kencana makassar, 1983, 84 musim palu, putra, center, of, studies li divisi, satu 1995, 1996, 1997 1998 1999, 20 21, 22, 03 galatama center, of studies, program kuliah, pegawai, kelas, weekend, center of, studies, eksekutif, indonesian encyclopedia, encyclopedia


Page 19

Tags (tagged): unkris, galatama, karena, adanya, larangan penggunaan pemain, asing galatama, muda, jakarta 1979 1984, bbsa bangka, billiton, sports, ganti nama, ataupun pindah, home, base hingga saat, 1998 1999, 20, 21 22 03, 23 24, 25, 26 27 28, center of, studies, kompetisi futsal liga, futsal indonesia, daftar, klub galatama center, of studies, program kuliah, pegawai, kelas, weekend, eksekutif, indonesian encyclopedia, encyclopedia


Page 20

Tags (tagged): unkris, liga sepak, bola utama, liga, sepak bola utama, karena, adanya, larangan penggunaan pemain, asing galatama, muda, jakarta 1979 1984, bbsa bangka, billiton, sports, ganti nama, ataupun pindah, home, base hingga saat, 1998 1999, 20, 21 22 03, 23 24, 25, 26 27 28, pusat ilmu, pengetahuan, kompetisi futsal liga, futsal indonesia, daftar, klub liga sepak, pusat, ilmu pengetahuan, sepak bola, utama, liga sepak bola, program, kuliah, pegawai, kelas weekend, bola, kelas, eksekutif, ensiklopedi bahasa indonesia, ensiklopedia


Page 21

Tags (tagged): unkris, liga sepak, bola utama, liga, sepak bola utama, disingkat, galatama, sebuah liga sepak, bola semi, indonesia daftar juara, musim juara, runner, up skor, pelita, jaya 19, klub, peserta aceh putra, lhokseumawe aceh, 1990, 1980 1989 bima, kencana makassar, 1983, 84 musim palu, putra, pusat, ilmu, pengetahuan li divisi, satu 1995, 1996, 1997 1998 1999, 20 21, 22, 03 liga sepak, ilmu pengetahuan, sepak bola, utama, liga sepak bola, program, kuliah, pegawai, kelas weekend, bola, pusat ilmu, pengetahuan, kelas, eksekutif, ensiklopedi bahasa indonesia, ensiklopedia


Page 22

Arema Indonesia atau Arema Cronous, dahulu bernama Arema Malang, merupakan sebuah klub sepak bola yang berkedudukan di Malang, Jawa Timur, Indonesia. Arema didirikan pada tanggal 11 Agustus 1987, Arema mempunyai julukan "Singo Edan" . Mereka dijadikan pemain di Stadion Kanjuruhan dan Stadion Gajayana. Arema merupakan tim sekota dari Persema Malang. Di musim 2010-11, di cara launching sempat menggunakan nama Arema FC,[1] namun dua hari kesudahan kembali lagi ke nama Arema Indonesia.[2]

Sejak mempunyai di persepak bolaan nasional, Arema telah dijadikan ikon dari warga Malang Raya (Kota Malang, Kabupaten Malang, Kota Batu) dan sekitarnya. Sbg perwujudan dari simbol Arema, hampir di setiap sudut kota sampai gang-gang kecil terdapat patung dan gambar singa. [3] Kelompokan suporter mereka dipanggil Aremania dan Aremanita (untuk pendukung wanita)

Sejarah

Nama Arema pada masa Kerajaan

Nama Arema merupakan legenda Malang. Merupakan Kidung Harsawijaya yang pertama kali mencatat nama tersebut, yaitu kisah tentang Patih Kebo Arema di kala Singosari diperintah Raja Kertanegara. Prestasi Kebo Arema gilang gemilang. Ia mematahkan pemberontakan Kelana Bhayangkara seperti ditulis dalam Kidung Panji Wijayakrama sampai seluruh pemberontak hancur seperti daun dimakan ulat. Demikian pula pemberontakan Cayaraja seperti ditulis kitab Negarakretagama. Kebo Arema pula yang dijadikan penyangga politik ekspansif Kertanegara. Bersama Mahisa Anengah, Kebo Arema menaklukkan Kerajaan Pamalayu yang berpusat di Jambi. Kesudahan bisa menguasai Selat Malaka. Sejarah heroik Kebo Arema memang tenggelam. Buku-buku sejarah hanya mencatat Kertanegara sbg raja terbesar Singosari, yang pusat pemerintahannya tidak jauh Kota Malang.

Nama Arema di dekade '80-an

Sampai yang belakang sekalinya pada dekade 1980-an muncul kembali nama Arema. Tidak kenal persis, apakah nama itu menapak tilas dari kebesaran Kebo Arema. Yang pasti, Arema merupakan penunjuk sebuah komunitas asal Malang. Arema merupakan akronim dari Arek Malang. Arema kesudahan menjelma dijadikan semacam "subkultur" dengan identitas, simbol dan karakter bagi masyarakat Malang. Diyakini, Arek Malang membangun reputasi dan eksistensinya di selangnya melalui musik rock dan olahraga. Selain tinju, sepak bola merupakan olahraga yang dijadikan perlintasan bagi arek malang menunjukkan reputasinya. Sehingga lahir tim sepak bola Arema merupakan sebuah keniscayaan.

Awal mula berdirinya PS Arema

(Arema Football Club/Persatuan Sepak Bola Arema nama resminya) lahir pada tanggal 11 Agustus 1987, dengan semangat mengembangkan persepak bolaan di Malang. Pada masa itu, tim asal Malang lainnya Persema Malang bagai sebuah magnet bagi arek Malang. Stadion Gajayana –home base klub pemerintah itu– selalu disesaki penonton. Dimana posisi Arema saat itu? Yang pasti, klub itu belum mengejawantah sbg sebuah komunitas sepak bola. Ia masih sah sebuah “utopia”.

Merupakan Acub Zaenal mantan Gubernur Irian Jaya ke-3 dan mantan pengurus PSSI periode 80-an yang kali pertama punya andil menelurkan konsep membentuk klub Galatama di kota Malang setelah sebelumnya membangun klub Perkesa 78 bersama Dirk “Derek” Sutrisno (Alm), pendiri klub Armada ‘86.

Berkat hubungan adun selang Dirk dengan wartawan olahraga di Malang, khususnya sepakbola, maka SIWO PWI Malang mengadakan seminar sehari bagi melihat "sudah saatnyakah Kota Malang mempunyai klub Galatama?" Drs. Heruyogi sbg Ketua SIWO dan Drs. Bambang Bes (Sekretaris SIWO) menggelar seminar itu di Balai Wartawan Jl. Raya Langsep Kota Malang. Temanya "Klub Galatama dan Kota Malang", dengan nara sumber al; Bp. Acub Zainal (Administratur Galatama), dari Pengda PSSI Jatim, Komda PSSI Kota Malang, Dr. Ubud Salim, MA. Cara itu dibuka Bp Walikota Tom Uripan (Alm). Hasil atau rekomendasi yang didapatkan dari seminar: Kota Malang dinilai sudah layak mempunyai sebuah klub Galatana yang professional.

Harus diakui, awal berdirinya Arema tidak bebas dari peran luhur Derek dengan Armada 86-nya. Nama Arema awalnya merupakan Aremada-gabungan dari Armada dan Arema. Namun nama itu tidak bisa langgeng. Beberapa bulan kesudahan ditukar dijadikan Arema`86. Sayang, upaya Derek bagi mempertahankan klub Galatama Arema`86 banyak merasakan hambatan, bahkan tim yang diharapkan mampu berkiprah di kancah Galatama VIII itu mulai terseok-seok karena dihimpit kesukaran dana.

Dari sinilah, Acub Zaenal lantas mengambil alih dan berusaha menyelamatkan Arema`86 supaya tetap survive. Setelah diambil alih, nama Arema`86 yang belakang sekalinya diubah dijadikan Arema dan ditetapkan pula berdirinya Arema Galatama pada 11 Agustus 1987 berdasarkan dengan akte notaris Pramu Haryono SH–almarhum–No 58. “Penetapan tanggal 11 Agustus 1987 itu, seperti cairan mengalir begitu saja, tidak berdasar penetapan (pilihan) secara khusus,”.

Dari pendirian bulan Agustus itulah kesudahan simbol Singo (Singa) muncul. "Agustus itu identik dg Zodiac Leo atau Singo (sesuai dengan horoscop).

Perjalanan Arema di Galatama

Di awal keikut sertaan di Kompetisi Galatama, gerilya mencari pemain diterapkan satu bulan sebelum Arema formal didirikan.Pemain-pemain seperti Maryanto (Persema), Jonathan (Satria Malang), Kusnadi Kamaludin (Armada), Mahdi Haris (Arseto), Jamrawi dan Yohanes Geohera (Mitra Surabaya), sampai kiper Dony Latuperisa yang kala itu tengah menjalani skorsing PSSI karena kasus suap, direkrut. Pelatih sekualitas Sinyo Aliandoe, juga bergabung.

Hanya saja, masih berada halangan yakni menyangkut mess pemain. Beruntung, Lanud Bandar Udara Abdul Rachman Saleh berhasrat membantu dan menyediakan barak prajurit Paskhas TNI AU bagi tempat penampungan pemain. Selain barak, lapangan Pagas Abd Saleh, juga dibuat sebagai tempat belajar. Praktis Maryanto dkk ditampung di barak. “TNI-AU memberikan andil yang luhur pada Arema.

Sempat berada halangan, yakni masalah dana –masalah utama yang kelak terus membelit Arema. Sepulang dari Jakarta, Acub Zaenal sepakat dijadikan penyandang dana.

Prestasi klub Arema bisa dibilang seperti pasang surut, walaupun tak pernah menghuni papan bawah klasemen, hampir setiap musim kompetisi Galatama Arema F.C. tak pernah konstan di jajaran papan atas klasemen, namun demikian pada tahun 1992 Arema berhasil dijadikan juara Galatama. Dengan modal pemain-pemain handal seperti Aji Santoso, Mecky Kelola, Singgih Pitono, Jamrawi dan eks pelatih PSSI M Basri, Arema mampu mewujudkan mimpi masyarakat kota Malang dijadikan juara kompetisi elit di Indonesia.

Perjalanan Arema di Ligina

Sejak mengikuti Liga Indonesia, Arema F.C. tercatat sudah 7 kali masuk putaran kedua. Sekali ke ronde 12 luhur (1996/97) dan enam kali masuk 8 besar( 1999/00, 2001, 2002, 2005, 2006,& 2007). Walaupun berprestasi lumayan, tapi Arema tidak pernah bebas dari masalah dana. Hampir setiap musim kompetisi masalah dana ini selalu menghantui sehingga tak ajab hampir setiap musim manajemen klub selalu berubah. Pada tahun 2003, Arema merasakan kesukaran keuangan parah yang berpengaruh pada prestasi tim. Hal tersebut yang kesudahan menciptakan Arema FC diakuisisi kepemilikannya oleh PT Bentoel Internasional Tbk pada pertengahan musim kompetisi 2003 meskipun pada yang belakang sekalinya Arema terdegradasi ke Divisi I. Sejak kepemilikan Arema dipegang oleh PT Bentoel Internasional Tbk, prestasi Arema semakin meningkat; 2004 juara Divisi I, 2005, dan 2006 juara Copa Indonesia, 2007 juara Piala Soeratin LRN U-18. Pada tahun 2006 dan 2007 Arema dan Benny Dollo mendapatkan penghargaan dari Tabloid Bola sbg tim terbaik dan Pelatih terbaik.

Perjalanan Arema di ISL

Jepang berhasil menguasai beberapa kota besar di Tiongkok yaitu

Monumen Singa Bola dari warga yang didedikasikan bagi Arema

Kompetisi Liga Super Indonesia ke-1 2008-2009 Arema berada di urutan ke-10. Dua bulan Setelah kompetisi bubar tepatnya 3 Agustus 2009 di Hotel Santika Malang pemilik klub Arema, PT Bentoel Investama, Tbk melepas Arema ke kelompokan orang-orang peduli terhadap Arema (konsorsium).[4] Pelepasan Arema ini merupakan dampak dari penjualan saham mayoritas PT Bentoel Investama, Tbk. ke British American Tobacco. Sebelumnya berada wacana bagi menggabungkan Arema dengan Persema Malang dijadikan satu, namun disorongkan oleh Aremania. Arema pada musim kompetisi 2009-10 yang ditukangi oleh Robert Rene Alberts meraih gelar Juara Liga Super Indonesia dan Runner-up Piala Indonesia.

Nama

Arema sempat beberapa kali berubah nama:

  • PS Arema Malang (1987-1995); pemilik saham Pemerintah Malang
  • PS Arema Bentoel (1995-2009); mencantumkan nama pemilik saham mayoritas Bentoel
  • Arema Indonesia FC (2009-2013); pemilik saham Yayasan Arema Indonesia
  • Arema Cronous FC (2013-2014); mencantumkan nama pemilik saham mayoritas PT. Pelita Jaya Cronous

Pemain

Skuat saat ini

  • CEO : Iwan Budianto
  • Manager : Rudi Widodo
  • Head coach : Suharno
  • Assistant coach 1 : Joko Susilo
  • Assistant coach 2 : Kuncoro
  • Assistant coach 3 : I Made Pasek Wijaya
  • Goalkeeper coach : Alan Haviludin
  • Fitness coach : Kosong
  • Dokter tim : Indrawan Duantoro
Per 6 November 2013..

Transfer 2014

Masuk

Catatan: Bendera menunjukkan tim nasional pemain berdasarkan dengan peraturan FIFA. Pemain dapat saja mempunyai semakin dari satu kewarganegaraan.

Keluar

Catatan: Bendera menunjukkan tim nasional pemain berdasarkan dengan peraturan FIFA. Pemain dapat saja mempunyai semakin dari satu kewarganegaraan.

Dipinjamkan

Catatan: Bendera menunjukkan tim nasional pemain berdasarkan dengan peraturan FIFA. Pemain dapat saja mempunyai semakin dari satu kewarganegaraan.

No.Pos.Nama
MFJoko Sasongko (ke Persisam Samarinda)

Prestasi

Gelar

  • Juara (2): 2005, 2006
  • Runner up (1): 2010
  • Juara (1): 2009-10
  • Runner up (2): Liga Super Indonesia 2010-11,2012-2013,2012-2013
  • Piala Gubernur
  • Trofeo Persija
  • Piala Menpora

Penghargaan

  • Tabloid Bola Best Team Award (2): 2006, 2007

Rekor Kemenangan-Kekalahan Terbesar

Menang

  • (Kandang) 19-06-2011 Bontang FC (8-0)[5]
  • (Tandang) 02-10-2010 Bontang FC (5-0)[6]

Kalah

  • (Kandang) 28-02-2009 Persipura (0-5)
  • (Tandang) 26-01-2003 Persipura (0-6)
  • (Tandang) 07-03-2011 Persipura (1-6)

Partisipasi di Liga

Galatama

 
Title LigaSeriTahunNama PelatihUrutan KesudahanPrestasi
GalatamaVIII1987/88Sinyo Aliandoe6 (14 Tim)
GalatamaIX1988/89Sinyo Aliandoe/Andi M Teguh8 (18 Tim)Top Scorer Mecky Kelola (18)
GalatamaX1990Andi M Teguh4 (18 Tim)
GalatamaXI1990/92Andi M Teguh4 (20 Tim)Top Scrorer Singgih Pitono (21)
GalatamaXII1992/93M Basri/Gusnul Yakin1 (17 Tim)Juara, Top Scorer Singgih Pitono (16)
GalatamaXIII1993/94Gusnul Yakin6 (Ronde Penyisihan)17 Tim di bagi 2 Group

Liga Indonesia

 align="left">Terry Wetton/Gusnul Yakin/Henk Wullems
Title KompetisiSeriTahunNama PelatihUrutan KesudahanPrestasi
Liga DunhillI1994/95Halilintar GunawanPenyisihan (6 dari 17 tim)
Liga DunhillII1995/96Gusnul YakinPenyisihan (12 dari 16 tim)
Liga KansasIII1996/97SuharnoRonde 12 Luhur
LiginaIV1997/98Gusnul YakinDitiadakan (kerusuhan politik)
LiginaV1998/99Hamid Asnan/WinartoPenyisihan (3 dari 6 tim)
Liga Bank Dapat berdiri sendiriVI1999/00M. BasriRonde 8 Luhur
Liga Bank Dapat berdiri sendiriVII2001Daniel RoekitoRonde 8 Luhur
Liga Bank Dapat berdiri sendiriVIII2002Daniel RoekitoRonde 8 Luhur
Liga Bank Dapat berdiri sendiriIX2003
19 (22 Tim) Degradasi
Liga Pertamina (Divisi 1)X2004Benny Dollo1Juara Promosi ke Liga Djarum
Liga DjarumXI2005Benny DolloRonde 8 Luhur
Liga DjarumXII2006Benny DolloRonde 8 Luhur
Liga DjarumXIII2007Miroslav JanuRonde 8 Luhur


Page 23

Arema Indonesia atau Arema Cronous, dahulu bernama Arema Malang, merupakan sebuah klub sepak bola yang berkedudukan di Malang, Jawa Timur, Indonesia. Arema didirikan pada tanggal 11 Agustus 1987, Arema mempunyai julukan "Singo Edan" . Mereka dijadikan pemain di Stadion Kanjuruhan dan Stadion Gajayana. Arema merupakan tim sekota dari Persema Malang. Di musim 2010-11, di cara launching sempat mempergunakan nama Arema FC,[1] namun dua hari kesudahan kembali lagi ke nama Arema Indonesia.[2]

Sejak mempunyai di persepak bolaan nasional, Arema telah dijadikan ikon dari warga Malang Raya (Kota Malang, Kabupaten Malang, Kota Batu) dan sekitarnya. Sbg perwujudan dari simbol Arema, hampir di setiap sudut kota sampai gang-gang kecil terdapat patung dan gambar singa. [3] Kelompokan suporter mereka dipanggil Aremania dan Aremanita (untuk pendukung wanita)

Sejarah

Nama Arema pada masa Kerajaan

Nama Arema merupakan legenda Malang. Merupakan Kidung Harsawijaya yang pertama kali mencatat nama tersebut, yaitu kisah tentang Patih Kebo Arema di ketika Singosari diperintah Raja Kertanegara. Prestasi Kebo Arema gilang gemilang. Ia mematahkan pemberontakan Kelana Bhayangkara seperti ditulis dalam Kidung Panji Wijayakrama sampai seluruh pemberontak hancur seperti daun dimakan ulat. Demikian pula pemberontakan Cayaraja seperti ditulis kitab Negarakretagama. Kebo Arema pula yang dijadikan penyangga politik ekspansif Kertanegara. Bersama Mahisa Anengah, Kebo Arema menaklukkan Kerajaan Pamalayu yang berpusat di Jambi. Kesudahan mampu menguasai Selat Malaka. Sejarah heroik Kebo Arema memang tenggelam. Buku-buku sejarah hanya mencatat Kertanegara sbg raja terbesar Singosari, yang pusat pemerintahannya tidak jauh Kota Malang.

Nama Arema di dekade '80-an

Mencapai hasilnya pada dekade 1980-an muncul kembali nama Arema. Tidak kenal persis, apakah nama itu menapak tilas dari kebesaran Kebo Arema. Yang pasti, Arema merupakan penunjuk sebuah komunitas asal Malang. Arema merupakan akronim dari Arek Malang. Arema kesudahan menjelma dijadikan semacam "subkultur" dengan identitas, simbol dan karakter bagi masyarakat Malang. Diyakini, Arek Malang membangun reputasi dan eksistensinya di selangnya melalui musik rock dan olahraga. Selain tinju, sepak bola merupakan olahraga yang dijadikan perlintasan bagi arek malang menunjukkan reputasinya. Sehingga lahir tim sepak bola Arema merupakan sebuah keniscayaan.

Awal mula berdirinya PS Arema

(Arema Football Club/Persatuan Sepak Bola Arema nama resminya) lahir pada tanggal 11 Agustus 1987, dengan semangat mengembangkan persepak bolaan di Malang. Pada masa itu, tim asal Malang lainnya Persema Malang bagai sebuah magnet bagi arek Malang. Stadion Gajayana –home base klub pemerintah itu– selalu disesaki penonton. Dimana posisi Arema ketika itu? Yang pasti, klub itu belum mengejawantah sbg sebuah komunitas sepak bola. Ia masih sah sebuah “utopia”.

Merupakan Acub Zaenal mantan Gubernur Irian Jaya ke-3 dan mantan pengurus PSSI periode 80-an yang kali pertama punya andil menelurkan pemikiran membentuk klub Galatama di kota Malang setelah sebelumnya membangun klub Perkesa 78 bersama Dirk “Derek” Sutrisno (Alm), pendiri klub Armada ‘86.

Berkat hubungan adun selang Dirk dengan wartawan olahraga di Malang, khususnya sepakbola, maka SIWO PWI Malang mengadakan seminar sehari kepada melihat "sudah saatnyakah Kota Malang mempunyai klub Galatama?" Drs. Heruyogi sbg Ketua SIWO dan Drs. Bambang Bes (Sekretaris SIWO) menggelar seminar itu di Balai Wartawan Jl. Raya Langsep Kota Malang. Temanya "Klub Galatama dan Kota Malang", dengan nara sumber al; Bp. Acub Zainal (Administratur Galatama), dari Pengda PSSI Jatim, Komda PSSI Kota Malang, Dr. Ubud Salim, MA. Cara itu dibuka Bp Walikota Tom Uripan (Alm). Hasil atau rekomendasi yang didapatkan dari seminar: Kota Malang dinilai sudah layak mempunyai sebuah klub Galatana yang professional.

Harus diakui, awal berdirinya Arema tidak bebas dari peran luhur Derek dengan Armada 86-nya. Nama Arema awalnya merupakan Aremada-gabungan dari Armada dan Arema. Namun nama itu tidak mampu langgeng. Beberapa bulan kesudahan diganti dijadikan Arema`86. Sayang, upaya Derek kepada mempertahankan klub Galatama Arema`86 banyak merasakan hambatan, bahkan tim yang diharapkan mampu berkiprah di kancah Galatama VIII itu mulai terseok-seok karena dihimpit kesukaran dana.

Dari sinilah, Acub Zaenal lantas mengambil alih dan berusaha menyelamatkan Arema`86 supaya tetap survive. Setelah diambil alih, nama Arema`86 hasilnya diubah dijadikan Arema dan dikuatkan pula berdirinya Arema Galatama pada 11 Agustus 1987 berdasarkan dengan akte notaris Pramu Haryono SH–almarhum–No 58. “Penetapan tanggal 11 Agustus 1987 itu, seperti cairan mengalir begitu saja, tidak berdasar penetapan (pilihan) secara khusus,”.

Dari pendirian bulan Agustus itulah kesudahan simbol Singo (Singa) muncul. "Agustus itu identik dg Zodiac Leo atau Singo (sesuai dengan horoscop).

Perjalanan Arema di Galatama

Di awal keikut sertaan di Kompetisi Galatama, gerilya mencari pemain diterapkan satu bulan sebelum Arema formal didirikan.Pemain-pemain seperti Maryanto (Persema), Jonathan (Satria Malang), Kusnadi Kamaludin (Armada), Mahdi Haris (Arseto), Jamrawi dan Yohanes Geohera (Mitra Surabaya), mencapai kiper Dony Latuperisa yang ketika itu tengah menjalani skorsing PSSI karena kasus suap, direkrut. Pelatih sekualitas Sinyo Aliandoe, juga bergabung.

Hanya saja, masih berada halangan yakni menyangkut mess pemain. Beruntung, Lanud Bandar Udara Abdul Rachman Saleh ingin membantu dan menyediakan barak prajurit Paskhas TNI AU kepada tempat penampungan pemain. Selain barak, lapangan Pagas Abd Saleh, juga dibuat sebagai tempat belajar. Praktis Maryanto dkk ditampung di barak. “TNI-AU memberikan andil yang luhur pada Arema.

Sempat berada halangan, yakni masalah dana –masalah utama yang kelak terus membelit Arema. Sepulang dari Jakarta, Acub Zaenal sepakat dijadikan penyandang dana.

Prestasi klub Arema mampu dibilang seperti pasang surut, walaupun tak pernah menghuni papan bawah klasemen, hampir setiap musim kompetisi Galatama Arema F.C. tak pernah konstan di jajaran papan atas klasemen, namun demikian pada tahun 1992 Arema berhasil dijadikan juara Galatama. Dengan modal pemain-pemain handal seperti Aji Santoso, Mecky Kelola, Singgih Pitono, Jamrawi dan eks pelatih PSSI M Basri, Arema mampu mewujudkan mimpi masyarakat kota Malang dijadikan juara kompetisi elit di Indonesia.

Perjalanan Arema di Ligina

Sejak mengikuti Liga Indonesia, Arema F.C. tercatat sudah 7 kali masuk putaran kedua. Sekali ke ronde 12 luhur (1996/97) dan enam kali masuk 8 besar( 1999/00, 2001, 2002, 2005, 2006,& 2007). Walaupun berprestasi lumayan, tapi Arema tidak pernah bebas dari masalah dana. Hampir setiap musim kompetisi masalah dana ini selalu menghantui sehingga tak ajab hampir setiap musim manajemen klub selalu berubah. Pada tahun 2003, Arema merasakan kesukaran keuangan parah yang berpengaruh pada prestasi tim. Hal tersebut yang kesudahan menciptakan Arema FC diakuisisi kepemilikannya oleh PT Bentoel Internasional Tbk pada pertengahan musim kompetisi 2003 meskipun pada hasilnya Arema terdegradasi ke Divisi I. Sejak kepemilikan Arema dipegang oleh PT Bentoel Internasional Tbk, prestasi Arema semakin meningkat; 2004 juara Divisi I, 2005, dan 2006 juara Copa Indonesia, 2007 juara Piala Soeratin LRN U-18. Pada tahun 2006 dan 2007 Arema dan Benny Dollo memperoleh penghargaan dari Tabloid Bola sbg tim terbaik dan Pelatih terbaik.

Perjalanan Arema di ISL

Jepang berhasil menguasai beberapa kota besar di Tiongkok yaitu

Monumen Singa Bola dari warga yang didedikasikan kepada Arema

Kompetisi Liga Super Indonesia ke-1 2008-2009 Arema berada di urutan ke-10. Dua bulan Setelah kompetisi bubar tepatnya 3 Agustus 2009 di Hotel Santika Malang pemilik klub Arema, PT Bentoel Investama, Tbk melepas Arema ke kumpulan orang-orang peduli terhadap Arema (konsorsium).[4] Pelepasan Arema ini merupakan belakang suatu peristiwa dari penjualan saham mayoritas PT Bentoel Investama, Tbk. ke British American Tobacco. Sebelumnya berada wacana kepada menggabungkan Arema dengan Persema Malang dijadikan satu, namun disorongkan oleh Aremania. Arema pada musim kompetisi 2009-10 yang ditukangi oleh Robert Rene Alberts meraih gelar Juara Liga Super Indonesia dan Runner-up Piala Indonesia.

Nama

Arema sempat beberapa kali berubah nama:

  • PS Arema Malang (1987-1995); pemilik saham Pemerintah Malang
  • PS Arema Bentoel (1995-2009); mencantumkan nama pemilik saham mayoritas Bentoel
  • Arema Indonesia FC (2009-2013); pemilik saham Yayasan Arema Indonesia
  • Arema Cronous FC (2013-2014); mencantumkan nama pemilik saham mayoritas PT. Pelita Jaya Cronous

Pemain

Skuat ketika ini

  • CEO : Iwan Budianto
  • Manager : Rudi Widodo
  • Head coach : Suharno
  • Assistant coach 1 : Joko Susilo
  • Assistant coach 2 : Kuncoro
  • Assistant coach 3 : I Made Pasek Wijaya
  • Goalkeeper coach : Alan Haviludin
  • Fitness coach : Kosong
  • Dokter tim : Indrawan Duantoro
Per 6 November 2013..

Transfer 2014

Masuk

Catatan: Bendera menunjukkan tim nasional pemain berdasarkan dengan peraturan FIFA. Pemain bisa saja mempunyai semakin dari satu kewarganegaraan.

Keluar

Catatan: Bendera menunjukkan tim nasional pemain berdasarkan dengan peraturan FIFA. Pemain bisa saja mempunyai semakin dari satu kewarganegaraan.

Dipinjamkan

Catatan: Bendera menunjukkan tim nasional pemain berdasarkan dengan peraturan FIFA. Pemain bisa saja mempunyai semakin dari satu kewarganegaraan.

Prestasi

Gelar

  • Juara (2): 2005, 2006
  • Runner up (1): 2010
  • Juara (1): 2009-10
  • Runner up (2): Liga Super Indonesia 2010-11,2012-2013,2012-2013
  • Piala Gubernur
  • Trofeo Persija
  • Piala Menpora

Penghargaan

  • Tabloid Bola Best Team Award (2): 2006, 2007

Rekor Kemenangan-Kekalahan Terbesar

Menang

  • (Kandang) 19-06-2011 Bontang FC (8-0)[5]
  • (Tandang) 02-10-2010 Bontang FC (5-0)[6]

Kalah

  • (Kandang) 28-02-2009 Persipura (0-5)
  • (Tandang) 26-01-2003 Persipura (0-6)
  • (Tandang) 07-03-2011 Persipura (1-6)

Partisipasi di Liga

Galatama

Liga Indonesia

Liga Super Indonesia

Partisipasi di Level Asia

  • Kejuaraan Klub Asia 1993–94 (tidak lolos ke ronde 6 luhur setelah kalah agregat 3-6 dari Thai Farmers Bank Thailand)
  • Liga Champions AFC 2006 (dicoret karena PSSI LALAI mendaftarkan peserta AFC Champions League)
  • Liga Champions AFC 2007 (gagal lolos dari ronde penyisihan karena hanya menempati urutan ke-3)
  • Liga Champions AFC 2011 (gagal lolos dari ronde penyisihan karena hanya menempati urutan ke-4)
  • Piala AFC 2012 (lolos ke perempat final, disingkirkan Al Ettifaq dari Arab Saudi dengan skor 2-0 [home] dan 2-0 [away])

Pelatih

Pemain terkenal

Lokal

Asing

  • Franco Hita (2005–06)
  • Rodrigo Santoni (2011–12, Arema ISL)
  • Fernando Martin Stagnari (2007)
  • Joao Carlos (2004–07)
  • Junior Lima (2004–05)
  • Rivaldo Costa (2004–05)
  • Marcio Souza (2011–12, Arema ISL)
  • Rodrigo Araya (1999–00), (2003)
  • Christian Cespedes (1998–99)
  • Patricio Morales (2007–09)
  • Julio Caesar Moreno (1996–97)
  • Jamie Rojas (2002)
  • Fransisco "Pacho" Rubio (1999–00)
  • Juan Manuel Rubio (1996–00)
  • Esteban Guillén (2009–12)
  • Leontin Chitescu (2009)
  • Roman Golian (2011)

Mantan pemain

Pemilik

Berdasarkan pengesahan SK Menkumham No. AHU-AH.01.06-317 pada tanggal 9 Mei 2012 atas akta Nurul Rahadianti, PEMEGANG SAHAM terbesar PT. AREMA INDONESIA merupakan YAYASAN AREMA INDONESIA sebesar 13 lembar saham (93%) dan Lucky Andriandana Zainal yaitu 1 lembar saham (7%).

Dalam SK Menkumham tersebut disebutkan, bahwa pengurus Yayasan Arema Indonesia adalah:

  • pembina yayasan: Darjoto Setyawan
  • ketua yayasan: Muhammad Nur
  • Bendahara: Rendra Kresna
  • Sekretaris: Mujiono Mujito
  • Pengawan yayasan: Bambang winarno.


Dari pengesahan Menkumham tersebut juga dijelaskan bahwa jika berada pengunduran diri yang diterapkan sebelum tanggal 9 Mei 2012 dianggap tidak sah. Pengurus yang telah melakukan pengunduran diri sebelum tanggal 9 Mei 2012 tsb merupakan Darjoto Setyawan, Mujiono Mujito & Rendra Kresna.

Pengelola

  • Lucky Acub Zaenal (1987-2003)
  • Ir. Lucky Acub Zaenal/H.M Mislan (1995-1996)
  • PT Bentoel Investama Indonesia, Tbk (2003-2009)
  • Konsorsium (2009-2011)
  • IPL: Grup Ancora (2011-2012) --- ISL: Arema Cronous(2012-.......)

  • Adidas (1995–1998)
  • Reebok (1999–2000)
  • Nike (2001)
  • Puma (2006–2009)
  • Diadora (2009–2010)
  • Lotto (2010–2011)
  • Umbro (2011-sekarang/IPL)
  • Ultras (2012-sekarang/ISL)
  • Joma (sekarang)

Referensi

Pranala luar


edunitas.com


Page 24

Arema Indonesia atau Arema Cronous, dahulu bernama Arema Malang, merupakan sebuah klub sepak bola yang berkedudukan di Malang, Jawa Timur, Indonesia. Arema didirikan pada tanggal 11 Agustus 1987, Arema mempunyai julukan "Singo Edan" . Mereka dijadikan pemain di Stadion Kanjuruhan dan Stadion Gajayana. Arema merupakan tim sekota dari Persema Malang. Di musim 2010-11, di cara launching sempat mempergunakan nama Arema FC,[1] namun dua hari kesudahan kembali lagi ke nama Arema Indonesia.[2]

Sejak mempunyai di persepak bolaan nasional, Arema telah dijadikan ikon dari warga Malang Raya (Kota Malang, Kabupaten Malang, Kota Batu) dan sekitarnya. Sbg perwujudan dari simbol Arema, hampir di setiap sudut kota sampai gang-gang kecil terdapat patung dan gambar singa. [3] Kelompokan suporter mereka dipanggil Aremania dan Aremanita (untuk pendukung wanita)

Sejarah

Nama Arema pada masa Kerajaan

Nama Arema merupakan legenda Malang. Merupakan Kidung Harsawijaya yang pertama kali mencatat nama tersebut, yaitu kisah tentang Patih Kebo Arema di ketika Singosari diperintah Raja Kertanegara. Prestasi Kebo Arema gilang gemilang. Ia mematahkan pemberontakan Kelana Bhayangkara seperti ditulis dalam Kidung Panji Wijayakrama sampai seluruh pemberontak hancur seperti daun dimakan ulat. Demikian pula pemberontakan Cayaraja seperti ditulis kitab Negarakretagama. Kebo Arema pula yang dijadikan penyangga politik ekspansif Kertanegara. Bersama Mahisa Anengah, Kebo Arema menaklukkan Kerajaan Pamalayu yang berpusat di Jambi. Kesudahan mampu menguasai Selat Malaka. Sejarah heroik Kebo Arema memang tenggelam. Buku-buku sejarah hanya mencatat Kertanegara sbg raja terbesar Singosari, yang pusat pemerintahannya tidak jauh Kota Malang.

Nama Arema di dekade '80-an

Mencapai hasilnya pada dekade 1980-an muncul kembali nama Arema. Tidak kenal persis, apakah nama itu menapak tilas dari kebesaran Kebo Arema. Yang pasti, Arema merupakan penunjuk sebuah komunitas asal Malang. Arema merupakan akronim dari Arek Malang. Arema kesudahan menjelma dijadikan semacam "subkultur" dengan identitas, simbol dan karakter bagi masyarakat Malang. Diyakini, Arek Malang membangun reputasi dan eksistensinya di selangnya melalui musik rock dan olahraga. Selain tinju, sepak bola merupakan olahraga yang dijadikan perlintasan bagi arek malang menunjukkan reputasinya. Sehingga lahir tim sepak bola Arema merupakan sebuah keniscayaan.

Awal mula berdirinya PS Arema

(Arema Football Club/Persatuan Sepak Bola Arema nama resminya) lahir pada tanggal 11 Agustus 1987, dengan semangat mengembangkan persepak bolaan di Malang. Pada masa itu, tim asal Malang lainnya Persema Malang bagai sebuah magnet bagi arek Malang. Stadion Gajayana –home base klub pemerintah itu– selalu disesaki penonton. Dimana posisi Arema ketika itu? Yang pasti, klub itu belum mengejawantah sbg sebuah komunitas sepak bola. Ia masih sah sebuah “utopia”.

Merupakan Acub Zaenal mantan Gubernur Irian Jaya ke-3 dan mantan pengurus PSSI periode 80-an yang kali pertama punya andil menelurkan pemikiran membentuk klub Galatama di kota Malang setelah sebelumnya membangun klub Perkesa 78 bersama Dirk “Derek” Sutrisno (Alm), pendiri klub Armada ‘86.

Berkat hubungan adun selang Dirk dengan wartawan olahraga di Malang, khususnya sepakbola, maka SIWO PWI Malang mengadakan seminar sehari kepada melihat "sudah saatnyakah Kota Malang mempunyai klub Galatama?" Drs. Heruyogi sbg Ketua SIWO dan Drs. Bambang Bes (Sekretaris SIWO) menggelar seminar itu di Balai Wartawan Jl. Raya Langsep Kota Malang. Temanya "Klub Galatama dan Kota Malang", dengan nara sumber al; Bp. Acub Zainal (Administratur Galatama), dari Pengda PSSI Jatim, Komda PSSI Kota Malang, Dr. Ubud Salim, MA. Cara itu dibuka Bp Walikota Tom Uripan (Alm). Hasil atau rekomendasi yang didapatkan dari seminar: Kota Malang dinilai sudah layak mempunyai sebuah klub Galatana yang professional.

Harus diakui, awal berdirinya Arema tidak bebas dari peran luhur Derek dengan Armada 86-nya. Nama Arema awalnya merupakan Aremada-gabungan dari Armada dan Arema. Namun nama itu tidak mampu langgeng. Beberapa bulan kesudahan diganti dijadikan Arema`86. Sayang, upaya Derek kepada mempertahankan klub Galatama Arema`86 banyak merasakan hambatan, bahkan tim yang diharapkan mampu berkiprah di kancah Galatama VIII itu mulai terseok-seok karena dihimpit kesukaran dana.

Dari sinilah, Acub Zaenal lantas mengambil alih dan berusaha menyelamatkan Arema`86 supaya tetap survive. Setelah diambil alih, nama Arema`86 hasilnya diubah dijadikan Arema dan dikuatkan pula berdirinya Arema Galatama pada 11 Agustus 1987 berdasarkan dengan akte notaris Pramu Haryono SH–almarhum–No 58. “Penetapan tanggal 11 Agustus 1987 itu, seperti cairan mengalir begitu saja, tidak berdasar penetapan (pilihan) secara khusus,”.

Dari pendirian bulan Agustus itulah kesudahan simbol Singo (Singa) muncul. "Agustus itu identik dg Zodiac Leo atau Singo (sesuai dengan horoscop).

Perjalanan Arema di Galatama

Di awal keikut sertaan di Kompetisi Galatama, gerilya mencari pemain diterapkan satu bulan sebelum Arema formal didirikan.Pemain-pemain seperti Maryanto (Persema), Jonathan (Satria Malang), Kusnadi Kamaludin (Armada), Mahdi Haris (Arseto), Jamrawi dan Yohanes Geohera (Mitra Surabaya), mencapai kiper Dony Latuperisa yang ketika itu tengah menjalani skorsing PSSI karena kasus suap, direkrut. Pelatih sekualitas Sinyo Aliandoe, juga bergabung.

Hanya saja, masih berada halangan yakni menyangkut mess pemain. Beruntung, Lanud Bandar Udara Abdul Rachman Saleh ingin membantu dan menyediakan barak prajurit Paskhas TNI AU kepada tempat penampungan pemain. Selain barak, lapangan Pagas Abd Saleh, juga dibuat sebagai tempat belajar. Praktis Maryanto dkk ditampung di barak. “TNI-AU memberikan andil yang luhur pada Arema.

Sempat berada halangan, yakni masalah dana –masalah utama yang kelak terus membelit Arema. Sepulang dari Jakarta, Acub Zaenal sepakat dijadikan penyandang dana.

Prestasi klub Arema mampu dibilang seperti pasang surut, walaupun tak pernah menghuni papan bawah klasemen, hampir setiap musim kompetisi Galatama Arema F.C. tak pernah konstan di jajaran papan atas klasemen, namun demikian pada tahun 1992 Arema berhasil dijadikan juara Galatama. Dengan modal pemain-pemain handal seperti Aji Santoso, Mecky Kelola, Singgih Pitono, Jamrawi dan eks pelatih PSSI M Basri, Arema mampu mewujudkan mimpi masyarakat kota Malang dijadikan juara kompetisi elit di Indonesia.

Perjalanan Arema di Ligina

Sejak mengikuti Liga Indonesia, Arema F.C. tercatat sudah 7 kali masuk putaran kedua. Sekali ke ronde 12 luhur (1996/97) dan enam kali masuk 8 besar( 1999/00, 2001, 2002, 2005, 2006,& 2007). Walaupun berprestasi lumayan, tapi Arema tidak pernah bebas dari masalah dana. Hampir setiap musim kompetisi masalah dana ini selalu menghantui sehingga tak ajab hampir setiap musim manajemen klub selalu berubah. Pada tahun 2003, Arema merasakan kesukaran keuangan parah yang berpengaruh pada prestasi tim. Hal tersebut yang kesudahan menciptakan Arema FC diakuisisi kepemilikannya oleh PT Bentoel Internasional Tbk pada pertengahan musim kompetisi 2003 meskipun pada hasilnya Arema terdegradasi ke Divisi I. Sejak kepemilikan Arema dipegang oleh PT Bentoel Internasional Tbk, prestasi Arema semakin meningkat; 2004 juara Divisi I, 2005, dan 2006 juara Copa Indonesia, 2007 juara Piala Soeratin LRN U-18. Pada tahun 2006 dan 2007 Arema dan Benny Dollo memperoleh penghargaan dari Tabloid Bola sbg tim terbaik dan Pelatih terbaik.

Perjalanan Arema di ISL

Jepang berhasil menguasai beberapa kota besar di Tiongkok yaitu

Monumen Singa Bola dari warga yang didedikasikan kepada Arema

Kompetisi Liga Super Indonesia ke-1 2008-2009 Arema berada di urutan ke-10. Dua bulan Setelah kompetisi bubar tepatnya 3 Agustus 2009 di Hotel Santika Malang pemilik klub Arema, PT Bentoel Investama, Tbk melepas Arema ke kumpulan orang-orang peduli terhadap Arema (konsorsium).[4] Pelepasan Arema ini merupakan belakang suatu peristiwa dari penjualan saham mayoritas PT Bentoel Investama, Tbk. ke British American Tobacco. Sebelumnya berada wacana kepada menggabungkan Arema dengan Persema Malang dijadikan satu, namun disorongkan oleh Aremania. Arema pada musim kompetisi 2009-10 yang ditukangi oleh Robert Rene Alberts meraih gelar Juara Liga Super Indonesia dan Runner-up Piala Indonesia.

Nama

Arema sempat beberapa kali berubah nama:

  • PS Arema Malang (1987-1995); pemilik saham Pemerintah Malang
  • PS Arema Bentoel (1995-2009); mencantumkan nama pemilik saham mayoritas Bentoel
  • Arema Indonesia FC (2009-2013); pemilik saham Yayasan Arema Indonesia
  • Arema Cronous FC (2013-2014); mencantumkan nama pemilik saham mayoritas PT. Pelita Jaya Cronous

Pemain

Skuat ketika ini

  • CEO : Iwan Budianto
  • Manager : Rudi Widodo
  • Head coach : Suharno
  • Assistant coach 1 : Joko Susilo
  • Assistant coach 2 : Kuncoro
  • Assistant coach 3 : I Made Pasek Wijaya
  • Goalkeeper coach : Alan Haviludin
  • Fitness coach : Kosong
  • Dokter tim : Indrawan Duantoro
Per 6 November 2013..

Transfer 2014

Masuk

Catatan: Bendera menunjukkan tim nasional pemain berdasarkan dengan peraturan FIFA. Pemain bisa saja mempunyai semakin dari satu kewarganegaraan.

Keluar

Catatan: Bendera menunjukkan tim nasional pemain berdasarkan dengan peraturan FIFA. Pemain bisa saja mempunyai semakin dari satu kewarganegaraan.

Dipinjamkan

Catatan: Bendera menunjukkan tim nasional pemain berdasarkan dengan peraturan FIFA. Pemain bisa saja mempunyai semakin dari satu kewarganegaraan.

Prestasi

Gelar

  • Juara (2): 2005, 2006
  • Runner up (1): 2010
  • Juara (1): 2009-10
  • Runner up (2): Liga Super Indonesia 2010-11,2012-2013,2012-2013
  • Piala Gubernur
  • Trofeo Persija
  • Piala Menpora

Penghargaan

  • Tabloid Bola Best Team Award (2): 2006, 2007

Rekor Kemenangan-Kekalahan Terbesar

Menang

  • (Kandang) 19-06-2011 Bontang FC (8-0)[5]
  • (Tandang) 02-10-2010 Bontang FC (5-0)[6]

Kalah

  • (Kandang) 28-02-2009 Persipura (0-5)
  • (Tandang) 26-01-2003 Persipura (0-6)
  • (Tandang) 07-03-2011 Persipura (1-6)

Partisipasi di Liga

Galatama

Liga Indonesia

Liga Super Indonesia

Partisipasi di Level Asia

  • Kejuaraan Klub Asia 1993–94 (tidak lolos ke ronde 6 luhur setelah kalah agregat 3-6 dari Thai Farmers Bank Thailand)
  • Liga Champions AFC 2006 (dicoret karena PSSI LALAI mendaftarkan peserta AFC Champions League)
  • Liga Champions AFC 2007 (gagal lolos dari ronde penyisihan karena hanya menempati urutan ke-3)
  • Liga Champions AFC 2011 (gagal lolos dari ronde penyisihan karena hanya menempati urutan ke-4)
  • Piala AFC 2012 (lolos ke perempat final, disingkirkan Al Ettifaq dari Arab Saudi dengan skor 2-0 [home] dan 2-0 [away])

Pelatih

Pemain terkenal

Lokal

Asing

  • Franco Hita (2005–06)
  • Rodrigo Santoni (2011–12, Arema ISL)
  • Fernando Martin Stagnari (2007)
  • Joao Carlos (2004–07)
  • Junior Lima (2004–05)
  • Rivaldo Costa (2004–05)
  • Marcio Souza (2011–12, Arema ISL)
  • Rodrigo Araya (1999–00), (2003)
  • Christian Cespedes (1998–99)
  • Patricio Morales (2007–09)
  • Julio Caesar Moreno (1996–97)
  • Jamie Rojas (2002)
  • Fransisco "Pacho" Rubio (1999–00)
  • Juan Manuel Rubio (1996–00)
  • Esteban Guillén (2009–12)
  • Leontin Chitescu (2009)
  • Roman Golian (2011)

Mantan pemain

Pemilik

Berdasarkan pengesahan SK Menkumham No. AHU-AH.01.06-317 pada tanggal 9 Mei 2012 atas akta Nurul Rahadianti, PEMEGANG SAHAM terbesar PT. AREMA INDONESIA merupakan YAYASAN AREMA INDONESIA sebesar 13 lembar saham (93%) dan Lucky Andriandana Zainal yaitu 1 lembar saham (7%).

Dalam SK Menkumham tersebut disebutkan, bahwa pengurus Yayasan Arema Indonesia adalah:

  • pembina yayasan: Darjoto Setyawan
  • ketua yayasan: Muhammad Nur
  • Bendahara: Rendra Kresna
  • Sekretaris: Mujiono Mujito
  • Pengawan yayasan: Bambang winarno.


Dari pengesahan Menkumham tersebut juga dijelaskan bahwa jika berada pengunduran diri yang diterapkan sebelum tanggal 9 Mei 2012 dianggap tidak sah. Pengurus yang telah melakukan pengunduran diri sebelum tanggal 9 Mei 2012 tsb merupakan Darjoto Setyawan, Mujiono Mujito & Rendra Kresna.

Pengelola

  • Lucky Acub Zaenal (1987-2003)
  • Ir. Lucky Acub Zaenal/H.M Mislan (1995-1996)
  • PT Bentoel Investama Indonesia, Tbk (2003-2009)
  • Konsorsium (2009-2011)
  • IPL: Grup Ancora (2011-2012) --- ISL: Arema Cronous(2012-.......)

  • Adidas (1995–1998)
  • Reebok (1999–2000)
  • Nike (2001)
  • Puma (2006–2009)
  • Diadora (2009–2010)
  • Lotto (2010–2011)
  • Umbro (2011-sekarang/IPL)
  • Ultras (2012-sekarang/ISL)
  • Joma (sekarang)

Referensi

Pranala luar


edunitas.com


Page 25

Arema Indonesia atau Arema Cronous, dahulu bernama Arema Malang, merupakan sebuah klub sepak bola yang berkedudukan di Malang, Jawa Timur, Indonesia. Arema didirikan pada tanggal 11 Agustus 1987, Arema mempunyai julukan "Singo Edan" . Mereka dijadikan pemain di Stadion Kanjuruhan dan Stadion Gajayana. Arema merupakan tim sekota dari Persema Malang. Di musim 2010-11, di cara launching sempat menggunakan nama Arema FC,[1] namun dua hari kesudahan kembali lagi ke nama Arema Indonesia.[2]

Sejak mempunyai di persepak bolaan nasional, Arema telah dijadikan ikon dari warga Malang Raya (Kota Malang, Kabupaten Malang, Kota Batu) dan sekitarnya. Sbg perwujudan dari simbol Arema, hampir di setiap sudut kota sampai gang-gang kecil terdapat patung dan gambar singa. [3] Kelompokan suporter mereka dipanggil Aremania dan Aremanita (untuk pendukung wanita)

Sejarah

Nama Arema pada masa Kerajaan

Nama Arema merupakan legenda Malang. Merupakan Kidung Harsawijaya yang pertama kali mencatat nama tersebut, yaitu kisah tentang Patih Kebo Arema di kala Singosari diperintah Raja Kertanegara. Prestasi Kebo Arema gilang gemilang. Ia mematahkan pemberontakan Kelana Bhayangkara seperti ditulis dalam Kidung Panji Wijayakrama sampai seluruh pemberontak hancur seperti daun dimakan ulat. Demikian pula pemberontakan Cayaraja seperti ditulis kitab Negarakretagama. Kebo Arema pula yang dijadikan penyangga politik ekspansif Kertanegara. Bersama Mahisa Anengah, Kebo Arema menaklukkan Kerajaan Pamalayu yang berpusat di Jambi. Kesudahan bisa menguasai Selat Malaka. Sejarah heroik Kebo Arema memang tenggelam. Buku-buku sejarah hanya mencatat Kertanegara sbg raja terbesar Singosari, yang pusat pemerintahannya tidak jauh Kota Malang.

Nama Arema di dekade '80-an

Sampai yang belakang sekalinya pada dekade 1980-an muncul kembali nama Arema. Tidak kenal persis, apakah nama itu menapak tilas dari kebesaran Kebo Arema. Yang pasti, Arema merupakan penunjuk sebuah komunitas asal Malang. Arema merupakan akronim dari Arek Malang. Arema kesudahan menjelma dijadikan semacam "subkultur" dengan identitas, simbol dan karakter bagi masyarakat Malang. Diyakini, Arek Malang membangun reputasi dan eksistensinya di selangnya melalui musik rock dan olahraga. Selain tinju, sepak bola merupakan olahraga yang dijadikan perlintasan bagi arek malang menunjukkan reputasinya. Sehingga lahir tim sepak bola Arema merupakan sebuah keniscayaan.

Awal mula berdirinya PS Arema

(Arema Football Club/Persatuan Sepak Bola Arema nama resminya) lahir pada tanggal 11 Agustus 1987, dengan semangat mengembangkan persepak bolaan di Malang. Pada masa itu, tim asal Malang lainnya Persema Malang bagai sebuah magnet bagi arek Malang. Stadion Gajayana –home base klub pemerintah itu– selalu disesaki penonton. Dimana posisi Arema saat itu? Yang pasti, klub itu belum mengejawantah sbg sebuah komunitas sepak bola. Ia masih sah sebuah “utopia”.

Merupakan Acub Zaenal mantan Gubernur Irian Jaya ke-3 dan mantan pengurus PSSI periode 80-an yang kali pertama punya andil menelurkan konsep membentuk klub Galatama di kota Malang setelah sebelumnya membangun klub Perkesa 78 bersama Dirk “Derek” Sutrisno (Alm), pendiri klub Armada ‘86.

Berkat hubungan adun selang Dirk dengan wartawan olahraga di Malang, khususnya sepakbola, maka SIWO PWI Malang mengadakan seminar sehari bagi melihat "sudah saatnyakah Kota Malang mempunyai klub Galatama?" Drs. Heruyogi sbg Ketua SIWO dan Drs. Bambang Bes (Sekretaris SIWO) menggelar seminar itu di Balai Wartawan Jl. Raya Langsep Kota Malang. Temanya "Klub Galatama dan Kota Malang", dengan nara sumber al; Bp. Acub Zainal (Administratur Galatama), dari Pengda PSSI Jatim, Komda PSSI Kota Malang, Dr. Ubud Salim, MA. Cara itu dibuka Bp Walikota Tom Uripan (Alm). Hasil atau rekomendasi yang didapatkan dari seminar: Kota Malang dinilai sudah layak mempunyai sebuah klub Galatana yang professional.

Harus diakui, awal berdirinya Arema tidak bebas dari peran luhur Derek dengan Armada 86-nya. Nama Arema awalnya merupakan Aremada-gabungan dari Armada dan Arema. Namun nama itu tidak bisa langgeng. Beberapa bulan kesudahan ditukar dijadikan Arema`86. Sayang, upaya Derek bagi mempertahankan klub Galatama Arema`86 banyak merasakan hambatan, bahkan tim yang diharapkan mampu berkiprah di kancah Galatama VIII itu mulai terseok-seok karena dihimpit kesukaran dana.

Dari sinilah, Acub Zaenal lantas mengambil alih dan berusaha menyelamatkan Arema`86 supaya tetap survive. Setelah diambil alih, nama Arema`86 yang belakang sekalinya diubah dijadikan Arema dan ditetapkan pula berdirinya Arema Galatama pada 11 Agustus 1987 berdasarkan dengan akte notaris Pramu Haryono SH–almarhum–No 58. “Penetapan tanggal 11 Agustus 1987 itu, seperti cairan mengalir begitu saja, tidak berdasar penetapan (pilihan) secara khusus,”.

Dari pendirian bulan Agustus itulah kesudahan simbol Singo (Singa) muncul. "Agustus itu identik dg Zodiac Leo atau Singo (sesuai dengan horoscop).

Perjalanan Arema di Galatama

Di awal keikut sertaan di Kompetisi Galatama, gerilya mencari pemain diterapkan satu bulan sebelum Arema formal didirikan.Pemain-pemain seperti Maryanto (Persema), Jonathan (Satria Malang), Kusnadi Kamaludin (Armada), Mahdi Haris (Arseto), Jamrawi dan Yohanes Geohera (Mitra Surabaya), sampai kiper Dony Latuperisa yang kala itu tengah menjalani skorsing PSSI karena kasus suap, direkrut. Pelatih sekualitas Sinyo Aliandoe, juga bergabung.

Hanya saja, masih berada halangan yakni menyangkut mess pemain. Beruntung, Lanud Bandar Udara Abdul Rachman Saleh berhasrat membantu dan menyediakan barak prajurit Paskhas TNI AU bagi tempat penampungan pemain. Selain barak, lapangan Pagas Abd Saleh, juga dibuat sebagai tempat belajar. Praktis Maryanto dkk ditampung di barak. “TNI-AU memberikan andil yang luhur pada Arema.

Sempat berada halangan, yakni masalah dana –masalah utama yang kelak terus membelit Arema. Sepulang dari Jakarta, Acub Zaenal sepakat dijadikan penyandang dana.

Prestasi klub Arema bisa dibilang seperti pasang surut, walaupun tak pernah menghuni papan bawah klasemen, hampir setiap musim kompetisi Galatama Arema F.C. tak pernah konstan di jajaran papan atas klasemen, namun demikian pada tahun 1992 Arema berhasil dijadikan juara Galatama. Dengan modal pemain-pemain handal seperti Aji Santoso, Mecky Kelola, Singgih Pitono, Jamrawi dan eks pelatih PSSI M Basri, Arema mampu mewujudkan mimpi masyarakat kota Malang dijadikan juara kompetisi elit di Indonesia.

Perjalanan Arema di Ligina

Sejak mengikuti Liga Indonesia, Arema F.C. tercatat sudah 7 kali masuk putaran kedua. Sekali ke ronde 12 luhur (1996/97) dan enam kali masuk 8 besar( 1999/00, 2001, 2002, 2005, 2006,& 2007). Walaupun berprestasi lumayan, tapi Arema tidak pernah bebas dari masalah dana. Hampir setiap musim kompetisi masalah dana ini selalu menghantui sehingga tak ajab hampir setiap musim manajemen klub selalu berubah. Pada tahun 2003, Arema merasakan kesukaran keuangan parah yang berpengaruh pada prestasi tim. Hal tersebut yang kesudahan menciptakan Arema FC diakuisisi kepemilikannya oleh PT Bentoel Internasional Tbk pada pertengahan musim kompetisi 2003 meskipun pada yang belakang sekalinya Arema terdegradasi ke Divisi I. Sejak kepemilikan Arema dipegang oleh PT Bentoel Internasional Tbk, prestasi Arema semakin meningkat; 2004 juara Divisi I, 2005, dan 2006 juara Copa Indonesia, 2007 juara Piala Soeratin LRN U-18. Pada tahun 2006 dan 2007 Arema dan Benny Dollo mendapatkan penghargaan dari Tabloid Bola sbg tim terbaik dan Pelatih terbaik.

Perjalanan Arema di ISL

Jepang berhasil menguasai beberapa kota besar di Tiongkok yaitu

Monumen Singa Bola dari warga yang didedikasikan bagi Arema

Kompetisi Liga Super Indonesia ke-1 2008-2009 Arema berada di urutan ke-10. Dua bulan Setelah kompetisi bubar tepatnya 3 Agustus 2009 di Hotel Santika Malang pemilik klub Arema, PT Bentoel Investama, Tbk melepas Arema ke kelompokan orang-orang peduli terhadap Arema (konsorsium).[4] Pelepasan Arema ini merupakan dampak dari penjualan saham mayoritas PT Bentoel Investama, Tbk. ke British American Tobacco. Sebelumnya berada wacana bagi menggabungkan Arema dengan Persema Malang dijadikan satu, namun disorongkan oleh Aremania. Arema pada musim kompetisi 2009-10 yang ditukangi oleh Robert Rene Alberts meraih gelar Juara Liga Super Indonesia dan Runner-up Piala Indonesia.

Nama

Arema sempat beberapa kali berubah nama:

  • PS Arema Malang (1987-1995); pemilik saham Pemerintah Malang
  • PS Arema Bentoel (1995-2009); mencantumkan nama pemilik saham mayoritas Bentoel
  • Arema Indonesia FC (2009-2013); pemilik saham Yayasan Arema Indonesia
  • Arema Cronous FC (2013-2014); mencantumkan nama pemilik saham mayoritas PT. Pelita Jaya Cronous

Pemain

Skuat saat ini

  • CEO : Iwan Budianto
  • Manager : Rudi Widodo
  • Head coach : Suharno
  • Assistant coach 1 : Joko Susilo
  • Assistant coach 2 : Kuncoro
  • Assistant coach 3 : I Made Pasek Wijaya
  • Goalkeeper coach : Alan Haviludin
  • Fitness coach : Kosong
  • Dokter tim : Indrawan Duantoro
Per 6 November 2013..

Transfer 2014

Masuk

Catatan: Bendera menunjukkan tim nasional pemain berdasarkan dengan peraturan FIFA. Pemain dapat saja mempunyai semakin dari satu kewarganegaraan.

Keluar

Catatan: Bendera menunjukkan tim nasional pemain berdasarkan dengan peraturan FIFA. Pemain dapat saja mempunyai semakin dari satu kewarganegaraan.

Dipinjamkan

Catatan: Bendera menunjukkan tim nasional pemain berdasarkan dengan peraturan FIFA. Pemain dapat saja mempunyai semakin dari satu kewarganegaraan.

No.Pos.Nama
MFJoko Sasongko (ke Persisam Samarinda)

Prestasi

Gelar

  • Juara (2): 2005, 2006
  • Runner up (1): 2010
  • Juara (1): 2009-10
  • Runner up (2): Liga Super Indonesia 2010-11,2012-2013,2012-2013
  • Piala Gubernur
  • Trofeo Persija
  • Piala Menpora

Penghargaan

  • Tabloid Bola Best Team Award (2): 2006, 2007

Rekor Kemenangan-Kekalahan Terbesar

Menang

  • (Kandang) 19-06-2011 Bontang FC (8-0)[5]
  • (Tandang) 02-10-2010 Bontang FC (5-0)[6]

Kalah

  • (Kandang) 28-02-2009 Persipura (0-5)
  • (Tandang) 26-01-2003 Persipura (0-6)
  • (Tandang) 07-03-2011 Persipura (1-6)

Partisipasi di Liga

Galatama

 
Title LigaSeriTahunNama PelatihUrutan KesudahanPrestasi
GalatamaVIII1987/88Sinyo Aliandoe6 (14 Tim)
GalatamaIX1988/89Sinyo Aliandoe/Andi M Teguh8 (18 Tim)Top Scorer Mecky Kelola (18)
GalatamaX1990Andi M Teguh4 (18 Tim)
GalatamaXI1990/92Andi M Teguh4 (20 Tim)Top Scrorer Singgih Pitono (21)
GalatamaXII1992/93M Basri/Gusnul Yakin1 (17 Tim)Juara, Top Scorer Singgih Pitono (16)
GalatamaXIII1993/94Gusnul Yakin6 (Ronde Penyisihan)17 Tim di bagi 2 Group

Liga Indonesia

 align="left">Terry Wetton/Gusnul Yakin/Henk Wullems
Title KompetisiSeriTahunNama PelatihUrutan KesudahanPrestasi
Liga DunhillI1994/95Halilintar GunawanPenyisihan (6 dari 17 tim)
Liga DunhillII1995/96Gusnul YakinPenyisihan (12 dari 16 tim)
Liga KansasIII1996/97SuharnoRonde 12 Luhur
LiginaIV1997/98Gusnul YakinDitiadakan (kerusuhan politik)
LiginaV1998/99Hamid Asnan/WinartoPenyisihan (3 dari 6 tim)
Liga Bank Dapat berdiri sendiriVI1999/00M. BasriRonde 8 Luhur
Liga Bank Dapat berdiri sendiriVII2001Daniel RoekitoRonde 8 Luhur
Liga Bank Dapat berdiri sendiriVIII2002Daniel RoekitoRonde 8 Luhur
Liga Bank Dapat berdiri sendiriIX2003
19 (22 Tim) Degradasi
Liga Pertamina (Divisi 1)X2004Benny Dollo1Juara Promosi ke Liga Djarum
Liga DjarumXI2005Benny DolloRonde 8 Luhur
Liga DjarumXII2006Benny DolloRonde 8 Luhur
Liga DjarumXIII2007Miroslav JanuRonde 8 Luhur


Page 26

Jepang berhasil menguasai beberapa kota besar di Tiongkok yaitu

Aremania yaitu sebutan sebagai komunitas pendukung (suporter) klub sepak bola Arema Malang. Aremania tidak termasuk dalam struktur organisasi PS Arema Malang melainkan berdiri sendiri sebagai simpatisan pendukung Arema. Oleh karena itu Aremania selalu dapat berdiri sendiri dalam segala urusan dan pembiayaannya.

Sebelumnya pendukung Arema pernah mempunyai dalam "masa kelam" di mana setiap kesebelasannya berjumpa dengan tim lain nyaris dikuatkan hendak terjadi kerusuhan. Pernah terjadi setiap kendaraan yang berplat nomor "L" (dari Kota Surabaya) pasti dirusak. Sampai ketika ini, apabila Persebaya bertanding ke Malang, mereka tidak pernah mengirim suporternya, begitu pula bila Arema bertandang ke Surabaya. Setelah timbul kesadaran sebagai menunjukkan bahwa mendukung kesebelasan kesayangnnya tak harus dengan pandangan sempit (chauvinisme lokal), Aremania mulai berbenah diri dan mulai mengubah imejnya, tidak hanya damai, sportif, loyal, tapi juga atraktif.

Aremania termasuk suporter sangat loyal di Indonesia. Di setiap aduan, entah di Malang maupun di luar kota Malang, Aremania selalu mendukung tim kesayangannya. Mereka tidak pernah peduli timnya menang atau kalah, yang penting mereka mendukung tim kesayangan mereka dengan perkara yang sportif, atraktif dan simpatik.

Penghargaan yang pernah diraih oleh Aremania selang lain yaitu The Best Suporter pada Ligina VI tahun 2000 Oleh Ketum Agum Gumelar. dan The Best Suporter pada Copa Indonesia II tahun 2006.

Aremania dan Kota Malang

Jepang berhasil menguasai beberapa kota besar di Tiongkok yaitu

Dari catatan Kompas, sebelum Arema lahir sebagian kawula muda Kota Malang tersekat dalam pelbagai geng. Misalnya, Argom (Armada Gombal), Prem (Persatuan Residivis Malang), Saga (Sumbersari Anak Ganas), Van Halen (Vederasi Anak Nakal Faktor yang membatasi Enteng), Arpanja (Arek Panjaitan), Arnak (Armada Nakal ), Anker (Anak Keras), GAS (Gabungan Anak Setan), Aregrek (Arek Gang Gereja Kayutangan), Ermera, Arpol. Perkara geng-geng ini cenderung pada hal-hal negatif. Misalnya kubam (mabuk-mabukan), ngisruh (membuat kerusuhan), nggelek (narkoba), tawuran, kriminalitas. Sebagian geng juga dimanfaatkan sebagai kepentingan politik tertentu. Sampai kini, sedang dikenang nama-nama tokoh geng legendaris seperti Fauzi alias Gozi, Si Nyawa Rangkap Tamin, Hanafi, Joni Mangi, Mariso, Birowo. Sebagian dari mereka hilang ketika musim penembakan misterius (petrus) pada tahun 1980-an. Setelah lahir Arema, kawula muda itu mulai berimpun dalam Aremania dan meninggalkan kehidupan geng. Dengan jargon "salam satu jiwa Arema", mereka mendirikan persaudaraan.

Aremania ketika ini

Aremania benar-benar atraktif, sportif dan kreatif. Aduan Arema itu telah terlindung dan nyaman sebagai ditonton oleh semua kalangan. bahkan dengan kaum hawa yang dulunya takut sebagai menonton aduan bola, sekarang mereka telah dengan giat sebagai ikut serta memberikan dukungan kepada Arema kala bertanding. Kaum hawa telah membentuk kumpulan supporter sendiri dalam mendukung Arema, yaitu Aremanita. Dan hal ini pula yang menjadikan Arema sebagai voulentir yang mempunyai kumpulan supporter dari kalangan kaum hawa yang pada yang akhir sekalinya dicontoh oleh kelompok-kelompok supporter dari klub bola lainnya. Seperti The Jak Angel, Bonita dan lain2. Lagipula Aremania itu sekarang diproduksi menjadi sesuatu yang khas Malang. Walaupun Aremania benar-benar meniru sesuatu yang telah mempunyai di Eropa peniruan itu telah disesuaikan dengan konteks Malang sendiri.

Kerusuhan pada 8 Besar Liga Indonesia 2007

Pada ronde 8 Besar Divisi Utama Liga Indonesia 2007, Aremania bertindak anarkis, kala Arema bertanding melawan Persiwa Wamena pada 16 Januari 2008. Aduan harus dihentikan pada menit ke-71 ketika Persiwa unggul 2-1 dari Arema. Para Aremania yang tidak puas dengan kepemimpinan wasit turun ke lapangan dan merusak Stadion Brawijaya. Kesudahannya Aremania dihukum pelarangan mengenakan atribut ketika mendukung Arema selama dua tahun dan dilarang medukung Arema ketika di luar kandang. Hukuman ini diterima oleh semua Aremania dan dapat dipatuhi selama dua tahun. Selama dua tahun tersebut Aremania hanya memakai baju hitam dan bendera merah putih selama menonton aduan.

Rekor tur terbanyak

Setelah hukuman Aremania berakhir, Aremania ikut membawa Arema juara pada Indonesian Super League 2010. Pada Indonesian Super League 2010, Aremania diproduksi menjadi supporter yang menerapkan tur dengan banyak sangat besar. sekitar 50.000 Aremania yang datang ke Jakarta. Sebagian besar ditengahnya menggunakan moda angkutan berupa kereta api, bus, dan kendaraan pribadi. Ini sedang ditambah sekitar 7000-10000 Aremania yang tersebar di wilayah Jabodetabek. sekitar 40.000 Aremania sukses memasuki stadion dengan memegang tiket yang telah dibeli sebelumnya, ribuan Aremania lain terpaksa mempunyai di shuttle ban bahkan ribuan lainnya mempunyai di luar stadion karena tidak dapat masuk stadion. Aremania menempati sektor 13 sampai 24 stadion utama Gelora Bung Karno sementara pendukung tuan rumah The Jakmania mempunyai di sektor 1 sampai 12.

Pranala luar


edunitas.com