Ikhlas artinya a rendah diri b. rendah hati c. tulus hati d percaya diri

Oleh : Ahman Tanjung dan Ani Rusmiati

A.   Muqodimah

Kami disini akan menjelaskan sedikitnya tentang Tawadhu, Ikhlas dan Percaya Diri. Penjelasan ini kami buat dengan beberapa point, kami mengangkat beberapa masalah yang terjadi pada sekarang ini, antara lain:

  1. Realitas di zaman sekarang ini banyak orang yang merasa pintar dan merasa sombong dalam segala hal . Misalkan saja seseorang yang ditanya tentang suatu permasalahan yang sebenarnya dia tak tahu akan jawaban pertanyaan tersebut. Namun orang itu bersikukuh untuk menjawabnya karena takut dianggap bodoh. Dan agar orang yang bertanya merasa kagum terhadapnya. Idealitas untuk mengatasi sifat seperti ini, kita dapat mencontoh akhlak terpuji Rasulullah yaitu dengan sifat ketawadhuan’ beliau.
  1. Banyak di antara kita yang selalu bersedekah, shalat, puasa, zakat, infak dan amalan lainnya, baik itu disalurkan ke suatu lembaga, masjid, maupun langsung ke orang yang menjadi objek penerima. Ada orang yang bersedekah di suatu masjid untuk pembangunan mesjid. Orang yang memberikan tersebut meminta agar nominal yang diberikannya diumumkan di masjid atas namanya. Namun, yang menjadi pertanyaan, apakah orang-orang yang berbuat baik yang telah kami gambarkan tersebut ikhlas dalam berbuat hal demikian ? Idealitas dari permasalahan tersebut adalah membiasakan diri untuk berbuat ikhlas dengan cara menghindari diri dari penyakit-penyakit yang akan menghalangi bersihnya kebaikan yang telah kita lakukan. Dan hal itu dapat berhasil kita lakukan dengan cara praktek dan praktek terus menerus.
  1. Realitas pada saat ini juga banyak orang yang mudah putus asa dan kurang percaya diri terhadap dirinya sendiri. Banyak orang yang bunuh diri akibat masalah keputusasaan terhadap diri sendiri. Yang perlu di garis bawahi adalah kenapa kita harus percaya diri dan tidak putus asa?

Idealitas dari masalah diatas adalah dengan membangkitkan rasa percaya diri tehadap diri kita sendiri. Sehingga kita tidak akan mudah putus asa bahkan sampai nekad melakukan hal-hal yang sangat dibenci oleh Agama.

B.   Analisa

1. Analisa Tentang Masalah Tawadhu’

Tawadhu’ adalah ketundukan kepada kebenaran dan menerimanya dari siapapun datangnya baik ketika suka atau dalam keadaan marah. Artinya, janganlah kamu memandang dirimu berada di atas semua orang, atau menganggap semua orang membutuhkan kamu. Tawadhu’ adalah sifat yang sangat terpuji di hadapan Allah dan di hadapan seluruh makhluk-Nya. Tawadhu’ juga dapat diartikan memperhatikan kedudukan orang lain dan menghindari prilaku arogan terhadap mereka. Tawadhu’ juga merupakan sifat yang menarik yang mampu menarik hati-hati manusia dan menimbulkan kekaguman.[1

Setiap orang mencintai sifat ini sebagaimana Allah dan Rasul-Nya. Namu  tidak semua orang dapat memelihara sifat baik ini. Banyak kisah-kisah tauladan dari Rasulullah tentang akhlak mulia ini, seperti akhlak Rasulullah ketika seseorang bertanya tentang berbagai masalah kepada Nabi, tapi beliau dengan tawadhu’nya menangguhkan jawabannya sampai beberapa hari. Nabi berdo’a dan meminta jawaban kepada Allah SWT tentang pertanyaan tersebut. Nabi tidak langsung menjawab. Dan memang banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang turun karena permintaan wahyu dari Nabi atas jawaban yang datang kepada beliau. Dan kisah beliau yang lainnya, walaupun Beliau adalah seorang Nabi, beliau mampu bergaul dengan kaum muslim maupun nomuslim, dari setiap lapisan dari yang kaya sampai yang miskin, dari pejabat maupun rakyat biasa, dari orang kota sampai arab badui, dari kawan maupun lawan. Beliau duduk berbaur bersama mereka, menasehati mereka, dan memerintahkan mereka agar juga bersifat tawadhu’. Sifat ketawadhuan beliau yang sangat kita kagumi yakni, menjenguk orang non-muslim yang sedang sakit yang pernah meludahi beliau.Sebagaimana sabda Rasulullah SAW:

وَإِنَّ اللَّهَ أَوْحَى إِلَيَّ أَنْ تَوَاضَعُوا حَتَّى لَا يَفْخَرَ أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ وَلَا يَبْغِ أَحَدٌ عَلَى أَحَد

“Dan Allah mewahyukan kepadaku agar kalian saling merendah diri agar tidak ada seorang pun yang berbangga diri pada yang lain dan agar tidak seorang pun berlaku zhalim pada yang lain.”(HR. Muslim).

Dari hadits di atas sudah sangat jelas sekali bahwa sifat Tawadhu’ sangat dianjurkan dalam Islam. Dan tidak menganjurkan untuk membangga-banggakan diri baik di hadapan Allah maupun dihadapan ciptaan-Nya. Sebagaimana firman Allah SWT:

تِلْكَ الدَّارُ الآخِرَةُ نَجْعَلُهَا لِلَّذِينَ لا يُرِيدُونَ عُلُوًّا فِي الأَرْضِ وَلا فَسَادًا وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ

 “Negeri akhirat itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di (muka) bumi. Dan kesudahan (yang baik) itu adalah bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Qashash: 83).

Tawadhu’ kepada kaum mukminin merupakan sifat terpuji yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya. Karenanya barangsiapa yang Tawadhu’ niscaya Allah akan mengangkat kedudukannya di mata manusia di dunia dan di akhirat. Karenanya tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya ada kesombongan sekecil apapun, karena negeri akhirat beserta semua kenikmatannya hanya Allah peruntukkan bagi orang yang tidak tinggi hati dan orang yang tawadhu’ kepada-Nya. Sifat Tawadhu’ memiliki karakter kesederhanaan dan bebas dari sikap lalai dan berlebihan. Sebab, sikap rendah hati yang berlebihan dapat menyebabkan keburukan, seperti dianggap remeh orang lain, dan lalai mempraktikan sifat Tawadhu’ ini merupakan motif dan sebab lahirnya sikap arogansi.[2]

Islam tidak mengajarkan umatnya untuk menjadi orang yang sok tahu seperti permasalahn di atas, bicara sana bicara sini tanpa mengetahui ilmunya. Agama Islam tidak mengajarkan berprilaku seperti itu. Sifat kerendahan diri sangat digalakkan di mana setiap muslim harus berhati-hati dengan apa yang ia bicarakan, bahkan Islam mengajarkan kita untuk diam, apabila kita tidak tahu. Atau berkata jujur serta bertawdhu’lah.

Ibnu Qayyim berkata bahwa, “Salah satu tanda kebahagiaan dan kesuksesan adalah tatkala seorang hamba bertambah ilmunya maka semakin bertambah pula sikap tawadhu’ dan kasih sayangnya. Dan tanda kebinasaan yaitu tatkala semakin bertambah ilmunya maka semakin bertambahlah kesombongan dan kecongkakannya.

2. Analisa Tentang Masalah Ikhlas

Hati (qalb) adalah sesuatu yang amat halus dan lembut, tidak kasat mata, tak berupa dan tak dapat diraba. Imam Al-Ghazali mengatakan bahwa, “Perumpaan hati seperti sebuah kolam yang digali dalam tanah, maka terdapat dua kemungkinan, apakah kolam itu akan dipenuhi dengan air yang disalurkan kepadanya melalui sungai-sungai di atasnya, atau dapat pula tanah di dasarnya digali lebih dalam lagi, sehingga mencapai sumber air jernih di bawahnya. Hati manusia adalah seperti kolam, sedangkan ilmu pengetahuan adalah seperti air, sementara kelima indra (pancaindra) adalah seperti sungai-sungai.[3]

Kebanyakan manusia tidak mengenal hati maupun diri mereka sendiri, disebabkan adanya penghalang antara mereka dan diri mereka sendiri.Kita perlu memahami bahwa segala sesuatu yang tidak dilakukan semata-mata karena Tuhan dan tanpa keikhlasan, tidak akan memberikan manfaat bagi manusia, bahkan hal itu berbahaya bagi kehidupan akhirat.

Ikhlas berhubungan dengan hati. Karena segala sesuatu ditentukan oleh hati yang bersih. Jika melakukan sesuatu berdasarkan hati yang bersih, maka hasilnya akan menguntungkan diri sendiri. Sedangkan jika melakukan sesuatu berdasarkan hati yang kotor, maka hasilnya akan merugikan diri sendiri

Menurut para ahli kesehatan, minum air putih lebih baik daripada minum air yang berwarna. Air putih yang masih murni dan belum bercampur sangat baik untuk kesehatan. Sementara air yang berwarna, seperti kopi dan the, meskipun juga tidak buruk tapi kalau dikonsumsi secara berlebihan dapat merugikan kesehatan. Oleh karena itu, para ahli kesehatan menganjurkan kita untuk minum air putih minimal delapan liter sehari.[4]

Apa hubungannya air putih dengan ikhlas ? ikhlas berasal dari bahasa Arab yakni Khalasha yang berarti:

  1. Murni
  2. Suci
  3. Tidak bercampur
  4. Bebas
  5. Jernih

Nilai-nilai perbuatan bervariasi sesuai dengan tujuan-tujuannya. Ukuran kualitas dan diterimanya amala-amalan tergantung pada kemuliaan tujuan dan kesucian dari cacat-cacat tipuan, pengaburan, dan kemunafikan. Dari sudut pandang syariat Islam, faktor pendorong satu-satunya adalah niat yang memotivasi amalan. Bila niat benar-benar ditujukan hanya kepada Allah Swt. dan disucikan dari cacat-cacat riya, maka amalannya akan diterima oleh Allah Swt. Sebaliknya, jika tipuan dan riya bercampur dengan niat, maka yang terjadi adalah kemurkaan, penolakan Allah serta kesia-siaannya amal perbuatan tersebut.

Sebagaimana hadits Nabi yang berbunyi, “Orang yang beramal dengan amalan akhirat untuk meraih pahala dunia, maka di akhirat ia takkan mendapat apa-apa”.

Keikhlasan berarti menyucikan amal-amal perbuatan dari campur tangan sesama makhluk. dikatakan pula bahwa, “Keikhlasan berarti melindungi diri sendiri dari urusan individu-individu manusia.”

Abu Ya’qub as-Susy mengatakan, “Apabila mereka melihat keikhlasan di dalam keikhlasannya, maka keikhlasan mereka itu memerlukan keikhlasan lagi.

Dzun Nuun al-Mishry menjelaskan, “Ada tiga tanda keikhlasan: Manakala orang yang bersangkutan memandang pujian dan celaan manusia sama saja; melupakan amal ketika beramal; dan jika ia lupa akan haknya untuk memperoleh pahala di akhirat karena amal baiknya.”

Al-Junayd mengatakan, “Keikhlasan adalah rahasia antara si hamba dengan Tuhannya.

Nabi Muhammad Saw bersabda,” Sesungguhnya pada setiap fakta terdapat suatu realitas, dan realitas keikhlasan adalah bahwa manusia tidak mencapai keikhlasan jika dia tidak membenci pujian dari manusia atas amal perbuatannya.”

Dalam hadits lain, Nabi bersabda:

ثَلاَثٌ لاَ يَغُلُّ عَلَيْهِمْ قَلْبُ مُسْلِمٍ: اِخْلاَصُ الْعَمَلِ للهِ تَعَالَى، وَمُنَاصَحَةُ وُلاَةِ الأُمُوْرِ، وَلُزُوْمُ جَمَاعَةِ الْمُسْلِمِيْنَ [اخرخه احمد، عن ابي بكرة]

“Belenggu tidak akan masuk ke dalam hati seorang Muslim, jika ia menetapi tiga perkara: Ikhlas beramal hanya bagi Allah Saw.; memberikan nasihat yang tulus kepada penguasa; dan tetap berkumpul dengan masyarakat muslim.”

3. Analisa Tentang Masalah Percaya Diri

Kenapa kita harus percaya diri dan tidak putus asa? Tidak banyak orang yang sadar bahwa kehidupan seseorang sangat ditentukan oleh cara berpikirnya. Apabila ia berpikir atau mempunyai gambaran sebagai orang yang penakut dan pesimis, maka gambaran tersebut akan mempengaruhi seluruh potensi dirinya yang ada sebagai seorang yang penakut. Ketakutan dan keputus asaan seseorang dalam mencari rahmat Allah adalah karena ketidak mampuan dan  ketidak yakinan orang tersebut dalam menghadapi masalah tersebut.

Percaya diri merupakan salah satu aspek kepribadian yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Orang yang percaya diri yakin atas kemampuan mereka sendiri serta memiliki pengharapan yang realistis, bahkan ketika harapan mereka tidak terwujud, mereka tetap berpikiran positif dan dapat menerimanya. Ada juga yang mengatakan bahwa percaya diri adalah kondisi mental atau psikologis diri seseorang yang memberi keyakinan kuat pada dirinya untuk berbuat atau melakukan sesuatu tindakan. Orang yang tidak percaya diri memiliki konsep diri negatif, kurang percaya pada kemampuannya, karena itu sering menutup diri.

Percaya diri sangatlah penting. Pengaruhnya pada berbagai aspek kehidupan manusia. Percaya diri akan memberikan semangat yang luar biasa dalam melakukan tindakan apapun. Kepercayaan diri adalah sebuah sikap yang positif. Kepercayaan diri akan membawa seseorang optimis dalam menjalani hidup. Kepercayaan diri adalah modal awal yang menentukan keberhasilan, dalam menghadapi setiap masalah yang dihadapi.

Sesungguhnya agama islam memerintahkan agar berserah diri dan ikhlas kepada Allah SWT. Kita sebagai manusia agar percaya diri dan tidak putus asa untuk terus mencari rahmat Allah. Banyak manusia yang cepat putus asa bahkan melampiaskanya dengan bunuh diri, hal itu disebabkan karena pemikiranya yang dangkal dan jauh dari nilai-nilai yang terkandung dalam Al-Qur’an. Kita sebagai manusia wajib ikhtiar, karena semua masalah pasti ada jalan keluarnya.

Orang yang mempunyai kepercayaan diri yang bagus, mereka memiliki perasaan positif terhadap dirinya, memiliki keyakinan yang kuat atas dirinya dan punya pengetahuan akurat terhadap kemampuan yang dimiliki. Orang yang memiliki kepercayaan diri yang bagus bukanlah orang yang hanya merasa mampu (tetapi sebetulnya tidak mampu) melainkan adalah orang yang mengetahui bahwa dirinya mampu berdasarkan pengalaman dan perhitungannya.

C.   Kesimpulan

Di dunia ini semuanya diciptakan serba berpasang-pasangan. Setiap masalah pasti ada solusinya, dan setiap penyakit pasti ada obatnya, seperti halnya dengan prilaku manusia, ada baik dan ada buruk, Namun untuk menjadi insan yang baik sudah sepatutnya kita berakhlak yang baik dengan akhlak yang pernah Rasulullah Saw. ajarkan kepada umatnya. Agar kita mencapai suatu kesempurnaan dan meraih Ridha Illahi. Sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh Imam Ja’far Shadiq: “Allah Ridha Islam sebagai agama bagimu. Maka, hiasilah Islam dengan kedermawanan dan akhlak yang baik.”

Ibn Hazam mengibaratkan ikhlas sebagai ruh dalam jasad. Bayangkan jika sebuah jasad tidak punya ruh, ia sama seperti murni, fisik utuh tapi tidak ada kehidupan. Ini juga yang menjadi alasan Ibn Hazam menyebut ikhlas sebagai inti dari amal. Amal di sini adalah segala perbuatan kita selama hidup di dunia ini. Harga segala perbuatan kita, buka bergantung pada mahal atau murah, besar atau kecilnya, melainkan kepada keikhlasan kita dalam melakukannya.

Allah Swt. menilai kualitas amal shaleh berdasarkan tingkat keikhlasan pelakunya, bukan besarnya nominal atau banyaknya kuantitas perbuatan yang dilakukan. Uang sejumlah 10 ribu yang diberikan dengan ikhlas, jauh lebih bernilai daripada uang yang jumlahnya 1 juta yang diinfakkan dengan riya.

Penyakit riya ini ibarat semut hitam di atas batu hitam di tengah malam yang kelam. Sulit sekali untuk dilihat. Perbedaan antara ikhlas dan riya sangat tipis, lebih tipis dari kulit bawang. Itulah sebabnya, orang yang dikatakan ikhlas sulit untuk diinternalisasi, dan hanya bias dicapai oleh orang yang senantiasa berlatih.

Orang yang sulit belajar ikhlas sama seperti orang yang tidak rela membuang kotoran yang sudah tidak lagi berbentuk sebagaimana ketika belum dimakan. satu-satunya unsur ikhlas adalah mengharapkan ridha Allah Swt. Jika rida berkarakter menerima (take), maka ikhlas adalah memberi (give).

Pada saat hati kita ikhlas, kita akan mendapatkan sesuatu jauh lebih baik daripada apa yang kita anggap baik. Alangkah bijaknya jika dalam hidup kita selalu bersikap ikhlas sehingga siap menghadapi segala kemungkinan segala kemungkinan. Menata hati untuk menerima apa yang kita hadapi jauh lebih berarti daripada berlarut-larut dalam kesedihan yang hanya membuat putus asa.

Menjadi manusia yang berkarakter ikhlas memang sederhana, sama sekali tidak ruwet. Namun, dampaknya justru sangat luar biasa. Kita akan melakukan segala aktivitas dengan rasa cinta, tekun, dan maksimal. Saat melakukan sesuatu dengan sungguh-sungguh, peluang untuk berhasil sangat besar. Yang terpenting, kita merasa bahagia saat menjalani aktivitas tersebut.

Islam sangat menganjurkan para pemeluknya untuk bersikap Percaya Diri dan sebaliknya. Hal yang kami maksud adalah percaya diri dalam melakukan suatu kebaikan.

Dengan sikap Percaya Dirilah yang mampu membuat kita kuat dan berani dalam menjalankan hidup di dunia ini. Nabi Muhammad Saw tidak menyukai jika umatnya lemah. Salah satu kunci menuju kesuksesan adalah disebabkan karena percaya diri. Kita tahu, orang-orang yang mampu merealisasikan kata percaya diri ini sehingga membawa diri mereka menuju kesuksesan dan dikenang sepanjang masa. Seperti Abraham Lincoln, Bill Gates, Thomas A. Edison, Milton, Khahlil Ghibran, para nabiyullah dan masih banyak nama-nama orang-orang yang telah merealisasikan sikap percaya diri dalam hidup dan kehidupan mereka.

Sifat-sifat terpuji seperti Tawadhu’, Percaya Diri, Ikhlas dan masih banyak sifat-sifat terpuji lainnya, semata-mata untuk ketentraman hidup kita, baik dalam bersosialisasi antar sesama makhluk hidup atau urusan-urusan yang lainnya. Namun tujuan akhir dari sifat-sifat terpuji ini adalah untuk mendapatkan tempat terdekat di sisi Allah SWT. Sifat-sifat terpuji sering dikaitkan dengan sifat-sifat tercela, sifat tercela bagaikan penyakit-penyakit yang ada dalam hati manusia, sedangkan sifat-sifat terpuji bagaikan obat yang menyembuhkannya. Dan tujuan dalam mengobati penyakit hati ini tak lain hanya untuk meningkatkan kualitas diri. Semoga kita mampu mempraktekkan sifat-sifat terpuji di atas maupun sifat-sifat terpuji yang lain, dan mampu menghindari sifat-sifat buruk. Sehingga hidup kita bahagia dunia dan akhirat.

[1] Sayyid Mahdi as Sadr, Mengobati Penyakit Hati,Meningkatkan Kualitas Diri, hlm.31

[2] Sayyid Mahdi as Sadr, Mengobati Penyakit Hati,Meningkatkan Kualitas Diri, hlm.32

[3] Al-Ghazali.2004. keajaiban-Keajaiban Hati. Bandung: Penerbit Karisma.

[4]MK. Sutrisna Suryadilaga. 2008. The Balance Ways: Mapp to Rich. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA