Hukum Menyentuh perempuan yang belum baligh

Pada dasarnya ulama sepakat soal hukum salaman dengan non-mahram

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Setiap manusia memiliki pandangan yang berbeda-beda dalam memahami suatu permasalahan hukum, asalkan ada dasar hukum syariat yang jelas, maka setiap argumentasi harusnya dapat disikapi dengan sikap saling bijak. Salah satunya adalah pandangan tentang boleh tidaknya berpegangan tangan dengan non-mahram.

Dalam buku Benarkah Bersalaman dengan non-Mahram itu Haram? karya Ahmad Zarkasih dijelaskan, bersalaman antara laki-laki dengan perempuan yang bukan mahramnya itu disepakati halal oleh ulama. Yakni ketika bersalaman dilakukan di dalam satu kondisi darurat, dalam hal ini para ulama tidak saling berselisih paham mengenai halalnya berpegangan tangan dengan non-mahram.

Darurat sendiri didefinisikan ali Al-Jurjani dalam kitab At-Ta’rifat dengan istilah an-naazali mimmaa aa madfa’a lahu (sesuatu yang datang dan tidak bisa dicegah). Sedangkan Imam Az-Zarkasyi dalam kitabnya berjudul Al-Mantsur fi Al-Qawaid Al-Fiqhiyyah menjelaskan definisi darurat.

Beliau menjabarkan, makna darurat adalah sesuatu yang sampainya seseorang pada kondisi di mana jika ia tidak melakukan hal tersebut (yang diharamkan), ia akan hancur (mati) atau mendekati kematian. 

Seperti orang yang terdesak untuk makan atau berpakaian, yang mana jika ia tetap kelaparan atau tetap telanjang, ia akan wafat. Atau bisa saja menyebabkan hilang atau juga disfungsi salah satu anggota tubuhnya. Dalam kondisi inilah, ia boleh melakukan sesuatu yang diharamkan.

Maka, darurat dalam masalah ini berarti bahwa bersalaman dengan lawan jenis yang bukan mahram itu menjadi sesuatu yang sangat harus dilakukan dan tidak boleh tidak. Dengan kata lain, sifatnya sangat mendesak untuk dikerjakan sebab jika tidak maka akan berakibat fatal.

Adapun di sisi lain, ulama juga bersepakat bahwa bersalaman antara lai-laki dengan perempuan yang bukan mahram itu hukumnya haram. Alias tidak bisa ditawar-tawar jika di dalamnya memang ada fitnah dan juga dibarengi dorongan syahwat dari keduanya atau dari salah satu di antara keduanya.

Fitnah dan juga syahwat yang timbul menjadi garis dan batasan. Di mana jika keduanya atau salah satunya merasakan hal itu, maka haram lah hukumnya bersalaman antara laki-laki dengan perempuan yang bukan mahramnya tadi.

Sedangkan fitnah dalam banyak teks syariah sering muncul dengan makna yang berbeda-beda pula. Terkadang fitnah itu dapat berarti musibah dan terkadang berarti juga sebagai ujian. Bahkan di dalam surah Al-Anfal ayat 39, fitnah dapat bermakna sebagai kekafiran.

Dalam hal berpegangan tangan antara laki-laki dengan perempuan yang bukan mahramnya, makna yang dicocokkan ulama adalah fitnah yang berarti keburukan. Atau dalam bahasa Arab disebut al-fadhihah. Dan keburukan bagi seorang Muslim adalah jatuhnya ia ke dalam dosa dan maksiat kepada Allah

Itu berarti bahwa yang dikatakan bersalaman dan menimbulkan fitnah itu jika salamannya atau jabatannya bisa melahirkan dosa, seperti karena sebab bersalaman jadi berlama-lama saling berpandangan.

Haram hukumnya bersalaman dengan lawan jenis yang bukan mahramnya merupakan pandangan dari ulama-ulama Mazhab Maliki dan Mazhab Syafii. Pandangan ini juga disetujui ulama-ulama dari Mazhab Hanafi serta Hanbali.

Hanya saja para ulama Hanafi membedakan hukumnya jika yang bersalaman itu orang tua yang sudah tidak ada dan tidak menimbulkan syahwat jika bersentuhan dengan lawan jenis. Ini artinya, salaman tersebut dapat terbebas dari fitnah.

Para ulama ini menyandarkan pandangannya dengan beberapa hadits Nabi, salah satunya yang diriwayatkan Imam At-Thabrani dari sahabat Ma’qal bin Yasar. Nabi SAW bersabda: 

  عن معقل بن يسار رضي الله عنه أن رسول الله وسلم قال: أَنْ يُطْعَنَ فِي رَأْسِ أَحَدِكُمْ بِمِخْيَطٍ مِنْ حَدِيدٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمَسَّ امْرَأَةً لا تَحِلُّ لَهُ

“La-an yuth’ana fi ra’si ahadikum bimihyathin min hadidin khairun lahu min an yamassa imra-atan laa tahillu lahu.”

“Menusuk kepala dengan jarum dari besi, itu jauh lebih baik buat seorang Muslim di antara kalian dibandingkan jika ia bersentuhan dengan wanita yang bukan halal baginya,”.

Hukum Menyentuh perempuan yang belum baligh
Ilustrasi Berwudhu

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MADZHAB UNIDA GONTOR

Dalam perkara menyentuh perempuan, apakah membatalkan wudhu atau tidak? terdapat banyak pendapat dari para kalangan Ulama, yaitu Ulama 4 Madzhab dalam Perkara ini. Berikut adalah penjelasan singkat tentang pandangan ulama 4 Madzhab tentang perkara ini:

Dalam Madzhab Imam Syafi’i, menyentuh perempuan yang bukan mahromnya (wanita yang boleh di nikahi) membatalkan wudhu, yaitu dengan lima syarat: laki dan perempuan, sudah sama mencapai batas dewasa, tidak ada pembatas-nya walaupun tipis dan lawan jenis.

Dalam pandangan Imam Malik, tidak membatalkan kecuali apabila dibarengi dengan syahwat. Dengan berlandaskan pada hadist ‘Aisyah, dimana Rasulullah saw pernah mencium kening ‘Aisyah r.a, sedangkan beliau dalam keadaan berwudhu. Sebagaiman pada hadist berikut:

عن حبيب ابن أبي ثابت عن عروة عن عائشة رضي الله عنها أن النبي صلى الله عليه وسلم قبل بعض نسائه ثم خرج إلى الصلاة ولم يتوضأ

Dari Hubaib bin Abi Tsabit dari Urwah dari Aisyah RA. Sesungguhnya Nabi SAW pernah mencium istrinya kemudian keluar untuk shalat dan tidak berwudhu lagi. (HR. at-Tirmidzi, Ibnu Majah, Abu Dawud & Al-Baihaqi).

Selain dari pada hadist di atas, Imam Maliki juga berlandaskan pada hadsit yang artinya adalah sebagai berikut:

“Tidaklah wajib berwudhu karena mencium istri atau menyentuhnya baik dengan syahwat atau tidak misalnya. Ini adalah pendapat Sayyidina Ali Ra dan Ibnu Abbas Ra. Menurut Imam Syafi’i, wajib wudhu. Ini adalah pendapat Sayyidina Umar Ra dan Ibnu Mas’ud. Persoalan ini dasarnya adalah persoalan yang diperselisihkan pada masa awal sehingga dikatakan sebaiknya bagi orang yang menjadi imam bagi orang lain untuk berhati-hati dalam masalah ini. Sedang menurut Imam Malik, wajib wudhu jika diiringi syahwat, lain halnya jika tanpa syahwat,”

Dalam hal ini, Mazhab Imam Hanafi r.a berpendapat bahwa sentuhan kulit antara laki-laki dan perempuan tidak membatalkan wudhu. Dalam masalah ini, Mazhab Hanafi menggunakan dalil shahih yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dengan sanad yang shahih:


وعن عائشة أن النبي صلى الله عليه وسلم :كان يصلي وهي معترضة بينه وبين القبلة فإذا أراد أن يسجد غمز رجلها, فقبضتها. رواه البخاري ومسلم.

Dari Aisyah RA, sesungguhnya Nabi SAW melakukan salat. Sementara Aisyah tidur di antara beliau dan arah kiblat, apabila Nabi SAW hendak sujud beliau geser kaki Aisyah. (HR.Bukhari dan Muslim).

Adapun Pendapat Madzhab Imam Hambali r.a, beliau berpendapat bahwa bahwa sentuhan kulit antara laki-laki dan perempuan jika disertai dengan sahwat maka membatalkan wudhu, namun jika tidak disertai sahwat maka tidak membatalkan wudhu. Pendapat Madzhab Hanbali ini sama seperti pendapat Mazhab Maliki.

Dalam masalah ini, Mazhab Hanbali menggunakan dalil shahih yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dengan sanad yang shahih:


وعن عائشة أن النبي صلى الله عليه وسلم :كان يصلي وهي معترضة بينه وبين القبلة فإذا أراد أن يسجد غمز رجلها, فقبضتها. رواه البخاري ومسلم.


Dari Aisyah RA, sesungguhnya Nabi SAW melakukan salat. Sementara Aisyah tidur di antara beliau dan arah kiblat, apabila Nabi SAW hendak sujud beliau geser kaki Aisyah. (HR.Bukhari dan Muslim)

Juga menggunakan dalil yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, Ibnu Majah, Abu Dawud & Al-Baihaqi:


عن حبيب ابن أبي ثابت عن عروة عن عائشة رضي الله عنها أن النبي صلى الله عليه وسلم قبل بعض نسائه ثم خرج إلى الصلاة ولم يتوضأ. رواه الترمذي وابن ماجه وداود والبيهقي.

Dari Hubaib bin Abi Tsabit dari Urwah dari Aisyah RA. Sesungguhnya Nabi SAW pernah mencium istrinya kemudian keluar untuk salat dan tidak berwudhu lagi. (HR.at-Tirmidzi, Ibnu Majah, Abu Dawud dan Al-Baihaqi).

Dari beberpa pendapat di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa terdapat berbagai macam pendapat tentang perkara ini, dan setiap pendapat memiliki landasan masing-masing dalam melaksanakannya, untuk penerapannya dalam kehidupan, para ulama memberikan kebebasan untuk memilih. Semoga artikel singkat ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.

Sumber: Dok PM
Edit By: Admin

Artikel Terkait:
Doa Setelah Wudhu Sesuai Sunnah Rasulullah SAW

Bersentuhan dengan wanita belum baligh apakah membatalkan wudhu?

Syekh Nawawi Al-Bantani menjelaskan dalam bukunya Mirqah Shu'ud At-Tashdiq bahwa menyentuh anak perempuan yang masih kecil tidak membatalkan wudhu karena mereka tidak layak menjadi objek yang membatalkan syahwat.

Batalkah wudhu jika bersentuhan dengan anak yang belum baligh?

Termasuk membatalkan wudhu' juga bersentuhan kulit dengan yang belum baligh tetapi sudah dapat menimbulkan syahwat. Termasuk juga persentuhan kulit yang dilapisi dengan kain yg tipis maupun tebal, bahkan persentuhan sesama lelaki atau sesama perempuan pun dapat membatalkan wudhu', jika disertai dengan syahwat.

Apakah batal menyentuh anak kecil?

Guruku, Yusuf As-Sanbalawini berkata, 'ketika anak telah berusia tujuh tahun maka (menyentuhnya) dapat membatalakan wudhu menurut kesepakatan para ulama. Baik laki-laki maupun perempuan. Dan ketika berusia lima tahun maka (menyentuhnya) tidak membatalkan wudhu menurut kesepakatan para ulama.
(HR. at-Tirmidzi, Ibnu Majah, Abu Dawud & Al-Baihaqi). Dalam hal ini, Mazhab Imam Hanafi r.a berpendapat bahwa sentuhan kulit antara laki-laki dan perempuan tidak membatalkan wudhu.