JAUH sebelum dunia Barat memperkenalkan Hak Asasi Manusia alias HAM pada sekitar abad XVI-XIX, Islam sudah terlebih dahulu memperkenalkan konsep HAM pada 1.300 tahun sebelumnya. Bahkan Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, merupakan salah satu sosok revolusioner sekaligus pejuang penegak HAM yang paling gigih se antero jagad. Ia tidak hanya sekedar membawa serangkaian pernyataan HAM yang tertuang dalam kitab suci (Al-Qur’an), namun juga memperjuangkan dengan penuh pengorbanan dan kesungguhan. Salah satu kegigihan Nabi dalam memperjuangkan HAM, yakni memurnikan ajaran maupun kebiasaan yang ada pada zamannya, yakni tradisi masyarakat Arab Jahiliyah di Makkah yang sangat bertentangan dengan konsep HAM.
Bukti lainnya berupa pidato Muhammad bin Abdullah pada tahun 632 Masehi, yang dikenal dengan sebutan Deklarasi Arafah. Bahkan deklarasi tersebut disebut-sebut sebagai dokumen tertulis pertama yang berisi tentang HAM. Secara sederhana dapat disimpulkan, jika dunia internasional baru mengenal HAM ribuan tahun pasca adanya konsep HAM mempuni yang diprakarsai Islam pada zaman Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Dalam perkembangannya, HAM (Human Rights, bahasa Inggris) diartikan sebagai sebuah konsep hukum dan normatif yang menyatakan bahwa manusia memiliki hak yang melekat pada dirinya karena ia adalah seorang manusia. HAM berlaku kapanpun, di manapun, dan kepada siapapun, sehingga sifatnya universal. HAM pada prinsipnya tidak dapat dicabut, juga tidak dapat dibagi-bagi, saling berhubungan, dan saling bergantung. HAM biasanya dialamatkan kepada negara dengan kata lain negaralah yang mengemban kewajiban untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi HAM, termasuk dengan mencegah dan menindaklanjuti pelanggaran yang dilakukan oleh swasta. Dalam terminologi modern, HAM dapat digolongkan menjadi hak sipil dan politik yang berkenaan dengan kebebasan sipil. Seperti gak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa dan kebebasan berpendapat. Termasuk juga hak ekonomi, sosial dan budaya yang berkaitan dengan akses ke barang publik. Seperti hak untuk memperoleh pendidikan yang layak, hak atas kesehatan, dan lainnya. Secara konseptual, HAM dapat dilandaskan pada keyakinan bahwa hak tersebut ‘dianugerahkan secara alamiah’ oleh alam semesta, nalar atau bahkan Tuhan. Mereka yang menolak penggunaan unsur alamiah meyakini bahwa hak asasi merupakan pengejawantahan nilai-nilai yang disepakati oleh masyarakat. Selain itu ada pula yang menganggap HAM sebagai perwakilan dari klaim-klaim kaum yang tertindas, dan pada saat yang sama juga terdapat kelompok yang meragukan keberadaan HAM sama sekali dan menyatakan bahwa HAM hanya ada karena manusia mencetuskan dan membicarakan konsep tersebut. Ditinjau dari sudut pandang hukum internasional, HAM sendiri dapat dibatasi atau dikurangi dengan syarat-syarat tertentu. Biasanya harus ditentukan oleh hukum, memiliki tujuan yang sah dan diperlukan dalam suatu masyarakat demokratis. Sementara pengurangan hanya dapat dilakukan dalam keadaan darurat yang mengancam ‘kehidupan bangsa’. Memang masyarakat kuno tidak mengenal konsep HAM universal, seperti halnya masyarakat modern. Pelopor dari wacana HAM adalah konsep hak kodrati yang dikembangkan pada abad pertengahan, dipengaruhi wacana politik selama Revolusi Amerika dan Revolusi Prancis. Konsep HAM modern akhirnya muncul pada paruh kedua abad 20, terutama pasca dirumuskannya Pernyataan Umum tentang HAM di Paris (Prancis) pada 1948 silam. Sejak saat itu, HAM mengalami perkembangan yang pesat dan menjadi semacam kode etik yang diterima dan ditegakkan secara global. Pelaksanaan HAM dalam skala internasional diawasi oleh Dewan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), sepeti Dewan HAM dan Badan Troktat hingga Komite HAM dan Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Sementara di tingkat regional, HAM ditegakkan oleh Pengadilan HAM Eropa, Pengadilan HAM Antar-Amerika, serta Pengadilan HAM dan Hak Penduduk Afrika. Bahkan kovenan internasional tentang hak-hak sipil dan politik hingga hak ekonomi, sosial dan budaya sendiri sudah diratifikasi oleh hampir semua negara di dunia, termasuk Indonesia. Bahkan empat negara di kawasan Asia Tenggara, yakni Brunai Darussalam, Indonesia, Malaysia dan Singapura. Diwakili menteri agama masing-masing, sepakat mewujudkan resolusi yang berisi tujuh poin tentang HAM dalam perspektif Islam. Pertama, umat Islam diharapkan melengkapi diri dengan ilmu dan keterampilan yang tepat melalui sumber terpercaya untuk menghadapi berbagai doktrin dan tantangan baru. Hal itu demi memastikan hak-hak yang diperjuangkan sesuai prinsip dan bebas dari unsur yang bertentangan dengan Islam. Kedua, perlunya memberdayakan komitmen kehidupan beragama sebagai satu cara hidup, demi memastikan setiap individu muslim mampu menyikapi realitas kehidupan saat ini yang berporos kepada prinsip dan panduan ajaran Islam. Ketiga, mencari titik persamaan atas nilai-nilai kemanusiaan seperti martabat dan kehormatan, kemerdekaan dan kebebasan, kesetaraan dan kesamaan, serta persaudaraan sebagai dasar kesempatan untuk bekerjasama menangani isu-isu hak asasi manusia yang sejalan dengan Islam. Keempat, menyebarluaskan pemahaman tentang Islam sebagai satu sistem nilai dan etika, yang berkontribusi kepada kebaikan bersama. Kelima, Memperkuat perjuangan hak asasi manusia yang sejalan dengan tuntutan Islam, berdasarkan strategi menekankan prinsip-prinsip Islam sebagai sistem etika tentang HAM, meningkatkan pemahaman masyarakat terkait prinsip HAM sesuai etika Islam, serta meningkatkan efektivitas jaringan kerjasama antarotoritas agama di setiap negara, organisasi dan individu, demi memperkuat perjuangan isu-isu hak asasi dari perspektif Islam. Keenam, siap menjalin kolaborasi program penjelasan HAM dari sudut pandang Islam melalui kerja sama strategis di antara negara anggota. Ketujuh, forum menyepakati penulisan konsep HAM dari sudut pandang Islam yang dibentangkan dalam konferensi ini dapat diterbitkan atas nama MABIMS (Forum Menteri Agama Brunai, Indonesia, Malaysia dan Singapura) sebagai sumber informasi bagi para peneliti yang bisa dijadikan referensi di tingkat negara anggota, serta masyarakat antarbangsa. [adm] Ditulis oleh Samsul Arifin, dan dikutip dari berbagai sumber berbeda.
Iman dan Hak-Hak Asasi Manusia (HAM) Dalam Terang Laudato Si: Sebuah Harapan Baru Oleh: Marcelline Gratia Sephira Taum (Juara I Lomba Esai SALT 2015) Paus Fransiskus merilis ensiklik kedua[1] yang berjudul Laudato Si’: On the Care for Our Common Home (Terpujilah Engkau: Tentang Kepedulian terhadap Rumah Kita Bersama) pada tanggal 18 Juni 2015. Pertanyaan pokok ensiklik itu adalah, “Dunia macam apa yang kita ingin tinggalkan bagi orang-orang yang datang setelah kita, bagi anak-anak yang sekarang sedang tumbuh?” Karena per-tanyaan penting itulah, Laudato Si telah menarik perhatian segenap penghuni planet ini, termasuk mereka yang tidak menganut agama Katolik. Ensiklik terse-but diakhiri dengan doa antaragama untuk bumi kita dan doa Kristen untuk cipta-an. Laudato Si tiba-tiba menjadi sebuah ungkapan iman universal yang memberi sebuah harapan dan paradigma baru bagi umat manusia dalam memaknai kehadirannya di antara makhluk-makhluk lainnya di seantero alam semesta. Umat manusia yang mendiami sebuah bumi yang satu dan sama (we share the same sky) ini memiliki satu tanggung jawab yang sama, yakni menghormati dan membangun martabat manusia di dalam lingkungan alam yang semakin baik dan terjaga. Manusia terkait erat dan tak dapat dipisahkan dari persoalan-persoalan lingkungan sosial, ekonomi, dan budaya. Dalam konteks inilah, pem-bangunan iman dan penegakkan hak-hak asasi manusia (HAM) mendapatkan terang dan harapan yang baru untuk dikembangkan menjadi lebih baik. Tulisan ini membatasi diri pada dua buah issu penting, yaitu kaitan antara iman dan penegakkan hak-hak asasi manusia (HAM) dalam terang ensiklik Laudato Si. Situasi HAM: Sebuah Potret Buram Ada sebuah ungkapan dalam bahasa Latin yang berbunyi “Homo homini lupus” (Man is a wolf to man). Istilah yang pertama kali dicetuskan oleh Plautus (195 SM) itu muncul dari fakta bahwa manusia sering menikam sesama manusia lainnya. Istilah itu sering muncul dalam diskusi-diskusi mengenai kekejaman yang dilakukan manusia bagi sesamanya. Dalam sejarah peradaban manusia, kekejam-an manusia atas sesamanya merupakan fakta yang tak bisa dipungkiri. Berdasarkan kajian atas berbagai pembantaian massal yang terjadi di ber-bagai negara di dunia, Alexander Laban Hinton dalam buku berjudul “The Dark Side of Modernity: Toward an Anthropology of Genocide” (2005) menyebut Abad ke-20 sebagai Abad Genosida (Century of Genocide) karena begitu banyak pem-bantaian manusia oleh sesamanya sendiri. Menurut Laban (2005), abad 20 adalah sebuah abad yang paling memalukan dari segi pelanggaran HAM. Kebanyakan pembantaian massal terjadi pada abad ini, abad dimana manusia tidak merasa aman tinggal di rumahnya sendiri. Kengerian dan ketakutan terhadap teror, kebe-ngisan, kekerasan, kekacauan, kekejaman senantiasa mengintai. Daftar kelompok korban genosida sangat panjang. Diperkirakan, dalam abad 20 saja telah jatuh korban sebanyak 60 juta orang. Kelompok-kelompok korban yang sudah umum diketahui masyarakat dunia adalah —Yahudi, Kamboja, Indonesia, Bosnia, dan Rwanda Tutsi. Kelompok yang mulai dilupakan antara lain Herera, Armenia, petani-petani Ukraina, Gypsi, Bengal, Hutu Burundi, suku Aché di Paraguay, Indian Guatemala, dan Ogoni di Nigeria. Pembantaian para pengikut/simpatisan PKI yang dimulai tahun 1965 disebut Laban sebagai salah satu pembantaian massal terbesar di abad ke-20. Pada abad ke-21, muncul aksi teror terbesar dan terparah sepanjang sejarah peradaban manusia. Teror yang dimaksud adalah fenomena pelanggaran HAM berat atas nama keyakinan agama ataupun ideologi tertentu. Aksi teror terbesar sepanjang sejarah adalah sebagai berikut (Pratama, 2015). 1). Tragedi WTC (11 September 2001) di New York City dan Washington DC pada 11 Sep-tember 2001 (pelakunya kelompok militan Islam, al-Qaeda), 2). Tragedi Lockerbie (21 Desember 1988) pesawat Boeing 747-100 terdaftar N739PA meledak di udara (pelaku agen rahasia Lybia), 3). Teror Gas Sarin (20 Maret 1995), pelakunya adalah seorang anggota sekte hari kiamat Aum Shinrikyo (Kebenaran Tertinggi) melepaskan gas sarin di kereta komuter di jam sibuk, 4). Bom Oklahoma City (19 April 1995) serangan teroris domestik terbesar kedua dalam sejarah Amerika Seri-kat yang menewaskan 168 orang, 5). Pengeboman Kedubes AS di Nairobi (Kenya) & Darusalam (Tanzania) 7 Agustus 1998, 6). Bom Bali (Indonesia) yang terjadi tanggal 12 Oktober 2002 di Kuta yang menewaskan 202 orang dan mence-derakan 209 yang lain; 7). Teror Moscow (Rusia) tanggal 23-26 Oktober 2002 merupakan hari paling mencekam di gedung pertunjukan Moscow Theater, Rusia; 8). Bom Madrid (Spanyol) 11 Maret 2004; 9). Bom bunuh diri di London, tahun 2005; 10). Bom Mumbai (India) November 2008 merupakan rangkaian serangan teroris terkoordinasi yang terjadi serentak di sejumlah tempat di sekitar kota Mumbai, 11). Bom JW Marriott (Indonesia) tahun 2003. Selain genosida dan aksi teror dengan jumlah korban yang fantastis, pelanggaran HAM lainnya berupa kejahatan kemanusiaan masih marak terjadi. Kejahatan kemanusiaan adalah perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik terhadap penduduk sipil berupa pembunuh-an, pemusnahan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional, penyiksaan, pemerkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa atau berba-gai macam bentuk kekerasan seksual lain, penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsa-an, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional, penghilangan orang secara paksa, dan kejahatan apartheid. Jika kita cermati secara lebih intensif dan ekstensif, kita akan sampai pada kesimpulan yang meyakinkan bahwa situasi HAM saat ini, baik di tanah air maupun di dunia, benar-benar merupakan sebuah potret buram. Laudato Si: Seberkas Cahaya Peradaban Di tengah-tengah situasi dan kondisi manusia yang memprihatinkan penegakan hak dan martabatnya ini muncullah ensiklik Laudato Si ibarat seberkas cahaya peradaban yang baru. Ensiklik ini berbicara tentang sebuah spiritualitas yang disebut “Spiritualitas Ekologis” yang berisi keprihatinan terhadap “our common house”. Menurut Laudato Si, yang sedang terjadi di rumah kita adalah: pencema-ran atau polusi, budaya suka buang sampah, perubahan iklim global, krisis air, hilangnya biodiversitas, merosotnya kualitas hidup, terpecah belahnya masya-rakat, ketimpangan global, lemahnya jawaban politisi dan pejabat pemerintah, dan berbagai pandangan yang berbuah ketidakseriusan dengan penanganan masalah lingkungan. Pendekatan dan cara memandang HAM di dalam ensiklik ini sangat unik, yaitu ditinjau dari sudut pandang ‘spiritualitas ekologis,’ di antara dua krisis besar, yaitu krisis lingkungan hidup dan krisis sosial dalam bentuk ketidakadilan global. Di tengah-tengah kedua krisis inilah, persoalan hak-hak dasar manusia muncul. Misalnya privatisiasi terhadap sumber daya alam (misalnya sumber air) dalam sistem ekonomi kapitalisme berakibat langsung terhadap terancamnya kehi-dupan sekelompok manusia miskin yang kehilangan akses pada sumber air bersih. Hal ini tampak dalam ensiklik Laudato Si (nomor 30).
Karena itulah, pada LS 93, Paus menekankan bahwa “bentuk pembangun-an yang tidak menghormati dan tidak memajukan hak-hak asasi manusia, pribadi dan sosial, ekonomis dan politis, termasuk hak-hak bangsa dan masyarakat, tidak akan sungguh layak untuk manusia”. Hak-hak dasar kaum miskin, termasuk para petani mendapat perhatian khusus dalam LG 94. Para petani secara alamiah memiliki hak atas tanah tempat ia membangun rumah dan bekerja menghidupi keluarganya dan membangun kehi-dupan dengan aman. Hak-hak asasi ini harus dijamin dan dihormati.
Apa yang dikemukakan di dalam Laudato Si merupakan ungkapan iman Kristiani, khususnya Katolik, yang sangat menekankan penghargaan terhadap harkat dan martabat manusia (dan lingkungan) karena manusia diciptakan sesuai dengan citra dan gambaran Tuhan sendiri. Apabila ada yang membantah pandang-an ini, sesungguhnya dia memiliki kepentingan tertentu di bidang politik dan ekonomi untuk memperkaya dirinya dengan merugikan orang lain. Laudato Si merumuskan fondasi yang menyeluruh dan mendalam untuk menjadi dasar bagi perkembangan peradaban manusia secara global. Kesadaran ekologis mengingat-kan manusia di atas muka bumi ini untuk berpijak pada pelestarian lingkungan hidup dan keadilan sosial. Hanya dengan jalan ini, kemiskinan global dan pengerusakan lingkungan hidup akibat tindakan manusia bisa diatasi. Kesimpulan Sepanjang peradaban manusia, selalu saja terjadi tindakan yang merendah-kan dan menghina martabat dan hak-hak dasar manusia. Tindakan-tindakan yang merendahkan dan menghina martabat manusia itu terlihat jelas di dalam bentuk genosida, pelanggaran kemanusiaan, teror, dan kejahatan kemanusiaan lainnya. Sekalipun fenomena pelanggaran hak-hak asasi manusia dan kemiskinan merupakan sebuah fenomena yang usianya setua peradaban manusia, pemahaman kita terhadapnya dan upaya-upaya mengentaskannya belum membawa hasil yang menggembirakan sepanjang sejarah. Banyak orang tidak menyadari bahwa meren-dahkan dan melanggar HAM membawa dampak yang besar, tidak hanya bagi orang-orang tertindas itu sendiri melainkan juga bagi seluruh komunitas masyara-kat, bahkan bagi kehidupan seluruh dunia. Di tengah kegalauan kultural dan pesimisme massal masyarakat dunia, muncullah ensiklik “Laudato Si” laksana terbitnya matahari baru yang membawa seberkas cahaya ke tengah-tengah kegelapan. Ensiklik ini meletakkan langkah penting dalam dialog antara iman dengan lingkungan hidup di dalam dunia ber-teknologi modern sekarang ini. Ensiklik tersebut menjabarkan tantangan manusia sekarang ini dalam hubungan dengan lingkungan hidup. Seperti disinggung sebelumnya, tantangan tersebut juga tidak bisa dilepaskan dari salah satu tantang-an terbesar global sekarang ini, yakni kemiskinan. Ada kaitan yang amat erat antara sikap melestarikan lingkungan hidup dengan perjuangan untuk menghapus-kan kemiskinan dari muka bumi ini. Kemiskinan dalam terang Laudato Si dipandang sebagai tersumbatnya akses terhadap berbagai sumber daya karena dikuasai oleh segelintir orang. Hal ini sekaligus menjadi tanda pelanggaran terhadap hak-hak dasar manusia. Di banyak negara, dua hal itu tampak dalam krisis air bersih dan krisis pangan. Di dalam dua bentuk krisis ini, kemiskinan tak bisa dipisahkan dari keru-sakan lingkungan hidup, akibat penggunaan teknologi yang tidak bertanggung-jawab. Ini adalah salah satu tantangan terbesar umat manusia di awal abad 21 ini. Di bagian dunia lainnya, orang hidup dengan foya-foya, seringkali tanpa pertim-bangan. Inilah yang disebut sebagai “budaya membuang-buang”. Akibatnya, bumi dipenuhi dengan sampah yang seharusnya bisa didaur ulang. Karena itulah, krisis lingkungan hidup dan kemiskinan global tak bisa juga dipisahkan dari gaya hidup manusia. Kritik ekologis dan kritik sosial tidak dapat dipisahkan. Agama memainkan peranan besar di dalam gerakan sosial guna menopang kritik semacam ini, yakni kritik terhadap kecenderungan konsumsi berlebihan dan tindakan tidak bertanggung jawab dalam kaitan dengan lingkungan hidup dan kemiskinan global. Ensiklik Paus Fransiskus ini adalah sebuah seruan bahwa perubahan ke arah yang lebih baik untuk semua itu sangat mungkin terjadi. Ini juga adalah ungkapan syukur, bahwa lepas dari segala masalah dan tantangan yang ada, banyak orang mulai terlibat ambil bagian untuk menjadi jalan keluar dari beragam masalah dan tantangan yang ada. Laudato Si adalah seruan perubahan yang berpijak pada harapan. Dalam terang Laudato Si, setiap manusia apapun status sosial-ekonominya dihormati dan dihargai hak-hak dasar dan martabatnya. Sistem sosial, ekonomi, dan politik selama ini lebih berpihak pada orang kaya dan penguasa. Sebagai penutup, perlu dicatat bahwa Paus Fransiskus menjadikan spiritualitas Santo Fransiskus Asisi sebagai dasar. Fransiskus Asisi adalah simbol bagi kesucian, kesederhanaan, dialog dan pelestarian lingkungan hidup di dalam Gereja Katolik Roma. Ia adalah orang suci yang memberikan teladan nyata bagi hidup banyak orang, tidak hanya orang Katolik. Di dalam pandangannya, seluruh alam ini adalah saudara. Binatang adalah saudara dan tumbuhan adalah saudara. Tidak ada perbedaan dan pertentangan antara manusia dan alam semesta. Marta-bat manusia pun dihargai dan dihormati sebagai citra Allah. [1] Ensiklik pertamanya berjudul Lumen Fidei (Terang Iman) yang dirilis tahun 2013. DAFTAR PUSTAKA Ensiklik Laudato Si’ Tentang Perawatan Rumah Kita Bersama Paus Fransiskus. Penerjemah P. Martin Harun, OFM. Jakarta: Penerbit Obor. Laban, Alexander Hinton, 2005. Introduction Genocide and Anthropology. California: The Regents of the University of California. Laban, Alexander Hinton, 2005. The Dark Side of Modernity: Toward an Anthropology of Genocide. California: The Regents of the University of California. Available online at http://www.ucpress.edu/books/PANTH.ser.html Pratama, Akbar, 2015. “Aksi Teror Terbesar Sepanjang Sejarah”. Diunduh 30 November.http://akbarpratama98.blogspot.co.id/2012/09/11-aksi-teror- terbesar-sepanjang.html [share title=”Share this Post” facebook=”true” twitter=”true” google_plus=”true”] |